Aku merasa sedikit gugup. Ini memang penting dan harus dibahas tapi aku juga merasa malu dan bersalah menjadi satu. Akupun bingung harus mulai darimana bertanyanya. Duh Gusti bantu hambamu ini.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" Dia memecah keheningan ini.
"Eh... Emmm gimana ya, kita bahas panggilan dulu bisa? Kok aku kayak gak nyaman gini ya." Ujarku.
"Kenapa? Tentang panggilan tadi?" Aish... Kenapa diungkit coba kan malu. duh buk....anakmu isin temen Iki.
"Iya." Aku berdehem pelan sambil mengembalikan raut wajahku.
"Maaf untuk yang tadi, emm sebenarnya gimana ya, kan dulu pas sekolah aku manggil dek gitu kan, jadi kebawa." Ucapku sambil meringis menahan malu. Lagi.
"Iya gakpapa." Jawabnya. "Mau manggil mas?" Tawarnya.
"Ha? Mas?" Duh ini memang harusnya si aku manggil gitu. Tapi...
"Keberatan?"
"Ha? Ndak kok m, mas." Eh kok aku ngerasa ada manis-manisnya gitu ya. Duh.
"Apa aku harus manggil dengan sebutan adek?" Godanya.
"Adek?" Aku mengerjap. Entah mengapa aku merasa pipiku memanas. Tenang gak akan kayak di novel-novel yang bersemu merah terus merona gitu. Kulitku cenderung gelap. Khas orang Jawa asli. Banyak yang bilang ini malah membuat aku manis. Tapi aku si ya percaya aku kan emang manis gitu.
"Iya." Jawabnya santai. Ini orang ekspresinya dikit bener ya? Walau gak datar dingin-dingin kek di novel si tapi ekspresinya tuh gimana ya, tenang gituloh anteng gitu. Kebayang? Kalo gak kebayang bayangin sendiri aja.
"Boleh si."
"Apa... Apa m- mas terpaksa nikahin aku?" Tanyaku pelan. Ini kok aku deg-degan gini ya.
Dia melihatku sejenak kemudian diam kembali.
"Jujur, dibilang terpaksa iya, dibilang menyesal mau gimana lagi kita sudah sah di mata hukum dan agama." Ujarnya panjang.
"Kenapa mas mau?" Tanyaku.
"Kenapa aku mau?" Aku mengangguk. "Akupun tidak tahu kenapa mau menggantikan saudaraku menikahimu." Dia memberi jeda sejenak. "Tapi, ketika aku melihat raut frustasi keluargaku dan kesedihan di mata kakek, aku merasa tidak tega." Jawab dia jujur.
"Mas yang nawarin atau disurih keluarga mas?"
"Aku yang menawarkan diri." Ucapnya pasti.
Aku terhenyak dengan jawabannya. Bagaimana bisa dia mempertaruhkan hidupnya begitu mudah? Bagaimana bisa dia mau menikahiku yang bahkan gak dia kenal?
"Bagaimana bisa?" Tanyaku tak mengerti.
"Karena aku yakin saat itu, itu yang terbaik."
"Tapi kan kita gak saling mengenal?" Tanyaku lagi. Aku masih gak puas dengan jawabannya.
"Apa kamu mengenal saudaraku dengan baik?" Tanyanya balik. Aku menggeleng. Karena benar aku tidak mengenal dia. Aku dijodohkan dengan orang itu karena orang tua kami saling mengenal. Aku hanya yakin kalau pilihan orang tuaku itu yang terbaik.
"Berapa kali kamu berhubungan sama dia?" Lanjutnya.
"Ehm... 3 kali kalau gak salah." Jawabku.
"Dan itu hanya membahas tentang seserahan sama mahar yang kamu inginkan kan?" Tanyanya sambil melihat manik mataku.
"Iya." Jawabku jujur karena itu benar adanya.
"Itupun aku yang menghubungimu." Jawabannya membuat aku terkejut.
Apa yang sebenarnya dipikirkan orang itu? Kalau dia gak menerima perjodohan ini harusnya dia bilang dari awal. Dia gak tau bagaimana syoknya keluargaku dan keluarganya karena keputusan kekanakan dia.
"Ada hal yang gak bisa aku jelaskan padaku dek tentang dia. Tapi yang perlu adek tahu sebelumnya dia sudah mencoba menerimamu, aku gak tau apa yang dipikirkannya. Karena dia bilang seminggu sebelum pernikahan dia ingin mencoba denganmu." Ujarnya mencoba menjelaskan tapi bagaimana bisa? Apa aku ini bahan percobaan? Apakah pernikahan menurut dia itu lelucon?
