webnovel

Pre-Attack

"Mark, Song Mino memintaku untuk bergabung dengan tim khusus dalam misimu ke Rusia sebagai ME sekalius psikiater untuk wanita yang menjadi targetmu itu. Aku sudah mengkonfirmasinya. Kau dimana?"

Mark terkejut dengan penuturan Wendy. Bukan perihal Wendy yang memang ideal untuk bergabung dalam misi ini, karena selain tersertifikasi sebagai ME, Wendy juga pernah menjalani pelatihan militer khusus, psikologi forensik, dan kriminologi. Satu-satunya faktor yang membuat Mark tidak siap adalah, dia adalah Wendy, that someone significant.

"Aku tidak mengizinkanmu, Kau bisa mengubah konfirmasimu kepada Mino saat ini juga." jawab Mark tegas.

"Kenapa? Kau meragukan kemampuanku?"

Mark menghela nafas panjang. Bisa-bisanya wanita itu berkata demikian. Sejak kapan Mark meragukan skill Wendy yang berada diatas wanita pada umumnya? Bahkan Mark pernah mengatakan bahwa Wendy adalah pria, bukan wanita dengan skill nya itu. Pikirkan saja, wanita awam mana yang bisa menjadi sniper dan dokter sekaligus?

"Berhenti berpura-pura tidak tahu dan menanyakan alasanku Wen! Aku tidak pernah menempatkanmu sebagai rekan kerja, dan Kau tidak akan pernah terlibat dalam pekerjaan berbahaya yang Aku pimpin. Pahami itu!"

"Tapi Mark Kau—"

Mark memutus sambungan teleponnya dengan Wendy.

"Doyoung, hubungi dokter Lee untuk menjadi ME sekaligus dokter dalam tim ini. Kita memerlukannya. Juga psikiater, Aku khawatir wanita itu sulit memberikan kesaksian karena depresi akibat kondisinya yang seolah terancam." ujar Mark panjang lebar.

"Psikiater itu harus paham bahasa Rusia. Apakah dokter Lee itu dokter militer? Atau dokter independen?" tanya Jackson. Mark dan ketiga rekannya yang lain diam sejenak, dan mengakui ketelitian pria bedarah Korea-Hongkong itu.

"Dokter Lee adalah dokter independen. Aku yakin dia tidak memiliki kemampuan itu." jawab Jaehyun.

"Aku rasa Wendy lebih tepat mengisi posisi itu." ujar Doyoung. Mark menghela nafas.

"Carikan dokter lain selain Wendy. Aku rasa dokter Henry bisa, dia adalah dokter militer."

"Dia bukan psikiater. Mana yang lebih kita butuhkan? Peran dokter atau psikiater? Libatkan pihak netral yang bisa memegang multiperan." titah Jackson membuat Mark frustasi.

Incheon International Airport

Shelter Bus Terminal A3

07.20 KST

Dua orang berpakaian kemeja satin berwarna peach baru saja turun dari bus di tengah hujan rintik-rintik di bandara saat itu. Penampilan keduanya begitu mencolok dan menyita perhatian karena menggunakan couple item khas pasangan kasmaran yang akan berlibur berdua. Ya, mereka adalah Mark dan Wendy. Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang, Mark pasrah dengan Wendy yang terus memaksa untuk bergabung dalam tim khusus. Bukan tanpa alasan, Mark tidak berhasil menemukan orang lain yang bisa bergabung dalam waktu dekat dan multikompetensi seperti yang dibutuhkannya dalam tim.

Namun tetap saja, Mark sejujurnya masih jengkel dengan sifat keras kepala wanita yang tengah berdiri disampingnya itu. Ditambah lagi pakaiannya hari ini. Astaga, Mark sangat membenci penampilannya. Jika bukan karena Wendy mengatakan fashion mereka itu untuk mencegah kecurigaan dan mengelabui psikologis orang yang kemungkinan menjadi mata-mata, Mark mana sudi memakai pakaian selain warna hitam, abu-abu, dan navy.

