webnovel

Xandreas : Curse of Heaven

Xandreas, bagian dari malaikat Tanah Edenia yang terlahir dari sebuah kesalahan. Malaikat cacat yang tak mampu hidup sebaik para malaikat lain. Dia dibuang dari Edenia ke Inferna, dikurung di tanah neraka hingga hari penghakiman tiba. Dia membenci Edenia, tidak ingin terjebak dalam Inferna. Oleh karena itu, Xandreas berhasil meloloskan diri dari Neraka Inferna. Namun, sebagian tubuhnya akan membusuk jika berada lama di dunia. Cara satu-satunya Xandreas untuk bertahan hidup dan menyempurnakan kembali tubuhnya yaitu dengan memakan jiwa-jiwa makhluk hidup, terutama manusia. Xandreas yang malang. Xandreas yang malang.... Tak ada jalan pulang selain berhadapan pada bayangan yang menyapanya dengan seringai dalam kegelapan. ***** Xandreas : Curse of Heaven © Korona Noire FB : Korona N

Korona_Noire · ファンタジー
レビュー数が足りません
9 Chs

Chapter VI (Kesedihan)

Beberapa saat setelah hujan reda, sinar mentari jingga mulai memancarkan cahaya terangnya menembus barisan jendela di suatu ruang keluarga. Keadaan rumah saat ini terasa lebih sepi setelah upacara pemakaman selesai. Tangan keriputnya dengan telaten membersihkan bingkai foto yang terpajang di salah satu nakas dekat sofa, di dalamnya terpajang sebuah foto keluarga lengkap yang terlihat tersenyum sumringah berbahagia. Salah satu anggotanya adalah sang suami yang baru ini meninggalkan dirinya dan keluarga.

Senyum terukir di wajah manulanya, tetapi tak mengenyahkan rasa duka yang begitu dalam. Usia pernikahan Morin dan Mandy terbilang begitu lama, bahkan anak-anak mereka sudah bekerja dan memiliki keluarga masing-masing. Mandy hanya bisa menghela nafas pasrah, ia yakin jika hal ini akan terjadi. Salah satu dari mereka berdua pasti akan berpulang lebih dulu, yaitu Morin, sang suami.

Hampir saja terlonjak kaget saat Mandy mendengar suara ketukan pintu yang terdengar teratur. Dia bingung dengan siapa yang bertamu di sore hari begini. Dengan hati-hati Mandy menaruh kembali bingkai fotonya di nakas, merapikan sedikit tatanan rambut berubannya yang disanggul, lalu melangkah menuju pintu.

Saat membuka pintu, Mandy terheran dengan sosok yang datang ke rumahnya. Agak sedikit ingat jika pria ini sempat bicara padanya saat di pemakaman sang suami, sosok pria dewasa jangkung dengan rambut panjang sewarna perak, dan memakai mantel hitam yang terlihat sangat pas di tubuh proposionalnya.

Sedangkan pria itu sendiri, Xandreas, masih berdiri mematung di sana walau sudah berhadapan langsung dengan Mandy. Dia kemari dengan hati yang mantab untuk bertemu dengan wanita ini dan bicara baik-baik.

Perasaan lain dalam dirinyalah yang menuntun Xandreas untuk kemari dan mampu menemukan rumah megah nan tua ini. Xandreas yakin, apa yang ada dalam dirinya inilah yang begitu meronta untuk bertemu dengan wanita paruh baya di hadapannya.

Suasanan terkesan canggung di antara keduanya, membiarkan kehangatan segar mentari sore menyentuh mereka. Hanya saling tatap-menatap antara sepasang manik kelabu dan keemasan itu. Namun, hanya bertahan beberapa lama hingga Mandy berdehem.

"O-oh…. Kau, pria yang sempat berada di pemakaman suamiku, kan?" tanya Mandy dengan senyum ramah di wajahnya.

Melihat senyum wanita tua ini membuat hati Xandreas tersentuh, semakin mendalamkan rasa bersalahnya yang teramat sangat karena telah menjadi penyebab utama terpisahnya sepasang insan yang masih saling menyayangi.

"Eh…. Iya, benar. Oh!"

Buru-buru Xandreas menyerahkan sebuket bunga lily yang sempat ia sembunyikan di punggungnya. Setahunya, bunga lily adalah bunga yang disakralkan oleh kepercayaan mereka. Sering digunakan sebagai perantara doa untuk menghormati para dewa-dewa di berbagai kuil dunia, sekaligus menjadi bunga tersuci untuk diberikan pada sosok yang berhati suci pula seperti Mandy.

"Ini, untukmu. Maaf jika aku tidak sempat menyerahkan bunga-bunga ini di pemakaman," ucap Xandreas tulus.

