Mas Niko masih memandangku. Menunggu jawaban dariku. Tapi aku masih diam. Bingung juga gimana jelasinnya. Lah gimana coba, wong aku aja gak kepikiran buat ngundang dia. Jadi tu tadi aku bilang kalau aku lupa buat ngundang dia gitu. Eh si Andra dengan pedenya bilang gini.
"Masa lupa si Dil?" Sangsi Andra.
Mas Niko menatapku begitupun dia itu.
"Lah kenyataannya lupa mau gimana lagi?" Jawabku sedikit ketus.
Lah gimana gak sebel, orang aku itu benar-benar gak kepikiran buat ngundang dia. Kan dulu dia juga pernah bilang gak mau tau tentang aku lagi. Dianggap temen aja dulu gak. Ngapain ngundang juga kan???
"Oh yaudah si gakpapa. Selamat ya Dil." Ujar dia. Dia kelihatan emmm kecewa atau apa ya? Ah bodo amatlah. Dia aja gak nganggep temen ngapain aku mikirin dia.
Tapi kok aku juga ngerasa gak enak gini ?
"Em sorry ya Vin." Ucapku.
"Santai aja si. Aku juga tau kok kenapa gak ngundang." Dia tersenyum kecut.
Mas Niko menatap bingung aku dan Alvin. Iya namanya Alvin.
"Ekhemm." Mas Niko berdehem.
"Emm sudah beranjak siang kami pulang dulu ya." Pamitnya pada Andra dan Alvin.Mereka mengangguk mengiyakan.
Kami melangkah meninggalkan mereka berdua. Tiba-tiba terdengar suara yang bikin aku tercengang.
"Dil jangan lupa ponakan kembar yang dulu kau pamerkan."
Dasar Andra kutu kupret. Masih ingat saja dengan itu.
Kembali ke sekarang.
"Jadi...." Ujar mas Niko.
"Ya apa?"
"Kenapa gak ngundang? Andra aja diundang masa dia gak? Ada something? Pas dia datang kamu kayak kaget loh." Selidiknya.
"Gak ada mas, beneran lupa aku tu." Kilahku sambil pindah ke sofa yang ada di dalam kamar mas Niko.
"Bener?"
"Iya ih...." Yakinku.
"Bukan karena dia mantanmu atau gimana?"
Eh malah mantan.
"Em?" Kagetku.
"Bener kan itu mantan adek?" Desaknya.
Aku menghela napas berat. Terpaksa harus jujur kan aku ini.
"Iya, dia itu mantan adek. Udah kan?" Jawabku.
"Nah kan. Kenapa gak diundang? Kan pernah deket."
"Ya masa, dia tiba-tiba mutusin gak jelas terus pas adek mau tanya alesannya ternyata adek hanya taruhan dia dan temennya." Harusnya aku gak bilang ya, tapi gimana lagi mas Niko kayaknya kalau gak dijelasin detail tu kayak gak puas.
"Oh... Gitu. Sekarang masih suka?" Tanyanya.
"Ya gaklah mas." Ujarku cepat.
Enak banget dia kalau aku masih suka dia. Udah mainin anak gadis masak masih disukai. Kan gak guna.
Mas Niko tersenyum mendengar jawabanku. Malah dia berjalan mendekat ke arahku. Mau ngapain sih?
"Jadi, sekarang sukanya sama siapa dek?" Tanyanya sambil menaikkan alisnya. Ih sebel deh lihat ekspresinya.
"Au ah. Adek mau mandi. Gerah." Aku bangkit dan berusaha mendorongnya. Tapi dia malah menarik tanganku kembali.
"Kalau ditanya dijawab dong."
Ini mas Niko kenapa si? Sejak kembali ke sini sikapnya aneh gitu. Beda jauh pas kita di Solo. Dia kelihatan lebih kalem dan pendiam. Apa aslinya dia begini ya?
"Ih mas adek gerah nih loh." Kilahku.
"Coba sini mas liat?" Eh maksudnya?
Dia mendekat malah memberi kecupan yang tak terduga. Di leher loh ini.
"Gak asem tuh. Manis gini." Godanya.
Astaghfirullah mas, kenapa suka bikin jantung ku dugun-dugun si?
"Udah sana mandi. Malah bengong. Mau lagi?" Aku menggeleng dan segera lari ke kamar mandi.
Bahaya ini mas Niko.
*****
Emang begini ya rasanya pengantin baru? Sebentar ke rumah mertua sebentar ke rumah orang tua. Coba saja rumah kita tu disini. Pasti nih ya langsung kembali ke rumah gak kesana kemari.
