Menikah di usia tiga puluh tahun itu harusnya biasa saja, nggak perlu para orang tua langsung panik karena takut putrinya enggak dapat jodoh. Di zaman yang sudah serba berubah ini, jodoh pun bisa didapat hanya dengan mantengin facebook, twitter, dan instagram. Bisa juga kalau cuma ingin menikah dan enggak dicap sebagai perawan tua, cari aplikasi jodoh atau ikut sekolah pra nikah. Para orang tua harusnya enggak perlu mendesak setiap hari, bahkan sampai repot-repot mencarikan jodoh juga untuk anaknya. Apalagi anaknya seperti Sri Utami, yang sekali lirik cowok saja langsung bisa menggaet bahkan yang sudah beristri.
Tapi orang tuanya itu, astaga! Kenapa begitu kolot ingin Tami segera menikah. Usianya baru saja menginjak angka dua puluh delapan dua bulan lalu. Dia juga sudah punya usaha sendiri, enggak butuh suami cepat-cepat karena sudah bisa menghidupi dirinya dan orang tuanya.
"Tetangga kita, Tam, nyinyirnya lebih sadis daripada netizen yang nyinyirin artis kena narkoba. Ibu sudah males dengerin mereka."
"Ya makanya nggak usah didengerin, Bu. Kan sudah males," balas Tami kala itu, dengan tatapan jengah.
"Yeee, kamu bisa ngomong begitu. Ibu yang setiap hari belanja sayur, disindir-sindir karena anak gadisnya masih perawan padahal sudah 28 tahun lebih. Ibu sayang sama kamu lho, Tam, makanya Ibu sampai bela-belain datang ke rumahnya temen lama, nanyain anaknya masih ada yang single apa enggak."
"Ya kalau cuma biar enggak perawan mah enggak usah nikah juga bisa, Bu, datang aja ke kelab."
Waktu itu ibunya langsung menggetok kepala Tami dengan gagang pisau dan melotot lebar. "Awas kamu berani-berani bermain begitu ya!" ancamnya dengan mengacungkan pisau.
Sebenarnya Tami merasa enggak salah. Toh memang benar. Tapi atas rasa baktinya kepada Ibu Ratri, ia memilih bergumam kecil dan menyingkir dari dapur.
Keesokan harinya, ayahnya ikut-ikutan menjodohkan Tami, menyebut nama Nendra yang entah seperti apa orangnya itu. Usianya sudah tiga puluh tahun lebih dan masih single. Tami sih, curiga kalau sebenarna Nendra itu sebenarnya duda. Siapa yang tau kalau Nendra Nendra itu sebenarnya punya istri yang disembunyikan di negara lain atau kota lain. Mungkin saja kan, anaknya sudah banyak, hanya saja keluarganya enggak ada yang tahu soal itu.
"Nendra masih perjaka, Ayah yakin itu."
"Memang Ayah bisa melihat laki-laki yang masih perjaka dan sudah nggak perjaka?" tanya Tami menantang. Laki-laki enggak seperti perempuan yang meninggalkan bekas setelah keperawanannya hilang, tapi ayahnya sudah sangat yakin. Jangan-jangan Nendra ini pakai pengasihan.
"Ayah kan laki-laki, jelas ayah tau."
"Udah dong, Yah, mau dia masih perjaka atau sudah enggak perjaka, Tami tetap nggak mau nikah sebelum usia tiga puluh."
"Kamu nanti menyesal karena enggak bisa punya anak banyak, seperti ayah dan ibu ini, punya anak hanya kamu."
Tami menipiskan bibir, bangkit dari kursi. "Ya besok aku hamil setahun sekali selama tujuh tahun, atau langsung anaknya kembar tiga. Ayah sama Ibu boleh rawat dua kalau aku punya anak sebanyak itu, biar enggak ribut terus."
"Kok mau kaya kucing, anak kembar tiga," sahut ibunya dengan memegang kepala, pening.
Awalnya Tami santai-santai saja karena ayah dan ibunya hanya menyebut nama Nendra, tapi sekalipun enggak pernah Nendra beneran datang ke rumahnya. Tami langsung percaya diri bahwa Ayahnya sengaja berbohong biar Tami segera mencari pacar dan enggak jadi dijodohkan dengan Nendra.
Tapi ternyata, Nendra itu sungguhan ada. Pagi tadi Tami dikejutkan dengan gedoran pintu kamar dan ibunya muncul dengan kebaya kuno. Padahal Tami bisa membuat kebaya yang jauh lebih bagus dan modern.
