webnovel

part 5

Di sinilah kami.

Di rumah selama dua puluh dua tahun aku dibesarkan. Setelah mendapat pesan dari Reina. Kami berangkat hari Jum'at sore dari solo menuju ke sini. Dan sampai sekitar pukul tujuh malam.

Pagi harinya sudah ramai sanak saudara dari keluarga ibu. Akan diadakan sepasaran penganten kami. Atau dalam desaku disebut masari. Upacara ini dilaksanakan lima hari setelah berakhirnya pesta perkawinan namun sebelumnya telah didahului dengan tradisi tilikan 'menjenguk'.  Biasanya tiga hari setelah acara pesta perkawinan selesai pihak besan datang dengan tujuan untuk mengetahui situasi dan kondisi keluarga pengantin putri. 

Biasanya sang pengantin akan ater-ater di sanak saudara dua keluarga. Baik dari mempelai pria maupun wanita.

Keramaian di rumahku menciptakan keharmonisan dan kerukunan dalam bersaudara. Waktu nikahan pun biasanya yang rewang atau membantu itu para tetangga. Itulah kelebihan masyarakat desa disini.

Aku membantu memarut kelapa dan memotong sayuran. Biasanya kita masak dalam jumlah besar karena banyak orang yang akan kita kunjungi.

Mas Niko dia membantu bapak membersihkan bulu ayam kampung di samping rumah. Lucu juga melihat dia mencabuti bulu itu. Melihat keakraban mereka aku tersenyum kecil.

Tidak heran juga mereka akrab. Karena dulu bapak pernah mengajar di Madin. Dan juga kata bapak waktu ziarah ke Walisongo mas Niko menggantikan mbahnya yang juga seorang guru Madin untuk ziarah.

Kata bapak dan ibu waktu itu mereka tidak mengenalinya. Pangling katanya. Dia bermetamorfosa menjadi lebih dewasa dan berbeda jauh dengan dulu waktu kami mengenalnya.

Adek terakhirnya pun akrab juga dengan bapak. Bahkan dia siang-siang bolong datang ke rumah memberi buah zaitun. Sangat akrab bukan?

Akupun waktu sekolah Madin dekat dengan simbahnya. Karena dulu aku berada di bangku depan dan sering disuruh maju. Waktu aku ikut ziarah bapak ke Jawa timur pun beliau sering menggangguku.

Aku tersentak mendengar panggilan ibuku yang menyuruhku membeli bumbu dapur ke pasar. Katanya kurang. Aku bersiap dan kaget melihat mas Niko ada di luar.

"Ayok, mas antar." Ajaknya.

"Beneran mas Anter?" Tanyaku meyakinkan. Ini panas loh. Dan tujuan kita kan pasar. Bukan Mul.

"Iya. Ayok." Aku bersiap naik diboncengan motor matic milikku.

Selama diperjalanan aku hanya diam dan sesekali menunjuk ke arah mana.

"Aku tau. Ke pasar itu kan?" Dia menyebutkan nama pasar yang akan kami tuju. Lah ternyata dia tau jalannya. Aku kira dia gak tau atau lupa.

Melihat kekagetan ku dia menjelaskan dulu kalau pulang kuliah dia sesekali mengantar ibunya ke pasar jadi dia tahu.

Setiba kami di pasar, aku langsung menuju tempat di mana bumbu dapur berada.

Pasar ini memang pasar kecil. Jadi letak bumbu dapur dengan jamu tradisional berdampingan. Di bagian sisi kanan ada sayur-sayuran dan bagian dalam menjual pakaian. Hanya ada beberapa blok kios yang menjual pakaian.

Aku juga membeli jamu coro. Ituloh jamu yang terbuat dari beras yang ditumbuk dengan campuran kencur dan jahe serta gula merah. Jadi hangat-hangat enak gitu.

Mas Niko masih mengikutiku. Di pintu luar pasar ada es cendol dawet. Mas Niko menahan tanganku dan berhenti di depan cendol dawet. Dia membeli sepuluh ribu es dan dapat dua belas bungkus.

Kami segera pulang. Setiba di rumah aku langsung ke dapur yang ada di samping rumah.  Mas Niko membagikan cendol dawet tadi pada anak-anak yang ada di halaman rumah.

Kesibukan kami berlangsung hingga siang dan berakhir setelah azan dhuhur. Ibu menyuruh kami bersiap untuk mengunjungi sanak saudara.

