webnovel

Xandreas : Curse of Heaven

Xandreas, bagian dari malaikat Tanah Edenia yang terlahir dari sebuah kesalahan. Malaikat cacat yang tak mampu hidup sebaik para malaikat lain. Dia dibuang dari Edenia ke Inferna, dikurung di tanah neraka hingga hari penghakiman tiba. Dia membenci Edenia, tidak ingin terjebak dalam Inferna. Oleh karena itu, Xandreas berhasil meloloskan diri dari Neraka Inferna. Namun, sebagian tubuhnya akan membusuk jika berada lama di dunia. Cara satu-satunya Xandreas untuk bertahan hidup dan menyempurnakan kembali tubuhnya yaitu dengan memakan jiwa-jiwa makhluk hidup, terutama manusia. Xandreas yang malang. Xandreas yang malang.... Tak ada jalan pulang selain berhadapan pada bayangan yang menyapanya dengan seringai dalam kegelapan. ***** Xandreas : Curse of Heaven © Korona Noire FB : Korona N

Korona_Noire · ファンタジー
レビュー数が足りません
9 Chs

Chapter VIII (Wanita Aneh)

"Maksudmu, kau melihat makhluk aneh yang digendong wanita bernama Arthen itu?"

Hampir terpekik kaget, Ania tak menyangka jika Xandreas akan bertanya demikian padanya. Wajah Xandreas memang datar, tapi ia yakin jika pria itu ingin mendengarkan ceritanya, begitu pula dua sosok yang berada di sampingnya.

"Kelihatannya kalian tertarik dengan cerita ini," kata Ania berusaha sesantai mungkin. "Aku jelaskan sedikit tentang Nyonya Arthen. Beliau sudah mengalami gangguan jiwa semenjak semua anggota keluarganya tewas akibat perampokan sadis. Anak pertamanya yang masih bayi terbunuh dalam peristiwa tersebut. Hal itu membuat Nyonya Arthen gila, sering berteriak setiap hari mencari anak yang bahkan belum diberi nama sebelumnya. Baru sore tadi sepulang kami dari sekolah, aku melihat dengan jelas yang digendong Nyonya Arthen adalah makhluk aneh. Biasanya beliau tidak akan menggendong apapun dan berteriak mencari bayinya."

"Menurutmu hal itu aneh?" tanya Rethan, menyeruput kopinya.

"Kau sendiri juga tahu 'kan kalau Nyonya Arthen tak pernah menggendong benda apapun. Apalagi benda ini terlihat sangat mengerikan. Ditambah lagi, orang-orang sekitar perbatasan kota dan pelabuhan sini banyak hilang ketika melewati jembatan. Aku curiga jika hilangnya banyak orang ada hubungannya dengan Nyonya Arthen."

"Hush! Maksudmu, Nyonya Arthen membunuh banyak orang yang lewat dekat jembatan?" tanya Lurie tak yakin dan enggan untuk berprasangka buruk.

Ania mengelak, "Ish! Bukan aku yang bilang Nyonya Arthen membunuh banyak orang. Cuma curiga saja karena mereka kebetulan menghilang di area jembatan, tepatnya dekat villa Nyonya Arthen."

Mendengar cerita Ania, Kuin menyimpulkan sesuatu dalam pikirannya sendiri. Anak itu mulai membisiki Rethan yang kebetulan duduk di sampingnya.

"Kurasa ini agak mencurigakan. Apa perlu kita selidiki?"

Rethan hanya membalas dengan tatapan meyakinkan. Mereka mengangguk setuju, hal aneh seperti yang diceritakan Ania memang perlu diselidiki. Entah mengapa, semenjak kehadiran Xandreas perasaan mereka jadi tak karuan. Sempat keduanya menengok ke arah Xandreas, pria itu juga terlihat serius mendengarkan cerita Ania dari awal.

"Kalau begitu…." Mendadak Kuin berdiri dari kursinya. Wajahnya dibuat panik agar lebih meyakinkan. "Kami harus pergi."

"Eh? Mau kemana?" tanya Lurie.

Rethan menyahut, "Mau… membawa Xandreas ke rumah sakit!"

"Hah?" Xandreas yang tidak tahu apa-apa malah kebingungan dengan tingkah laku Rethan dan Kuin, mengambil alasan bahwa dirinya musti dibawa ke rumah sakit.

