Pedalaman Hutan Berkabut, di barat laut Kota Tanpa Musim Dingin.
Si Gigi Ular merasa bahwa sejak ia bergabung dengan tim konstruksi kereta api satu setengah bulan yang lalu, hari-harinya terasa luar biasa.
"Tidak …" pikir Si Gigi Ular, "Rasanya kurang tepat jika aku menyebut semua pengalaman ini luar biasa. Dari waktu ke waktu, aku selalu bisa melihat ada sesuatu yang luar biasa. Sepertinya aku belum pernah benar-benar memiliki kesempatan untuk menyelami Kota Tanpa Musim Dingin yang sesungguhnya."
Si Gigi Ular akhirnya mengerti mengapa para pekerja harus menandatangani perjanjian kontrak kerja.
Perjanjian itu mengharuskan mereka untuk merahasiakan apa yang mereka lihat kepada siapa pun. Segala jenis catatan lisan atau tertulis kepada orang lain akan dianggap sebagai kejahatan terhadap kerajaan, dan hukumannya bisa berupa denda dan penahanan upah hingga bekerja paksa di Tambang Lereng Utara. Perjanjian kontrak kerja tersebut juga menekankan bahwa mereka dapat keluar dari tim konstruksi jika mereka tidak mau memenuhi persyaratan itu. Namun, jika mereka berani melanggar ketentuan kontrak kerja, Biro Keamanan kerajaan bertanggung jawab untuk memeriksa mereka, dan tidak ada yang bisa melarikan diri dari sistem pengawasan yang ada di seluruh penjuru kota.
Si Gigi Ular pernah merasa tidak setuju dengan persyaratan itu, "Mereka mungkin bisa memeriksa semua yang tertulis, tetapi bagaimana mereka bisa mengawasi percakapan orang-orang? Jika mereka menangkap siapa pun yang dilaporkan, maka proyek-proyek pembangunan tidak akan memiliki cukup SDM untuk beroperasi lagi." Namun, Si Gigi Ular memiliki pandangan yang sangat berbeda sekarang. Semua rahasia yang ada di Kota Tanpa Musim Dingin jauh dari yang Si Gigi Ular bayangkan. Mungkin di sebuah tempat yang tidak diketahui orang banyak, tersimpan sebuah kekuatan yang luar biasa.
Yang paling membuat Si Gigi Ular kagum adalah para penyihir.
Meskipun Paper juga seorang penyihir, bagi Si Gigi Ular, gadis itu hanyalah seorang anak kecil yang membutuhkan perlindungannya. Gereja mengklaim bahwa para penyihir itu jahat karena mereka mewarisi kuasa iblis, tetapi Si Gigi Ular sudah tidak peduli tentang itu. Jika para penyihir benar-benar sangat kuat, mengapa mereka dikejar oleh gereja dan tidak berani muncul di depan umum?
Semua pemikiran Si Gigi Ular berubah berkat seorang penyihir yang bernama Nona Daun.
Si Gigi Ular tidak pernah membayangkan ada orang yang dapat mengendalikan seluruh hutan sendirian.
Hutan Berkabut yang dimasuki Tim konstruksi ibarat perut seekor binatang buas raksasa. Ini sangat jelas ketika mereka membuka jalur kereta api. Tanaman rambat membentuk jaringan tanpa akhir di bagian atas jalan. Rel besi dibungkus dan diseret ke depan ke tempat yang ditunjuk oleh tanaman rambat itu kemudian semua relnya diletakkan di tanah. Di mana pun jalur kereta api itu diletakkan, pohon-pohon di kedua sisi akan memisahkan diri, yang menghemat waktu para pekerja untuk menebang pohon. Pada saat yang sama, pohon-pohon di sekitarnya juga akan tumbuh sangat padat, menutupi seluruh langit agar tidak menarik perhatian pasukan iblis.
Selain itu, hutan dapat berinisiatif untuk menyerang binatang buas yang mendekati tim konstruksi. Jika para pekerja mendapatkan semangkuk sup daging segar, itu berarti ada seekor binatang malang yang masuk ke wilayah kekuasaan Nona Daun.
Si Gigi Ular pernah melihat Daun sekali, tetapi ia tidak bisa memastikan apakah Nona Daun adalah manusia. Tubuh Daun bercahaya dengan sinar hijau aneh yang menyerupai permata. Ketika Daun bergerak, ia bisa berjalan bebas di antara cabang-cabang pohon seolah-olah ia tidak memiliki tubuh asli.
Jika Si Gigi Ular melihat hal ini beberapa tahun yang lalu, ia pasti akan berteriak ketakutan. Dengan penampilan yang mirip seperti hantu, tidak heran jika Daun dianggap sebagai salah satu pengikut iblis. Satu-satunya yang ada di benak Si Gigi Ular adalah, Paper masih beruntung ia tidak berwujud atau memiliki kemampuan seperti Daun.
Namun, Snaketooth tidak membenci Daun, ia bahkan menghormati wanita itu, seperti yang Mulia katakan di acara Upacara Penghargaan dan Penghormatan bahwa Yang Mulia dapat memberi makan semua orang di Kota Tanpa Musim Dingin berkat bantuan Daun. Siapa pun yang terbebas dari kelaparan dan penderitaan itu berkat kerja keras Daun. Berkat jasanya ini, sosok Daun tentu akan diingat selamanya oleh penduduk Kota Tanpa Musim Dingin.
Si Gigi Ular adalah salah satu orang yang menerima manfaat itu.
Selain penyihir itu, penemuan Si Gigi Ular selanjutnya bisa dibilang merupakan rahasia pribadinya.
Penemuan Si Gigi Ular didapatkan setelah Tentara Pertama memasuki Hutan Berkabut.
Sejak iblis-iblis itu menyerang Kota Tanpa Musim Dingin, orang-orang menuntut agar segera melancarkan serangan balik. Bahkan para pekerja juga mendiskusikan masalah ini. Si Gigi Ular tidak terkejut ketika hari yang dinanti-nantikan banyak orang akhirnya tiba.
Setiap hari sejumlah besar prajurit berbaris ke depan. Tampaknya, Yang Mulia Roland bermaksud melakukan serangan terhadap pasukan iblis. Berbeda dengan para kesatria yang pernah dilihat Si Gigi Ular sebelumnya, para prajurit ini kebanyakan adalah kenalan dan tetangga para pekerja. Setiap kali ada tentara lewat, para pekerja itu selalu menyambut mereka dengan antusias. Si Gigi Ular mengira dengan membuka jalur kereta api dari daerah perbatasan akan berbahaya dan jauh dari keramaian, tetapi ternyata sebaliknya.
Si Gigi Ular tidak memiliki banyak kenalan, jadi ia lebih suka pergi dan mengamati kereta api itu sendiri, dan ia bahkan memanjat dan menyentuhnya ketika kereta itu berhenti.
Namun, yang Si Gigi Ular alami dua minggu lalu sangat mengerikan.
Lokomotif yang menyeret enam gerbong, yang berhenti di bagian di mana Si Gigi Ular berpartisipasi dalam pembangunan, merupakan bagian terakhir dari seluruh gerbong kereta api. Ada dua benda raksasa yang ditumpuk di gerbong datar. Masing-masing benda itu memiliki panjang lebih dari 20 meter dan ditutupi dengan lapisan kain kanvas. Si Gigi Ular tidak tahu benda apa itu.
Awalnya semua berlangsung normal. Jika barang yang dikirim tidak ada hubungannya dengan tim konstruksi, itu berarti pasokan militer, dan Si Gigi Ular tidak ingin mencari tahu benda apa itu. Namun, malam itu Si Gigi Ular merasa sakit perut dan ia harus keluar dari tendanya di tengah malam. Ketika Si Gigi Ular sedang mencari tempat untuk membuang isi perutnya, ia terkejut melihat kain kanvas itu sedang merayap dengan sendirinya!
Setelah beberapa prajurit Tentara Pertama membuka ikatan tali dan memperbaiki posisi kain kanvasnya, seekor monster gumpalan raksasa merayap keluar dari balik kanvas! Yang lebih mengerikan, monster itu bisa berbicara, dan suaranya terdengar seperti suara seorang gadis cantik! Kata-kata pertama monster itu adalah, "Aku lapar! Apakah kalian punya makanan?"
Pada saat itu, Si Gigi Ular merasa seluruh bulu kuduknya meremang. Si Gigi Ular membayangkan jawaban dingin para prajurit itu, "Ah, ya, semua pekerja yang ada di perkemahan ini adalah makananmu. Nikmatilah sepuasnya."
Tetapi bukan itu yang dikatakan prajurit itu. Para prajurit itu menyambut monster gumpalan itu kemudian memindahkan ham, sayuran, dan roti dari gerbong terakhir … semua makanan itu disimpan dalam sebuah tong setinggi manusia dewasa. Kedua gumpalan raksasa itu melahap makanan dengan terburu-buru kemudian menghilang ke dalam hutan bersama para prajurit.
Si Gigi Ular tidak berani bernapas. Si Gigi Ular bersembunyi di balik pepohonan sampai langkah kaki mereka tidak terdengar lagi. Begitu Si Gigi Ular memastikan bahwa mereka semua telah pergi, ia melihat ke bawah dan menyadari bahwa ia telah mengencingi celananya sendiri ….
Dalam dua hari, sebuah stasiun aneh dibangun di sebelah jalur kereta api. Stasiun itu adalah sebuah bangunan melengkung yang terbuat dari semen dan batu bata, dan di dalamnya ada lubang yang dalam yang tak berdasar. Meskipun para pekerja masuk dan keluar dari sana, tidak ada yang tahu ke mana lubang itu mengarah. Ada beberapa mesin uap yang ditaruh di samping lubang, dan mesin uapnya terus-menerus meniupkan angin ke dalam lubang itu. Ini adalah pemandangan yang sangat aneh.
Si Gigi Ular menyimpan semua hal yang ia lihat ini di dalam hatinya.
Si Gigi Ular mengira ia akan terus merasa ketakutan dan ingin berhenti bekerja dari tim konstruksi kereta api. Namun pada kenyataannya, rasa terkejut Si Gigi Ular pulih lebih cepat dari yang ia kira. "Ini adalah kehidupan yang menyenangkan! Inilah Kota Tanpa Musim Dingin yang sesungguhnya!"
Ketika Si Gigi Ular baru saja meninggalkan teman-temannya dan tiba di hutan, ia selalu merasa bahwa ia seperti sepotong ganggang yang tidak terikat pada siapa pun. Terutama ketika para pekerja menerima surat dari keluarga mereka dan dengan senang hati menceritakan isi surat mereka kepadanya, rasa kesepian menghantui Si Gigi Ular. Tapi Si Gigi Ular secara bertahap tertarik oleh berbagai hal baru, seperti jalur kereta api yang terhubung satu sama lain dengan sempurna, suara-suara merdu yang berasal dari hutan, serigala padang pasir besar yang muncul dan menghilang secara diam-diam tetapi tidak diserang oleh Nona Daun, dan pria misterius yang datang ke sini yang berbisik pada dirinya sendiri pada hari-hari tertentu ….
Ini membuat Si Gigi Ular merasa bahwa ia mulai mengetahui sisi Kota Tanpa Musim Dingin yang tidak diketahui orang banyak, dan juga secara bertahap ia juga semakin berintegrasi dengan kota ini.
Si Gigi Ular ingin mengingat semua hal ini dan menunggu hari di mana ia bisa menceritakan kepada teman-temannya semua yang telah ia lihat di sini. Tidak ada bukti yang lebih baik selain menjadi warga negara yang mengetahui kota ini dari dalam. Bahkan jika Si Gigi Ular tidak memiliki banyak tetangga yang akrab dengannya, tidak ada yang bisa menyangkal apa yang telah ia lihat di kota ini.
Durasi perjanjian kontrak kerja adalah lima tahun.
Si Gigi Ular menantikan datangnya hari di mana ia bisa bercerita kepada semua orang mengenai pengalamannya di Kota Tanpa Musim Dingin.