"Tapi... Bagaimana.." aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Walau aku belum mencintainya tapi aku merasa sakit. Sakit karna aku ini hanya bahan percobaan dia belaka?
Aku tergugu dengan ini semua. Bagaimana bisa orang yang aku lihat begitu menghargai wanita bisa berbuat seperti ini? Masih banyak kata bagaimana yang ada dipikiranku.
Aku merasakan tangan yang membawaku ke dada bidang seseorang. Dia memelukku menenangkan. Tanpa kata, hanya usapan pada punggung dan puncak kepalaku. Aku menumpahkan seluruh kesedihan dan rasa sakit yang aku rasakan. Aku ingat bagaimana tatapan hancur kedua orang tuaku mengetahui dia pergi. Bagaimana takutnya mereka acara pernikahan putrinya batal karena sang calon lelakinya melarikan diri.
Aku merasa lebih tenang. Tapi aku masih tetap ada dalam posisi dipelukannya.
Niko Alamsyah.
Aku bersyukur karena dia mau menggantikan saudaranya itu. Dia mau menikahiku dan keluargaku pun tak menanggung malu. Karena bisa aku bayangkan betapa malunya jika pernikahan ku ini gagal. Aku hidup di sebuah desa dan bagaimana desa dengan segala kepedulian bahkan kekepoannya dalam mengurusi dan mencemooh hidup orang.
Bahkan sehari setelah menikah sorenya aku pergi meninggalnya desaku yang selama dua puluh dua tahun belum pernah aku tinggal. Aku pergi ikut dengan dia, suamiku. Ke kota yang dulu pernah aku impikan karna ke haluskan bahasa dan juga kebaikan hati orangnya.
"Kalau adek gak siap mendung cukup ini dulu. Adek harus bisa nenangin dan mendinginkan kepala adek." Ujarnya lembut sambil menyingkirkan helaian rambut uang ada di wajahku.
Ucapannya begitu tulus. Allah... Kenapa hamba merasa dialah yang kau takdirkan untukku? Bukankah terlalu dini jika aku mulai mencintainya?
"Sudah azan, sebaiknya adek sholat dulu dan tenangin pikiran adek. Aku mau ke musolla sekitar sini." Ucapnya.
Aku melihat bajunya basah bekas air mataku. Mengerti arah pandangku dia hanya tersenyum.
"Maaf." Cicitku.
"Gapapa. Nanti adek juga yang nyuci." Ujarnya santai. Kelewat santai malah.
Aku berdehem pelan dan beringsut menjauhinya. Tapi rambutkubmalah tersangkut di cela kancing bajunya. Aku menjerit tertahan karena itu. Duh kok kayak film India ya?
Jantungku bertalu keras karena kedekatan ini. Padahal bukankah tadi aku menempel padanya. Pemikiranku kenapa rancu banget ya.
"Udah."
Eh? Aku terlalu bergelut dengan pemikiranku sampai tidak sadar rambutku sudah terlepas dari kancingnya. Aku menunduk malu.
Dia hanya tersenyum dan mengusap puncuk kepalaku. Dan bersiap turun dari ranjang. Aku bernapas lega karena dia menjauh. Tapi hal yang tak ku sangka dan ini yang kedua kalinya.
Cup
Dia mencium keningku. Keningku. Ciuman kedua yang ia berikan padaku saat yang pertama waktu sesudah akad.
Aku mematung sambil mengerjap linglung. Kenapa, kenapa sensasinya mendebarkan ini daripada kemaren?
Dia berlalu santai dan mengganti pakaiannya. Sesudah rapi dia mendekat dan tersenyum di depanku.
"Mau makan apa? Tidak ada bahan makanan di rumah." Tanyanya. Apa dia itu tidak merasa bersalah habis mencium gadis sepertiku?
"Bubur mau?" Lanjutnya. Karena aku belum merespon pertanyaan pertamanya.
"Nasi pecel aja. Aku gak suka bubur."
Jawabku seadanya. Setelah kembali dengan normal.
"Aku pergi. Jangan lupa sholat dan tutup pintunya. Assalamualaikum."
Pamitnya
"Waalaikumsalam."
Duh hati... Kenapa kamu jedag-jedug gini???