"Ke rumah sakit?" Kali ini Ania yang bertanya, "Memangnya Xandreas sakit apa?"

"Sakit kulit!" jawab langsung Kuin.

"Kan kemarin yang membuatnya sempat tumbang akibat sakit kulit, kan?" tambah Rethan pula.

Lurie mengangguk mengerti. Saat menemukan Xandreas dalam keadaan membusuk kemarin, mungkin itu yang dimaksud dengan sakit kulit seperti yang dikatakan Kuin dan Rethan.

"Kalau begitu, pergilah. Hati-hati di jalan, dan semoga Xandreas cepat sembuh," ucap Lurie.

Keduanya hanya membalas dengan senyum canggung, buru-buru menarik Xandreas yang masih kebingungan beranjak dari kursi, keluar dari ruang makan.

Ania melihat, sempat dibuat heran oleh keanehan mereka bertiga. Sebenarnya, sejak Lurie memperkenalkan Rethan dan Kuin pun, ia sudah menaruh curiga. Diitambah lagi dengan kehadiran Xandreas yang terkesan misterius. Mengenyahkan rasa curiganya, Ania lebih memilih lanjut memakan salmon panggang buatan Rethan.

Ania benci mengakuinya, tapi setiap masakan Rethan memang selalu terasa enak.

~*~*~*~

Malam ini, pelabuhan pantai terlihat lebih sepi dari aktivitas para nelayan dan pedagang ikan. Hal itu karena siang tadi sempat terjadi hujan lebat disertai angin kencang, membuat semua kegiatan di pelabuhan terpaksa diabsenkan. Selain menjadi tempat para nelayan mencari nafkah, pelabuhan besar membentuk jalan sepanjang tepi pantai ini juga menjadi tempat banyak kapal angkutan berada. Bisa dilihat beberapa kapal besar masih berada di dekat pelabuhan, banyak keberadaan kontainer di dekat pelabuhan yang baru saja diantar kemari maupun yang akan dikirimkan.

Kuin, Rethan, dan Xandreas melompat lincah dari satu kontainer ke kontainer lain dengan kecepatan tidak manusiawi. Tujuan mereka sekarang adalah sebuah villa tua dekat jembatan menuju kota.

"Aku tak mengira jika kau bisa bergerak selincah kami, Xandreas," kata Rethan saat melihat Xandreas lompat menyusul mereka berdua di belakang.

Sesaat Xandreas memperhatikan telapak tangannya sendiri, merasa bingung juga dengan kemampuan yang dimiliki tubuhnya itu. "Aku sendiri juga bingung mengapa aku bisa selincah ini. Bukankah aku pernah cerita bahwa aku malaikat cacat yang bahkan jalan kaki saja tidak bisa?"

Rethan tak menyahut lagi. Kalau Xandreas terus mempertanyakan kelebihan yang didapat pada tubuhnya, bakal jadi panjang saat dibahas. Ia mengerti jika Xandreas masih belum bisa terbiasa penuh dengan cara kerja tubuhnya. Saat pertama kali bisa berjalan pun, Rethan bisa menebak raut wajah pucat Xandreas terlihat syok.

Sambil terus melompat lincah bersama mereka, Kuin mulai bicara, "Apa kau merasakan perasaan aneh saat ini, Rethan? Kita sudah semakin dekat dengan jembatan. Apa kau juga merasakannya, Xandreas? Aku yakin, malaikat juga punya insting yang sama dengan kami kalau soal mendeteksi aura."

"Mendeteksi aura?" Sejenak Xandreas berpikir, menerka-nerka perasaan yang mulai membuat pikirannya tidak enak. "Maksudmu, perasaan kelam ini? Antara senang dan mengerikan, tapi hal mengerikan ini jauh lebih mendominasi."

"Wah! Bahkan kau mampu menyimpulkannya," puji Kuin pada Xandreas. "Aku hanya bisa merasakan aura hitam yang semakin kuat selama kita mendekati tempat tujuan."

"Sepertinya yang dikatakan Ania benar," komentar Rethan membenarkan. "Memang ada yang tidak beres dengan Nyonya Arthen yang selama ini berperilaku gila."