Cheng Yan melakukan perjalanan lintas waktu, dan ketika dirinya terbangun, Cheng Yan telah menjadi seorang Pangeran yang terhormat dari Abad Pertengahan di Eropa bernama Roland. Namun di dunia di mana Cheng Yan berada saat ini ternyata tidak sesederhana yang ia pikirkan. Penyihir dengan kekuatan sihir tersebar di mana-mana, dan perang yang menakutkan antara gereja-gereja melawan kerajaan-kerajaan terjadi di seluruh penjuru negeri.		
																					
Roland, seorang Pangeran yang awalnya dianggap sebagai orang gagal tanpa harapan oleh ayahnya sendiri kemudian ditugasi ke wilayah yang terburuk, tapi kini Roland menghabiskan waktunya untuk membangun kota yang miskin dan terbelakang itu menjadi sebuah kota yang kuat dan modern, selagi turut berperang melawan saudara-saudaranya untuk memperebutkan takhta kerajaan dan meraih kekuasaan mutlak atas Kerajaan Graycastle. Bergabunglah bersama Roland saat dirinya menjadi teman dan juga sekutu para penyihir melalui pertempuran-pertempuran melawan penguasa jahat dan binatang-binatang iblis, dan bahkan melakukan kegiatan pertanian, sambil berusaha mengusir para penjajah jahat yang ingin menghancurkan dunia.																							

"I wish you know your place, Giselle."
Diego's words echoed within Giselle as she read Lillian's message for the hundredth time.
Diego is fighting for his love, unlike Giselle, who is only thinking about giving up. Also, Giselle responded to Diego, affirming that nothing is going on in between Lillian and herself.
Being harshly treated with his sharp words, Giselle could only aim to get separated from Lillian.
No longer can she dwell in her realm, secretly harboring her love for Lillian while playing the friendship card.
Giselle decides to put an end to this on-going facade.
Replying to Lillian's text, Giselle politely refused her invite, informing that she is busy working on her college application.
'This is the right thing to do.' – Giselle insisted.
Convincing herself that the chapter with Lillian should end soon so that both can live in peace. What Diego said is true, if Lillian ends up getting treated the same way as Giselle, then no one other than Giselle, herself, would feel worse.
She listened to Diego's words, slowly planning to disappear from Lillian's life forever.
**
Lillian, who is lounging in her room, receives the text return from Giselle. Although she was expecting an immediate response eagerly, Lillian couldn't contain the excitement to herself. Without wasting a second, she rushes to read.
Giselle courteously declined, appalling Lillian to her core.
'She- She- What will I do if she doesn't come out with me?'
When Lillian thought that her plan is going smooth, Giselle ruins it.
Not satisfied with her response, Lillian ignored texting and directly called Giselle.
**
Alarmed from the sudden buzzing, Giselle held the mobile in her hand, gawking at it while hesitating to answer the call. She flounders, not brave enough to respond.
Giselle knew that no matter what type of defensive mechanism she puts out, Lillian would smash it to the grounds, thus making it difficult to move on. Solely based on it, Giselle chose to ignore answering Lillian Grey.
Just like that, Lillian's call went unanswered.
**
Lillian frowns, from Giselle not picking up her call. She started feeling edgy naturally, getting ignored once.
'The first thing I'm going to do is to make a rule for Giselle to never ignore me; ever, and ever again!' - Lillian remarked while contacting Giselle again.
Who knew that the ringing sound could be damn haunting and a nerve-racking experience?
The second-time call also went unanswered, pulverizing Lillian's hope.
Now pissed off, Lillian right away called once again and ended up not getting ignored.
Veins in her forehead popped off while her brows creased together. Irritated to the max, Lillian threw her mobile on the bed and walked away.
**
Gigi finally decides to take a break and came out of her room for a change of scene.
While passing the hallway, she heard her mother calling out for Giselle.
Melanie's voice sounded faint from the distance. Gigi could only catch a few words.
Stopping in front of Giselle's room, she knocked twice and opened the door to find Giselle staring at her phone intensely. She appears undisturbed without moving a muscle. The only lively action that went was Giselle's eyeballs anxiously watching the mobile screen.
Gigi heard her mother's calling again.
"Mom, she can't hear you, what is up?" Gigi answers instead of her little sister.
"Gigi? Can you ask Giselle what she wants for dinner? I'm planning to cook you two's favorites," Melanie called from downstairs.
Gigi got excited from the knowledge that dinner's going to be their favorites. However, her mother didn't ask for Gigi's favorites.
"Then how come you aren't asking me?" Gigi raided immediately.
"Because, the braised chicken is in the oven already," Melanie replied.
"I love you, mom. You are the best."
Gigi yelled.
"Alright, now, ask Giselle?"
Gigi turned to Giselle and asked.
"Giselle, It's mommy's treat, what do you want to eat for dinner? Well, she is not exactly treating us, but you know she will cook anything we ask. You can chip in your favorites-," Gigi asks only to find Giselle still staring at her phone intently.
"What is she saying, Gigi?" Melanie's voice sounded again.
Gigi stutters, "Umm... Maybe Giselle wants Lillian Grey for dinner!" she uttered lowly, aiming only to reach her little sister.
The name startled Giselle as she looked up to see Gigi standing outside the room leisurely, with a wild smirk plastered on her face.
Realizing it soon, Giselle knew she got played by her sister, scoffing to her little trap, Giselle asks the purpose of Gigi's impromptu visit to her room.
Gigi informs that their mother has been requesting for Giselle the past few minutes. And that someone got too much indulged into her mobile instead of responding.
"So, something, something, is up with this Lillian Grey, I believe!" Gigi picked on her little sister, cheekily.
"Shut up," Giselle hushes Gigi from sounding loud, and walked passed her downstairs to meet her mother.
Gigi grinned from the tease and followed her sister right behind.
**
Running downstairs, Lillian looked for her father and found him seated on the dining table. Edwin worked on his accounts and receipts while hearing his daughter roar his name all around the house.
"What is it, Lilly?" Edwin called.
"Dad, you made some special food yesterday, right?"
"Special food?"
"More like special, rare dessert treats," Lillian explains.
Edwin recalled yesterday's menu and remembered it.
"You mean the basic chocolate chip cookies that I baked?" Diego exclaimed, knowing how a simple dessert considered exclusive and rare.
"Exactly!"
"It is nothing to be called special, Lilly," Edwin replies as he worked with the receipts, tallying the amount expenditures.
"Yours is special, dad. Now, can you wrap some cookies in a bag for me?" Lillian requested.
"Why? Are you going out to meet someone? Is it Anna or Diego?"
Edwin naturally recognized that Lillian is planning to meet her best friends.
"Dad, I know other people too. Plus, I ain't visiting Anna or Diego, this is someone else, special," Lillian admitted.
Removing his glasses, Edwin looked at his daughter. She sounded serious.
"Special! Is it your boyfriend?" Edwin assumes.
Lillian's eyes grew in an instant. She looks away and chuckles from the silly presumption.
"Dad! No, not a boyfriend. Stop asking me questions, and- Wait, I'll wrap those cookies myself."
Lillian said and fled the spot immediately, running away from her father. She did not expect him to ask so straight.
Lillian intruded the kitchen space and looked for a paper bag and searched the pantry for the cookies. She found then soon and started picking out the brightest out of the batch.
Watching her raid the tin of cookies, Lillian handle it rough. Edwin feared.
"Wait, wait, wait, you are going to crush it. Let me do it," Edwin replied and took her place.
He found a spatula nearby from the counter and picked out the cookies carefully. Lillian often commented on which ones she prefers for her takeout, and Edwin served her.
Edwin's movements were polished and gentle, unlike his daughter Lillian while tying the bag with a thread. If she did, then it would all get crumbled halfway in the process.
As Edwin carefully prepared the cookie bag, he couldn't help from questioning Lillian.
"Lilly, you know that you can tell me if you have a boyfriend,"
"Plus, you have been weird the past few days, smiling alone occasionally. What is going on?" Edwin inquired.
Instead of running away, this time, Lillian sincerely responded.
"I will tell you once I fix everything, dad, until then, you have to wait."
Surprised from her straightforward reply, Edwin only gave the nod. He gave her the neatly packed cookie bag. Lillian received it carefully.
"Thanks, Dad, bye. I'll return soon," she yelled while leaving the place.
**
**
Gigi and Melanie were in the kitchen. Gigi stood in front of the oven. Through the visible space, she watched the chicken cook so tenderly. Melanie stood in front of the stove and worked on her dish while they hear the doorbell ring.
Melanie asked Gigi to answer the door while she can't leave the spot at that moment.
Leaving the chicken alone in the oven, Gigi sighed heavily. She paced her steps to the front door and opened it.
"Talk about the timing!" – Gigi remarked out loud.
Lillian Grey stood facing Giselle's sister. Her face froze the minute she came into contact with Gigi. Blinking her greetings, she stuttered poorly.