Setelah makan siang, kami ke rumah ibu dan bapak bertandang sebentar dan pamit kembali ke Solo. Sebentar banget ya kesininya. Besok mas Niko udah masuk kerja lagi jadi sore ini kita kembali.
Aslinya tuh ya, dulu ibu gak mau kalau letak rumah anaknya jauh gitu. Kasian katanya, apalagi kalau hamil dan jauh dari orang tua atau mertua. Terus kalau pas melahirkan biasanya kan ya nenek kakek baru tu excited banget ya, nah kalau jauh kan gak bisa bolak balik. Dan masih banyak alasan lainnya.
Tapi apa mau dikata, mas Niko mendapatkan pekerjaan di Solo setelah lulus kuliah. Sebenarnya ada sih solusi lain, aku disini dan mas Niko tetap disana. Terus bedanya aku setelah menikah sama belum mana coba kalau gitu? Yaudah ibu setuju pas aku diboyong ke Solo.
Saat ini aku sedang duduk bersama ibu di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ibu bertanya apakah aku betah disana, bagaimana sikap mas Niko kepadaku dan pertanyaan yang biasa dilontarkan seorang ibu kepada anaknya yang menikah.
"Ini nanti kalau kamu tiba-tiba laper di jalan. Ojo jajan aneh-aneh, mengko nak ngelu."¹
"Nggih Bu."²
Setelah semua siap kami pamit pergi. Bapak menepuk pelan pundak mas Niko. Waktu melihatku bapak langsung memelukku erat.
"Kami pamit pak, assalamualaikum." Ujar mas Niko sambil menyalami bapak dan ibu. Aku melakukan hal yang sama. Sampai ibu berbisik sesuatu yang membuat aku kaget.
"Jangan lupa nanti pas selapanan bawa kabar kamu hamil." Bisik ibu pelan.
"Ha?"
"Udah sana, ditunggu masmu itu."
"Assalamualaikum." Ujarku.
Kami menaiki taksi untuk menuju terminal. Aslinya itu ya, aku pingin merasakan naik kereta, tapi kata mas Niko lain kali saja, karena dia udah pesen tiket bus.
"Kenapa mukamu merah dek?" Tanya selidik mas Niko.
"Eh? Apa?" Kagetku.
"Kenapa mukamu merah gitu?"
"Kelihatan merah? Ah masa? Gak ih." Elakku. Lah mana bisa merah coba? Wong ini aku gak putih glowing kok.
"Ada yang kamu pikirkan?"
"Apa?" Tanyaku balik.
"Loh mas tanya malah balik tanya. Gimana sih?" Jawabnya sambil memencet hidungku.
Iya iya yang hidungnya mancung bak perosotan anak TK. Bukan seperti hidungku yang kecil ini. Tapi kata orang-orang hidungku tu bangir.
"Sakit ih mas." Ujarku. Sambil melepaskan tangannya dihidungku.
"Iya udah. Sini mas obatin." Katanya. Tapi tangannya malah menarik wajahku. Dan dengan gak tau malunya dia mengecup hidungku. Gak malu apa ini di taksi loh.
"Apasih mas." Maluku. Iyalah aku malu banget.
Mas Niko malah tertawa. Ih kan sebel. Dia menarikku ke dalam dekapannya.
"Gemesin banget si, istri siapa sih ini?" Ujarnya menjengkelkan.
"Istri anak sultan. Puas?" Jawabku ketus.
Sopir taksinya ketawa mendengar jawabanku. Kan tambah malu aku.
Mas Niko terkekeh dan mengambil jariku. Menyatukan jari kami yang terasa pas digenggaman.
Hangat.
Terasa nyaman dengan ini. Mungkin kita menikah karena terpaksa dan tidak diinginkan. Tapi kita berdua mencoba ikhlas menjalani ini semua. Mungkin beginilah takdir kita dipersatukan. Jalan hidup gak ada yang tau kan.
"Ngantuk?" Tanyanya pelan.
"Hem?"
"Kalau ngantuk tidur aja. Nanti mas bangunin." Aku hanya menggumam. Karena aku memang mengantuk saat ini.
Mas Niko menarik kepalaku bersandar dipundaknya. Tangannya yang satu mengelus pelan kepalaku hingga aku tertidur.
Mas, aku sudah senyaman ini denganmu. Apakah aku mulai mencintaimu ? Secepat ini??