"Memang orangnya sudah tidak beres, bukan?"

"Bukan itu maksudku, Bocah!" teriak Rethan pada Kuin. "Maksudku tentang benda mengerikan yang digendong Nyonya Arthen. Apa mungkin benda itu yang menguarkan aura mengerikan yang kita rasakan saat ini?"

"Semakin dekat, kah?" tanya Xandreas saat merasa aura yang mereka maksud terasa semakin kuat.

"Kurasa begitu," jawab singkat Rethan.

Setelah keluar dari area pelabuhan dan sempat melompati kerangka-kerangka penopang jembatan kota, ketiganya mendarat tepat di depan pagar besar sebuah villa. Suasana kelam mencekam, gelap dan sunyi. Bisa ditebak bahwa villa tua ini sudah lama tak terurus, terlihat dari banyak tanaman rambat tumbuh liar melingkari jeruji-jeruji pagar.

"Pagarnya tidak dikunci. Kita langsung masuk saja," usul Kuin saat membuka pintu pagar.

Mereka bertiga melangkahkan kaki memasuki area halaman depan. Pemandangan di sekitar sini cukup gelap, beruntung mereka memiliki penglihatan khusus karena sama-sama bukan manusia. Suasananya jauh lebih mencekam ketimbang tersesat di area kuburan di tengah malam, kabut hampir menutupi pemandangan sekitar, hanya saja kabut-kabut itu berwarna kemerahan dan berbau agak amis.

"Ugh…! Sepertinya, aku kenal dengan bau kabut ini." Rethan mengibas-ngibaskan tangannya di depan agar kabut-kabut menjauh dari sekitar.

Sesampai di depan pintu utama, perlahan Kuin mencoba untuk membukanya. Seperti halnya dengan pagar tadi, pintu villa sama sekali tidak dikunci.

"Pemilik villa ini sama sekali tidak menjaga keamanannya dengan baik," komentar Kuin asal.

"Kau kira orang gila mampu mengurus villa ini sendiri?" omel Rethan atas komentar tak berfedahnya Kuin.

Villa itu sangat besar, tapi banyak bagian-bagian bangunan telah rusak, bahkan tangga utamanya sudah roboh. Keadaan sekitar sangatlah kotor, bau amis menguar dimana-mana, jendela-jendela banyak yang pecah, perabotannya rusak juga berserakan kemana-mana.

Ketika mulai melangkahkan kaki memasuki villa, Xandreas dikejutkan dengan sesuatu yang basah terinjak oleh kakinya. Melihat ke sol sepatu boots hitamnya, Xandreas menyadari jika sesuatu yang basah dan lengket itu adalah darah segar.

"Darah?" Xandreas mengguncang-guncang kakinya, bermaksud menyingkirkan darah itu dari sepatunya.

Mereka juga baru menyadari jika sepanjang lantai di villa ini terdapat banyak genangan darah segar dimana-mana, bahkan di tembok dan plafon villa pun menetes beberapa tetes darah hampir mengenai Rethan juga.

"Bagaimana bisa ada darah di villa Nyonya Arthen?" tanya Kuin heran sambil melihat bercak-bercak darah di plafon. Sempat darah itu menetes di hidung mancungnya, Kuin pun iseng-iseng mencolek, menjilat darah tersebut.

"Ish! Kau menjilatnya?" Rethan menatap Kuin jijik. Sebagai iblis, mereka sudah terbiasa minum darah. Tapi kalau darahnya tidak jelas, agak terlihat menjijikan juga.

Sejenak Kuin mencecap mulutnya sendiri, terlihat berusaha merasakan darah yang ia jilat. "Rasanya berbeda dari darah pada umumnya."

"Maksudmu, mungkinkah darah itu bukan berasal dari manusia?" tanya Xandreas.

"Kalau bukan dari manusia, lantas darah-darah ini berasal dari mana?" Rethan kembali mendongak melihat seisi ruang villa. "Kukira ada pembunuhan masal di sini."

"Bukan dari binatang juga. Tapi, ini masih sedikit ada rasa darah manusianya. Hanya saja, rasa asing yang lebih mendominasi."

"Sebaiknya, kita coba telusuri tempat ini. Dari tadi kita sama sekali belum menemukan keberadaan Nyonya Arthen," usul Rethan, mengajak dua rekannya.