"Come on in, Lillian Grey," Gigi invited her inside.
Lillian's lashes twitched from Gigi's stern voice and suspecting gaze. Although the icy glares seem to be on vacation right now, Lillian still felt anxious around Gigi. After all, she is Giselle's elder sister, which means that Lillian needs to establish safe-conduct with her.
"What's up?" Gigi asks. By now, Melanie came out of the kitchen to find a familiar girl. She recalled her but forgot her name.
"Lillian Grey, You can call me Lillian or even Lilly," Lillian expressed.
She then went on to gift the cookies. Melanie smiled and graciously accepted them.
"Where is Giselle? Can I meet her?" Lillian asks.
"She is in her room," Gigi replied.
"Do you want me to call her?" she added, inching her way to move, but got stopped by Lillian.
"I will see her myself. I want to surprise Giselle."
Lillian said with her sparkling eyes and subtle smirking.
The two allowed, and Lillian walked her way upstairs to meet Giselle.
Gigi watched Lillian exhibit a surprisingly different vibe from the last time meeting her. She seems to behave respectfully.
"Mom, keep a close eye on her. She is somehow special to Giselle."
Gigi states to shock Melanie.
"Is she someone Giselle likes?" the mother asked earnestly.
"..."
"I don't know anything. Don't look at me like that," Gigi escapes from the mother's watch.
Meanwhile, Melanie already noticed Lillian and kept following the girl until she disappears from the vision.
"Lillian seems like a good girl. She looks honest and bold," the mother commented.
"Is it?" Gigi asked in doubt.
'It looks like Mom already likes her. Good for you, Giselle!' – Gigi remarked.
..
Gigi is aware of Lillian Grey in her sister's life. The next day Gigi followed Giselle desperately to learn what happened the night she went out dashing.
Unable to escape from her sister, Giselle added the remaining pieces of the story, finally confessing that Lillian Grey is the first girl she ever loved.
Gigi appeared at loss of words from hearing it. She also learned that how much Lillian helped Giselle in the school and protected her safely from letting people badmouth her.
The impression of Lillian changed for Gigi as she held a bit of gratitude towards the girl for helping her sister. However, Giselle talked about that night, when Lillian behaved differently, Gigi exclaimed that chances are there for Lillian to reciprocate Giselle's feelings.
Giselle didn't believe, thinking that it was futile to develop hope. Nonetheless, Gigi believes that Lillian already fell for Giselle.
Who would leave their prom to meet a girl at late night and spend time with her?
There is only one conclusion, which is love.
Instead of arguing with Giselle, Gigi agreed to her sister's statement.
..
Now, seeing Lillian randomly appear to meet Giselle, Gigi recognized.
'I hope the two can settle it out soon and stop wasting time trifling openly .' – Gigi sighed.
Meanwhile, Melanie remembered leaving the dish still on the stove. She rushed back to the kitchen while Gigi remained in the living room.
Gigi remained in the living room, letting the two girls some private space.
'If things go well, are they getting married?' – Gigi wondered.
No matter what happens, Gigi wishes to stay by Giselle's side, hoping that she could do the same as Lillian, to help her sister.
***

NOTE: Get Back To you is an LGBT novel series.
Synopsis:
She is back? Giselle is back! And she didn’t want me to know!
Lillian Grey’s life went pretty wild without Giselle. She dated people to her wish and broke up with them to her comfort until a young model called Lucy came close to capturing her heart.
Anna waited as Lillian stumped upon hearing the familiar name she had desperately searched for several years. And it came with a stab.
“If you want, I can deliver a message,” Anna proposed after hearing Lillian become speechless in their phone call.
Knowing well how she had come out to spend time with Lucy, Lillian refused to respond when confessed to such shocking news. Nevertheless, later to her own dismay, she delivered her message to her good friend, Anna, hoping that it would reach Giselle somehow.
********************
“Giselle, I’m glad to hear that you’re back. I hope you’re in good health. Well, I heard about your party and that you have invited Anna and not me, which is surprising news to learn. It’s alright. Things are different now for you, I guess. But here’s my message in case you even care:
Don’t ever show yourself in front of me. Ever again. Why?
Because I know I cannot stop myself from choosing you if I ever see your face again.
What you gave me is irreplaceable. I still have it in my heart. It didn’t let me live my life in peace. However, I’ve decided to take a chance without your memories this one time. So, let me be. And congratulations on your marriage and your kid. I pray for your happiness. You know, I do.
Take care. Love you, evermore.”
- Lillian Grey
*******************
Follow the incredible story of Lillian Grey and Giselle: Two souls bonded by love yet, pulled apart by the external forces. The two women meet years later to find out the subtle fire still tingling inside, allowing them to reconcile. But the question is: Will they accept it or not?
A Message from the Author:
Hey guys, 'Get Back To You' is very special because it is my first novel and a bold choice, I would say.
The once short story showed a lot of potential for a perfect novel, and the characters had a depth to them and an unheard voice, for which I wanted to bring justice by exploring and writing. I hope that my efforts reap when the readers enjoy the tale as they travel through this journey.
UPDATE!! I am so proud to announce that I will be self-publishing ‘Get Back To You’ as series. I plan to do an eBook series first before paperback. And right now, Volume 1: A Message to Her is available on Amazon Kindle Store.
After four years of writing this series, I finally chose to publish it. The published eBook/paperback is going to be even better version and professionally edited for enhanced reading experience. So, grab a copy today and have fun reading!
To follow my writing journey and learning updates about my books, do follow and subscribe to MY WEBSITE:
https://www.ljackace.com/
I post blogs about writing updates, personal updates, reading lists, writing tips, etc. Newsletter is on the way, so stay tuned!
****
Apart from reading my novel here, you can always extend your support through these mediums:
You can buy me a coffee@:
ko-fi.com/ljackace
Read special chapters and short stories on:
patreon.com/LjackAce
****
Follow me on my Instagram! I share all the references and some cute moments of the characters from the story:
instagram/ljackace
Another great place to find my inspiration is on Pinterest:
https://in.pinterest.com/ljackace/
****
I'm deeply grateful for having an opportunity to share the story here and for all the love I've received thus far and in the future. Thank you very much for enjoying 'Get Back to You!'
And on that note, I have more stories to write for you guys, so follow me to get all the titbits.
With love,
L’Jack Ace