Ponsel Mark berdering, tanda panggilan masuk. Rupanya dari Doyoung. Mark segera menekan handsfree nya.

"Ada apa Doyoung?"

"Kak, penerbanganmu pukul 08.00 di terminal A3. Apa Kau sudah sampai?"

"Ya. Aku dan Wendy sudah sampai. Bagaimana dengan Jaehyun Yugie dan Jackson?"

"Jaehyun dan Yugie akan berangkat pukul 10.00 dari terminal F2, sedangkan Jackson sudah berangkat tadi pukul 05.30 dari terminal G1." jelas Doyoung.

"Apa ada yang mencurigakan?"

"Sejauh ini belum. Tetap waspada. Aku dan Felix terus memantau pergerakan kalian dan orang asing di sekitar kalian. Jangan sampai kamera tersembunyi, smart glasses, dan sistem penyadap suara kalian nonaktif. Itu akan menyulitkan kami."

"Baiklah. Terimakasih."

"Ayo." ujar Mark sembari berjalan mendahului Wendy. Wendy memutar matanya, paham bahwa Mark masih marah padanya.

On the Plane

Dua Jam Setelah Penerbangan

Mark dan Wendy duduk di kelas eksekutif pesawat yang mereka tumpangi. Selama dua jam penerbangan, Mark tenggelam dengan buku bacaannya, sembari sesekali membuka iPadnya, menuangkan isi pikirannya terkait opsi strategi yang akan mereka gunakan berdasarkan kemungkinan kesaksian wanita yang mengaku sebagai istri Eric Sohn itu.

Sementara itu, Wendy disampingnya tengah asik dengan katalog produk dan majalah fashion yang ditawarkan maskapai sembari menguyah beberapa snack dan buah yang diberikan pramugari tadi. Mark terkekeh geli melihat sisi wanita Wendy yang ditunjukannya saat ini.

"Aku akan ke toilet sebentar." ujar Mark kemudian. Wendy hanya mengangguk.

Mark kemudian berjalan ke arah belakang tempat mereka duduk. Tampak seorang pramugara berseragam maskapai berjalan mengikuti Mark. Mungkin hendak menunjukan toilet.

Sementara itu, Mark telah sampai di depan pintu toilet khusus pria yang relatif lebih luas dibanding maskapai pada umumnya. Baru saja Mark hendak membuka pintu toilet itu, Mark merasakan sesuatu yang keras menyentuh kepalanya. Mark sadar benda apa itu, lalu mengangkat kedua tangannya sembilan puluh derajat.

"Who are you? What do you want from me?" tanya Mark dengan nada dingin tanpa menoleh kebelakang dan melihat penodong pistol itu.

"Just shut up your mouth if you want to stay alive!" jawab seseorang itu. Dari suaranya, Mark yakin Ia adalah seorang pria rusia. Ditambah lagi, saat ini Ia menumpang maskapai Rusia.

"Watch your step and follow me!" Pria itu mendorong Mark masuk menuju toilet dihadapannya. Mark terkesiap. Pertama, Ia menuruti kemauan pria itu untuk berjalan satu langkah menuju toilet. Namun di langkah kedua, Mark berbalik. Ia segera menarik lengan pria itu yang memegang pistol, lalu membantingnya. Mark berniat mengambil pistol yang terjatuh beberapa sentimeter dihadapannya, namun jarak pria itu dengan pistolnya lebih dekat.

DOR!

Pria itu lebih dulu mengambil pistol dan menembakannya ke arah Mark hingga tepat menemui lengan kiri atasnya.

"Arrgh! Shit! Who are you!" teriak Mark kesakitan.

Suasana di kabin penumpang sudah mulai riuh, bahkan terdengar suara teriakan. Beberapa kru pesawat sudah memukul-mukul bahkan mencoba mendobrak pintu kaca yang menjadi penyekat antara toilet pria, area jalan, dan toilet wanita di sebrangnya.

