webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Adolescente
Classificações insuficientes
30 Chs

Chapter 22 - Meet in Cambridge

Liburan kali ini Arin dipaksa pulang ke Indonesia oleh ibunya setelah dua tahun tinggal di Negeri Paman Sam untuk menempuh pendidikan di Harvard University. Padahal ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menetap di sana hingga menyandang gelar S1, barulah akan pulang ke tanah air. Tapi siapa yang bisa menolak permintaan ibunya, apalagi jika sudah memohon-mohon dan menelepon berkali-kali. Sebenarnya bukan ingin menjauh dari orang tuanya, ia hanya tidak ingin terluka mengingat Renald, perasaan bersalahnya selalu muncul.

Sampainya di Jakarta, Arin disambut oleh kedua orang tuanya. Mama memasak banyak untuknya, ia sudah lama tidak makan masakan Indonesia. Mama memang paling pengertian. Setelah itu Mama dan Papa mengajaknya jalan-jalan mengelilingi kota Jakarta, semata-mata agar Arin selalu merindukan tempat kelahirannya dan akhirnya akan pulang setiap liburan. Tentu ia tahu maksud orang tuanya itu dan hanya tersenyum tipis. Ia bahkan diajak ke Monas, di sana mereka menyewa sepeda ontel dan memutari kawasan Monas dengan riang. Reuni keluarga. Setelah cukup lama bersepeda, mereka istirahat di tempat yang teduh dan meneguk air mineral.

"Pa, aku mau es krim." Arin menunjuk tukang es krim dengan antusias layaknya anak kecil.

"Rasa coklat?" Arin mengangguk.

Papa bangkit mendekati tukang es krim tersebut. Lalu kembali dengan tiga cone es krim di tangannya, rasa coklat untuk Arin, rasa stroberi untuk istrinya, dan rasa vanila untuk dirinya sendiri. Bahagia itu sederhana. Tidak perlu naik kapal pesiar, makan di restoran mahal atau liburan di pulau pribadi. Sesederhana ini, menikmati sore di sini dengan keluarga sudah cukup bagi Arin.

Matanya menangkap sosok yang tidak asing. Seorang pria dengan istrinya sedang berjalan santai sambil menggendong anaknya. Arin kenal orang itu dan memanggilnya.

"Om Surya." Merasa dipanggil namanya, menengok.

Om Surya dan istrinya berjalan mendekatinya. Menyapa Arin dan orang tuanya. Lalu memperkenalkan anak yang digendongnya, namanya Renaldo. Om Surya memberi nama itu untuk mengenang Renald, sengaja dibuat mirip. Arin hanya tersenyum sendu mendengar penjelasan Om Surya. Kemudian Renaldo menangis, Tante Rosetta pun mengambil alih anaknya dari suaminya. Berusaha menenangkannya. Mereka pun pamit pulang karena Renaldo tak kunjung berhenti menangis. Wajar saja cengeng begitu, umurnya mungkin baru sekitar satu tahun.

Masa liburan hampir usai, mau tidak mau Arin harus kembali ke Cambridge. Mama dan Papa mengantarnya ke bandara, sebelum menaiki pesawat kedua orang tuanya memeluk Arin dengan erat, enggan melepas anaknya. Tapi akhirnya pelukannya dilepas setelah mendengar pengumuman bahwa pesawatnya sebentar lagi akan berangkat.

Rasanya lelah setelah menempuh perjalanan Jakarta-Amerika, Arin menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Ia membuka pintu, menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ada orang. Lalu melihat ke bawah, ada sebuah paket. Arin tersenyum, membawa paket itu ke dalam. Segera dibuka bungkusan itu, ternyata isinya adalah sebuah Patung Liberty 3D laser krigami. Jadi, ini hadiah yang dijanjikan Joanna ketika Arin telah sampai di Amerika.

Joanna adalah roommate-nya, perempuan berkebangsaan Kanada. Mereka sengaja berbagi tempat tinggal untuk menghemat biaya hidup. Walaupun mendapat uang saku yang cukup Arin tidak mau menghambur-hamburkan uang orang tuanya, ia tetap ingin mandiri. Tapi menginjak semester lima ini Joanna memutuskan untuk menyewa apartemen sendiri, kegiatan kuliahnya semakin padat sehingga membutuhkan ruang lebih lenggang. Arin pun mengerti, lagipula ia juga butuh privasi. Tapi mereka tetap berhubungan baik dan berjanji akan berkunjung ke apartemen masing-masing jika ada waktu luang.

Arin senang, membuka krigami itu dan Patung Liberty pun berdiri tegak. Tersenyum, benda ini mengingatkannya pada Renald. Joanna tahu banyak tentang Arin, cukup terbuka menceritakan kisahnya pada Joanna. Begitupun sebaliknya, Joanna juga selalu menceritakan segalanya pada Arin. Tentu Joanna sengaja memberinya krigami Patung Liberty, Renald menyukai itu sehingga Arin pun ikut menyukainya. Joanna paham bagaimana perasaan Arin.

