webnovel

(IN) SIDE

Pemuda berusia 16 tahun bernama Nathan Davies tampak seperti remaja pada umumnya. Ah tidak, dia lebih mirip seperti orang buangan daripada pelajar SMA. Berpakaian lusuh tak terawat dengan tubuh kurus dan kulit sepucat mayat. Orang-orang pasti akan menganggapnya pengidap obat-obatan terlarang. Tapi fakta dibaliknya terdengar begitu memilukan. Dia mengidap 'Short Term Memory Lost Syndrom'. Atau dikenal sebagai Hilang Ingatan Jarak Pendek. Terdengar konyol memang. Tapi siapa sangka hal itu malah membuat hidupnya yang malang lebih hancur lagi. Ia juga tak ingat sejak kapan mempunyai teman-teman bernama Jeremy, Vincent, Wyatt, dan Dean. Keberadaan mereka sangat membantu kehidupan Nathan. Tapi bukankan sangat janggal? Benarkah mereka nyata? atau hanya gambaran dari kesepian yang ia pendam selama ini? Lalu, siapa ia sebenarnya? Apakah ia Nathan? Jeremy? Vincent? Wyatt? atau Dean?

JieRamaDhan · Urbano
Classificações insuficientes
12 Chs

Angel or Devil ?

Seberkas cahaya menyilaukan mengusik kelopak mata yang masih menutup. Karamel cerah menatap langsung tepat diatasnya langit biru tak berawan. Pemuda berambut hitam lurus mendudukan dirinya dan melihat sekitar.

Terbangun di antara hamparan bunga dandelion yang bermekaran. Udara hangat menelusup menyapu kulit putih pucat tak beralas. Iseng jemarinya menjentikkan satu bunga dandelion yang berakibat helaian kapas putih meranggas terbang mengikuti arah angin berlalu.

Nathan menepuk beberapa bunga dandelion yang menempel di pakaiannya. sedikit menyebar karena ia berbaring beralaskan bunga dandelion. beberapa bahkan menempel di kepalanya.

"Dean ! Vincent ! Wyatt ! Jeremy !" Pemuda itu berdiri, menyipitkan mata ke seluruh arah berharap menemukan orang selain dirinya. Namun nihil. Hanya desiran angin yang menjawab seruannya.

Tak menyerah, Nathan melangkahkan kaki kurusnya. Bertaruh pada firasat walau ia tak yakin kemana ia pergi. Nathan hanya berharap kakinya membawa ke tempat dimana ia mendapatkan jawaban.

Ladang bunga dandelion berubah menjadi padang ilalang yang tinggi. Seperti labirin, ia mencoba terus melangkah mencari jalan keluar.

"Apa yang kau lakukan ?! kau gila ?"

"kau pikir kau lebih mengerti dia ? jangan asal bicara ! kau hanya mampu bicara tanpa aksi !"

"Dean ? Wyatt ?" Nathan setengah berlari menghampiri sumber suara yang datang entah dari mana.

Hening. Suara itu tak menyahut dan seakan hilang terbawa angin. Nathan bahkan tak dapat melihat sekitarnya yang masih tertutupi ilalang padat. Ia tahu, kini ia tengah terjebak dan tak tahu apakah bisa pulang atau tidak.

"DEAAAN !!" Serunya lagi "WYAAATTT!!" Nathan hampir putus asa. Labirin ini seakan mencengkeram kuat tubuhnya agar tak bisa keluar. Nafasnya memburu seiring langkahnya yang melemah.

Tepat sebelum kesadaran nya hilang, kini ia berada pada hamparan rumput tandus. Rasa sesak di dadanya perlahan menghilang, seperti mendapat harapan.

Bola mata hitamnya menemukan kerikil kecil yang berbaris rapi. Seperti hendak menuntunnya pada tempat tertentu yang bahkan ia tak tahu. Namun hati kecil mengatakan untuk mengikutinya, seperti terhipnotis dan Nathan berjalan lebih dekat.

Cukup lama hingga dataran yang ia pijak berubah menjelma menjadi puing puing bangunan yang hancur. Bahkan Nathan tak yakin bentuk awal dari reruntuhan yang ada di sekelilingnya.

Dengan hati-hati melangkah menaiki reruntuhan bangunan. Ia tak boleh sembarangan berpijak, melihat bagaimana rapuhnya puing-puing itu sering longsor.