….

Seisi villa sangatlah luas, butuh waktu cukup lama untuk menelusurinya, walau baru di bagian bawah dan halaman saja. Mereka bertiga sama sekali belum menemukan keberadaan Nyonya Arthen. Yang mereka temukan hanyalah genangan darah segar seperti sebelum-sebelumnya.

Kuin diam di tempat, wajahnya pucat pasi merasakan aura kegelapan semakin kuat ketika mereka melangkah menuju koridor villa dekat halaman belakang. "Aura kegelapan yang kurasakan sangatlah kuat. Lewat sini, Rethan, Xandreas!"

Mereka berlari mengikuti arah Kuin hingga akhirnya sampai di tengah koridor. Betapa terkejutnya mereka melihat benda raksasa aneh menggantung di plafon koridor, kelihatan seperti gumpalan daging berurat, terlumuri oleh darah segar dan berdetak seperti jantung.

Di hadapan mereka, berdiri sosok Arthen membelakangi, tepatnya menghadap pada benda aneh itu. Wajah sang wanita nampak mengerikan, senyum lebar dan mata terbelalak sempurna, terlihat antara syok atau memuja keberadaan benda tersebut.

"Itu Nyonya Arthen," bisik Kuin.

"Dan benda apa yang dia perhatikan itu?"

Pertanyaan Xandreas membuat kedua iblis dekatnya kembali memperhatikan gumpalan daging mengantung itu. Bentuknya mirip seperti kepompong serangga dengan nadi dan aliran darah semakin mengotorinya, setetes demi setetes darah dari benda itu jatuh menciptakan genangan darah baru.

"Sekarang aku mengerti." Mata Kuin terus memperhatikan aliran darah pada benda itu. "Semua darah di villa ini berasal dari kepompong itu."

"Kepompong?" Rethan menoleh heran pada Kuin sesaat, lalu kembali memperhatikan benda itu. "Lebih mirip gumpalan janin ketimbang kepompong."

"Soal gumpalan janin." Xandreas mulai menunjuk ke depan. "Kalian sadar kalau wanita itu terus meneriakan soal anaknya."

"Hah?"

Wanita yang dimaksud Xandreas, Arthen, berdiri merentangkan tangannya. Mulai meneriakan rangkaian puja-puji pada benda menjijikan tersebut, merapalkan doa yang tak masuk akal, mengharap jika anak yang ia maksud bisa hidup dalam damai di dunia ini.

"Oh, Anakku! Akhirnya, sebentar lagi kau akan lahir ke dunia ini, Sayang. Aku berjanji akan lebih menjagamu. Akan kukorbankan semua yang ada di dunia ini, bahkan nyawaku sendiri akan kukorbankan demi kehidupanmu, Anakku…!"

Guncangan mulai terasa di seluruh villa, membuat ketiga lelaki itu hampir kehilangan keseimbangan. Suara gemuruh terdengar nyaring seiring guncangan terjadi. Perlahan benda berupa gumpalan daging itu terkoyak, menyemburkan darah segar begitu banyak dengan bau busuk menyengat, hampir membanjiri lantai sepanjang koridor.

Perlahan dan perlahan isi dari gumpalan keluar. Gumpalan daging baru dengan ukuran besar terpampang di hadapan mereka, menggeliat bagaikan belatung, berkulit keunguan bergelambir dengan darah membasahi sebagian tubuh gemuknya. Setelah satu gumpalan tubuh muncul, kini disusul dengan kepala besar bengkak-bengkak tercipta di bagian atas gumpalan, beserta sepasang kaki dan tangan yang tidak seberapa ukurannya.

Bagian daging pada kepalanya robek membentuk mulut penuh gigi-gigi berantakan, hidung besar seperti hidung babi, satu mata muncul lebih besar dibiarkan terpejam akibat pembekakan, dan satu mata lagi perlahan terbuka menampakan warna.

Merah menyala. Menatap nyalang ke arah mereka bertiga. Menggeram, memberontak tidak suka!

Xandreas, Rethan, dan Kuin terpaku di tempat. Baru menyadari jika makhluk di hadapan mereka memang benar-benar makhluk berbahaya yang sangat mengerikan dan menjijikan.

"Makhluk itu…."

~*~*~*~