Bosan berada di apartemennya seharian. Ia pun berjalan-jalan di Harvard Square, membawa krigami Patung Liberty-nya. Arin berjalan sambil meminum kopi, matanya terus memandangi krigami itu. Lalu tak sengaja menabrak pejalan kaki lain dan menumpahkan kopinya ke baju orang itu.

"Just take my shit!" Arin kaget.

"My bad, sorry." Mengambil tisu di tasnya, membersihkan noda di baju cowok itu.

Namun dengan kasar ia mengambil tisu itu dan pergi meninggalkan Arin tanpa memandang wajahnya sama sekali.

Arin geram dengan sikapnya, niat baiknya diabaikan begitu saja, tadinya ia akan menawarkan membayar biaya laundry bajunya tersebut.

"Dasar sombong! Kalau aja sepatu yang gue pake ini bukan sepatu baru, pasti udah gue lempar ke kepala lo!"

Cowok itu berbalik, "apa lo bilang?" Arin kaget, ternyata ia bisa bahasa Indonesia.

"N-nothing." Tergagap, segera melangkahkan kaki menjauhi cowok itu.

Sedikit berlari, sambil merutuki dirinya sendiri. Ah, if I perish, I perish! Betapa bodohnya tidak memperhatikan perawakan orang itu yang benar-benar khas orang Indonesia, sedikit menyesal tidak bisa menjaga mulutnya. Mengingat wajahnya, rasanya tidak asing. Tapi Arin tidak terlalu memperhatikannya karena terlalu takut. Tanpa ia sadari cowok itu masih menatapnya sambil tersenyum.

***

Arin terus mengingat kejadian kemarin. Ia yakin kalau cowok itu bukan orang asing, wajahnya familiar. Mengenyahkan cowok itu dari pikirannya. God forbids, hari ini ia harus fokus. Ia ditugaskan menjadi pemandu tur, biasanya mahasiswa Harvard sering ditugaskan menjadi guide. Sebenarnya ini bukan tugasnya, tetapi karena mahasiswa yang ditugaskan itu sedang berhalangan, jadi ia yang menggantikannya.

Dari Harvard Square, Arin membawa rombongannya menyeberangi Massachusetts Avenue dan masuk melalui Johnston Gate menuju Harvard Yard. Menjelaskan setiap tempat-tempat yang dilewatinya dengan suara lantang. Saat ia berhenti melangkah untuk menjelaskan sejarah tempat yang ada di hadapannya, seorang cowok terus berjalan sambil meminum kopi dan memainkan ponselnya. Cowok itu pun menabrak Arin dan menumpahkan kopi di bajunya. Arin memekik. Sial.

"That's my fault." Arin menatapnya, matanya membelalak. Cowok itu yang kemarin ditabraknya dan benar saja bukan orang asing.

"Kak Brian."

Ia menyeringai, "oh, masih inget. Gue pikir udah lupa." Brian memberinya tisu. "Kemarin lo numpahin kopi di baju gue, sekarang giliran gue."

"Lo nyebelin!" Arin menatapnya geram.

"Lo ngegemesin." Tanpa izin Brian mencubit pipinya gemas, bahkan pipi tirusnya sama sekali tidak terlihat menggemaskan. Arin menepis tangannya, kesal. "Gue tertarik sama lo." Sukses membuat Arin membeku seketika. Beberapa detik kemudian tertawa terbahak-bahak, menganggap itu hanyalah sebuah candaan dan mengusirnya. Jika ia masih di situ hanya akan mengganggu Arin yang sedang bertugas. Sedangkan para peserta tur hanya menatap mereka bingung.

Arin tersenyum getir mengingat pertemuan pertamanya dengan Brian di Cambridge, kakak kelasnya yang menyebalkan. Dulu Arin sempat bersyukur setelah Brian lulus, tidak lagi satu sekolahan dengannya. Tapi mereka dipertemukan lagi, setelah kejadian itu Arin baru mengetahui bahwa Brian adalah kakak tingkatnya di Harvard.

Brian yang Arin temui saat itu masih sama seperti SMA, menyebalkan. Sehingga ia jengkel dan berusaha menjauhinya. Arin menyangka bahwa Brian hanya sekedar iseng, makanya tidak terlalu menanggapinya. Tapi Brian terus mendekatinya, sehingga pada puncaknya Arin marah dan mengatakan kalau ia tidak suka diganggu. Sejak saat itu Brian tidak pernah mengganggunya lagi. Mereka jarang bertemu hingga kelulusan Brian.

Dan Arin masih tidak menyangka semalam Brian melamarnya, benar-benar membawa cincin. Ia pikir hanya dijadikan sebagai lelucon, ternyata Brian seserius itu padanya.