"Akkhh !" hampir saja kakinya terperosok pada lubang menganga. Nathan sedikit ragu melanjutkan langkah kakinya, ia tak tahu bahaya apa lagi didepan matanya. Namun hati kecilnya lebih memilih berjalan tak henti. Seperti ada sesuatu yang menariknya.

Meraih pijakan untuk mencapai tempat tertinggi. Beberapa buku-buku tangannya lecet tergores dari batuan tajam yang tak sengaja tersentuh. Namun hanya inilah tujuannya, Nathan hampir sampai di puncak reruntuhan.

Tak ada tanda kehidupan. Bahkan angin berhenti berhembus. Langit menggelap melahap seberkas cahaya yang hendak melesat masuk, seperti tak mengijinkannya.

Nathan menelan paksa ludahnya, menghirup nafas dalam dalam saat jauh di pelupuk matanya menemukan sosok pemuda. Terlihat familiar namun Nathan tak yakin siapa gerangan yang telah berdiri membelakanginya.

Dengan langkah tersendat karena kakinya masih terasa sakit akibat tak sengaja terperosok, Nathan menghampiri sosok itu. Hingga jarak mereka cukup dekat untuk Nathan mengenali rambut blonde milik salah satu temannya.

"WYATT !!" Nathan berseru, namun lagi-lagi angin seperti membawa pergi suaranya. Sosok didepan sana masih terpaku membelakanginya. Tak sedikit pun tergerak membalikan badan atau hanya menoleh.

"WYATT CAROLUS !!"

Masih tak bergeming. Nathan semakin mendekat walau entah mengapa dadanya menjadi lebih sesak. Seperti berada di ruang hampa udara. Ia mencoba mengambil napas sebanyak mungkin, namun usahanya tetap sia-sia.

NGIIIUNG—

Semua suara menjadi hilang, dan waktu seperti berhenti berputar. Nathan menatap lurus kearah sosok yang sekarang mulai membalikkan tubuhnya. Tatapan Wyatt sangat datar, seakan tak peduli pada tetesan darah yang mengalir dari pelipis kanannya hingga membasahi setengah wajahnya.

"wyatt~" nafas Nathan melemah. Seiring tak ada lagi oksigen yang masuk ke paru-parunya. Hal yang terakhir ia lihat adalah sebuah serpihan cahaya yang datang menyelimuti nya.

.

.

.

"Akhh~"

Rasa pening kembali menelusup di kepalanya. Nathan berguling kesana kemari berharap dengan itu sakit kepalanya mereda.

Pemuda itu terduduk sesaat dan mencoba melihat kalender pada ponselnya. Ia menghela nafas lega karena hanya tertidur satu hari.

Tunggu—

Itu artinya ia bolos sekolah ?

Dengan cepat ia meraih tas ranselnya. Mengecek kehadiran dirinya di sekolah. Dan benar saja, didalam tasnya tersimpan buku pelajaran yang di gunakan hari ini. Menandakan ia sebenarnya tak membolos.

Nathan mencoba mengingat lagi, namun percuma. Yang ia dapat hanyalah rasa sakit berkepanjangan.

"jadi tadi mimpi juga ?"

Ia yakin kejadian yang dirinya alami bukanlah mimpi semata. Bahkan rasa sesak terasa sangat nyata. Nathan berjalan ke arah kamar mandi. Mencuci wajahnya yang semakin terlihat sayu. Tersadar akan tubuhnya yang sudah bertelanjang dada. Pantas saja rasanya sangat dingin.

Beberapa ruam masih tercetak jelas didada dan bahunya. Pemuda itu membuka laci diatas wastafel. Tujuannya bukan lagi mencari obat. Namun pada sebuah kalung liontin yang sengaja ia simpan paling dalam.

Jemari kurus itu membuka penutup liontin dengan perlahan. Ia harus sangat hati-hati karena perhiasan perak yang ada di tangannya sudah sangat tua.

Nathan termangu, pandangannya memburam saat melihat foto kecil dari peninggalan keluarganya. Hanya itu yang tersisa. Entah harus senang atau sedih.