"Gao Peng, mengapa kita membuat ikan itu pingsan?" Da Zi tidak mengerti mengapa Gao Peng tiba-tiba ingin Dumby membuat Ikan Gemuk Berlemak pingsan.
Koneksi barusan antara Gao Peng dengan Dumby dianggap sebagai perkembangan Dumby; Dumby juga merasa Da Zi bertindak atas perintah Gao Peng.
"Karena ikan itu sedikit gemuk, maka ia perlu sebuah 'ketukan'," kata Gao Peng dengan lembut.
"Gemuk? Apakah rasanya lebih enak saat jadi gemuk?" Mata Da Zi bersinar.
"…." Gao Peng tidak tahu bagaimana harus bereaksi. "Kepalanya sangat tebal, jadi mungkin tidak cocok untuk seleramu. Memakannya dapat merusak gigimu."
"Kalau begitu, jangan makan Ikan Gemuk Berlemak. Biasanya ia sangat jujur." Da Zi telah berpikir panjang dan keras sebelum mengatakan ini. Setelah semua yang terjadi, butuh tekad nyata bagi seorang pencinta makanan untuk memutuskan agar tidak menikmati kepala ikan yang lezat.
"Baiklah," Gao Peng dengan murah hati menyetujui.
"Hei, hei, Gao Peng, kamu benar-benar keren hari ini!"
Gao Peng dengan hati-hati bermain-main dengan Gigi Pemusnah Kaisar Laut, yang terlihat seperti gigi palsu emas biasa. Jika seseorang tidak dapat melihat atributnya, ia tidak akan menemukan kelainan.
Kemampuan melahap ini seharusnya adalah kemampuan untuk memakan monster setengah dewa, tapi Gao Peng tidak yakin apa yang dimaksud dengan dua persen dari melahap. Apakah itu kenaikan dua persen setelah memakan seekor monster setengah dewa, atau tingkat penguasaan kemampuannya? Dibutuhkannya Ikan Gemuk Berlemak untuk bangun dan membagikan ilmunya.
Bagaimanapun juga, itu adalah artefak ilahi, dan ada tingkat bahaya tertentu, jadi Gao Peng tidak ingin mengujinya dengan santai. Akan merepotkan jika tidak sengaja diaktifkan.
Kembali ke pulau itu, gigi palsu yang tumpul itu dengan lembut memancarkan cahaya redup. Deretan gigi itu diam-diam melihat sekeliling, dan ketika mereka melihat Dumby, mereka gemetar. Gigi Pemusnah Kaisar Laut memusatkan perhatian mereka pada Dumby.
Gigi palsu itu diserahkan bergiliran kepada kelompok monster pendamping Gao Peng untuk sementara waktu, kemudian diserahkan kepada Dumby. Adegan ini agak aneh, seperti sekelompok remaja nakal yang bermain-main dengan gigi palsu kakek mereka ….
Gigi palsu mengikuti permainan dan tidak menolak bermain dengan mereka. Setelah bermain dengan semua monster pendamping Gao Peng untuk sementara waktu, gigi itu menjadi membosankan, dan akhirnya, para monster pendamping menyerahkan gigi itu kepada Dumby.
Setelah kembali ke istana, Dumby meletakkan gigi palsu itu di kakinya. Dumby memiliki kemampuan terkuat, oleh karena itu, itu adalah tempat paling aman.
Dumby mengusap gigi palsu di kakinya, meninggalkan pisau emasnya tergeletak di kursi batu. Ia mengambil sebatang rokok yang diambil dari tumpukan dan mulai mengepul. Pada hari yang sepi dan berulang ini, hanya awan asap yang bisa menghibur hatinya yang kesepian.
Gigi palsu yang berada di kaki Dumby diam-diam mengamati ini untuk sementara waktu, kemudian dengan hati-hati menggunakan dua gigi depan mereka untuk menggigit jari-jari kaki Dumby. Dumby merasa gatal dan mengangkat jari kakinya; gigi palsu itu terbang dan terbanting ke tanah.
Gigi Pemusnah Kaisar Laut memanjat dan memandangi tulang-tulang Dumby yang mengilat dengan penuh minat, dengan hati-hati menggosok dirinya sendiri di lantai batu, lalu dengan lembut menggosok Dumby dengan gigi taringnya.
"Apa-apaan ini?" Dumby menginjak gigi itu. Sakit sekali.
Meskipun sedang diinjak, Gigi Pemusnah Kaisar Laut mencoba yang terbaik untuk mengiris kaki Dumby. Dumby membungkuk dan mengangkat Gigi Pemusnah Kaisar Laut. Gigi yang sebelumnya gelisah menjadi tenang.
…
Setengah jam kemudian Ikan Gemuk Berlemak terbangun. Begitu terbangun, ikan itu menampar bibirnya dan terkejut mendapati artefak ilahi di mulutnya hilang.
"Hartaku hilang!" Seruan ngeri ikan itu terdengar di seluruh ruangan. Ia berjalan di sekitar pulau dan akhirnya menemukan Gigi Pemusnah Kaisar Laut di kamar Dumby.
"Akhirnya aku menemukanmu! Aku pikir aku kehilanganmu." Ikan Gemuk Berlemak nyaris menangis.
Gigi Pemusnah Kaisar Laut mengabaikan ikan itu, lebih tertarik untuk berputar di sekitar Dumby. Dari waktu ke waktu, ia menggunakan giginya untuk mengikis tulang Dumby.
"Bagaimana kamu bisa seperti itu?" Ikan itu terkejut melihat pemandangan ini, hampir berpikir bahwa ini adalah artefak ilahi yang berbeda.
Ketika ia dengan Ikan Gemuk Berlemak dulu, ia selalu berusaha melarikan diri, tetapi setelah bertemu Dumby, ia bertindak seperti anjing peliharaan.
"Kamu sudah bangun. Kamu tiba-tiba pingsan sekarang, dan tidak peduli berapa kali kami mencoba memanggilmu, kamu tidak akan bangun. Kami bahkan tidak tahu apa yang terjadi," kata Dumby kepada Ikan Gemuk Berlemak.
"Oh, begitukah …" Ikan Gemuk Berlemak berkata, bingung. Ia mengira telah tersingkir.
"Ya, mungkin karena kamu terlalu lelah dan tiba-tiba menemukan gigi palsu ilahimu. Naik turunnya emosi itu sulit dikendalikan," kata Dumby.
Dumby selalu sangat jujur, jadi Ikan Gemuk Berlemak tidak punya terlalu banyak keraguan. "Mengapa artefak ilahi punyaku ada di sini bersamamu?" katanya dengan beberapa keraguan.
"Artefak ilahimu kabur setelah kamu pingsan. Aku takut gigi itu akan lari, jadi aku membantumu menjaganya." Setelah mengatakan ini, ia melempar gigi palsu yang menyundulnya kembali ke Ikan Gemuk Berlemak.
Setelah mendapatkan kembali artefak ilahinya, ikan itu untuk sementara puas. Menonton Gao Peng masuk, ikan itu menyeringai. "Hai, Tuan!"
"Kamu sudah bangun." Gao Peng tersenyum dan menepuk kepala besar Ikan Gemuk Berlemak.
"Aku tidak bisa bertanya padamu karena kamu pingsan. Karena ini adalah pertama kalinya aku melihat artefak ilahi, bagaimana kamu menggunakannya?"
"Heh?" Ikan itu menatap Gao Peng dengan kewaspadaan yang meningkat. Apakah dia menginginkan artefak ilahiku?
"Percayalah, jika aku menginginkan artefak ilahi, aku bisa mengambilnya sekarang. Selain itu, apakah aku, Gao Peng, terlihat seperti orang yang mencuri dari monster pendampingnya sendiri?" Gao Peng berkata dengan riang.
"Ya, ya …" Ikan Gemuk Berlemak santai dan menurunkan kewaspadaannya. "Itu betul."
"Ini adalah Gigi Pemusnah Kaisar Laut. Ketika aku menempanya, aku harus memburu monster setengah dewa yang berada pada puncaknya, kemudian menggunakan bangkai lengkap yang baru dan serangkaian bahan lainnya." Ikan Gemuk Berlemak dipenuhi dengan kebanggaan.
"Kamu bisa berburu dan membunuh monster setengah dewa yang berada pada puncaknya?" Gao Peng mengecek ulang.
"Oh?" Dumby juga meliriknya.
Ikan Gemuk Berlemak tampak bingung dan kaget. Nada bicara apa itu? Dasar kalian itu ya! Aku seorang dewa, atau setidaknya dulunya! Apakah ada masalah dengan aku berburu monster setengah dewa?!
Ikan Gemuk Berlemak begitu marah sehingga paru-parunya hampir meledak. Paru-parunya mengeluarkan suara teredam. "Apakah kamu memiliki kesalahpahaman tentang aku? Aku seorang dewa." Ikan Gemuk Berlemak menggertakkan giginya.
"Kamu dulunya," koreksi Gao Peng dengan menyesal. "Maaf, tapi apa yang baru saja kamu deskripsikan menyimpang sedikit dari kesanku padamu …" Gao Peng mengulurkan tangannya dan memegangnya sedikit lebih lebar daripada sekedar pelukan.
"Aku tidak mengatakan apa-apa lagi." Fatty Big Sea mengayunkan pantatnya dan berbaring di lantai seperti bayi, memandangi langit-langit.
Gao Peng berhenti tertawa dan menepuk sirip ikan itu. "Anggap saja aku masih sangat ingin tahu tentang prestasi hebatmu di masa lalu."
Ikan Gemuk Berlemak mengayunkan sirip ekornya dengan marah.


Tiga tahun yang lalu, hewan dan tumbuhan di Bumi mengalami perubahan gila-gilaan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal yang mencakup transformasi, pemulihan, dan penambahan spesies dari dunia yang lain. Dan itu adalah awal mula lahirnya jenis profesi baru dalam generasi umat manusia, Pelatih Monster, orang-orang yang memiliki keahlian dalam menjinakkan monster.

Pada ulang tahunnya yang ke-18, sang karakter utama cerita, Gao Peng, tiba-tiba mempunyai kemampuan untuk dapat melihat data-data atribut dari setiap monster. Dengan kemampuannya ini, dia bercita-cita untuk menjadi pelatih monster terkuat yang pernah ada sambil mencari cara untuk menghidupkan kembali orang tuanya!

Kisah Cinta Mira dan Seorang Dokter gigi di rumah sakit milik sang kakek. Karena permintaan sang kakek Mira terpaksa menyembunyikan statusnya sebagai pewaris rumah sakit Hutomo yang mana calon mertua yang selalu melihat bibit, bobot dan bebet, membuat Mira jatuh bangun. sang mertua selalu meminta kekasihnya untuk memutuskan hubungan dengan Mira. 

karena yang calon mertua tahu, mira adalah anak dari pensiunan tentara.

Di sisi lain, Mira tak pernah tahu bahwa dia telah di jodohkan dengan dr.riyan ketika iya masuk SMP. 

Siapakah jodoh Mira, Apakah Mira dengan dr. gigi sang damban hati

Yan Hua merupakan putri satu-satunya dari keluarga aristokrat yang paling berkuasa di Kerajaan Tang, Keluarga Li. 

Ayahnya merupakan perdana menteri favorit Kaisar.

Ibunya merupakan putri tersayang dari keluarga terkaya di seluruh kerajaan. 

Kekayaan

Kehormatan

Ketenaran

Lahir dengan semua hal tersebut membuat hidupnya tampak sempurna.

Hingga tragedi itupun terjadi. 

Ia kehilangan segalanya, termasuk dirinya yang dulu. 

Menyisakan kesedihan, kebencian, dan hutang piutang yang tidak sedikit. Dan ia telah lama bersumpah untuk membayar semua hutang yang ada.

"Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, dan darah juga harus dibalas dengan darah."

Katanya sembari menatap langit penuh amarah.