Dengan senang hati Mandy mengambil bunga itu. Aroma bunga lily alami yang tercium benar-benar membuat hatinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak salah jika leluhur mereka menjadikan bunga lily sebagai bunga suci.

"Terima kasih atas bunganya, Nak. Masuklah…."

"Tidak, Nyonya."

Mandy menghentikan langkahnya memasuki rumah saat Xandreas berucap, enggan untuk bertamu. Bukannya lancang, tapi Xandreas merasa penjahat seperti dirinya tidak pantas untuk memasuki rumah ini. Penyesalan pasti akan semakin terasa jika melihat segala macam benda yang berkaitan dengan mendiang.

"Maksudku, aku… tidak bisa berlama-lama di sini. Masih ada urusan yang harus kukerjakan," lanjut Xandreas, "Aku kemari hanya ingin mengucapkan turut berbela sungkawa atas kematian suamimu. Ini… sangatlah buruk saat tahu beliau meninggal karena dibunuh seseorang. Pasti… tidak akan ada ampunan untuk orang yang telah membunuhnya."

Tanpa disadari, perlahan Xandreas tertunduk lesu. Membayangkan betapa bencinya Mandy pada sosok yang telah membunuh suaminya. Mungkin dendam akan semakin tumbuh di hati dan Xandreas takut jika Mandy akan mengalami gangguan mental yang berat karena harus kehilangan Morin.

"Kenapa harus begitu?"

Xandreas menaikan wajahnya, melihat senyum Mandy belum pudar juga walau ia berbicara demikian. Perasaan sedih dan duka memang jelas ada, tapi rasa benci, murka, dan dendam hampir tak ada dalam raut wajah itu.

Benarkah ada manusia sesuci ini?

"Kepergian seseorang ke sisi para dewa adalah takdir yang telah dituliskan semenjak masing-masing orang dilahirkan." Tatapan mata Mandy menerawang jauh ke langit jingga di sana. "Tidak ada yang mampu mengelak jika kita akan berakhir dengan kematian. Aku sudah menduga bahwa hal ini akan terjadi. Sangat sia-sia jika aku menghabiskan masa-masa tuaku hanya untuk membenci pembunuh suamiku. Lebih baik aku melakukan hal-hal baik hingga aku menyusul Morin, seperti berkumpul dengan keluargaku atau menambah ketaatan imanku di kuil."

Nafas Xandreas hampir tertahan, dibuat terkejut dengan jawaban yang tak terduga menurutnya. Manusia pasti akan menyimpan rasa benci terhadap sosok yang telah merenggut nyawa orang yang mereka kasihi, tapi wanita tua ini berbeda. Hati Mandy benar-benar suci, bahkan malaikat pun akan memuji kesuciannya.

"Aku ikhlas atas kepergian suamiku dan aku tidak ingin berlarut dalam kesedihan. Aku percaya, Dewa telah memberikan jalan yang terbaik bagi kita."

Rasa sedih sekaligus kagum menyentuh hati Xandreas hingga tanpa sadar ia kepalkan kedua tangannya yang gemetar, berusaha menahan tangis yang hendak keluar. Dia tidak akan menangis di hadapan Mandy, bahkan pantang seorang pria seperti dirinya untuk menangis.

Jika Mandy mengikhlaskan sang suami tanpa ada air mata kesedihan, maka Xandreas pun takkan menangis pula. Orang-orang yang telah berpulang ke sisi para dewa seperti Morin lebih membutuhkan doa-doa keluarga ketimbang tangis sia-sia.

"Kau adalah wanita paling tegar yang pernah aku temui, Nyonya. Aku sangat beruntung bisa bertemu denganmu."

"Ah~ Kau tidak perlu bicara berlebihan seperti itu, Nak."

Mungkin cukup sampai sini ia bertemu dengan Mandy. Perasaannya jauh lebih baik setelah mengetahui jika Mandy benar-benar mengikhlaskan kepergian Morin. Rasa menyesal dan masih ada, hanya saja Xandreas tidak ingin memikirkan hal itu. Masih banyak masalah yang harus ia selesaikan mulai sekarang.

"Terima kasih atas waktu luangnya, Nyonya. Kalau begitu, saya pamit dulu. Selamat sore."

Xandreas melangkahkan kakinya menjauh dari rumah Mandy. Namun sebelum benar-benar pergi, Mandy memanggilnya.

"Hei, Nak…."

Spontan Xandreas menoleh, menatap bertanya pada Mandy, apa yang diinginkan wanita itu darinya.

"Boleh aku tahu, siapa namamu?"

Jadi, Mandy hanya ingin mengetahui namanya. Xandreas melempar senyum ramah pada Mandy, senyum yang dibarengi oleh tergantinya cahaya mentari sore dengan kegelapan senja.

"Xandreas."

"Nama yang bagus. Aku akan selalu mengingatmu, Nak Xandreas. Terima kasih atas kunjungannya dan bunga ini. Semoga Dewa memberi kejayaan untukmu."

Xandreas tak membalas dan hanya mengangguk, lalu berlalu semakin jauh dari rumah Mandy.

Setelah kepergian Xandreas, pintu rumah ia tutup kembali. Tangannya mulai bergetar saat masih menyentuh kusin pintu, tetesan air mata sedikit demi sedikit jatuh membasahi punggung tangannya. Ia berbalik hingga punggungnya bersandar di permukaan pintu, perlahan jatuh hingga bersimpuh di lantai, meremas kasar rambut berhuban itu dengan isak tangis keras.

Mandy tak kuasa tuk menahannya lagi. Sudah cukup ia berusaha tegar di hadapan semua orang. Kehilangan Morin adalah hal terberat yang pernah ia rasakan dalam hidupnya, rasa sesak di dada, dan kehampaan di sekitar. Semua itu membuatnya menderita. Walau memang ada rasa benci terhadap sang pembunuh yang masih belum ia tahu, tapi Mandy takkan mau memikirkan hal itu lagi.

Melupakan kejadian pahit ini dan lebih mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, itu lebih baik baginya demi bekal saat kembali bertemu dengan suaminya kelak di Tanah Surga Edenia.

Selama langkahnya, Xandreas memikirkan tentang ucapan terima kasih Mandy. Apakah dia pantas tuk menerimanya? Dan Xandreas juga sempat memikirkan doanya pula.

Mandy bilang ia akan mendapatkan kejayaan? Rasanya mustahil bagi Xandreas tuk mendapat kejayaan dari Dewa.

Langkahnya terhenti saat sosok Rethan bersender di bawah tiang lampu jalan dengan tangan bersedekap di dada. Terangnya lampu jalan menyinari Rethan membuat rambut merah panjang itu terlihat lebih berkilau dari biasanya. Sungguh, Xandreas seperti melihat sosok yang hebat di hadapannya. Apakah memang setiap iblis memiliki pesona tersendiri? Beberapa dari mereka memang punya pekerjaan untuk menggoda manusia, jadi sudah seharusnya memiliki tampilan menarik.

"Kau sudah selesai?" Lirikan mata tajam itu tampak terlihat jengkel saat diarahkan pada Xandreas. "Aku tak menyangka jika kau perlu menemui kerabat yang memiliki hubungan dekat dengan mangsamu."

"Apakah iblis juga melakukan hal itu?" tanya Xandreas saat Rethan mulai menegakan tubuhnya, menjauh dari tiang lampu.

Sebelah alis Rethan terangkat. "Bukankah kau seorang malaikat? Oh! Aku ingat! Tidak ada malaikat manapun yang akan memangsa jiwa manusia."

"Aku bertanya. Tak perlu kau menyindirku," tanggap Xandreas datar.

Iblis ini sepertinya semakin tidak suka pada Xandreas setelah secara kebetulan memergokinya bersama Lurie, gadis yang selama ini disukai Rethan, itu yang dibilang Kuin sebelumnya. Padahal Xandreas dan Lurie hanya berbincang-bincang saja, bahkan perbincangan mereka terkesan canggung.

Rethan berdecih remeh. "Tak ada yang namanya iblis punya rasa iba terhadap mangsa yang telah mereka lahap. Kau tidak bisa dikategorikan sebagai iblis jika tak tega membunuh mangsamu sendiri. Kalau kau memerlukan jiwa manusia tuk bertahan, maka bunuhlah."

Sejenak Xandreas menyentuh dadanya, teringat akan suatu perasaan asing yang menganggunya selama ini. Perasaan yang muncul tuk memaksanya ke pemakaman, perasaan yang memaksanya tuk segera menemui wanita paruh baya tadi. Perasaan… yang benar-benar memintanya untuk melakukan sesuatu, kini perasaan itu tak mampu Xandreas rasakan kembali setelah pertemuannya dengan Mandy berakhir.

"Rethan…." Satu telapak tangan Xandreas tengadahkan, menerawang suatu hal yang tak mampu ia mengerti akan reaksi tubuhnya selama ini. "Apakah iblis mampu merasakan perasaan jiwa manusia yang telah dimakan?"

Sekali lagi, Xandreas berhasil membuat Rethan bingung dengan pemikirannya. Rethan semakin heran menatap Xandreas. Tak pernah ia dengar sebelumnya jika ada iblis yang mampu merasakan perasaan jiwa manusia, apalagi yang telah mereka makan.

"Itu tidak— O-Oh…."

Sang iblis merah mengangguk-angguk sambil menyisir helaian rambutnya ke belakang, berusaha memahami dan menyimpulkan apa yang sebenarnya dialami Xandreas. Pria itu memang masih dianggap misterius bagi Rethan maupun Kuin. Sampai saat ini, mereka masih mewaspadai keberadaan Xandreas. Namun, setelah lebih mengenal pola pikir, perasaan, dan kepribadian seperti apa Xandreas, mungkin Rethan akan kembali berunding dengan Kuin.

"Aku mengerti…." Berusaha terlihat tetap tenang, Rethan membelakangi Xandreas sambil memasukan kedua tangannya di saku mantel merah yang ia kenakan. "Sebenarnya, aku masih belum bisa memahami makhluk seperti apa kau ini, Xandreas. Mungkin kelak misteri tentang dirimu akan terkuak dan semua pertanyaan dalam dirimu akan segera terjawab. Untuk sekarang, sebaiknya kita pulang dulu. Aku tidak ingin membuat Lurie semakin mencemaskan kita."

Dalam gelapnya jalanan sekitar, Rethan lebih dulu melangkahkan kakinya meninggalkan Xandreas yang masih bergeming di bawah sinar lampu jalan. Orang lain seperti Rethan sama sekali tidak mengerti dirinya, bahkan Xandreas sendiri.

Tentang kecacatannya sebagai malaikat di masa lalu, tentang reaksi tubuhnya yang tidak mampu bertahan lama saat di Dunia Netral ini, tentang bagaimana bisa ia tega memangsa jiwa manusia demi mampu bertahan, dan perasaan asing bukan miliknya yang ia rasakan dalam diri ini. Semua itu terus menjadi tanda tanya di kepala Xandreas.

Saat Xandreas kembali memperhatikan telapak tangannya kembali, ia merasakan sesuatu menghangat di sana. Sebuah cahaya kecil yang samar-samar berkilau, meleburkan sebagian butiran cahaya ke atas, membuat siapa saja yang mampu melihatnya akan terasa tenang.

Sebuah cahaya misterius yang Xandreas baru sadari siapa pemiliknya.

"Kaukah itu? Apakah kau merasa tenang bersamaku….?"

Cahaya itu ia genggam lembut hingga lenyap menjadi butiran cahaya yang terbang menyentuh langit berbintang di atas sana. Sebuah cahaya yang memancarkan ketenangan perasaan, kelegaan dan bahagia dapat Xandreas rasakan pada cahaya itu. Xandreas berharap cahaya ini takkan pernah pudar saat tiba di hari penghakiman kelak.

"….Morin."

~*~*~*~

Sebuah tangan meraih gumpalan daging hitam dan darah yang melayang di atas batu kristal hitam. Tangan gelap, pucat, berkuku panjang dengan dihiasi rangkaian potongan besi tajam meraba sekitar gumpalan itu, seakan-akan benda sakral tersebut adalah sebuah mainan baginya.

Sepasang bola mata hitam beriris keperakan memperhatikan lekat-lekat gumpalan tersebut, seringai lebar muncul menampakan deretan taring setajam belati. Ia gerakan gumpalan itu agak jauh menggunakan tangannya dengan berbagai gerakan, membuat pergerakan-pergerakan lain serarah kemana tangannya mengarah.

Ini menyenangkan. Cukup untuk menghibur dirinya yang bosan di dalam tempat antah berantah yang selama ini mengekang pergerakannya.

Benda yang ia duduki sekarang berupa rangkaian kerangka manusia, monster, iblis, dan malaikat yang telah lama tewas disertai daging-daging membusuk dan darah kental mengalir. Begitu pula lantai yang ia pijaki, terbuat dari jutaan mayat dari berbagai macam makhluk yang selama ini membuatnya muak.

Emosi ini, dendam ini, amarah ini…. Takkan pernah mudah sirna selama ia masih abadi di alam semesta.

"Manis sekali…," ungkapnya saat mendekatkan gumpalan gelap itu padanya, "Keingintahuanmu jauh lebih besar dari sebelumnya. Apakah kau… sungguh ingin tahu seperti apa takdirmu? Bukankah bagus hidup tanpa dikekang takdir oleh para dewa? Seharusnya kau bersyukur akan hal itu."

Tubuh tinggi nan kekar itu disenderkan di sandaran kursi singgasana menjijikannya, dengan angkuh menyilangkan kaki, dan masih memainkan gumpalan itu melayang di tangannya. Ketika berucap, suaranya terdengar bagaikan desisan ular yang benci akan segala gangguan, terutama saat mengucapkan nama seseorang.

"Suatu saat kau akan mengerti maksudku…. Xandreas…."

~*~*~*~

Special Music : Veil of Elysium, Kamelot