Ku pijakkan kakiku di halaman rumah sederhana ini. Ku tatap dengan raut tak terdefinisikan. Di sini, aku harus di sini sekarang? Dengan menggendong tas lumayan kecil aku mengikuti langkah dia. Dia berjalan menuju sebuah pot yang ada di samping pintu. Oh kuncinya di situ?
Dia membuka pintu dan menyilahkan aku masuk. Kesan pertama yang ku lihat rapi. Rumahnya memang sederhana gak luas gak besar.
Berjalan menuju sebuah pintu, ku kira itu sebuah kamar. Aku masih berdiri di ruang tengah dengan masih melihatnya. Dia berhenti sebelum benar-benar masuk dengan isyarat menyuruhku untuk masuk juga.
Aku berjalan pelan menuju kamar tersebut. Ku edarkan pandanganku ada dua kamar sekiranya kalo aku gak salah. Tapi masa aku harus protes? Gak bisa Dila sayang....
Aku memasuki kamar tersebut. Aku tidak melihatnya tapi aku mendengar suara air yang ada di sebelah. Oh ada kamar mandi di dalam juga. Aku meletakkan tas bersisian dengan tas besar ku yang dibawanya tadi.
Aku bingung mau duduk di ranjang tapi sungkan, berdiri terus capek.
Ceklek
Suara itu mengalihkan pemikiranku. Ku lihat dia tampak segar dengan handuk digosokkan di kepala.
"Mau mandi?" Tanyanya.
"Eng... Mau ganti baju saja." Jawabku. Jujur aku belum pernah memasuki kamar lelaki. Ini kali pertamanya. Dia hanya mengangguk dan menyilahkan aku masuk ke dalam.
Di dalam aku membersihkan diri dan wudhu karna baru ingat kalo aku belum solat isya. Aku keluar dengan keadaan lebih segar dan manusiawi.
Ku lihat dia sedang menyiapkan sajadah. Oh dia juga mau solat? Dia menoleh dan menatapku dengan ragu. Aku berpikir apa karena aku sudah gak kucel terus aura kecantikanku keluar makanya dia kaget gitu? Hohoho... Hilangkan pemikiran absurdmu Dila.
"Mau solat bareng?" Tanyanya.
Aku mengerjap beberapa kali karna aku berdiri bengong di depan pintu kamar mandi. Ku jawab anggukan dan berjalan mengambil mukena.
Duh Allah... Aku solat di imamin dia? Rasanya kok ada yang yang meletup-letup gitu ya? Ku gelar sajadahku. Dan mulai takbir.
Masyaallah... Suaranya merdu. Lantunan ayat suci yang dibacanya menyentuh hatiku. Setelah rentetan kejadian yang kualami kemaren membuatku tak bisa membendung rasa sedih di hati.
Allah... Inikah imam yang kau pilih untukku? Dengan ketidak terencana ini? Allah... Aku harap ini semua yang terbaik untukku.
Seusai sholat dia menghadapku dan aku bingung harus apa. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku yang bingung menatapnya dan melihat maniknya seakan menyuruhku mengecup tangannya.
Secepat ini???
Ku kira kita orang asing yang kebetulan berjodoh. Oh apa bisa dikatakan kita berjodoh?
Ku kecup tangannya dengan ragu. Aku merasa usapan lembut di kepalaku. Aku tidak tau apa yang dilakukannya. Tapi aku mendengar dia berdoa untukku. Terenyuh hatiku. Impianku terealisasi dengan apa yang ia lakukan. Aku mengaminkan itu.
Dengan posisi saling berhadapan aku merasakan kecanggungan yang membuatku menatap ke bawah.
"Tidurlah." Ucapnya.
Aku mendongak dan melihat manik hitam indahnya. Aku tau banyak uang ingin ia bicarakan akupun sama. Tapi mungkin dia mengerti keadaanku yang kelelahan. Aku melihat ia mengangguk dan matanya mengisyaratkan untuk tidur di ranjang tersebut. Aku melepas mukenaku dan baru sadar ternyata aku kerudungku aku lepas di kamar mandi. Mungkinkah tadi dia terkejut karena aku tidak mengenakan jilbab? Aku mencoba biasa saja, toh dia suamiku kan sekarang.
Wait wait wait suami?
"Dila."
"Ya?"