Sekarang waktunya gigi untuk menginap di rumah tae appa dan eomma biasanya gigi menginap setiap seminggu sekali atau seminggu dua kali atau seminggu full gigi menginapnya yaa sesuai moodnya gigi wkwk

"Di jemput siapa gi kesananya?" tanya diana sambil memperhatikan gigi mempersiapkan keperluannya

"Di jemput tae appa mom" jawab gigi sambil memasukan barang-barangnya ke dalam tas

"Sama asyfa juga gak gi?" tanya mommy 

"Gigi gak tau mom appa cuma bilang mau jemput gigi tapi gak bilang kalau eomma ikut juga" jawab gigi masih fokus menyiapkan keperluannya

"Yahh padahal mommy mau cerita sesuatu ke asyfa" ucap mommy dengan ekspresi sedih

"Mau cerita apa mom? Kan ada gigi mommy cerita aja sama gigi" jawab gigi 

"Ini masalah orang dewasa anak bayi gak boleh tau" jawab mommy membuat gigi cemberut

"Gigi bukan bayi mommy, gigi kan udah 18 tahun gigi udah gede,mana ada bayi segede gini" jawab gigi tidak terima jika di bilang bayi

"Menurut mommy kamu itu bayi gi, sampai kapan pun kamu itu tetap jadi bayinya mommy yang super manja" ucap mommy sambil memeluk dan mencium gemas pipi gigi

"Mommy jangan di teken gitu ciumnya nanti lipstik mommy nempel di pipi gigi" ucap gigi sambil tertawa 

"Abisan mommy gemes sama kamu" jawab mommy masih memeluk erat gigi dari belakang

"Gigi emang gemesin dari dulu makanya kookie bisa cinta sama gigi hehe" jawab gigi sambil terkekeh

"Anak bayi gak boleh pacar-pacaran dulu" ucap mommy sambil mencubit hidung gigi 

"Boleh dong mommy" jawab gigi sambil terkekeh

"Gak boleh dong, anak bayi itu bolehnya diem di rumah di manja daddy dan mommy, di cium seluruh wajahnya sama daddy dan mommy, di perhatiin sama daddy dan mommy" ucap mommy sambil memainkan hidung gigi

"Di manja sama kookie dan di cium seluruh wajah gigi sama kookie jugaaa" ucap gigi dengan semangat yang membuat mommynya geleng-geleng kepala

"Emang bener kookienya cinta sama kamu? Kan kamu manja, usil, cengeng lagi" ucap mommy menggoda

"Cinta dong, kan gigi baik, perhatian, setia sama kookie, kookie bilang kookie suka gigi yang manja hehe" jawab gigi dengan pdnya sambil nyengir

"Ahh massa mommy gak percaya tuh" jawab mommy pura-pura gak percaya

"Mommy harus percaya sama calon menantunya dong, supaya gak ada kecurigaan antara mertua dengan menantunya hahaha" ucap gigi sambil tertawa 

"Iya deh percaya, tapi awas aja kalau jungkook bikin kamu nangis, sedih dan kecewa mommy jadiin perkedel nanti si jungkook" ucap mommy sambil melepaskan pelukannya

"Doain aja supaya gigi berjodoh sama kookie mom" ucap gigi sambil menghadap ke mommy dan menatap matanya 

"Mommy selalu doain yang terbaik buat anak mommy supaya anak mommy sehat, punya banyak cinta dari orang lain dan selalu bahagia" jawab mommy sambil menatap gigi dengan kasih sayang

"Thank you mom, i love love love love you my super hero" ucap gigi langsung memeluk erat mommy

"I love you more my daughter" jawab mommy membalas pelukan gigi sangat erat

"Barang-barangnya udah di masukin ke dalam tas gi?" tanya mommy sambil melepaskan pelukannya

"Udah mommy bantal gigi yang pink juga udah gigi siapin" jawab gigi 

Gigi punya satu bantal kesayangan berwarna pink, setiap gigi tidur selalu memakai bantal yang itu gigi gak mau pakai bantal yang lain kalau tidur menurut dia kalau pakai bantal yang lain rasanya gak nyaman dan baunya beda

"Kamu disana jangan berantem mulu sama arizza ya yang akur kalian" ucap mommy 

"Kita tuh gak berantem mom cuma lagi bercanda aja" jawab gigi sambil nyengir

"Kamu juga jangan usil sama arizza di bales aja kamu marah" ucap mommy yang membuat gigi nyengir tanpa dosa

"Abisan kalau disana gak usilin dia itu gak enak mom kaya ada yang kurang gitu haha" jawab gigi sambil tertawa

"Kalian itu saudara gak baik berantem" ucap mommy 

"Kan gigi udah bilang mommyku sayang gigi itu gak berantem gigi itu cuma bercanda sama arizza" jawab gigi sambil mencubit kedua pipi mommy dengan gemas

"HELLO MANUSIA MANUSIA BUMI APAKAH ADA ORANG DISINI? AKU INGIN MENJEMPUT ANAKU BERNAMA GIGI KIM APAKAH ANAK ITU ADA DISINI?" tiba-tiba terdengar teriakan taehyung dari bawah 

"ANAKMU YANG BERNAMA GIGI KIM YANG CANTIK JELITA ADA DISINI DI LANTAI DUA KAMAR PALING POJOK" jawab gigi dengan teriakan juga

"WAHAI ANAKU SAYANG APPAMU INI YANG PALING GANTENG DAN KEREN AKAN TIBA DI KAMARMU, TUNGGU APPA SAYANG" jawab taehyung menuju kamar gigi

"AKAN KUTUNGGU APPAKU SAYANG, AKU SETIA MENUNGGUMU DISINI" jawab gigi yang membuat mommy geleng-geleng kepala dengan kelakuan mereka berdua

"ANAKU SAYANG APPA RINDU SEKALI DENGAN ENGKAU SUDAH LAMA KITA TIDAK BERJUMPA" ucap taehyung saat sampai di kamar gigi dan langsung memeluk gigi dengan dramatisnya

"AKU PUN JUGA RINDU DENGAN ENGKAU WAHAI APPAKU SAYANG" jawab gigi tak kalah dramatisnya 

"AYO NAK KITA PULANG KE PLANET AS-" ucapan taehyung terpotong dengan teriakan seseorang

"BERISIK TAEHYUNG, HYUNG KEBANGUN GARA-GARA SUARAMU, HYUNG CAPE SEMALEM LEMBUR BUAT BIKIN LAGU" teriak seseorang itu dari kamarnya

"MAAF HYUNG TAETAE GAK TAU, SILAHKAN DI TERUSKAN TIDURNYA" teriak taehyung minta maaf 

"Appa sih segala teriak-teriak" ucap gigi menyalahkan taehyung

"Kamu juga teriak-teriak gi" jawab taehyung gak mau disalahin

"Udah dua-duanya teriak bikin berisik dan bikin beruang yang lagi hibernasi marah" ucap mommy menengahi sambil terkekeh

"Udah siap gi?" tanya taehyung 

"Udah appa ayo kita berangkat sekarang" jawab gigi sambil mengambil tas dan bantalnya

"Hati-hati oppa bawa mobilnya jangan sampe gigi lecet sedikitpun" ucap mommy sambil berdiri dan menghampiri gigi

"Siap laksanakan" jawab taehyung sambil hormat ala-ala prajurit 

"Jangan nakal disana ya sayang" ucap mommy sambil mencium seluruh wajah gigi

"Iya gigi gak nakal ko mommy" jawab gigi sambil salim dan mencium pipi mommy 

"Dahh mommy, yuk appa" ucap gigi sambil melambaikan tangannya ke mommy dan berjalan mendahului taehyung

"Yuk, diana aku pergi dulu ya" pamit taehyung

"Iya oppa hati-hati di jalan titip salam ke asyfa ya suruh dateng kesini ada sesuatu yang mau aku ceritain" jawab mommy 

"Iya siap nyonya kim namjoon" jawab taehyung yang membuat mommy terkekeh

Di perjalanan


"Gi arizza ada cerita sesuatu gak ke kamu?" tanya taehyung seraya fokus menyetir

"Gak appa arizza gak cerita apa-apa ke gigi emangnya ada apa ?" 

"Appa dapet kabar dari mata-mata appa katanya arizza ada yang jahatin cuma karena arizza pacaran sama daniel" jawab taehyung agak sedih

"Massa sih? Terus gimana appa?" tanya gigi dengan serius

"Appa gak tau harus ngelakuin apa karena itu masalah percintaan anak remaja appa gak bisa ikut campur dan mereka udah sama-sama dewasa jadi harus tau langkah apa yang harus mereka ambil" jawab taehyung 

"Daniel tau gak tentang masalah ini?" tanya gigi 

"Kayanya belum tau deh, arizza belum cerita ke siapapun termasuk eomma" jawab taehyung sedih

"Appa jangan sedih gigi bakal bantu appa buat selesain masalah ini" ucap gigi sambil tersenyum manis

"Kita cari jalan keluarnya bareng-bareng ya appa, kita buat arizza selalu bahagia" lanjut nya dengan nada lembut 

"Iya sayang, appa masih pantau daniel appa cuma mau tau gimana reaksi dan tindakan yang di ambil sama daniel pas tau masalah ini" ucap taehyung 

"Sekalian ngetest calon menantu" lanjutnya sambil nyengir

"Yakin calon manantunya daniel? Kayanya appa yakin banget kalau menantunya pasti daniel" ucap gigi menggoda 

"Harus yakin dong appa percaya daniel itu anaknya baik dia juga sifat nya dewasa humoris pula dan dari sorotan matanya pas ngeliat arizza itu kaya nya dia sayang banget dan sayang nya itu tulus ke arizza" ucap taehyung yakin

"Menurut aku sih juga appa, semoga mereka berjodoh" jawab gigi 

Setelah sampai dirumah gigi langsung berlari dan memeluk eommanya

"Eomma gigi kangen banget sama eomma" ucap gigi sambil memeluk erat eomma

"Kemarin pas ulang tahun daddy kan ketemu baru dua hari gak ketemu kangennya udah kaya gini" ucap eomma terkekeh sambil membalas pelukan gigi

"Hehe namanya juga orang kangen berat eomma" jawab gigi terkekeh

"Iya deh terserah gigi aja" ucap eomma sambil mencium pucuk kepala gigi dan melepaskan pelukannya

"Kamu udah makan belum?" tanya eomma 

"Belum hehe, gigi sengaja soalnya mau makan masakan eomma" jawab gigi dengan manja