"Kenapa kalian tak membawaku juga"

Kembali meracau menyalahkan kedua orang tuanya yang bahkan ia tak tahu sudah tenang atau masih bergentayangan. Apakah dunia setelah kematian benar adanya ? Nathan tak tahu. Bahkan ia tak yakin adakah surga atau neraka. Atau mungkin ia adalah pendosa yang harus di hukum bahkan sebelum menemui ajal.

Menyedihkan. Nathan tahu ia adalah pengecut yang hanya bisa menyalahkan keadaan. Ia tak berani menantang dunia, tak berani berjalan di titian licin yang bisa saja menjatuhkannya.

Berniat membuka lemari untuk mengambil sehelai pakaian—musim gugur kali ini membuatnya bisa saja membeku—sebelum menemuka secarik kertas note.

'Maafkan kami tak bisa menemanimu hingga kau sadar

kami membelikanmu makanan kotak dari minimarket, kau bisa memanaskannya dengan microwave

makanlah secepatnya ketika sadar

—Dean

ps; Vincent yang berlari menembus hujan untuk membelikanmu makanan jadi kau haru memakannya'

Nathan tersenyum membaca sederet kalimat. Lucu, bahkan suara mereka bisa didengar di kepalanya. Kata orang, jika kita mendengar suara teman kita di kepala saat membaca pesan dari mereka, itu berarti kalian sudah sangat dekat.

Apakah sedekat itu ? Nathan tak percaya sudah sangat lama mereka berteman. Setidaknya harinya yang buruk dapat terlewati karena teman-temannya selalu ada disisinya.

.

.

.

Pemuda dengan otak jenius dan tampang yang selalu datar hanya diam memandangi beberapa kumbang yang hinggap di atas bunga tulip kuning. Tangannya mencoret kertas putih berukuran A4 di tangannya. Bisa di tebak pemuda itu tengah melukis kumbang kecil itu.

"menggambar apa Vincent?"

Pemuda itu sedikit terkejut dengan suara berat dari belakang tubuhnya. Pria tambun dengan rambut setengah botak tersenyum ke arahnya.

"Maafkan saya" Vincent membungkuk 90°. Ia sadar akan kesalahannya yang malah melukis di tengah pekerjaan paruh waktunya.

Pria tua itu tertawa dengan suara besarnya, menepuk punggung Vincent cukup keras hingga pemuda itu terbatuk.

"hohoho.. jangan merasa sungkan..." Ujar pria itu santai dan kembali ke belakang mengurus tanaman lainnya.

Vincent memandangi beberapa pejalan yang berlalu lalang dengan mantel mereka masing-masing. Dunia sepertinya sudah tua, ini bahkan baru musim gugur tapi rasanya sudah seperti pertengahan musim dingin.

'Criing~'

"selamat datang"

Pemuda tinggi dengan setelan mantel hitam dan jangan lupakan syal merah maroon melilit lehernya.

"ada yang bisa di bantu ?" Vincent bertanya dengan ramah. Namun lain hal nya dengan pemuda didepannya, tatapannya menelisik membuat Vincent agak risih.

"Tuan ?"

"oh iya.. bisa kau carikan bunga untuk orang yang tengah sakit" Pemuda itu tampak tak terlalu peduli akan bunga. ia lebih memilih menatapi wajah Vincent sedari tadi.

Vincent di buat gelagapan karena tindakan pemuda itu, namun ia tak mungkin mengusir. Tugasnya hanyalah melayani dan ia akan membantu apapun permintaan dari pelanggannya. "emm baiklah.. kau bisa mengambil bunga ini" pemuda itu menunjukan bunga berwarna putih dengan tangkai yang lumayan panjang.

"nama bunga ini Calla-lilly, bermakna kasih sayang dan perasaan yang tulus. Perasaan simpatimu akan tersalurkan lewat bunga ini—"

Vincent tampak sangat antusias membicarakan bunga di hadapannya, namun pemuda lainnya seperti tak terlalu peduli "bungkuskan itu"

"ck.." Vincent samar berdecak kesal karena penjelasannya terpotong. "Untuk siapa dan dari siapa ?"

"apa kau tak mengenalku ?" pemuda asing itu malah balik bertanya. Alis Vincent terangkat, ia sama sekali tak pernah bertemu bahkan sekedar berpapasan pun rasanya tak pernah.

Akhirnya pemuda itu menyerah. "untuk Ny. Lawrence dari Ian Kendrick"