Mark tidak menyerah, Ia meraih kerah baju pria itu dan membantingnya ke dinding toilet.

BUGH!

Sebuah pukulan dari tangan kanan Mark mendarat mulus di wajah pria itu hingga hidungnya mengeluarkan darah. Mark kemudian memeriksa saku celana dan kemeja pria itu, berniat mencari tanda pengenal.

BUGH!

Belum sempat Mark menemukan identitas, pria itu sudah memukul Mark, menarik kerah bajunya, dan menghempaskannya ke dinding. Mark tidak tinggal diam, dengan sisa tenaganya, Ia menarik kepala pria itu dan menghempaskannya ke lantai toilet hingga pria itu tidak bisa berdiri. Diraihnya pistol dari tangan kanan pria itu, lalu Mark menodongkannya tepat dihadapan wajah pria itu yang sudah tersungkur pasrah.

"Who are you? Who's sent you?"

Pria itu tidak menjawab. Mark semakin emosi sembari memegangi lengan kiri atasnya yang terluka parah dan terus mengeluarkan darah.

BRAKK!

Pintu sekat kaca itu berhasil terbuka setelah seseorang mendobraknya. Itu Wendy, dengan peluh di pelipisnya, dan pisau di tangannya. Ia menghampiri Mark dengan nafas tersenggal-senggal.

"Ada apa ini? Kenapa Kau membuat keributan?"

Mark tidak menjawab, Ia masih mengatur nafasnya. Sedetik kemudian, Ia terjatuh.

"Mark! Kau—" Wendy seketika berteriak melihat Mark yang ambruk dengan luka tembak di lengan kiri atasnya.

Wendy mencoba tenang, dan melihat situasi di sekelilingnya. Dihadapannya terkapar pria berseragam pramugara yang sempat Ia lihat berjalan mengikuti Mark tadi. Ia tidak sadarkan diri. Semenit kemudian, Wendy menyimpulkan bahwa pria pramugara itu membuntuti mereka dan mencoba mencelakakan Mark.

"Where are we?" tanya Wendy pada seorang kru maskapai yang tengah membalut luka Mark seadanya dengan perban.

"Probably in Mongolia."

"Do you have surgery room?"

"Unfortunately, No."

"THEN WHAT YOU WAITING FOR? CALL FOR EMERGENCY LANDING! RIGHT NOW!" teriak Wendy di hadapan para kru maskapai yang masih terlihat shock.

"Okay Miss, we already—"

"Please wait, we will have emergency landing in 30 minutes" ujar seorang pramugara dari balik pintu.

"HE IS DYING AND WHAT THE HELL IS 30 MINUTES?"

"Please be patient. The traffic is too tight for us to take a landing in Mongol airport."

Wendy menghela nafas panjang. Tangan kanannya masih menangkup kepala Mark yang tidak sadarkan diri agar tidak menyentuh lantai. Sementara itu tangan kirinya menekan luka tembak di lengan Mark agar berhenti mengeluarkan darah lebih banyak.

"Make sure that guy is alive, don't let him go after medication!" ujar Wendy menunjuk pria berseragam pramugara itu.

"Who is—"

"Don't ask me why, who, and how. Just do what I said!"

"Miss, what is his blood type?" tanya seorang pramugari dari balik pintu, sepertinya mereka tengah berkomunikasi dengan rumah sakit terdekat dari bandara tempat emergency landing.

"AB+"

Ulan Bataar National Hospital

10.30 Mongolia Time

Ambulance yang membawa Mark baru saja tiba di depan UGD Ulan Bataar National Hospital. Wendy segera melompat turun, kedua tangannya kemudian mendorong brangkar yang Mark tempati bersama petugas medis lain.

"Please stay alive! How dare you fell asleep in this kind of situatin, Mark Tuan!" Wendy berteriak persis disamping telinga Mark, berharap pria itu tetap dalam kesadarannya.