"Yaudah kalau gitu eomma mau masak dulu ya buat makan malam nanti, kamu bisa kan tahan laper sampai masakannya matang?" tanya eomma sambil menuju ke dapur

"Bisa ko eomma, masak makanan yang enak yaa eomma masak ayam kecap kesukaan gigi hehe gigi mau ke kamar dulu eomma mau simpan barang-barang sama bantal gigi" jawab gigi dan langsung menuju kamarnya

Setelah sudah menyimpan barang-barang dan bantalnya, gigi langsung menuju ke dapur, tapi langkahnya terhenti karena gigi melihat appa yang sedang memeluk eomma dari belakang

Tiba-tiba pikiran jahilnya terlintas di otak membuat gigi tersenyum jahil

"ANGKAT TANGAN KALIAN SAYA TANGKAP KARENA TELAH MELAKUKAN HAL YANG TIDAK-TIDAK DI DEPAN ANAKNYA" gigi berteriak dengan suara bass nya seolah olah gigi jadi polisi yang menggrebek orang melakukan hal yang mesum

Karena kaget taehyung refleks angkat tangan dengan muka paniknya yang membuat eomma langsung mematikan kompor dan menengok ke arah gigi

"Kalian saya tangkap ayo ikut saya ke kantor polisi" ucap gigi dengan suara bassnya seperti suara lelaki

"Astaga gigi buat eomma kaget aja ihh" ucap eomma dengan kesal

"Maaf bu polisi salah saya apa ya sampai bisa di tangkap gini" ucap taehyung meladeni gigi

Namanya juga taehyung bukannya memarahi anaknya malah meladeni kekonyolan gigi wkwk

"Salah anda adalah telah membiarkan anak anda melihat adegan dewasa seperti itu" jawab gigi 

"Maafkan saya bu polisi saya khilaf lagian anak saya dateng tiba-tiba gak bilang dulu ke saya kalau bilang kan saya bisa lepas dulu pelukannya" jawab taehyung berakting

"Tidak bisa pak, kalian berdua harus saya tangkap" ucap gigi yang membuat eomma geleng-gelengkan kepalanya atas kelakuan mereka berdua

"Bu polisi mau apa? Biar saya kasih buat bu polisi asal saya gak di tangkap bu, bu polisi mau di cium?atau di peluk?" Tanya taehyung menggoda

"Jangan kurang ajar ya dengan saya" jawab gigi sudah mendalami perannya

"Saya gak kurang ajar ko bu polisi, kalau gitu bu polisi saya kasih kelitikan aja ya" ucap taehyung langsung menggelitiki gigi

"Ini buat bu polisi abal-abal yang mau grebek appanya sendiri" lanjutnya sambil terus menggelitiki gigi

"Haha udah appa geli haha appa udah nanti gigi pipis di celana haha APPA STOP HAHA APPA GIGI BILANG UDAH HA UDAH NANTI GIGI PIPIS INI" ucap gigi untuk menghentikan gelitikan appanya

Tiba-tiba 

"Hahaha GIGI NGOMPOL IHH JOROK" teriak taehyung sambil tertawa

"APPA SIH KAN UDAH GIGI BILANG STOP NANTI GIGI NGOMPOL JADI BENERAN NGOMPOL KAN" teriak gigi sambil ingin menangis karena malu 

"Taehyung oppa kamu usil banget sih sama gigi kasian tuh gigi mau nangis" ucap eomma sambil menghampiri gigi yang ingin menangis

"Eomma appa nakal sama gigi" adu gigi dengan air mata sudah di ujung dan siap meluncur

"Malam ini kamu tidur di luar ya tae oppa karena udah buat anakku nangis" ucap mommy yang membuat taehyung gak terima

"Yahh sayang gak bisa gitu dong, gigi maafin appa sayang appa gak maksud buat kamu nangis kaya gini kan niat appa cuma mau bercanda" ucap taehyung dengan muka bersalahnya

"Kan appa tau gigi kalau di kelitikin pasti pipis di celana gigi kan malu kalau sampe pipis di celana" jawab gigi sambil memeluk eommanya tapi yang nempel bagian atasnya aja bagian bawahnya dia jauhin karena takut celana eommanya kena air pipis nya

"Maafin appa gi appa gak maksud gitu ko sayang" ucap taehyung sambil mencium pucuk dan pipi gigi

"Mau kan maafin appa sayang?" lanjutnya 

"Iya gigi maafin tapi appa jangan ngulangin lagi ya" ucap gigi 

"Iya appa janji gak gitu lagi ko" ucap taehyung tersenyum

"Berarti nanti malam aku tidur di dalam dong" ucap taehyung gembira

"Tetap tidur di luar." finnal mommy yang membuat appa cemberut dan membuat gigi terkekeh

"ADA APAAN NIH PELUK-PELUKAN GAK NGAJAK-NGAJAK" teriak arizza tiba-tiba dan langsung ikut memeluk gigi dari belakang

"Eonni ko kamu pelukan posisi bawahnya begini menjauh dari eomma terus ko basah ya" ucap arizza masih memeluk gigi dan membuat gigi, eomma dan appa menahan tawanya

"Eonni ko bau ya kayak bau pesing" ucap arizza lagi dan tiba-tiba

"GIGI EONNI KAMU NGOMPOL YA YAAMPUN KAMU JOROK BANGET SIH UDAH GEDE JUGA MASIH NGOMPOL, YAHHHH CELANA AKU KENA OMPOL KAMU NIH IHH BAU PESING AHHH EOMMA CELANA ARIZZA BAU KENA OMPOL GIGI EONNI EOMMA GIMANA INI ARIZZA JUGA NGINJEK GENANGAN AIR OMPOLNYA EONNI INI" teriak arizza dengan hebohnya yang membuat semuanya tertawa

"Lagian kamu gak tanya-tanya dulu main peluk aja" ucap gigi dengen kekehan

"Udah-udah kalian mandi sana kalian bau pesing nih, biar eomma aja yang bersihin genangan air ompolnya gigi" ucap eomma 

"Okey eomma" jawab gigi sambil mencium pipi eommanya dan langsung berjalan menuju kamar mandi yang berada di kamarnya meninggalkan arizza yang sedang merengek

"EOMMA BAU INI" rengek arizza

"Mandi za biar gak bau lagi,begitu aja heboh kamu za" ucap eomma

"Iya deh eomma, yaudah arizza mandi dulu" ucap arizza sambil mencium pipi eommanya juga dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di kamarnya

"Kamu juga mandi tae oppa udah sore sekarang aku mau bersihin ini dulu sama terusin masakan aku yang ke tunda" ucap asyfa eomma

"Okey sayangkuh" jawab taehyung sambil mencium bibir asyfa dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di kamarnya

Seorang gadis yang mempunyai Appa dan Daddy dari member BTS yang sangat terkenal di seluruh dunia dan memiliki paman yang sangat menyayangi gadis ini, dia juga memiliki kekasih dari salah satu member BTS. Tetapi daddy gadis ini sangat overprotective padanya. Dan jangan lupa kekonyolan sang appa yang membuat kita geleng-geleng kepala

Gigi had finally found shelter. She ran towards the cave only to see that the cave was pitch black. Sad and disappointed, she walks away from the cave. She looks around to spot a flashlight lying on the ground. Astonished by the flashlight, she grabs it.

"So many different colours I must say." Gigi says with great pleasure, "I shall go in there and find out what evil is keeping the cave so dark with it's big mouth." Gigi then pressed the white button on the flashlight, which diverged white rays of light. "So cool, I guess." She walks straight to the cave until she reaches the mouth of the cave. "So dark, wonder if it'll swallow me whole, I wouldn't come back, but imagine though, I'll be most know. I'll be on the news as the 'Girl who got swallowed whole by a cave'. No, that's too long..." Gigi always cared about the lime light, she loved being seen. She points the flashlight to the cave and with great shock in her eyes, the light spread around the cave you could see from a distance what was going on. Gigi decides to walk in: "Breathe in, there's nothing here." Fear filled her whole body, Gigi was thinking for the worse, before she could even reach halfway through the cave, *Twitch*, the light went off. Gigi was terrified so she ran the opposite direction of the cave, "What's going on!", as Gigi screams. It's like someone had locked her in the cave. She sits down, filled with worry, starts to think of the worst once more. " Oh my, oh my, what is this foreign country, I have been abandoned by my mother, she has left me in the desert." Gigi starts to cry until her head began to ache. "What shall I do now." Suddenly Gigi heard a girl mimicking her. Gigi stands up and starts exploring around the cave once more with her awful curiosity. The more Gigi moved forward, the more she saw light. She began to run, running as fast as she can until she saw a girl holding a burning torch. Curious by what she has seen, she gets closer. The girl with the burning torch looked exactly like Gigi. "Who are you ma'am and why are you repeating everything I say?", as Gigi asks the girl with the flaming torch. "Oh my, why I'm Gigi 2, nice to meet you, I came here to replace you boo, don't mind if I do.", as the girl with the torch (also known as Gigi 2) said. "Why would you replace me if I may ask?", Gigi asks. "Well, hmm let me think, well, you don't want anything anymore. You're such a fool just to think that you're cool, but no you are not you are actually cruel. If you want to know the rest, take a seat and be my guest, wow this is such a fest." Gigi on the floor for there was no stool or chair at all.  She tried her very best to feel comfortable, but really she wasn't at all comfortable. Gigi sits down to listen to Gigi 2 to rhyme up her words in style: "Okay, now you listen, for you will have to care, and yes, it will obviously leave you in despair, you have to answer if it's really fair, you could even say if it's just unfair. This is my opinion, so could you be cautious, because what I am about to say, will just leave you hopeless. Okay then... I don't get why you really keep on trying and trying, while all you literally do is keep on crying and crying. Look at you, you couldn't even help yourself, instead you went up and kept on crying like your normal self. Take me as an example, I'm very perfect you see, I do whatever I want, whenever I please, I don't shed a tear, even if it's fake, because honestly I think I'm just a piece of cake. I'm very easy going, I'm the perfect me, I'm one of those girl that people want to see on TV but now you're in the way, but now today is my day.

