webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Adolescente
Classificações insuficientes
30 Chs

Chapter 24 - Stone Heart

"Kakak, kemarin Putri ngamen terus dikasih uang yang banyak sama kakak cowok, terus uangnya Putri pake buat beli senar gitar yang udah mau putus. Sekarang gitar Putri udah dikasih senar yang baru."

Kini Arin mengingat apa yang Putri ucapkan beberapa tahun silam. Ternyata orang yang gadis kecil maksud itu adalah Brian, cowok yang selama ini ia anggap berperangai buruk. Sekali lagi ia harus mengingatkan dirinya untuk melihat seseorang dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sisi gelapnya saja. Namun, apakah dengan mengetahui semua kebaikan cowok itu bisa membuka hatinya? Rasanya ia belum siap untuk jatuh cinta lagi. Tidak mau merasakan sakitnya kehilangan, dengan jatuh cinta berarti juga siap untuk kehilangan. Kebahagiaan tak pernah berlangsung lama. Setiap orang bertemu untuk ditakdirkan berpisah. Kelahiran dan kematian itu sedekat urat nadi, dua hal itu terus terjadi dalam satu siklus, berulang-ulang di seluruh dunia.

Dan bagian terberat setelah perpisahan adalah melupakan. Hal yang sangat sulit baginya, lalu sepi datang menyiksanya. Ia bukan orang yang tangguh, kehilangan baginya adalah bencana dan ia tidak bisa menguatkan dirinya sendiri. Lemah, ia bahkan mengejek dirinya sendiri, menangisi dirinya sendiri.

Tiba-tiba Bu Sri menghampirinya. Ia langsung mengubah raut wajahnya menjadi lebih ceria, menutupi segala kesedihannya. Meskipun ia lemah, tapi ia tidak mau terlihat lemah di depan orang lain. Bu Sri menatapnya cemas, hal yang sangat ia benci menjadi bahan simpati orang lain.

"Ada masalah apa? Daritadi Ibu perhatikan Arin tampak murung." Arin tersenyum dipaksakan, menggeleng. "Jangan sungkan-sungkan, Ibu siap mendengarkan. Kadang orang yang sedih hanya butuh didengarkan keluh kesahnya."

Ia menghela napas, "Ibu kenal baik sama Brian? Dia sering ke sini kan?"

"Iya, dia adalah donatur tetap panti asuhan ini. Dia juga sering berkunjung ke sini kalau sedang tidak sibuk."

"Dia itu temen SMA Arin, kakak kelas." Bu Sri mengangguk-angguk, "dia ternyata udah lama suka sama Arin. Dan kemarin melamar Arin, Bu."

Lalu ceritanya mengalir, membuat dadanya terasa sesak. Entah kenapa terasa ada beban berat mengetahui ada seseorang yang begitu mencintainya, tetapi ia terlalu takut untuk membalasnya. Ini bukan kesalahan Brian, tetapi masalahnya ada di dalam dirinya sendiri. Bu Sri paham dengan perasaannya, menyuruhnya menenangkan diri dan menjernihkan pikiran. Kemudian ia memeluk Bu Sri sambil menahan tangisnya. Setelah itu Bu Sri memberinya teh hijau untuk membuatnya merasa lebih rileks. Ia pun meminumnya.

"Makasih, Bu." Bu Sri tersenyum, lalu pamit pergi ke dapur.

Setelah tehnya habis ia menaruh cangkirnya di dapur, lalu bertemu dengan Bagas yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat anak itu mengingatkannya pada Renald, ada sesuatu milik Renald dalam diri Bagas. Anak itu bernapas untuk Renald, seolah memberi nyawa. Menghidupkan kembali sosok Renald dalam diri anak itu. Kemudian Bagas menarik tangannya ingin menunjukkan sesuatu. Ternyata Bagas menggambar dirinya, gambar buatannya bagus dan rapi. Persis seperti buatan Renald.

"Bagas kangen Kak Renald." Bagas tertunduk.

"Kakak juga kangen dia." Arin tersenyum getir.

Tiara dan Andi sudah mengajak anak-anak panti mengunjungi pusara Renald seminggu yang lalu. Ia pun ingin mengunjungi pusara Renald lagi, hari-hari ini begitu berat baginya. Mungkin dengan mengelus batu nisan Renald bisa memulihkan perasaannya yang sudah tidak karuan. Ia pamit pada Bu Sri yang sedang memasak di dapur dan langsung melajukan mobilnya menuju TPU. Sampai di sana ia melihat seseorang yang ingin ia hindari, langkahnya terhenti dan langsung berbalik arah. Mengurungkan niatnya, lebih baik ia ke sini lagi besok atau lusa.

Brian selesai berdoa, lalu menaburkan bunga di pusara Renald. Ia bangkit, lalu melihat sosok yang tentu bisa ia kenali walau sedang membelakanginya. Arin, tampaknya cewek itu tidak jadi berziarah karena melihatnya ada di sini. Mobilnya melaju dengan cepat, tapi tidak sampai sepuluh meter mobilnya tiba-tiba berhenti. Brian langsung masuk ke dalam mobilnya untuk menyusul Arin. Cewek itu pasti membutuhkan bantuan, tapi tempat ini begitu sepi.

"Perlu bantuan?" Ia menghampiri Arin setelah menghentikan mobilnya di bahu jalan.

Arin menengok, tampak kaget. "Eh, iya Kak, anu... Bocor Kak, maksudnya ban bocor."

