"Dasar orang gila. Bisanya cuma bikin masalah aja," teriak perempuan bernama Dewi.
"Ingat ya, kamu itu cuma pendatang disini. Jadi jangan bikin masalah. Atau kami akan usir kamu. Dasar orang gila," Indah menimpali.
"Apa, apa. Mau apa kamu? Kalian yang gila." Helen tidak mau kalah. Dia terus saja menyahuti.
"Awas kamu ya."
Dewi dan Indah maju menyerang Helen dengan terus berusaha menjambak rambutnya tapi dihalangi oleh Hulya.
Kejadian tak terduga terjadi pada saat pukul 16.16 ketika Helen membuang kantong keresek yang berisi sampah kering ke tempat sampah. Dengan hanya membuka jendela kamar lalu melemparkannya begitu saja ke bak sampah yang ada di pinggir jalan. Tapi ternyata tidak sampai. Dan kebetulan ada Dewi dan Indah lewat berjalan kaki. Mereka baru saja pulang dari pasar membawa tomat dan beberapa sayuran lain. Mereka juga tinggal tak jauh dari kontrakan Helen.
Tidak terima dengan ulah Helen, Dewi dan Indah berinisiatif membalas dengan melempari jendela kaca Helen dengan tomat. Helen marah dan mengambil air bekas cucian lalu menyiramkannya ke badan Dewi dan Indah. Dan pertengkaran khas ibu-ibu pun tidak dapat dihindari lagi. Dewi dan Indah langsung menyerang Helen. Saling jambak satu sama lain.
Hanya Hulya yang berusaha melerai pertengkaran itu. Sementara tetangga yang lain hanya menonton sambil bisik-bisik. Tak lama setelah itu ketua RT datang dan membawa mereka berempat ke rumahnya untuk dimintai keterangan.
Saat ada di rumah pak RT pun mereka bertiga masih terus berdebat. Beruntung Hulya terus ada di samping Helen. Menggandeng lengan Helen. Menjaga agar jambak-menjambak tidak terulang lagi.
"Dia yang mulai duluan pak RT," ucap Dewi.
"Dia yang mulai duluan." Helen tak mau kalah.
"Pak RT, kita udah di siram pake air kotor sama perempuan gila ini. Jelas-jelas dia yang mulai duluan."
Jasmine baru datang 5 menit setelah mereka semua ada di rumah Pak RT. Masalah clear setelah Jasmine meminta maaf atas nama Mamanya. Dan dia juga minta agar tetangganya itu kali ini memaklumi kelakuan Helen. Memang, sejak kepindahannya tahun lalu ke kontrakan itu, Helen sering kali membuat ulah dengan menjahili tetangganya yang lewat di samping rumahnya.
"Ok, Ma. Sekarang kita pulang ya."
Jasmine beranjak dari tempat duduknya, diikuti Helen dan Hulya.
"Lain kali jaga Mama mu itu dengan baik. Jangan sampe dia bikin kacau lagi," ucap Dewi sebelum pergi.
Indah mengangguk setuju.
"Eh.. Kamu yang mulai duluan."
"Mama..."
"Ingat ya. Aku nggak akan biarin kamu lewat samping rumahku lagi."
"Mama, stop. Please."
"Heh, situ pikir jalanan punya situ?"
Helen tiba-tiba maju, tangannya sudah siap menyerang Dewi dan Indah. Lagi. Tapi Jasmine dan Hulya berhasil mencegahnya.
"Tante Dewi, Tante Indah, please stop, tante. Sekali lagi aku minta maaf atas nama Mama. Permisi."
***
"Maaf mas, ada kartu lain? Ini nggak bisa."
Gino mengambil kartunya dan mengganti dengan kartu lain.
"Maaf, mas. Yang ini juga nggak bisa."
Dia ambil lagi dan menggantinya lagi dengan kartu lain.
"Tetep nggak bisa mas."
"Rusak kali mbak."
"Bisa bayar pake uang tunai mas kalau mau."
Tatapan tajam Gino mulai keluar. Dia mengambil sisa uang di dompetnya dan menyerahkan semua uangnya itu ke Devi. Penjaga kasir yang menggantikan Jasmine.
"Maaf, mas. Tapi ini terlalu banyak." Devi mengembalikan sisa uang 400 ribu milik Gino.
"Udah. Buat lo aja. Bagi-bagi tuh sama temen-temen lo."
"Tapi mas..."
"Udah, gue buru-buru."
Papa.
Iya. Ini pasti ulah Wilan. Memangnya siapa lagi yang bisa membekukan semua ATM Gino selain Wilan. Papanya sendiri. Tidak tahu maksud dan tujuannya apa. Yang jelas karena hal itu, amarah Gino terpancing.
Begitu sampai di parkiran, melihat ada batu bata diatas mobilnya, amarahnya bertambah. Dia langsung mengambil batu bata itu dan membantingnya sampai hancur.
"Dasar cewek sialan!"
Uang diatas mobil Ferrari hitam itu berhamburan terbawa angin. Tidak peduli lagi, Gino pergi dan memacu mobilnya dengan kencang. Amarahnya sudah di ubun-ubun. Papanya sendiri yang memancing peperangan. Dia berniat untuk menemui Wilan dan meminta agar semua ATM nya di kembalikan seperti sedia kala.
Tapi, pasti Wilan punya tujuan yang baik. Pasti Wilan ingin mengajarkan sesuatu kepada Putranya itu. Lagi pula, bukankah setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya? Hanya saja memang ada beberapa orang tua yang terkesan menuntut agar anaknya berjalan sesuai dengan keinginannya. Dengan dalih sebagai orang tua, merasa paling tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Itulah yang Gino rasakan. Padahal Gino, sangat tidak suka kalau dia berjalan di bawah tuntutan orang. Sekalipun itu Papanya sendiri. Semakin dia di paksa, dia akan semakin menentang.
Beberapa kejadian di masa lalu, membuatnya tumbuh menjadi laki-laki yang sulit mengontrol emosi. Dia akan marah ketika apa yang terjadi tidak sesuai dengan keinginannya. Dia lupa dengan konsep Tuhan penentu rencana terbaik. Manusia punya mau tapi Tuhan yang punya bisa.
Tidak ada yang salah. Apa yang ada di dalam diri Gino saat ini adalah imbas dari banyaknya luka di masa lalu. Rasa kecewanya, sakit hatinya, amarahnya yang tertahan, itu semua berdiam diri di dalam hatinya terlalu lama. Seiiring berjalannya waktu, saat dia merasa sudah memiliki kekuatan untuk melawan dan menentang apa yang terjadi. Dia keluarkan semua yang membuat sesak di dadanya. Meski tanpa dia sadari, sikapnya itu sering melukai hati orang lain.
Tidak mudah. Memaksakan diri untuk hidup berdampingan dengan luka. Karena luka yang diterima Gino semasa kecil, berasal dari fondasi terkuat dalam dirinya. Seperti sebilah mata pisau. Dalam satu waktu, luka itu bisa sangat menguatkannya, tetapi di waktu yang lain, luka itu bisa juga menghancurkannya.
Gino yang selalu di cap kejam dan arogan, bukanlah setan. Dia tetap manusia. Manusia yang sebenarnya berada dalam keadaan tidak baik-baik saja. Dia tetap manusia, yang hatinya dihuni segala bentuk keburukan.