"Aku mau ke bawah apa kau butuh sesuatu?" Tanyanya pelan.
"Ah ndak,aku ingin istirahat saja." Jawabku.
Dia mengangguk dan berlalu keluar dari kamar ini. Aku menghela napas lega. Huh... Aku tidak tau gimana kelanjutannya nanti. Tapi ku yakinkan diriku kalau dia itu baik. Pasti dia akan mengahargaiku walau kita belum mengenal jauh.
Memikirkan itu membuat kepalaku pusing. Kuputuskan untuk istirahat saja. Dan tidak lama aku berbaring aku sudah masuk ke alam mimpiku.
Melupakan kejadian yang harusnya tidak membawaku kesini. Sejenak untuk melupakan itu semua aku ingin tidur.
*****
Aku terbangun dalam posisi miring menghadap ke kanan. Saat itu juga rasanya aku ingin menjerit keras karena ada sosok laki-laki uang ada di depanku dan menghadapku.
"Astaghfirullah." Kejutku
Kemudian aku mengingat kilasan-kilasan tentang pernikahan, ijab kabul, dan aku pergi ke kota ini.
Ah ya, bodohnya aku sudah bersuami.
Masih mengingat ulasan tersebut dan merutuki kelupaanku, aku bahkan tidak sadar saat sosok itu menatapku dengan pandangan sayunya khas bangun tidur.
"Kenapa?" Tanyanya serak.
"Ah" kagetku. "Oh gak. Gak papa." Jawabku tersenyum canggung. Aku merasa bersalah membuat ia terbangun.
"Jam berapa?" Tanyanya lagi.
"Ehm, jam tiga."
Dia berdiri dan menyibakkan slimut yang dipakainya. Eh ralat, kira satu selimut, aih bahkan kita satu ranjang.
Tenang Dil, dia suamimu. SUAMIMU.
Ternyata dia pergi ke kamar mandi dan aku mendengar suara air mengalir. Dia keluar seperti habis berwudhu??
"Mau ikut sholat juga?" Tanyanya mengalihkan pemikiranku.
"Ah iya bentar." Aku bergegas bangun dan menuju ke kamar mandi.
Aku keluar dan ternyata dia sudah memakai sarung dan juga baju kokonya. Dia juga juga sudah menggelar dua sajadah. Ah, untukku dan dia.
Di sepertiga malam ini, kita berjamaah bersama. Indah rasanya bukan kalau kita bisa bersujud dengan orang yang kita cintai??? Tapi sayangnya aku dengan orang yang bahkan hanya aku tau sekedar nama saja. Bahkan aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Terakhir bertemu saat aku kelas 5 SD. Dan entah apakah dia ingat aku atau gak.
Dan sekarang aku berusia 22 tahun. Berarti kurang lebih sebelas tahun kita tidak bertemu sama sekali. Dulu dia murid pindahan waktu kelas lima. Dan dia termasuk dalam kategori murid berprestasi. Aku mengenal mereka karena kebanyakan mereka temenku di Madrasah Diniyah.
Ku tutup sholatku dengan salam dan kuaminkan setiap lantunan doanya. Sejuk, adem itu yang aku rasakan.
Aku merasa inilah saatnya kita berbicara berdua membahas tentang hal yang kita lewati kemaren. Mumpung masih ada waktu setengah jam sebelum subuh.
"Em dek Niko. Eh??" Aku keceplosan. Malunya aku. Memang dulu aku memanggilnya dengan panggilan adek. Itupun karena urutan dari Mbah kita. Dan sekarang aku bingung haruskah aku memanggilnya dek? Atau ada panggilan lain yang lebih baik?
Dia tampak terkejut dengan panggilan ku. Tapi akupun juga melihat seulas senyum geli dibibirnya. Huh dasar Dila mulut kok lemes bener.
"Ada apa?" Tanyanya dengan raut wajah kembali seperti semula. Datar.
"Bukankah kita harus meluruskan masalah ini? Masih ada setengah jam sebelum subuh." Ucapku sambil menatapnya.
Dia berpikir sejenak mempertimbangkan keinginanku ini. Aku harap dia bersedia karena masalah ini tidak boleh di diamkan terlalu lama. Aku harus memenuhi kekepoan yang ada dalam di hatiku.
"Oh baiklah." Ujarnya.