webnovel

(Un)forgettable

Kisah cinta segitiga Bagi gue, cewek adalah makhluk paling merepotkan. Tapi sial! Kenapa gue harus berurusan sama cewek situkang ngatur. Dan sialnya lagi gue malah jatuh cinta sama dia. -RENALD Hidup gue cuma untuk belajar dan belajar. Tapi sekarang gue malah berurusan sama cowok rese yang ternyata berhasil mengubah cara pandang hidup gue, mengobrak-ngabrik hati gue. -ARIN Aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Dia bagai matahari dan aku hanya bumi. Tapi pesonanya selalu memaksaku terpikat padanya. Matahari memang ditakdirkan menyinari bumi. -BRIAN

Hilda_Af · Adolescente
Classificações insuficientes
30 Chs

Chapter 12 - A Something

Renald dan Arin tampak fokus belajar di sebuah kafe. Mereka membahas soal dan menyelesaikannya bersama.

"Besok udah siap belum buat ulangan PKN?" tanya Arin.

"Udah dong, kan udah belajar." Arin mengacungkan kedua jempolnya.

Kini Renald semakin rajin belajar. Ia juga memutuskan untuk keluar dari ekskul basket karena ingin fokus belajar dan mengejar ketertinggalan, lagipula sekarang ia sudah kelas XII.

"Pulang yuk, udah sore." Arin memperhatikan jam tangannya.

Mereka pun keluar dari kafe. Renald menaiki motornya begitu juga Arin. Sampai di rumah, Arin menawarinya untuk mampir. Tapi Renald hanya menitip salam untuk kedua orang tua Arin.

Arin masuk ke rumah, mencium tangan mamanya yang sedang asyik menonton TV. "Renald katanya salam."

"Wah... Dapet salam dari calon mantu." Mama tersenyum girang.

Arin hanya geleng-geleng kepala, melenggang menuju kamarnya. Ia memang menyukai Renald, tapi sebagai teman. Tak habis pikir dengan orang tuanya yang selalu menggodanya. Padahal hubungan mereka tidak ada yang spesial, hanya dekat sebagai teman saja.

Sementara Renald sedang gelisah. Ia terus mengingat Arin. Seperti ada yang mengganjal di hatinya, tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Setiap menutup mata, selalu ada wajah Arin di hadapannya. Ia pun menyibukan diri dengan belajar agar pikiran yang mengganggunya itu hilang. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini hanya karena efek sering bersama Arin, bukan karena sesuatu yang lebih mulai tumbuh di hatinya. Entah sejak kapan Renald jadi seperti ini.

Setelah cukup lama berkutat dengan buku, Renald memutuskan untuk mengakhiri kegiatannya. Menyiapkan buku pelajaran untuk hari esok. Terdengar ketukan pintu, Bi Minah memberitahu bahwa makan malam sudah siap. Renald segera keluar kamar dan menuruni anak tangga.

"Den, malam ini tuan lembur. Kata tuan, den Renald makan duluan saja," ucap Bi Minah.

"Emang biasanya begini kan," balas Renald dingin. Ia makan malam sendirian di meja makan yang cukup besar ini.

***

Cahaya hangat dari timur membangunkan Renald yang sedang terlelap. Ia menguap dan bangkit dari ranjangnya. Memasuki kamar mandi, tak lama pintu kamar mandi terbuka menampilkan Renald yang hanya memakai handuk di pinggangnya. Ia mengambil seragam yang tergantung di dalam lemari dan segera memakainya. Melihat dirinya di cermin, menyisir rambutnya dan merapikan dasi. Kemudian menyambar tas dan kunci motornya. Lalu menuruni tangga dan menemukan pria paruh baya yang sedang sarapan.

"Sarapan dulu Renald!" pinta papanya.

"Males sarapan," jawab Renald dingin tanpa menoleh padanya.

"Renald! Papa mau bicara sama kamu, diajak ngomong sama orang tua kok malah melengos." Namun Renald tak menghiraukannya.

Renald melajukan motornya, berniat menjemput Arin. Kini ia sudah berada di depan rumah Arin. Ia mengetuk pintu, tak lama pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya.

"Eh, nak Renald. Ayo masuk!" Mama Arin tersenyum.

"Arinnya ada kan tante? Saya mau ngajak berangkat sekolah bareng."

"Ada, masih di atas. Bentar lagi juga turun kok."

Mama Arin memanggil anaknya agar turun ke lantai bawah. Tak lama Arin keluar dari kamar, menemui Renald. Mama menyuruhnya sarapan dulu, Renald pun diajak bergabung. Renald sungkan, memilih duduk di ruang tengah saja. Tapi Mama Arin menarik tangannya agar ikut sarapan, kalau sudah begini ia tidak bisa menolak. Mama Arin selalu antusias menyambut kedatangannya, pagi ini ibunya Arin sengaja masak nasi goreng banyak karena tahu Renald akan menjemput putrinya.

"Gimana masakan tante?"

"Enak tan, enak banget."

Mama Arin sangat senang, ia berniat menyiukan nasi goreng lagi ke piring Renald. Tapi Renald menolak, perutnya sudah kenyang. Selesai sarapan, Arin dan Renald berpamitan untuk berangkat ke sekolah.

Renald menaiki motornya dan diikuti oleh Arin. Arin memeluk pinggangnya erat, membuat badannya tegang, merasa detak jantungnya bekerja lebih cepat. Selama di perjalanan, debaran jantungnya tak kunjung kembali normal. Bingung dengan keadaan dirinya, sempat berpikir bahwa ia mulai menyukai Arin, tetapi ia segera menepis pemikiran itu.

Renald akui kalau dulu ia anak nakal, tetapi kalau urusan cinta bukan ahlinya. Ia memang tampan dan banyak cewek yang mengejarnya, tetapi ia tidak pernah tertarik. Ia bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta.

Kini mereka telah sampai di sekolah. Di koridor banyak cewek yang berbisik melihat kedekatan Arin dengan Renald. Mereka iri pada Arin, bisa dekat dengan cowok yang populer di sekolah ini. Ya, Renald jadi lebih populer karena sempat bergabung dengan geng paling fenomenal di sekolah ini, geng yang dipimpin Brian dulu.

Mereka tak peduli dengan keadaan sekitar, Arin dan Renald terus melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sampai di kelas, mereka menemukan Andi dan Tiara yang sedang sibuk dengan bukunya.

Bel masuk berbunyi, Bu Lisa pun datang membawa kertas ulangan di tangannya. Saat ini Pak Mahpud berhalangan hadir, jadi Bu Lisa lah yang menggantikannya untuk sementara. Bu Lisa membagikan kertas ulangan ke setiap meja. Semua murid mulai mengisi soal, selama dalam pengawasan Bu Lisa kelas tampak hening dan tertib. Namun, saat Bu Lisa keluar kelas mendadak jadi ramai.

Cindy yang sedari tadi cemas tidak dapat menjawab soal memanggil-manggil Julio, meminta jawaban nomor 15. Tapi Julio enggan memberi tahu.

"Farel sayang, kasih tahu jawaban nomor 15 dong," ucap Cindy.

"Makanya belajar! Jawab sebisanya aja." Cindy mendengus sebal.

"Heh jawir, kasih tahu nomor 15! Kalau lo nggak mau ngasih tahu, gue botakin rambut lo!" Ancam Cindy pada Joko.

Joko pun mengangguk. Dengan tangan gemetar memberikan kertas jawabannya. Ia tersenyum senang lalu mulai menyalin jawaban Joko. Cindy melihat ke bangku belakang, Rendi-teman sekelasnya sewaktu kelas XI IPA 3 dulu sedang asik melihat contekan yang ditulis di tangannya.

"Ren, Lo nyontek nggak bagi-bagi, sini gue juga pengen liat!"

"Apaan sih? Ganggu aja! Ini tuh hasil jerih payah gue sendiri ya. Enak aja lo mau minta bagian."

"Nggak bisa gitu dong, masa lo nyontek gue enggak. Nggak fair!"

Ia menarik tangan Rendi tapi Rendi menarik tangannya kembali. Dan jadilah aksi tarik-tarikan tangan. Tanpa mereka sadari Bu Lisa datang sambil berkacak pinggang, berdeham. Mereka kaget.

"Eh, Ibu... Tadi saya mau minjem penghapus ke Rendi," ucap Cindy bohong.

"Hehe... Iya Bu, tadi Cindy mau minjem penghapus tapi mau dipake saya juga, jadi rebutan deh." Rendi memasang wajah lugu, membuat Bu Lisa ingin muntah rasanya.

"Jadi begitu, lalu apa yang ada di tangan kamu itu?" tanya Bu Lisa. Kini jaraknya sangat dekat dengan Rendi.

"Ini tato-tatoan bu, hehe. Saya iseng nyoretin tangan." Rendi menyembunyikan tangannya. Bu Lisa menarik paksa tangan Rendi.

"Jangan bu, tatonya jelek. Saya malu."

"Oh... Jadi tato-tatoannya tentang PKN ya, ada isi pasal-pasalnya segala." Bu Lisa tersenyum manis, "cepat hapus tulisannya!" Senyuman manisnya berubah menjadi tatapan garang.

Rendi menghapus contekan yang ada di tangannya. Rendi dan Cindy dihukum, jam istirahat nanti mereka harus mengelap kaca kelas.

Waktunya sudah habis. Murid-murid mulai mengumpulkan kertas ulangannya di meja guru. Sedangkan Rendi dan Cindy masih sibuk mengisi soal-soalnya. Bu Lisa kembali mengingatkan bahwa waktu sudah habis, Cindy akhirnya pasrah menyerahkan kertas ulangannya. Bu Lisa pun mengambil kertas ulangan Rendi secara paksa.

Rendi dan Cindy kini sedang mengerjakan hukumannya. Murid-murid yang berlalu lalang sesekali mentertawakan mereka. Cindy memelototi yang sedang mentertawakannya.

"Ya ampun... Cindy, lo yang sabar ya!" kata Gabriel dan Ula.

"Guys, bantuin gue dong, masih banyak nih yang belum dibersihin kacanya."

"Sorry Cindy, untuk yang satu ini kita nggak bisa bantuin," kata Gabriel.

Mereka pergi ke kantin meninggalkan Cindy. Ia kesal teman-temannya pergi begitu saja. Rendi pun mentertawakannya.

"Mereka temenan sama lo cuma buat numpang tenar doang, lagian mana ada sih yang mau temenan sama lo," kata Rendi. Cindy menatap Rendi kesal, matanya berkaca-kaca tapi segera ia sembunyikan.

Murid-murid Kelas XII IPA 1 berlarian menuju mading, Renald dan Arin menembus kerumunan itu. Mereka memindai namanya di kertas pengumuman Nilai Ulangan Harian PKN. Arin senang, Renald mendapat nilai 85.

***

Setelah murid-murid SMA Pancasila selesai melaksanakan UTS. Tiga bulan kemudian Semester satu dilaksanakan. Dan hari ini saatnya pembagian raport, murid-murid tampak berdesak-desakkan ingin melihat daftar peringkat yang ditempel di mading. Seperti biasa, Arin selalu menempati posisi pertama. Dan Renald menempati posisi ke enam, kemajuan yang sangat pesat. Ia juga sudah benar-benar berhenti merokok, Arin sudah berhasil membuatnya menjadi jauh lebih baik.

"Lo masuk sepuluh besar, Nald!" Arin senang dan langsung memeluknya. Ia kaget, jantungnya pun ikut berdetak dengan cepat.

"Selamat ya... Sumpah! Gue seneng banget." Arin melepas pelukannya.

***

Malam ini Renald tak bisa tidur, terus memikirkan Arin. Ia bingung, ada yang salah dengannya. Tidak, ada yang salah dengan hatinya. Benar kata orang-orang, cewek dan cowok tidak bisa bersahabat. Pasti salah satunya akan mempunyai perasaan lebih, itu yang dirasakan Renald sekarang. Ia mengambil ponsel, membuka kontaknya dan berhenti pada nama Arin. Tampak ragu untuk menekan tombol hijau. Mungkin Arin sudah tidur, tidak ingin mengganggunya.

Kemudian melihat nama Andi di sana. Lalu menghubunginya untuk menceritakan tanda tanya besar yang ia alami sekarang, mungkin akan terasa lega pikirnya. Tapi ternyata nomornya sibuk, ia pun melempar ponselnya ke kasur. Menarik selimut mencoba untuk tidur.