Ia mengecek ban mobil Arin, ternyata terkena paku. Ia meminta dongkrak, lalu Arin mengambilnya di bagasi. Ia berusaha memperbaiki tetapi ini di luar kemampuannya, harus memanggil pihak bengkel dengan peralatan yang lebih lengkap. Ia menelepon orang bengkel langganannya, menyuruh Arin untuk menunggu. Cewek itu pun duduk di trotoar. Kemungkinan orang bengkel akan lama untuk sampai ke sini karena jaraknya cukup jauh, ia pun memutuskan duduk di samping Arin untuk menemaninya. Tapi tampaknya Arin jadi salah tingkah, berusaha menghindar tapi kini malah terjebak bersamanya.

"Renald memang pantes dapetin hati kamu." Ia berusaha mencairkan suasana, tapi malah membuat keadaan semakin canggung. Kini Arin tersenyum getir. "Maaf." Brian hanya bisa mengatakan itu, merutuki dirinya sendiri karena membuat Arin sedih.

"Dua orang dipertemukan cuma buat berpisah pada akhirnya. Good things never last." Tatapan Arin kosong.

"Melupakan memang sebuah penderitaan. Tapi menjadi lupa adalah sebuah kebahagiaan." Ia berusaha menghibur cewek bermata coklat itu.

Arin menatapnya. Entah apa yang baru saja ia katakan, terlontar begitu saja. Andai melupakan semudah itu, ia tidak mungkin berada di sini mengharapkan cewek yang jelas-jelas tidak menginginkannya. Ia menatap manik mata Arin, tersenyum aneh karena terlalu gugup. Tapi Arin malah menangis, apakah senyumnya semenyeramkan itu? Lama-lama tangis cewek itu makin kencang hingga tersedu-sedu, ia panik takut menimbulkan kesalahpahaman, dikira orang jahat membuat cewek menangis. Brian menepuk-nepuk bahu Arin berusaha menenangkannya, tapi tangisnya tak kunjung berhenti. Brian memberanikan diri menariknya ke dalam pelukan, membiarkannya menangis di dadanya. Bajunya basah oleh air mata Arin.

Kini cewek itu membalas pelukannya, semakin lama semakin erat. Ia berusaha mengatur napas dan detak jantungnya yang sudah tidak terkendali, mungkin Arin bisa merasakan debaran jantungnya yang begitu cepat. Seiring tangisnya yang memelan, Arin mulai mengendurkan pelukannya. Kemudian benar-benar melepaskan pelukannya. Arin menghapus air matanya, mengembuskan napas untuk menghentikan isakannya.

"Gue pengen bisa ngelupain buat mengakhiri penderitaan ini, Kak."

Brian bangkit, menuju mobilnya dan mengambil sesuatu. Lalu memberi sebungkus roti untuk Arin. Cewek itu bingung meskipun tetap menerima pemberiannya.

"You need a lot of energy after crying."

Arin menatap Brian penuh makna. Déjà vu. Saat itu Arin berada di Jhon F. Kennedy Park, Cambridge. Terdapat air mancur granit di tengah dan pilar-pilar pintu masuk ditulis dengan kutipan kenangan dari pidato Presiden Kennedy. Greenspace dan jalur yang brilian dalam kesederhanaannya. Lanskap sangat halus, ada banyak bangku di sepanjang jalan setapak, ia duduk di salah satunya. Bunga bermekaran, tetapi hatinya murung. Ia merindukan Renald bersamaan dengan perasaan bersalah yang terus menghantuinya. Menangis tersedu-sedu, tidak memedulikan orang-orang yang menatapnya keheranan. Lalu ada anak kecil menepuk-nepuk bahunya, memberinya hot dog dan sebuah kertas bertuliskan you need a lot of energy after crying. Ia heran, tapi perutnya tidak bisa menolak hot dog yang dipegangnya. Ia pun memakannya dengan lahap.

Tak lama setelah makanannya habis, ada sebuah pesawat kertas terbang ke arahnya. Ia mengambilnya, lagi-lagi ada sebuah tulisan di sana. You look better with a smile. Ia menyapu pandangan ke sekelilingnya, sepertinya ada orang yang mengikutinya. Tapi tidak satu pun orang yang terlihat, merasa semakin aneh dengan keadaan ini. Seolah menyihirnya, ia benar-benar tersenyum setelah membaca pesan di pesawat kertas tersebut. Kemudian menyimpannya ke dalam tas, ia masih menyimpannya sampai sekarang.

"You look better with a smile," ujar Arin dan Brian bersamaan.

Arin membelalak, "jadi itu lo? Lo stalker?" Menatapnya ngeri.

Brian menggeleng cepat, "aku bukan stalker. Kebetulan waktu itu memang lagi di Jhon F. Kennedy Park, nggak ada niatan ngikutin kamu. Terus liat kamu nangis sendirian di sana, aku berusaha ngehibur tapi nggak berani secara langsung."

Tatapan Arin melunak, Brian mengembuskan napas lega. Ia mengatakan yang sejujurnya. Kemudian orang bengkel yang ditunggu-tunggu akhirnya datang dan mulai memperbaiki ban mobil Arin yang bocor. Selama menunggu mereka terjebak dalam kebisuan, Arin pun memilih memakan roti pemberiannya untuk mengurangi rasa canggung.

"Actually, you're a good person. I hope someone will love you."

"Meski kita bertemu di waktu yang tepat, jika kita tidak memperjuangkannya, tidak mungkin akan mendapatkan apa yang kita inginkan." Ia menatap manik mata Arin.

Arin merenungkan ucapan Brian, kemudian mengangguk, "iya, bener."

"I'm serious. Let me be your man." Arin hanya tersenyum.

Tak lama ban mobil Arin sudah selesai diperbaiki, ia pun bangkit mengucapkan terima kasih. Kemudian masuk ke dalam mobil, melajukannya menjauhi Brian yang masih terduduk di sana. Tertunduk lesu, lagi-lagi Arin menolaknya.