Gigi instead of getting sad, she got mad. Gigi threw her flashlight straight to Gigi 2 and hit her at the face. The torch Gigi 2 was holding fell to the ground. The fire was surprisingly spreading but around Gigi 2. The fire surrounds Gigi 2. The fire got closer and closer to Gigi 2. The fire then stopped and Gigi 2 was nowhere to be seen, her ashes were not there but that didn't matter anymore, as long as she was gone.

New years, 2020 has finally arrived. Every one is rejoicing but some have their fake smiles to hide their true pain. Three kids, one world, more trouble, will there be love, will there be happiness? These questions will be answered in their world.

Kenyataan tentang kondisi Moca, terutama malam ini, pada akhirnya membuatku menyadari kenapa aku begitu ingin Gigi ada disampingnya. Tak lain, karena sedekat apapun aku padanya, tetap ada sisi yang tak bisa Moca tunjukan dihadapanku. Dan kenyataan tentang ketidak tahuan Gigi tentang keadaan Moca justru makin membuat aku sadar betapa kesepiannya kakakku. Moca sendiri bukan hanya tak ingin menyusahkan Gigi dengan kondisinya. Tapi tak ingin juga dikasihaninya. Dan kini Sasa mulai mempertanyakannya, aku semakin tak bisa mengendalikan kekhawatiranku.
"Kirain udah tidur." Kataku, kulihat Moca yang tertidur pulas di pangkuan Gigi yang justru tengah memandangi lelapnya.
"Ngga bisa tidur." Keluh Gigi, "Lama lama kaki urang kesemutan." 
Aku terkekeh geli melihat ringisan linu dimuka adikku. Pelan pelan kuangkat kepala kakakku, hingga Gigi bisa bergeser dan melepaskannya. 
"Ngga kebangun kan?" Tanya Gigi saat akhirnya dia bisa melemaskan kedua kakinya. 
"Kebo macam ini ngga akan mudah kebangun." Kataku, "Maneh ngga ngantuk?"
Gigi menggeleng. "Urang syok." Katanya seraya dengan nyaman mendudukan dirinya di sofa, "Ngga nyangka bakal liat muka dia yang begitu."
"Yang gimana?"
"Yang seolah urang segalanya." Kata Gigi lagi, dengan tenang menyalakan sebatang roko yang bersinar dengan terangnya di temaram lampu kamar. 
"Kemana aja maneh selama ini?" Tanyaku, pelan pelan kuhampiri Gigi yang menyodorkan rokok yang tadi dinyalakannya. "Urang udah coba ingetin maneh, Gi, berkali kali." Lanjutku. Entah kenapa kepulan asap dimulutku kali ini terasa seperti inhealer di hidung yang mampet.
Gigi menyandarkan pelipisnya dibahuku. Beberapa saat kami pertahankan kebisuan dengan berbagi rokok yang kami hisap bersama. 
"Maneh mau jujur sama urang ngga?" Tanyaku kali ini, "Sebenernya gimana sih perasaan maneh sama a Moca?"
Hening. Entah ragu atau apapun menahan pengakuannya. Kumatikan rokok ditanganku pada asbak dimeja yang duduk manis disamping bungkusan rokok persediaan Moca yang sekalian kusambar.
"Akang merokok mulai kapan sih?" Tanya Gigi tiba tiba.
"Entah. Maneh ngalihin obrolan nih."
"Kalo a Moca mulai kapan? Urang ngga begitu nyadar, tau tau urang udah biasa dengan kalian yang begitu."
"Mana urang tahu. Jelasnya urang ngga nyadar kapan mulainya tau tau udah kebiasaan."
"Ngga pernah nyoba berenti?"
"Ngga kepikiran tuh." Kataku, "Mungkin pengen, tapi ngga pernah berusaha kayaknya."
"Urang juga sama." Kata Gigi, "Tentang a Moca juga urang begitu." Lanjutnya, tangan kanannya melingkar dileherku sehingga wajahnyanya sedikit bersembunyi didadaku. "Dulu urang ngga tahu kapan tepatnya urang ngerasa dia beda, ngga kaya akang buat urang atau Randi. Lalu kejadian aneh itu terjadi, dan urang takut ketemu dia, tapi masih suka kangen, pengen nyoba lupain tapi ngga pernah ngeusahain dengan serius."
"Tapi maneh selalu diam saat berkali kali dia bilang dia suka."
Gigi menoleh pada Moca yang masih tertidur pulas, aku pun tak bisa menahan diriku untuk tak melihatnya. 
"Setelah akang ditolak mentah mentah apa akang bisa dengan mudah nerima disukain?"
Aku terdiam. Tak pernah berfikir kesana, keraguan Gigi murni karena trauma oleh penolakan Moca pada awalnya. 
"Maneh tahu Gi, dia sebenernya ngga pernah nolak?"
"Jelas kok."
"Coba maneh inget inget malem itu, apa yang kalian lakuin."
Gigi terdiam. Mungkin mengingat kembali kenangan buruk yang mereka lalui. Aku sendiri tak tahu pasti, hanya cerita dari dua sisi. Tapi yang aku yakini malam itu tak ada kata suka yang lugas, juga tak ada kata benci yang pasti.
"Kalo kata urang, malem itu kalian ngga waras, saling rayu dengan cara yang juga ngga waras, dan salahnya adalah kalian ketakutan justru karena kalian sama sama lagi ngga waras." Jelasku, jeda, kunyalakan rokok yang sedari tadi hanya kupegangi karena terlalu fokus pada kisah Gigi. 
"Tapi urang bilang urang suka dia." Bisiknya, "Lalu dia marah dan pergi gitu aja."
"Makanya urang bilang kalian ngga waras. Coba maneh bayangin segimana beratnya dia nahan diri malem itu." Kataku sedikit terlalu membela, "Urang emang bukan a Moca, tapi urang juga cowok, andai saat itu urang ada diposisinya pasti urang lebih ngamuk, secara, urang pasti ngga mau maneh kenapa kenapa tapi maneh malah nyerahin diri kayak gitu."
"Akang ih!" Jeritnya seraya menyerangku dengan cubitan di pinggang yang membuatku tak bisa menahan teriakan yang dengan mudah membangunkan Moca.
"Kalian ngapain sih?" Keluh Moca, tangannya menggapai jam dimeja yang menunjukan waktu lewat tengah malam. "Pacaran kok dikamar orang!" Dumalnya seraya meninggalkan tempat tidur.
"Kok bangun sih, a?" Tanya Gigi terdengar menyesal.
"Gimana ngga bangun kalian berisik banget."
"Maneh kan, pake nyubit sih." Kataku pada adikku.
"Akang juga ngomongnya seenaknya." Cetus Gigi.
"Apa sih ah!" Moca duduk disamping Gigi, mengapitnya antara dirinya dan aku, "Perlu gua wasitin kalian?" Lanjutnya.
"Ada ada aja otaknya." Kataku, "Sorry ya, aa jadi kebangun."
Moca menggeleng, "Iseng iseng melek semaleman sama kalian kayaknya asik." Katanya. "Kalian wajib tanggung jawab karena udah bangunin gua."
"Apaan sih!" Protes Gigi, "Pagi ini urang sekolah." Lanjutnya. "Akang juga." Kali ini telunjuknya menuding padaku.
"Formalitas." Kataku, "Minggu depan ujian juga, masih mikirin sekolah." 
"Nanti nguap nguap, ayah bakal ngamuk tau urang malah begadang."
"Ngga bakalan. Tar urang yang cariin alesan biar lu bebas bolos."
"Dill." Pekik Moca, "Enaknya ngapain yah." Lanjutnya seraya bangkit dan berlalu menuju pojokan tempat bunda meletakan lemari es di kamar ini, "Bir mau ngga?" Tanyanya saat pintunya terbuka.
"Racik dikit dong, a. Jangan nanggung." Pintaku.
"Ngambil gelas dulu kalo gitu." Pria itu menutup lemari esnya dan meninggalkan kami berdua.
Gigi menatapku penuh selidik. "Akang sengaja ya."
"Perlu kita bikin reka ulang kejadian malem itu?" Tanyaku, "Urang bisa ambil alih sepenuhnya."
"Ngga lah, ngapain juga?" Protesnya.
"Kalo gitu, beresin yah." Pintaku berusaha melembut. "Biar urang ngga terus terusan capek liat kalian ngga jelas kayak gini." Lanjutku. "Buka hati maneh, coba percaya sama dia sekali ini aja."
Satu, dua, tiga detik saja. Anggukan Gigi kulihat dengan jelas. Kuraih kepalanya dengan kecupan sekilas dipelipisnya yang tertutup juntaian poni panjangnya. Dua tahun sudah aku menantikan hal ini. Padahal keharuan dalam hatiku saat Sasa yang menerimaku setelah kejadian yang hampir sama seperti mereka berdua pun tak mengisi sebesar ini. Sepertinya aku pun mulai setak waras mereka berdua. 
"Sini a, urang yang bikin." Kataku, lari memburu Moca saat kulihat sosoknya melewati pintu kamar. "Gigi mau ngomong tuh," bisikku. "Atau mungkin aa mau ngomong lagi sama dia."
"Apaan?" Tanya Moca dengan bingung melirik Gigi yang kini meluruskan kakinya dengan bersandar dipegangan sofa. 
"Jangan sia siain usaha urang, please." Kataku seraya membuka pintu lemari es. Meraih beberapa botol kaca bermulut sempit. "Tiga menit aja, gua ngambil es batu ke bawah." Lanjutku.
"Nai!" Pria itu menjegal tanganku. "Liat gua baik baik." Katanya. Lalu menghampiri Gigi.
Meski Moca berkata untuk melihatnya, tapi tak urung juga kupalingkan badanku membelakangi mereka. Mencoba berkonsentrasi dengan perisa lemon, aroma pekat dan beningnya cairan tanpa warna ditanganku. Membagi ketiganya secara rata pada ketiga gelas yang tadi di bawa Moca dan mencampurnya bersama es batu yang ada.
"Lu mau ngomong apaan?" Tanya Moca, dengan bodohnya. "Atau gua aja kali ya yang ngomong." Lanjutnya makin bodoh.
"Kaku banget sih." Timpal Gigi santai. Sukurlah dari dua orang yang kuakui sodara itu tidak bodoh dua duanya. 
"Habis si Caca ujug ujug." Sial, Moca malah menyalahkanku.
"Ngga usah ngomong lagi, bikin grogi aja." Kata Gigi akhirnya. Anak itu sungguh pandai menguasai keadaan, "Urang udah cukup liat, cukup denger." Lanjutnya, hatiku semakin tenang. 
"Jadi?" Tanya Moca masih terdengar bodoh.
"Aa masih mau?" Tanya Gigi, mulai ambigu. Tapi tak ada jawaban apapun dari Moca, lalu. "Sebenernya urang juga masih suka." Aku Gigi tenang, "Dan kang Caca jengkel banget sama urang."
Cukup, aku kesal sekali untuk tak bergeming setelah disalahkan berkali kali.
"Jadi lu mau jadi cewek gua?" Tanya Moca lagi. Tetap saja terdengar bodoh. Tapi yang lebih bodoh lagi adalah kebodohannya yang mendorongnya untuk mencium Gigi tanpa peduli aku disini tepat saat kubalikkan badanku kea rah mereka.
"Jangan lupain urang ada disini!" Protesku seraya menempelkan salah satu gelas ditanganku ke wajah Moca.
"Siapa juga yang lupa." Kata Moca lalu mengambil gelas ditanganku.
"Terus ngapain barusan main nyosor?"
"Ngasih tanda." Katanya seraya duduk manis disamping adikku.
Seperti tadi, Gigi diantara kami. Dengan tenang meraih satu lagi gelas ditanganku, dan menyesapnya pelan tanpa ragu. 
"Saat orang orang dengan seriusnya nyiapin diri buat ujian, entah kenapa urang harus kejebak sama orang orang gila macem kalian dan kebawa gila juga." Ocehnya.
Moca tak menanggapi, kecuali dengan senyum sumringah melingkarkan tangannya dibahu Gigi. Dan aku pun tak akan menimpali, hanya bisa meraih kepala adikku ditangan dan membelainya lembut.
"Thanks, Gi." Bisikku teramat pelan langsung dikupingnya.