"Ayo siap-siap, sore nanti keluarga Nendra akan datang ke sini. Ini pertemuan perdana, Tam, kamu harus serius dandan cantik biar Nendra langsung naksir kamu."
"Aku nggak akan mau bertemu dengan Nendra itu, Bu. Aku mending bunuh diri daripada nikah sama Nendra."
"Ya terus kamu mau nikah sama siapa, Tami? Cuma Nendra yang mau sama kamu."
Astaga... memang Tami se-enggak laku itu apa? Ya jelas banyak dong yang mau nikah dengan dia. Ibunya saja yang enggak tahu kalau di luar sana dia dikejar-kejar cowok dari yang penghasilannya hampir ratusan juta perbulan sampai yang cuma penjual sosis goreng di depan butiknya.
"Buuu!"
Ibunya langsung tergopoh-gopoh keluar kamar Tami mendengar ayahnya berteriak begitu.
"Nendra mau datang pagi ini, siapin dulu semuanya."
"Mau datang jam berapa, Yah? Ibu belum masak lagi. Aduh, baru mau berangkat belanja juga, Yah."
"Siap-siap, ayo belanja."
Tami langsung melongo, dia sudah berdiri di belakang ibunya dan langsung ikut panik. Tapi, bukan panik karena belum ada persiapan, melainkan karena dia belum memikirkan cara kabur dari sini.
"Ayah saja yang belanja, ibu jagain Tami di rumah. Jangan sampai dia kabur."
Nah, nah, belum juga beraksi dia sudah diancam begitu. Tami enggak bisa memikirkan cara lain, dia hanya tahu bahwa harus bunuh diri secepatnya supaya enggak jadi menikah dengan Nendra itu.
"Aku mau mati aja kalau Ayah sama Ibu tetap mau jodoh-jodohin!"
Ayah dan ibunya melongo, anaknya ini ada-ada saja, disuruh menikah, sudah dicarikan calon juga, tapi kok malah mau meninggal.
"Aku bunuh diri ya, Bu."
"Gantung diri?"
"Bukan, jatuh diri."
Ibunya sempat melirik tangga yang diinjak Tami saat ini. "Tangganya pendek, kalau kamu jatuh dari situ pasti cuma pegal-pegal sedikit."
Tami menipiskan bibir, ya terus maunya Ibu dia meninggal betulan gitu? Kan belum pecah perawan.
"Jatuh dari sana," kata Tami menunjuk kamarnya yang terbuka. Ada balkon, pasti kalau jatuh dari balkon enggak cuma pegal-pegal.
Ibunya melirik ayahnya, dan ayahnya mengedik tak tahu.
Tami rasanya putus asa, punya orang tua kok hanya takut dia jadi perawan tua tapi nggak takut kalau dia meninggal masih perawan begini. Langkahnya mengentak-entak memasuki kamar dan langsung ke pinggiran Balkon.
"Nih, Buuu, aku mau bunuh diri dari sini!" Dia sudah menaiki pembatas balkon, dan ketika menatap ke bawah rasanya biasa saja. Ya iyalah, dia sudah sering melakukan ini, hanya belum pernah merasakan bagaimana kalau jatuh betulan dari sini sampai ke tanah itu.
Ibu dan ayahnya datang juga ke balkon. Mereka menghindarkan mata dari sinar matahari yang masih condong di timur dengan tangan.
"Sudah, sudah. Jangan mainan begitu. Besok aja kalau mau bunuh diri," kata ibunya, tangan kanannya mengibas-kibas.
"Jadi besok baru boleh bunuh diri?" tanya Tami, dia berjongkok di pembatas balkon.
"Boleh," jawab ayahnya.
"Tapi Nendra datangnya hari ini kan?"
"Iya, hari ini."
"Makanya aku harus bunuh diri hari ini sebelum dia datang," kata Tami kesal, dia berdiri lagi di pembatas balkon. Angin pagi menerabas rambutnya yang masih acak-acakan seperti rambut singa, tapi mendadak anginnya sangat keras sampai tubuh Tami pun terasa terbawa angin pula.
"Buuu!" teriaknya sebelum melayang-layang.
GEDEBUK!
Pak Soson dan Bu Ratri langsung saling berpandangan, sedetik kemudian tergopoh-gopoh menghampiri Tami yang entah bagaimana nasibnya sekarang.
02/12/2020