webnovel

Kehidupan yang berbeda II - Azka

Seperti malam-malam biasanya, pemuda 19 tahun itu tengah melajukan motor sportnya dengan sangat kencang. Tidak memperdulikan keselamatannya ataupun keselamatan orang yang ada di sekitarnya. Dia adalah Azka; pembalap yang sangat handal dan tersohor di kalangan pembalap liar lainnya. Yah saat ini Azka tengah bertanding balapan liar melawan geng motor dari kampus tetangganya.

Motor sport itu terus melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan lawannya yang jauh tertinggal di belakang. Bagi Azka balap motor, alkohol, dan juga club malam adalah pelarian yang sangat pas untuk melupakan hari-hari yang Ia lalui.

Azka semakin menambah kecepatannya ketika Ia sudah melihat garis finish yang tidak jauh dari tempatnya saat ini.

"Woaahhh...."

Sorak sorai dan tepuk tangan penonton terdengar sangat riuh ketika Azka berhasil melewati garis finish yang membuatnya memenangkan pertandingan ini. Azka mematikan motor sportnya, melepas helm dan juga sarung tangannya. Ia menatap ke arah belakang di mana lawannya baru saja sampai di garis finish.

"Kalah kan. Jangan lupa sesuai janji lu yah. Uangnya di transfer," ujar Azka dengan sangat dingin. Orang yang ditujunya itu hanya menganggukan kepalanya sebagai sebuah jawaban.

Ia turun dari motornya dan berjalan ke arah pinggir sirkuit balap yang tadi Ia pakai. Berjalan ke arah dua orang pemuda seumuran dengannya yang kini sedang sibuk memakan keripik kentang di tangannya.

"Gimana keren kan gue," ujar Azka dengan sangat percaya dirinya.

"Keren sih, tapi jangan sering-sering lah apa lu nggak takut kalo misalkan Chio tau kelakuan kakaknya yang kaya gini," ujar salah satu pemuda itu.

"Yah lu jangan laporan ke dia lah, Lu tau sendirikan Leon, adek gue kayak apa cerewetnya." yah pemuda yang tadi bertanya adalah Leon sahabat dari Chio dan juga Azka sejak mereka masih kecil dan masih tinggal bersama.

"Lah gue masa bohong terus kalo Chio nanyain lu," ujar Leon dengan sedikit kesal.

"Udah-udah berisik mending sekarang kita pesta aja ke club malem gimana?" tanya pemuda yang satunya lagi; Ren.

"Pikirannya club malem mulu lu," sela Leon.

"Dih biarin aja sih. Kalo lu nggak ikut gue bisa pergi berdua doang sama si Azka,'' ujar Ren. "Yaudah yuk Ka, kita pergi aja tinggalin si cunguk ini di sini sendiri," lanjutnya.

Azka menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak terasa gatal. Sebenarnya Ia sangat ingin ikut dengan kedua temannya itu namun ada satu hal yang harus Ia lakukan malam ini. "Duh sorry yah, gue langsung pulang aja."

Leon menatap bingung. "Lah kenapa tumben amat lu langsung pulang. Takut ketauan bokap lu lagi kah? Eh tapi nggak mungkin sih lu takut sama dia"

"Iya gue ngeri, mau tobat gue. Dah yah gue duluan," Azka berjalan meninggalkan kedua temannya itu yang sama-sama kebingungan dengan sikap aneh Azka yang akhir-akhir ini sulit untuk diajak keluar malam hari.

"Dia kenapa deh? beneran tobat kah?" tanya Ren.

"Nggak tau gue juga."

"Yaudah lah yuk, kita pulang aja ngapain di sini," ucap Ren yang kini menyalakan motornya. Leon menaiki motor sport milik Ren. Yah Leon memang tidak bisa mengendarai motor jadi mau tidak mau Ia harus terus menumpang dengan Ren, namun Ren tidak masalah dengan hal itu. Mereka berdua pun akhirnya meninggalkan lapangan sirkuit yang kini sudah mulai ramai lagi karena pertandingan berikutnya akan segera di mulai.