Seorang gadis skeptis yang bermimpi akan cinta sejati penuh romansa, seorang pria pengidap kelainan darah bawaan yang mati matian menyembunyikan kondisinya, dan seorang sepupu yang begitu sayang pada saudara saudarinya. Ada cinta, loyalitas dan kepedulian. Tentang berbagi, menjaga hati dan sikap melindungi.

Chapter 7: The Conversation
Gigi saw the green house from far away and almost escaped again. She had to stop for a few seconds to close her eyes and just breathe, she wasn't going to run away that time. So she gained courage out of nowhere and walked to where the house was, she needed to face her mistakes.
Liz opened the door really quickly, as if she had been waiting for Gigi. She was wearing lilac shirt and black trousers; her hair was messy but she still looked cute to Gigi. She always looked cute to Gigi. 
"Hi stranger, wanna come in?" Liz mumbled with a happy face as she always had. Gigi couldn't believe she was stepping in on Liz's house again in that short amount of time. "Your phone is here." Liz rapidly gave Gigi her phone and accidently touched her hand. They both stood still and Gigi just knew that Liz felt the same electricity going through her body as she was feeling. 
"I'm the dumbest person ever. I just don't really care about my phone and I was having such a nice time yesterday!" Gigi replied almost embarrassed while she made her way into Liz's house. That house always smelled like cookies and grass, and Gigi just loved it, it felt so warmth.
"I'm glad you had fun! I saw you really engaged in a conversation with the girls. I assume you weren't really talking to them before last night, am I wrong?" Gigi shook her head and bite her lip to show how ashamed she was, talking about it so lightly with Liz felt weird. 
On the other hand, Liz was trying to be mean; she knew that Gigi wasn't talking to them but wanted to try her, was she really sorry for what she had done to their friends? "They really missed you." Liz followed Gigi to the kitchen, she was almost amazed at how naturally Gigi was walking around her house, almost as she had never left at all.  "We all did." She added. Gigi was shocked at the confession; Liz had missed her? For real? 
Gigi and Liz sat on the chairs from the kitchen table. Liz had prepared coffee for her (Gigi was sure Liz still knew how she liked her coffee) and there were some cookies on the table, as if Liz had really cared about Gigi at least for two seconds. 
"Is you mom home?" Gigi changed the subject, a common thing for her to do when she felt threatened or did not know what to do. "My mom needs me to tell her something." She was already lying and she had just arrived on the Monrae's house. Great. 
"My mom isn't home; you'd have a way fancier breakfast served if she was here." Liz admitted and started eating one of the cookies. She thought that conversation with Gigi was going to be harder but it felt natural.
"I already had breakfast but this is cute. Cereals are better though." Teased Gigi and immediately started to drink her coffee. Yes, Liz remembered her how she liked her coffee. Gigi felt flattered.
"Well, some things never change." And it was true, who would have thought they would be simply sitting next to each other holding a conversation after all those years of pain?.
"Yeah?" They stayed in silence for a couple of minutes but it wasn't awkward at all, they were just co-existing. Liz felt inexplicably good around Gigi and Gigi never felt like she wanted to run away, which was a good sign. 
"Do I need to start talking or you'll eventually start?" Liz was impatient. She needed to hear Gigi's side of the story; she was kind of hoping to hear a really good excuse that made everything better for both of them. "Why did you do that, Gigi?" Liz was feeling fierce. 
"I just- I don't know. I really needed to leave in that way." Gigi wasn't expecting Liz to start that conversation. Liz was a really shy and non-confronting person and Gigi always had something to say, even to switch the conversation into her favor. It was funny how things had changed. 
"And that need prevented you from behaving as a good person?" The conversation was already starting out strong, as it should have been the second Gigi started having thoughts about leaving.
"I guess so." Gigi truly did not know what to say and this situation was not what she was expecting. She was expecting them to play dumb around each other for a while like it had happened the day before, but it just did not happen this time because Liz had a lot of things to say and no one was around that time. 
"Come on Gigi, we're not seventeen anymore. You're gonna have to try harder than that. At least with me. I think you owe me that." Liz crossed her arms. She had only been nice to Gigi the previous day just because her parents were around or so Gigi thought, maybe Liz was this new confronting serious person now. 
"I surely do, and I'm incredibly sorry Liz I just thought it was the best thing to do at the time." 'What a lame excuse' thought Gigi. Her tongue was acting weird on her and wasn't allowing her to speak correctly. It was almost excruciating to see how the queen of words was falling flat on her face. 
"A warning would've been nice, Gigi. But sure, you were never mature enough." Liz was really pissed, even though she shad tried over the years to hold only positive thoughts about Gigi, seeing her made her realize she was still hurt.
"I was never mature enough? Liz, please, we both know you were the baby of the relationship. Always crying and complaining about every single thing." Gigi wanted to shut her own mouth immediately but wasn't being able to. Insulting Liz surely wasn't the right choice if she wanted the orange head to forgive her at some point.
"And you knew that but still decided to make me feel bad! What an amazing person." Luckily, they were interrupted by Liz's phone, she asked Gigi for a second and left the room. 
That conversation was not going well and the worst part wasn't that Gigi was at a loss of words, it was that all that Gigi wanted to do was kissing Liz. Literally. She couldn't stop staring at her soft lips. She really needed to rearrange her tactics, being a cold person wasn't ever going to work, at least not with Liz.
Minutes started passing by and Gigi was getting more and more anxious, her head was elsewhere and her intelligent thoughts were nowhere to be found. When Liz came back Gigi could see the guilt written all over her face.
"Sorry Gigi, I think we're gonna have to have this conversation other day. I forgot I had a couple of things to do with Delilah." Gigi wanted to kill Liz with her own hands. Was that her karma? She literally hadn't even started drinking her coffee and had only been able to say two words to Liz. Was she that unimportant to her Liz? It seemed like she was.
But, on the other hand, maybe she could be more prepared next time and have her arguments straight, so it might have been a blessing. Although deep inside Gigi knew that the thing that upset her the most was the fact that Liz was going to spend her time with Delilah and not with her.
"Well? Have fun with your girlfriend, Liz" She managed to stand up as quickly as she could and walked alone to the door.
Liz did not dare to say a word. Yes, she could cancel on Delilah and just keep fighting with Gigi but was she ready? Not at all. Gigi meant so much to her that having a strong conversation out of nowhere could end up really bad. She did not even stand up to say bye, she was petrified.


Gigi Geffrey’s life was about to change and she had no idea about it. Everything was perfectly planned by her, she had the best grades she could ever dream of, an amazing group of friends, and the perfect body. She thought she has everything worked out until she returns to her hometown after three years only to find out she still has a lot of things to figure out.
With a terrible past behind her and a big mistake she made before leaving, Gigi only wants to make things up with the only person she truly cared about but she receives a cold slap in the face when she finds out this person was not willing to forgive her easily.
Will she be able to make things up with the person she loved the most on Earth? Would she be able to finally explain why she left Illinois in the first place?
Content tags: +16, explicit language, LGBTQ+
Dress is created by Candela Schneer, an eGlobal Creative Publishing Signed Author.

gigi Novel

Bebaskan Penyihir Itu

Get Back to You

Evolusi Monster Peliharaan

Dia Bukan Jodoh ku

Angel's Trumpet

Daddy dan Appa

DEAR GIGI

Cry till the year ends

Gigi

Percintaan Di Klinik Gigi

Why You

Dress

People search gigi also like: