webnovel

Xandreas : Curse of Heaven

Xandreas, bagian dari malaikat Tanah Edenia yang terlahir dari sebuah kesalahan. Malaikat cacat yang tak mampu hidup sebaik para malaikat lain. Dia dibuang dari Edenia ke Inferna, dikurung di tanah neraka hingga hari penghakiman tiba. Dia membenci Edenia, tidak ingin terjebak dalam Inferna. Oleh karena itu, Xandreas berhasil meloloskan diri dari Neraka Inferna. Namun, sebagian tubuhnya akan membusuk jika berada lama di dunia. Cara satu-satunya Xandreas untuk bertahan hidup dan menyempurnakan kembali tubuhnya yaitu dengan memakan jiwa-jiwa makhluk hidup, terutama manusia. Xandreas yang malang. Xandreas yang malang.... Tak ada jalan pulang selain berhadapan pada bayangan yang menyapanya dengan seringai dalam kegelapan. ***** Xandreas : Curse of Heaven © Korona Noire FB : Korona N

Korona_Noire · ファンタジー
レビュー数が足りません
9 Chs

Chapter I (Jatuh)

"Bagaimana dengan daftar kelahiran para malaikat?"

"Semuanya telah diatur oleh Dewa-Dewa sesuai tugas mereka masing-masing."

"Lantas, pengecualian 'kah bagi malaikat yang satu ini?"

"Siapa dia?"

"Xandreas Elias Mephious. Dia terlahir sebagai salah satu putra dari tiga kembar bersaudara di keluarga Klan Mephious."

"Entahlah…. Aku tak pernah dengar sosok malaikat itu. Setahuku, generasi Klan Mephious yang sekarang ditakdirkan hanya memiliki dua putra kembar."

"Jadi, Xandreas lahir bukan karena kehendak para dewa?"

"Ini akan jadi masalah besar jika makhluk yang bukan ciptaan Dewa dibiarkan hidup."

~*~*~*~

Nafasnya tersengal-sengal susah tuk ditarik dan dihembuskan, langkahnya terseok-seok berusaha menyeret berat tubuhnya sendiri sambil menahan rasa sakit yang setiap detik begitu terasa menyiksa tubuhnya. Malam ini dia berjalan sendirian, menelusuri tempat paling terpencil di sisi kota, tempat yang sama sekali masih terasa asing baginya.

Dia terus berjalan tak tentu arah. Tanpa sadar hampir seluruh tubuhnya membusuk, potongan-potongan daging lepas di sepanjang jalan yang ia lewati, begitu pula dengan darah hitamnya yang berbau amis. Tidak ada tempat lagi baginya untuk terus bertahan. Mungkin sampai di sini akhir riwayatnya hidup.

Dia… tidak ingin kembali lagi ke tempat dimana siksaan seluruh alam semesta berada.

"Ukh!"

Tak sanggup lagi melangkah dengan kaki lemas, tubuhnya jatuh ke tanah bersimbah darah dan daging busuk. Perlahan kedua mata emas itu hendak menutup, tapi kesadarannya masih ada. Hal itulah cukup menyiksa. Jika dia ingin mati, maka lebih baik matilah daripada terus disiksa hingga hari penghakiman tiba. Dia tidak ingin terus seperti ini.

Dia sudah putus asa….

~*~*~*~

Sepasang tangan putih mungil dengan lihai merajut setiap helaian benang wol membentuk sebuah kain bermotif abstrak yang indah dipandang, warnanya kalem dan sangat menenangkan. Ia sangat pandai dalam hal merajut. Duduk di kursi dekat jendela sambil terus merajut tanpa kenal lelah.

Itu bagian dari kegemarannya. Jiwanya….

"Hei, Nona Lurie…! Kau sudah berjam-jam merajut. Sekarang sudah waktunya tidur."

Secangkir teh hangat diletakan di atas meja agak jauh dari tempat sang gadis duduk oleh seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahunan. Dia duduk mengangkang di kursi dekat meja dengan sandaran kursi di depan.

Tangan dan dagunya bertumpu di puncak sandaran kursi sambil iris biru itu menatap sang gadis.

"Tak apa, Kuin," ucap Lurie pada anak itu sambil melihat-lihat kembali hasil rajutannya, "Kau 'kan juga belum tidur. Sedikit lagi selesai, kok."

Sudah sekitar puluhan kain rajut yang telah dibuatnya dan banyak memenuhi lemari. Untuk saat ini, Lurie hanya bisa membuat rajutan kain biasa dan syal. Dia ingin membuat sweater dan jenis pakaian lainnya, tapi masih belum bisa. Lurie masih perlu banyak belajar soal rajut-merajut.

"Lurie…! Sebaiknya kau cepat tidur sana…! Aku sudah merapikan tempat tidurmu."

Langkah kaki menuruni tangga terdengar jelas mengisi kesunyian ruang yang didominasi oleh kayu. Seorang pria dewasa baru saja turun dari lantai atas dimana seluruh kamar berada. Sosoknya terlihat tinggi dan gagah dengan memakai kemeja putih yang disingkap di bagian tangan hingga siku. Dia melangkah menghampiri Kuin, masih duduk di dekat meja sambil menatapnya aneh.

"Duh…! Apakah sopan jika seorang pria masuk ke kamar gadis?" cibir Kuin menggoda si pria.

Tatapan mata merahnya tajam ke arah Kuin. "Aku merapikannya, Bodoh!"

"Yaaa, tetap saja kau seorang pria, Rethan. Aku tahu kalau kau itu su—."

Ucapan Kuin terpotong saat teh di dalam cangkir yang ia pegang sengaja disenggol Rethan hingga isinya tertumpah di mulut sampai dada Kuin. Spontan Kuin mengibas-ngibaskan tangan kecilnya, merasa kepanasan oleh air teh tersebut di kulit tubuhnya.

"Ish! Ish! Panas, Rethan!"

Kuin menatap jengkel Rethan, langsung ia adukan kelakuan pria bersurai merah panjang itu pada Lurie yang masih asik merajut.

"Nona Lurie…, Rethan sengaja menumpahkan teh yang kuminum tadi ke arahku…!" rengeknya sambil menunjuk ke arah Rethan yang langsung memberikan tatapan murka sambil bersedekap. "Panas…!"

"Aduh, Rethan…." Lurie menghentikan aktivitasnya merajut, menatap Rethan tidak suka. "Kau jangan berbuat yang macam-macam pada Kuin. Dia masih kecil."

"Ta-tapi, ka—."

Belum sempat Rethan berucap, Lurie langsung buang muka dan memilih menatap pemandangan malam di luar jendela. Rethan kembali menatap murka Kuin, menemukan bocah pirang itu menjulurkan lidah padanya. Persimpangan imajiner terbentuk di kepala Rethan. Ingin sekali ia memukul wajah bulat bocah itu sampai tak berbentuk lagi. Kuin sudah beberapa kali usil mempermalukannya di hadapan Lurie hingga ia seringkali kena omel.

Tanpa peduli pertengkaran mereka berdua, Lurie lebih memilih tetap melihat pemandangan pelabuhan dekat rumahnya. Hembusan angin malam selalu mampu membuat hati sang gadis tenang walau terasa menusuk kulit. Ia lebih suka ketenangan seperti ini ketimbang berada dalam segala aktivitas sekolahnya di siang hari dimana ia sangat tidak suka dengan keributan.

Soal sekolah, Lurie merasa takut untuk pergi ke sana. Tapi, ini sudah kewajibannya sebagai gadis remaja yang ingin mencari tahu jati diri yang sebenarnya. Jadi ia harus tetap bersekolah. Ditambah lagi, orang tuanya sudah meninggal saat dia baru lulus SMP. Lurie harus belajar mandiri jika ingin punya hidup yang lebih baik.

"Eh?"

Mata amber Lurie membulat sempurna, samar-samar ia melihat bayangan sosok seorang pria berjalan terseok-seok di pinggir pelabuhan. Tiba-tiba sosok itu ambruk, tak mampu tuk bangkit berdiri lagi. Hati nuraninya tergerak, perasaan iba muncul, tak tega melihat betapa malangnya nasib pria misterius itu.

"Lho? Hei, Lurie! Kau mau kemana?!"

Tanpa peduli teriakan Rethan, Lurie buru-buru keluar dari rumah, berlari menghampiri pria misterius yang ambruk tidak jauh dari rumahnya. Hatinya semakin pilu saat melihat tubuh sang pria bersimbah darah, dan beberapa daging bagian tubuhnya terkoyak membusuk.

"Astaga! Tuan, kau tidak— Ukh!"

Saat Lurie hendak menyentuh pria itu, ia langsung menjauh ketika mencium bau menyengat di sekitar tubuh sang pria. Bau yang teramat busuk, sangat tidak nyaman dihirup, mirip seperti bau bangkai manusia yang sudah didiamkan lama. Mungkinkah pria ini sudah lama mati lalu membusuk? Tapi, kenapa Lurie melihatnya baru saja berjalan lemah lalu ambruk di sini? Ini sangat membingungkan.

"Lurie! Lurie ada ap— Astaga! Baunya!"

Karena khawatir dengan Lurie, Rethan dan Kuin sempat menghampirinya. Namun, tiba-tiba mereka merasa tidak enak dengan bau menyengat di sekitar pelabuhan. Tidak biasanya bau seperti ini tercium.

"Hei...!" Dengan satu tangan menutup hidung mungilnya, Kuin menunjuk ke arah pria misterius yang masih tergeletak di dekat mereka. "Siapa dia?"

Pandangan Rethan langsung saja terarah pada sang pria. Sempat terkejut ketika melihat keadaan na'as pria itu, tapi rasa keingintahuannya jauh lebih mendominasi. Rethan penasaran dengan apa yang terjadi pada sang pria hingga membusuk seperti ini.

"Rethan...."

Kedua tangan Lurie saling memeluk erat di dadanya, menunduk menahan sedih kala tak tega melihat sang pria, matanya berkaca-kaca hendak meneteskan air mata. Memang, Lurie adalah gadis yang mudah sekali sedih saat melihat penderitaan orang lain, bahkan melihat mereka mati secara mengenaskan ia tak tega.

Hal itu... benar-benar mengingatkan Lurie pada kematian kedua orang tuanya.

"Lurie...." Suara Rethan terdengan lembut memanggilnya. Ia menarik tubuh mungil Lurie, memeluknya, menenggelamkan wajah cantik itu pada dada bidangnya. "Jangan dilihat kalau kau tidak sanggup."

"Rethan.... Pria itu...."

Lurie tak mampu lagi menahannya. Ia menangis begitu saja dalam pelukan Rethan sambil meremas erat kemejanya yang mulai basah oleh air mata. Dia baru saja melihat pria itu berjalan terseok-seok di sini lalu seketika ambruk. Dan ketika dihampiri, betapa mengerikan keadaannya sekarang.

".... Aku baru saja melihatnya jalan... di sini... langkahnya lemah...." Lurie berusaha menjelaskan dalam isak tangisnya. "Tiba-tiba dia jatuh... ambruk tak sadarkan diri.... Tapi, kenapa...? Kenapa dia.... Dia...."

"Ssst...! Sudah, sudah."

Rethan mengelus puncak kepala Lurie, berusaha menenangkan sang gadis yang masih menangis dan menyembunyikan wajah dalam pelukannya.

Saat Rethan beradu pandang pada Kuin, bocah itu menggerakan kepalanya ke arah sang pria misterius, memberi isyarat pada Rethan kalau dia ingin memberitahukan sesuatu.

"Lurie." Rethan melepas pelukannya, menangkup wajah chubi itu hingga tatapan mereka saling bertemu. "Bisakah kau kembali ke rumah? Jangan pikirkan soal pria ini. Kami akan segera mengatasinya."

Masih sesegukan dan tanpa membalas apapun lagi, Lurie hanya mengangguk. Ia segera pergi meninggalkan pelabuhan menuju rumahnya dengan perasaan iba yang sulit tuk ia redakan. Dari pelabuhan hingga sampai ke dalam rumah, Lurie tak henti-hentinya merapalkan doa pada dewa-dewa agar pria itu baik-baik saja.

Setelah memastikan Lurie sudah masuk ke dalam rumah dari kejauhan, Rethan memandang Kuin menuntut penjelasan yang bocah itu ketahui.

"Hmm.... Ini aneh." Dengan kedua tangan bersedekap di dada, Kuin melangkah pelan mengelilingi pria tersebut. "Aku bisa merasakan jiwanya. Terasa familiar dan hampir sama dengan jiwa kita."

"Maksudmu, dia juga iblis?" tanya Rethan, "Seperti kita?"

Kuin menaikan bahunya sesaat. "Sulit untuk dijelaskan. Rasa dari jiwanya ini mirip seperti jiwa makhluk-makhluk yang berasal dari Inferna. Tapi aku yakin, dia bukan bagian dari kita. Jika memang pria ini adalah iblis, seharusnya dia tahan berada di dunia ini."

"Menurutmu, dia tidak tahan dengan keadaan dunia?"

"Mungkin...."

Kuin berjongkok di samping pria itu, sesaat tangannya menyentuh bagian leher sang pria. Dia dapat merasakan tanda-tanda kelayakan hidup di sana yang berarti pria itu tidak mati.

"Jiwanya masih terasa hangat. Itu berarti dia masih hidup." Kuin kembali berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang tadi sempat menyentuh leher busuk sang pria. "Bisa dibilang, dia sekarat. Sebenarnya, aku tak yakin dengan spekulasiku ini. Tapi sepertinya, pria ini lapar."

Rethan menaikan sebelah alisnya heran. "Lapar?"

"Yep! Dia membutuhkan jiwa manusia untuk dimakan."

"A-apa...?!"

Terkejut mendengarnya, Rethan sama sekali tidak yakin jika pria ini lapar akan jiwa manusia, sama seperti mereka. Tapi Kuin bilang pria ini bukan bagian dari iblis. Lantas, mengapa dia membutuhkan jiwa manusia?

"Kau bilang dia bukan bagian dari kita?" tanya Rethan heran, "Lalu, kenapa dia juga perlu memakan jiwa manusia?"

"Aku juga kebingungan, Rethan," kata Kuin, "Tapi, aku merasakan perasaan lapar ini sama persis dengan kita. Kurasa dia benar-benar membutuhkan jiwa manusia sebelum ia mati."

"Engh...!"

Rethan dan Kuin spontan terkejut, menoleh pada pria itu kala dia mengerang menahan sakit. Sebelah tangan busuknya berusaha ia gerakan walau sudah mati rasa hingga beberapa bongkahan daging dan kulitnya terlepas. Semakin dia berusaha tuk bergerak, semakin banyak darah mengalir dan daging lepas dari tubuhnya.

"Dia sadar," ucap Kuin terkejut.

"Bagus. Setidaknya kita butuh kesadarannya demi mencarikan dia 'makan'."

Saat pria misterius itu berusaha tuk bangkit, Rethan berjongkok di sampingnya. Entah apa yang dipikirkan oleh iblis berambut merah panjang tersebut, ia tiba-tiba saja menampar wajah si pria hingga bongkahan lembek daging busuk wajahnya lepas dan beberapa menempel di tangan Rethan.

"Sial! Kau menamparnya hingga daging-dagingnya lepas?!" teriak panik Kuin pada Rethan.

"Jangan buat aku panik! Aku cuma ingin semakin menyadarkannya!" balas teriak Rethan.

Sambil mengibaskan tangannya yang ia tamparkan ke wajah agar bekas daging-daging busuk luntur, tangan satunya memegang bahu sang pria. Bisa Rethan lihat samar-samar dari lindungan helai rambut perak panjang sang pria jika sebagian daging wajah itu luntur hingga terlihat rangkaian tulang-belulangnya yang basah oleh darah.

"Hei, kau masih bisa bertahan...?" tanya Rethan pada sang pria.

Perlahan bola mata sang pria bergerak, menatap Rethan lewat iris emasnya. Dia sama sekali tidak sadar apa yang saat ini terjadi padanya. Ingin berucap, tapi mulutnya kaku dan tenggorokannya pun terasa kering terbakar, bahkan ia bisa merasakan angin melewati celah-celah tenggorokannya yang telah berlubang.

"Aku hanya ingin tahu, siapa namamu?"

Samar-samar ia mendengar jika Rethan menanyakan namanya. Mulut kaku itu berusaha ia gerakan, membentuk pola tertentu hingga menciptakan suara serak yang hampir tak terdengar jelas jika tidak benar-benar seksama didengarkan.

"Xa-Xan... dre... as..."

Walau tak begitu jelas, Rethan yakin jika nama yang disebutkan pria itu adalah 'Xandreas'. Iya, pasti namanya Xandreas.

"Xandreas, huh...?"

Rethan memutar posisi jongkoknya membelakangi Xandreas, menoleh sesaat pada Kuin dan memberi isyarat sejenak.

"Hei, Bocah! Angkat dia ke pundakku! Aku akan menggendongnya."

"A-apa?" Kuin terdengar tidak terima dengan perintah Rethan. "Dia menjijikan...!"

"Tidak usah sok jijik, Tolol!" omel Rethan, "Kita ini iblis! Sudah terbiasa berhadapan dengan hal-hal yang lebih menjijikan dari ini."

Kuin mendengkus sebal. Padahal ia tidak sungguh-sungguh bilang jijik terhadap Xandreas, tapi malah kena omel si iblis merah. Setelah sempat meniup poni pirangnya sejenak, Kuin mendekati Xandreas, berusaha mengangkat sebagian berat tubuh lemahnya, lalu meletakannya dalam gendongan belakang Rethan.

"Omong-omong, kau mau bawa kemana pria ini?" tanya Kuin penasaran.

"Ya kemana lagi kalau bukan cari makan?"

Tanpa mau mendengar ucapan Kuin lagi, Rethan sudah melesat jauh membawa Xandreas meninggalkan pelabuhan. Kuin yang melihat kepergian mereka hanya bisa menghela nafas memaklumi sambil menyisir-nyisir kasar helaian rambut pirangnya yang berantakan terkena hembusan angin laut.

....

Tidak jauh dari pelabuhan dan tak sampai di pusat kota, Rethan membawa tubuh malang Xandreas. Dia melompat dari bangunan satu ke bangunan lainnya dengan sangat lihai. Sesekali mata merahnya melirik ke arah sekitar, mencari-cari siapa saja yang mampu dijadikan 'makanan' untuk Xandreas bertahan hidup.

'Rethan.... Pria itu....'

"Cih!" Rethan mendecih tidak suka saat mengingat raut kesedihan Lurie ketika melihat keadaan Xandreas.

Rethan bukanlah tipikal pria yang peduli dengan keadaan orang lain, apalagi orang asing seperti Xandreas yang jenis rasnya saja masih tidak jelas. Tapi, ketika melihat kesedihan dan rasa iba di wajah cantik Lurie membuat ia tak tega. Dia yakin jika gadis itu secara tidak langsung ingin minta tolong padanya agar menolong Xandreas.

Itulah mengapa cukup sulit menghadapi tipikal gadis yang sifatnya bertolak-belakang dari dirinya, tapi ia sendiri sudah terlanjur menyukai gadis itu.

"Dapat."

Rethan terjun dari satu atap bangunan, mendarat dengan pelan hingga tak menimbulkan suara. Di sana, Rethan dan Xandreas bersembunyi di balik wadah sampah besar. Ia melihat sosok pria bemantel dan bertopi hitam tengah berdiri sendirian di bawah lampu jalan. Sesekali pria itu melihat ke arah arloji dan sekitarnya. Sepertinya, pria itu tengah menunggu jemputan atau semacamnya.

Dilihatnya kembali sosok Xandreas yang kini ia turunkan dari gendongannya. Xandreas masih bisa bernafas walau tersengal-sengal, beberapa potongan dagingnya semakin banyak luntur dari tubuhnya hingga sebagian rangkaian tulang kotor terlihat. Rethan juga merutuki pakaiannya yang kotor dan berbau bangkai akibat menggendong tubuh busuk Xandreas.

Dia berjanji akan mencuci pakaiannya sendiri diam-diam jika tidak ingin kena omel Lurie.

"Hei, Xandreas." Rethan memanggil namanya sambil menepuk-nepuk pipinya pelan agar daging busuk wajahnya tidak ikut lepas lagi. "Kau masih bisa mendengarku?"

Samar-samar mendengar suara Rethan, Xandreas hanya bisa memberi tanda dengan menatapnya balik.

"Oke. Apa kau juga masih bisa melihat?" tanya Rethan lagi. "Kira-kira berapa jariku ini?" Ia mengacungkan dua jari di hadapan Xandreas.

Xandreas semakin menyipitkan matanya, berusaha untuk lebih jelas melihat bentuk dari jemari Rethan. Sayangnya, penglihatan Xandreas sudah terlanjur remang-remang. Ditambah lagi, ia bingung harus menjawab apa.

Dengan suara serak tidak jelas Xandreas berucap, "Aaaa.... Aku... lupa caranya... berhitung...."

Suara tepukan terdengar kala Rethan menepuk kasar wajahnya sendiri. Dia tak habis pikir jika Xandreas sama sekali lupa caranya berhitung. Padahal kalau dilihat dari fisik, dia sama dewasanya dengan Rethan.

Sebenarnya makhluk macam apa Xandreas ini?!

"Terserah," ucap jengkel Rethan.

Dengan hati-hati Rethan membantu Xandreas berjongkok, mengintip seorang pria di bawah lampu jalan dari balik wadah sampah tempat mereka sembunyi. Di situ, Xandreas hanya bisa melihat sosok pria itu layaknya bayangan yang disinari oleh cahaya.

Cahaya…?

'Xandreas, maafkan aku. Aku tidak bisa berbuat banyak untukmu….'

Entah mengapa memori kecilnya teringat akan sesuatu, cahaya, kegelapan, dan suara lembut itu. Sayangnya, dia sama sekali sulit tuk mengingat sepenuhnya.

"Xandreas, coba lihat pria itu." Rethan menunjuk ke arah pria tersebut. "Kau harus membunuhnya."

Perlahan ia kembali menatap Rethan dengan tatapan bingung. Bingung karena untuk apa dia harus membunuh pria yang sama sekali tidak bersalah. Selama ini, Xandreas sama sekali tak pernah tahu seperti apa membunuh makhluk lain, apalagi manusia, bahkan kata membunuh saja hampir tak pernah ia dengar selama hidupnya.

Lalu, kenapa saat seperti ini dia dituntut untuk membunuh seseorang?

"Kenapa…." Xandreas kembali berucap dengan suara seraknya. "Kenapa… aku… harus membunuhnya…?"

Rethan menatap tajam Xandreas. Pria bersurai perak panjang itu sudah terlihat sekarat dan benar-benar membutuhkan jiwa manusia, tapi alasan membunuh manusia seperti ini saja masih dipertanyakan. Rethan benar-benar bingung dengan pola pikir Xandreas.

"Kenapa kau bilang…?"

Tangan Rethan langsung menyambar tangan busuk Xandreas, mengarahkan tangan itu di hadapan Xandreas sendiri, memperlihatkan bahwa keadaannya saat ini sangatlah buruk dan memprihatinkan.

"Kau lihat…? Kau lihat ada apa dengan tanganmu ini?!" Sedikit membentak, Rethan berbicara. "Tangan ini… dan seluruh tubuhmu… kau benar-benar terlihat menyedihkan! Aku sama sekali tidak tahu makhluk macam apa dirimu ini! Bukan manusia, bukan iblis, bukan pula monster dan malaikat. Kuin mengatakan padaku kalau kau membutuhkan jiwa manusia untuk bisa bertahan di dunia ini. Kau sama seperti kami, tapi kami tidak terlihat semenyedihkan dirimu. Oke, intinya berhenti mempertanyakan perintahku! Kau harus membunuh pria itu untuk bertahan hidup!"

Tanpa ragu Rethan mencabut jari telunjuknya hingga telunjuk lainnya tumbuh kembali. Dari jari yang telah ia cabut, terbentuklah sebuah belati tipis yang cukup tajam untuk membunuh seseorang. Rethan menyerahkan belati itu ke tangan Xandreas, berusaha untuk terus meyakinkan Xandreas agar mau membunuh pria tersebut demi kelangsungan hidup.

"Ini mungkin memang salah bagimu, tapi kau harus melakukannya."

Rethan menggengam erat tangan Xandreas, semakin mengeratkan genggaman tangan Xandreas pada belatinya. Setengah sadar, Xandreas mengerti apa yang disampaikan Rethan. Ini adalah caranya untuk bertahan hidup. Tidak. Lebih tepatnya bertahan di dunia ini.

Karena Xandreas sendiri tak yakin jika dia saat ini masih hidup atau sudah mati.

Dengan sisa tenaga yang masih ada, Xandreas berjalan menyeret langkahnya yang terseok-seok sambil menggenggam erat sebuah belati pemberian Rethan di tangan. Setiap langkah akan membuat semakin banyak daging busuk di tubuhnya luntur dan darah merembes keluar dari sana.

'Kau lihat? Itu dunia yang berbeda dari dunia kita dimana makhluk netral yang disebut manusia diciptakan.'

Mungkin ini bukan tanah kelahirannya yang damai seperti dulu, ini dunia yang berbeda dimana kabaikan dan kejahatan tercipta seimbang.

'Suatu saat kau juga akan mengemban tugas dan tanggung jawab. Di saat itulah kau akan dianggap berguna.'

Memang tidak ada tujuan dan tempat berlindung lagi. Satu-satunya harapan yang tersisa di hati kecil Xandreas hanyalah ingin bisa lebih mandiri dengan caranya sendiri.

"Persetan… dengan Inferna…."

Langkahnya semakin dekat di belakang pria tersebut.

"Persetan… dengan Edenia…."

Dia hampir saja jatuh dan kehilangan keseimbangan. Tapi, tekadnya inilah yang mampu membuat ia bangkit dan lanjut melangkah.

"Aku… ingin bebas…."

Saat sudah sampai di belakang sang pria, Xandreas bersiap-siap dengan belatinya.

"Bertahan… DENGAN CARAKU SENDIRI!!!"

"ARGH!!!"

Darah seketika merembes keluar deras pada luka tusuk yang tercipta dari tusukan belatinya, bahkan sebagian sempat dimuntahkan dari mulut. Xandreas tak tanggung-tanggung menusuk pria itu dari punggung hingga tembus ke ulu hati. Jerit tertahan terdengar jelas di tempat sunyi dimana hanya mereka saja yang ada, jerit suara kesakitan, tersiksa, dan terhenti saat ketenangan mulai dirasa dalam jiwanya.

Tak ada rasa sakit, tak ada derita. Semuanya kosong dalam ketenangannya sendiri.

Setelah berhasil menusuknya hingga mati, tubuh pria itu ambruk ketika Xandreas mencabut paksa belati tadi. Terlihat jelas genangan darah membasahi jalanan di sekitar jasad sang pria, belati di tangan Xandreas juga kotor oleh kentalnya darah segar yang mengalir dari sisi belati hingga menetes ke ujungnya.

Samar-samar Xandreas melihat kabut kelabu tak berwujud dari dalam tubuh sang pria. Xandreas dapat merasakan inti kehidupan dari kabut itu, inti terpenting bagi setiap manusia untuk tetap hidup, jiwa, roh, atau yang sering disebut sebagai nyawa.

Tangan busuknya dengan hati-hati menyentuh kabut tersebut. Warnanya kelabu menandakan jika kebaikan dan kejahatannya seimbang. Xandreas masih ragu kalau dia benar-benar harus memakan jiwa manusia ini. Ini pertama kalinya Xandreas membunuh lalu memakan jiwa seseorang. Jika sudah seperti ini keadaannya, maka tidak ada pilihan lain selain mengikuti saran Rethan.

Perlahan Xandreas membuka mulutnya, memasukan kabut tersebut ke dalam, lalu menelannya hingga habis. Rasanya hambar, tapi perasaan dalam inti jiwa itulah yang membuatnya terasa lebih nikmat. Perasaan pria ini, antara ragu akan kebaikan dan memilih jalan yang salah.

Xandreas dapat merasakan jika semasa hidup pria ini dipenuhi oleh kebimbangan.

Perlahan potongan-potongan daging busuk dan darah kotor ditubuhnya terangkat, melebur di udara membentuk butiran-butiran gemerlapan di bawah sinar lampu jalan. Aliran darah, daging, dan kulit baru terbentuk seiring anggota tubuhnya yang membusuk lenyap begitu saja. Wajah buruk rupanya terlihat semakin bersih dan jelas rupawannya, sepasang mata emas itu terlihat segar walau sayu menatap ke arah hitamnya langit malam yang terasa kosong tak berhias gemerlapan bintang.

Seperti dirinya….

"Xandreas…? Xandreas!"

Setelah melihat perubahan aneh yang terjadi pada Xandreas, Rethan melompat dari balik wadah sampah besar lalu segera menghampirinya. Dengan sigap Rethan menangkap tubuh Xandreas yang tiba-tiba saja ambruk. Belati yang digunakannya pun juga lepas dari genggamannya, lenyap menjadi butiran uap darah saat jatuh mengenai tanah.

Rethan menatap rupa asli dari sosok Xandreas sekarang. Dia terlihat jauh lebih baik dan terlihat bernyawa dari sebelumnya. Awalnya, Rethan heran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Xandreas dari awal pertemuan hingga sekarang. Mungkin ia akan mencari tahu nanti bersama Kuin setelah Xandreas sadar.

Tanpa Rethan sadari sebuah senyum tipis tercipta dari wajah rupawannya.

"Kau hebat, Jagoan."

~*~*~*~