webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Adolescente
Classificações insuficientes
30 Chs

Chapter 3 - Hopeless

Sudah pukul 16.30, Arin duduk di bangku kafe dekat jendela. Pelayan menghampirinya menawarkan pesanan karena sejak datang ke sini ia sama sekali belum menyentuh daftar menu. Arin menggeleng, ia bilang ingin menunggu temannya dulu. Pelayan itu pun mengangguk mengerti, lalu berpindah ke meja lain melayani pelanggan yang hendak memesan. Sudah 30 menit menunggu, tetapi Farel belum datang juga. Di tengah lamunannya, tiba-tiba Farel datang membuatnya sedikit tersentak.

"Hei, maaf ya telat. Tadi ada urusan sebentar." Lalu ia duduk di bangku yang berhadapan dengan Arin.

"Iya nggak apa, kok. Kalau lo lagi sibuk mending nanti aja belajarnya, gue jadi nggak enak sama lo." Arin menghela napas.

"Sekarang aja, udah beres kok urusannya. Lagian harusnya gue yang ngomong gitu ke lo, maaf ya udah bikin lo nunggu." Menatap Arin, merasa bersalah.

Arin sama sekali tidak keberatan menunggunya. Bayangkan, dari kelas X hingga kini ia masih saja menggantungkan harapan pada Farel. Cowok yang tidak pernah peka pada perasaannya. Bodoh! Iya memang, tapi siapa yang bisa mengatur bagaimana keinginan hati.

Farel memanggil pelayan, lalu mereka pun memesan beberapa dessert saja. Sambil menunggu pesanan datang, ia menyuruh Arin membuka buku Fisika. Arin pun menurut. Farel menjelaskan contoh soal beserta cara penyelesaiannya, Arin mengangguk tanda mengerti. Lalu pelayan datang membawa pesanannya. Mereka pun memakan dessert yang ada di meja.

Setelah itu Farel memberi beberapa soal. Arin mengisi dengan teliti, tak lama ia telah selesai mengerjakan soal-soal tersebut. Menyodorkan bukunya pada Farel. Semuanya jawabannya benar. Farel memberikan dua jempol untuk Arin.

Tak heran, Arin memang pintar. Ia adalah bintang pelajar di sekolahnya. Ia sering ditunjuk pihak sekolah untuk mengikuti Olimpiade Sains dan sebagainya. Biasanya Farel menjadi partner-nya dalam mengikuti perlombaan itu. Farel juga merupakan salah satu murid yang berprestasi juga. Kepintarannya membuat Arin dikenal oleh seluruh warga sekolah. Selain itu, ia juga baik dan cantik sehingga banyak orang yang ingin berteman dengannya, tapi sahabat terbaiknya adalah Tiara. Banyak cowok yang ingin menjadi pacarnya tapi hanya Farel yang mengisi hatinya, sayangnya Farel tidak membalas perasaannya atau mungkin tidak tahu bagaimana perasaan Arin padanya. Arin sendiri tidak tahu bagaimana perasaan Farel yang sebenarnya.

"Balik, yuk! Lo juga udah ngerti, kan?"

"Iya, bentar. Gue mau minta jemput nyokap dulu." Arin mengambil ponselnya di meja.

"Lo balik bareng gue aja."

"Nggak ngerepotin nih? Rumah kita kan beda arah."

"Iya nggak apa. Kita kan temen, santai aja kali." Farel tersenyum, senyum yang selalu disukai Arin.

Namun Arin kecewa, ternyata Farel hanya menganggapnya sebagai teman. Memang apa lagi? Mungkin Arin yang terlalu berharap. Mereka memasuki mobil, saat dalam perjalanan ponsel Farel berdering. Ia mengangkatnya sambil tangan tetap pada stir mobil. Arin menguping pembicaraannya, tetapi tidak terdengar terlalu jelas. Farel meletakkan kembali ponselnya.

"Rel, tadi itu siapa yang nelepon?" tanya Arin sedikit penasaran.

"Itu pacar gue," jawab Farel santai.

Arin menelan ludahnya, dadanya terasa sesak. Ia semakin menyadari kebodohannya, setahun lebih mengharapkan cowok yang ternyata sudah punya pacar. Farel kembali fokus menyetir mobilnya, terlihat seorang cewek berkali-kali melihat jam tangannya. Mobil Farel mendekati cewek itu. Ia keluar dari mobil. Cewek itu tampak marah-marah sambil berkacak pinggang, tapi Farel berusaha menenangkannya.

Arin yang berada di dalam mobil hanya bisa mendengar pertengkaran mereka. Ia sangat penasaran dengan cewek itu. Arin pun menurunkan kaca mobil dan betapa terkejutnya. Cindy? Jadi ia pacarnya Farel.

Cindy adalah musuh Arin sedari SMP, bahkan sampai sekarang pun masih bermusuhan. Mereka sering bertengkar karena hal-hal kecil, saling bersaing dalam segala hal. Tapi Cindy tak pernah bisa mengalahkannya dalam bidang akademik, ia lebih suka memperhatikan penampilan dibandingkan nilai pelajarannya. Sebetulnya Arin tidak terlalu peduli, selama ini Cindy yang selalu mencari gara-gara. Ia sudah mencoba bersikap baik padanya, tetapi Cindy terus mengibarkan bendera perang. Mau tidak mau Arin harus mengikuti permainannya.

Cindy sempat melirik Arin, lalu ia kembali melanjutkan pertengkarannya dengan Farel.

"Kok kamu bisa bareng sama Arin, sih?"

"Tadi aku abis belajar bareng sama dia," jawab Farel jujur.

"Terus kenapa kamu pake anterin dia segala?"

"Kasian kalau dia harus nunggu jemputan, pasti nunggunya lama."

"Tapi kan rumah kamu sama dia beda arah, kok kamu mau-maunya sih nganterin dia!" Cindy tetap tidak terima berbagai alasan yang diberikan pacarnya.

"Udah deh, aku cape kalau berantem terus sama kamu. Kamu mau pulang nggak, sih?" Farel kesal.

"Terus aku harus duduk di belakang gitu?"

Farel menghela napas panjang, mengacak rambutnya frustasi. Arin yang merasa tidak enak langsung keluar dari mobil, berpindah ke belakang. Cindy melirik sinis lalu tersenyum miring.

Sepanjang perjalanan Cindy terus bersikap manja pada Farel, tampaknya ia memang sengaja untuk membuatnya cemburu. Cindy tahu perasaannya pada Farel, tersenyum penuh kemenangan melihat Arin tertunduk lesu. Akhirnya bisa mengalahkan Arin.

"Rin, udah nyampe nih," kata Farel.

"Oh iya, makasih ya." Arin membuka pintu mobil.

"Iya, sama-sama."

Mobil Farel semakin menjauh sampai tak terlihat. Perasaannya bercampur antara sedih, kecewa, kesal, dan putus asa. Ia menyerah, ia kalah. Arin memasuki rumahnya dengan tak bersemangat dan disambut oleh mamanya.

"Eh, anak Mama udah pulang. Kok mukanya ditekuk gitu sih, kenapa sayang?" tanya mamanya khawatir.

"Nggak kenapa-napa, Ma. Arin cuma cape aja."

"Kalau gitu kamu mandi, ya! Mama siapin air hangat. Abis mandi langsung makan, terus istirahat." Mama mengelus rambut Arin.

Arin langsung masuk ke kamar, menangis sejadi-jadinya. Tidak menghiraukan ketukan pintu kamarnya, Mama menyuruhnya makan. Apa yang sudah ia perjuangkan dan pertahankan semuanya hancur, sudah selesai. Ia tertidur karena menangis kelelahan.