Kami memakai sarimbit batik. Model bajuku gamis dan kupadukan dengan pasmina sedangkan di mas Niko kemeja panjang dan celana hitam panjang.

Setelah semua barang yang dihantarkan siap dan tertata rapi, kami bersiap pergi.

Aku membawa selendang batik untuk membawa makanan tersebut. Di mulai dari kediaman orang tua mas Niko. Ini bukan pertama kalinya aku kesini. Tapi dengan status yang beda membuat sensasi yang berbeda pula.

Walau kedua orang tua mas Niko baik, tapi aku melihat rasa bersalah di mata mereka. Aku tersenyum kepada ibu mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja.

Cukup lama kita disana. Mengingat masih banyak rumah uang harus kita kunjungi, kita pamit pulang dan melanjutkan ke saudara lain. Tapi ibu mas Niko minta nanti malam kita menginap disini. Dan hanya di balas anggukan olehnya.

"Mas pake tas boleh ndak? Kalo pake selendang cuma muat dua. Kan nambah lama." Keluhku. Lah bener kan.

"Iya, nanti tanya ibu ya."

Jadinya kita membawa tas untuk tempat makanan tersebut. Sekitar pukul setengah empat sore kita baru selesai dari semua rumah saudara. Ternyata banyak juga saudara dari pihak mas Niko.

Kami istirahat sebentar sebelum bergegas ke rumah orang tua mas Niko.

*****

Tau gak gimana rasanya di rumah mertua? Menginap pula?

Kalau ada yang bisa tenang santuy bak di pantai sini dong bagi ilmunya.

Kenapa rasanya kicep banget saat d dah mertua? Ternyata bener ya, di rumah mertua itu mau melakukan apapun malu. Serba salah. Sebaik apapun mertua tetep saja aku merasa asing dan belum nyaman mungkin.

Saat ini kita sedang makan malam bersama. Ada ayah, ibu, adek mas Niko serta kita. Tidak ada yang membahas saudara mas Niko. Kita makan dengan tenang dan sesekali diselingi candaan oleh Riki, bungsu keluarga ini.

Aku membantu ibu mencuci piring. Disela itu kita mengobrol ringan tentang bagaimana aku di Solo apakah betah, adaptasinya gimana. Ibu orang berpendidikan. Jadi pemikiran beliau lebih terbuka dan pembawaannya itu tenang.

"Dil." Panggilnya.

"Ya Bu?" Jawabku sembari mengelap tangan dengan kain lap.

"Niko baik kan sama kamu?" Tanyanya tiba-tiba.

"Alhamdulillah iya Bu." Jujur ku.

"Maafin Riko ya Dil, ibu ndak tau kenapa dia bisa pergi. Bahkan kamipun ndak tau dia dimana sekarang." Ucapnya sedih.

"Bu.." selaku

"Dil, Niko orangnya tulus. Sayangi dia ya nak. Walau  kalian menikah karena ketidaksengajaan tali ibu tau Niko orangnya tanggungjawab."

"Iya Bu."

"Ibu harap kamu bisa bahagia dan memaafkan kesalahan Riko.".

Aku mengangguk. Toh mau bagaimanapun sekarang aku istri mas Niko bukan mas Riko. Walau ada kekecewaan di sudut hatiku, tapi bukankah hidup lebih indah bila kita berdamai dengan kenyataan?

Aku berjalan menuju ke kamar mas Niko. Yang pertama ku lihat mas Niko sedang membaca sebuah buku tebal. Ntah apa isinya.

Aku berjalan ke lemari mengambil baju ganti dan berjalan ke kamar mandi melakukan ritual sebelum tidur. Saat keluar, mas Niko sudah berbaring di ranjang dan menoleh ke arahku. Dia tersenyum dan menepuk sisinya.

Walau sudah hampir seminggu tidur bersama aku masih merasa canggung dengannya. Diapun kutebak begitu. Tapi dia lebih bisa mengendalikan dirinya.

"Capek?" Tanyanya.

"Sedikit." Padahal cuapek banget rasanya ini badan.

"Istirahat. Besok mau jalan-jalan?" Tanyanya sambil menata letak bantalku. "Sini baring." Ujarnya lagi.

"Kemana?" Tanyaku sambil berbaring.

Dia hanya tersenyum dan mendekat.

Eh dia mau ngapain????

Próximo capítulo