***

Azka melajukan motornya ke arah sebuah rumah yang terbangkalai. Memarkirkan motornya di belakang pekarangan rumah itu agar tidak menimbulkan kecurigaan orang di sekitar rumah tersebut. Ia turun dari motornya, berjalan masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang ditinggalkan pemiliknya ini membuatnya tampak sangat tidak terurus. Bangunan yang mulai rusak di setiap sisinya, dinding yang dipenuhi oleh coretan-coretan aneh, serta akar dan rumput liar yang mulai merambat ke dinding rumah tersebut membuat keadaan rumah semakin mencekam.

Dan dari desas-desus warga yang ada di sana, menurut mereka rumah itu adalah rumah bekas perampokan yang merenggut seluruh keluarga sehingga tidak jarang mereka sering mendengar suara minta tolong dan juga rintihan kesakitan dari dalam rumah. Namun tidak ada satupun yang hendak mengecek ke dalamnya karena rasa takut. Hal ini tidak berlaku bagi Azka karena apa? Yah karena dia lah yang membuat suara-suara tersebut keluar dari para korbannya.

Mungkin orang-orang tidak akan mengira dirinya akan mengambil pekerjaan yang berisiko namun sangat menjanjikan ini. Pekerjaan yang mengharuskan Ia menyingkirkan rasa kemanusiaannya agar para client yang Ia tangani merasa puas dengan kinerjanya. Pekerjaan yang tidak lain adalah sebagai pembunuh bayaran yang handal. Tidak ada satu orangpun yang tahu pekerjaan sampingannya ini, bahkan Chio yang merupakan saudara kembarnya saja tidak tahu. Tapi Azka sangat bersyukur akan hal itu karena jika adik kesayangannya itu tahu apa yang Ia lakukan pasti adiknya akan membencinya sama seperti Ayahnya.

Kini Azka telah ada di dalam rumah terbangkalai itu yang sudah menjadi markas rahasianya selama dua tahun terakhir ini. Ia berjalan ke arah ruang bawah tanah di mana semua hal yang dibutuhkan untuk melancarkan aksi kejinya itu. Ia duduk di sebuah meja yang ada di sana, menyalakan komputernya. Jika kau pikir Azka adalah pembunuh bayaran yang amatiran maka kamu salah. Meskipun baru dua tahun menjalani pekerjaan kotornya ini, namanya sudah tersohor dikalangan mafia sebagai salah satu pembunuh bayaran yang sangat cerdik. Bagaimana tidak? hampir di setiap aksinya tidak ada satupun bukti kejahatan yang ditimbulkan. Semua korbannya seperti melenyap begitu saja ataupun dibuat seolah-olah mengalami kecelakan dan bunuh diri, selain itu Ia juga sangat pandai dalam meretas sistem data dan aktivitas pergerakan CCTV di sepanjang perjalannya.

Azka mengetik beberapa kata dalam komputer itu untuk meretas identitas korbannya kali ini yang merupakan anak dari seorang pejabat pemerintahan atas perintah dari Ibu tirinya sendiri. Yah bagi Azka dunia ini penuh dengan tipu muslihat banyak Client yang Ia layani meminta untuk membunuh kerabatnya sendiri hanya untuk mendapatkan harta yang berlimpah tanpa adanya gangguan. Namun itu bukan lah urusan Azka. Ia hanya menjalankan tugasnya saja sebagai seorang pembunuh bayaran. Anggap saja dia gila.

Kring... Kring...

Dering suara ponsel membuat dirinya berhenti sejenak dari pekerjaannya itu. Ia mengangkat telepon yang pasti dari clientnya.

"Sudah saatnya," hanya itulah kata yang diucapkan oleh clientnya namun Azka sangat mengetahui apa yang dimaksud oleh client itu.

Azka berjalan ke arah lemari kayu yang ada di pojok ruangan. Memakai sebuah topeng wajah yang terbuat dari latex membuatnya terlihat sangat mirip dengan kulit asli, memakai sarung tangan, masker dan topi sebagai pelengkap aksinya. Tidak lupa Ia juga mengambil sebuah senapan, belati dan berbagai macam senjata tajam lainnya.

Setelah semuanya terasa siap Azka berjalan kembali ke luar rumah tua itu dan masuk ke dalam mobil yang terparkir di belakang rumah yang memang biasa digunakan dalam setiap aksinya. Ia menyalakan mobil itu dan mulai melajukannya menuju ke tempat target korbannya kali ini berada.

Itulah sisi lain Azka yang tidak diketahui oleh siapapun bahkan saudara kembarnya sendiri; Chio.

Bersambung...