Mereka akhirnya tiba di ruang operasi. Seorang petugas medis kemudian meminta Wendy untuk menunggu di luar ruangan. Wendy hanya duduk dan berdoa dengan pasrah.

Wendy kemudian membuka tasnya. Ia tidak gegabah dan panik selama pendaratan darurat tadi. Ia masih sempat membawa bawaannya dan juga Mark yang tidak banyak. Mereka bahkan tidak membawa koper. Ia kemudian memasang handsfree milik Mark, dan segera mengaktifkan ponselnya untuk menghubungi Doyoung.

"Halo Kak, apakah kalian sudah sampai? Bukankah harusnya empat jam lagi?" tanya Doyoung di seberang sana. Wendy menetralkan deru nafasnya yang masih terasa panas dan tidak teratur setelah berlarian tadi.

"Ada apa Kak? Tolong jawab!"

"M-Mark, dia tertembak. Seseorang mengikuti kami sebagai pramugara maskapai."

"What the hell! Lalu dimana kalian sekarang? Bagaimana kondisinya? Apa Kau baik-baik saja?" tanya Doyoung bertubi-tubi.

"Kami di Ulan Bator, Mongolia. Mark sedang dioperasi." jawab Wendy dengan nada frustasi.

"Terus update perkembangan kalian. Kami akan menghubungi pihak-pihak yang dapat membantu disana. Jackson sudah tiba di Rusia."

"Baiklah. Aku akan berjaga-jaga."

Tiga jam kemudian, lampu tanda operasi berlangsung dipadamkan. Wendy terkesiap dan segera berdiri. Tak lama kemudian, pintu operasi dibuka, menampakkan Mark diatas brangkar dengan kondisi masih tak sadarkan diri.

"The surgery went well, and the patient will be moved to regular room. Please wait untill next three hour." ujar dokter yang memimpin operasi Mark. Wendy tidak menjawab, Ia hanya mengangguk saking lelahnya.

Ulan Bataar National Hospital

Ruang Rawat Inap

14.30 Mongolia Time

Sudah lebih dari tiga jam semenjak operasi selesai, namun Mark belum juga sadar dari tidurnya. Wendy sedari tadi tidak bisa diam. Entah sudah berapa kali Ia bulak-balik menuju tempat administrasi karena harus mengkonfirmasi identitas mereka, belum lagi interogasi pihak kepolisian hingga militer yang juga masih mengawasi mereka.

Ponsel Wendy berdering, panggilan dari Doyoung

"Ya, halo?"

"Bagaimana kondisi Kak Mark? Apa dia sudah sadar?"

"Belum."

"Astaga. Lama sekali efek anestesinya."

"Entahlah."

"Seorang polisi kenalan Jackson akan membantu kalian disana. Dia sedang dalam perjalanan. Polisi itu bernama Lucas. Kalian bisa mengandalkannya."

"Kau sangat lelah, cobalah istirahat sebentar. Atau—"

"Aku tutup teleponnya. Mark sudah sadar!"

Wendy segera menutup panggilan suaranya dengan Doyoung dan berhambur ke arah Mark yang baru saja membuka matanya. Ia segera memeriksa denyut jantung hingga respon mata pria dihadapannya.

"Apa yang Kau rasakan?"

"Emm, Aku bingung. Apa yang terjadi?" tanya Mark dengan suaranya yang tedengar parau.

"Kau baru saja dioperasi. Luka tembakmu cukup parah." jawab Wendy.

"Oh, benarkah. Dimana pria pramugara itu?"

Wendy memutar matanya malas, lalu menghela nafas panjang.

"Berhenti berpikir. Pria itu ada di rumah sakit ini, dalam pengawasan kepolisian."

"Excuse me, are you Mark and Wendy? Jackson Wang sent me here to help you. I'm Lucas. Head of district."

Próximo capítulo