webnovel

Rominggolo

Seorang lelaki berambut ikal, berkulit gelap, mendadak menjadi tumpuan berpasang-pasang mata. 

Dalam keadaan terperangah dan nyaris tak percaya, aku, serta beberapa orang yang berada di dekatku, menyambut laki-laki yang baru datang ini dengan ucapan : "Pak Romi!? Benarkah Pak Romi yang jadi Wurake-nya?" 

Warga, terlebih aku sendiri, sulit untuk bisa mempercayai ini.

Rominggolo, atau yang lebih kerap dipanggil dengan sebutan Pak Romi, atau terkadang Pak Golo.

Laki-laki yang kesehariannya berprofesi sebagai penjual Ikan Pindang keliling dari pasar ke pasar, ia diketahui sangat ramah kepada tetangga, juga warga. 

Pak Romi adalah seseorang yang sangat aktif dalam banyak kegiatan sosial di desa ini. Selain itu, dia juga adalah salah satu yang sangat aktif dalam kepengurusan di masjid desa.

"Ya, Allah ... kenapa harus dia?" Aku benar-benar tidak ingin mempercayai ini.

Pak Romi yang mendadak menjadi teka teki ini, datang dengan ditemani oleh istri, dan seorang anak lelakinya yang berusia delapan tahunan. Dia datang dengan cara yang sangat aneh. 

Pak Romi berjalan dengan cara kesot. 

Inikah yang dimaksud oleh Pak Modin tadi malam?

Padahal, Pak Romi bukanlah orang lumpuh. Ditambah lagi dengan matahari sedang panas terik, kian membuatku semakin sukar memungkiri kebenaran ucapan Pak Modin semalam. Sangat mungkin, Pak Romi-lah orangnya.

Apalagi, jarak antara rumah Pak Romi dengan rumah Bapak Modin ini, ianya cukup jauh, kurang lebih satu kilometeran. 

Jika bukan dia orangnya, lalu hal apalagikah yang membuat laki-laki ini rela datang dengan cara menyiksa diri seperti itu? 

Tak ayal, beragam spekulasi bermunculan. Saling bisik di antara kami pun riuh bersahutan. Hingga pada akhirnya, misteri ini pun terpecahkan dengan sendirinya, seiring dengan terkuaknya alasan di balik cara berjalan tamu yang sangat dinantikan oleh banyak orang.

Rupanya, seperti kasak-kusuk yang terucap, diduga ini akibat dari pengaruh mantra Bapak Modin yang ada pada Cabai Merah yang dibakar barusan tadi.

Sampai di halaman rumah, Pak Romi beserta istri, juga putranya, langsung disambut oleh Bapak Kepala Desa. Oleh Kepala Desa, dua warga diminta untuk memapah Pak Romi masuk ke dalam rumah. Selain dua orang lelaki dewasa yang memapah, juga istri dan anaknya, tidak ada lagi yang  diperkenankan untuk ikut masuk. 

Di dalam rumah, tampak di situ Pak Modin, sesepuh, dan beberapa orang Tetua kampung sudah menunggu.

Dari balik dinding rumah, aku dan para warga, diam-diam menguping pembicaraan. 

Aku yakin, siapa pun pasti sangat ingin tahu apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang ada di dalam rumah.

Tidak berapa lama kemudian.

Yang tengah berlangsung dalam rumah, Pak Romi, dan istri, serta anaknya, tengah mendapatkan interogasi yang sangat-sangat intensif.

Pembicaraan, alot.

Terdengar, baik Pak Kepala Desa, Pak Modin, sesepuh, maupun para Tetua, secara bergantian meminta Pak Romi untuk sebaiknya segera mengakui bahwa memang dirinyalah penganut ilmu hitam yang sudah sangat meresahkan warga desa ini.

"Jika Bapak mengakui, dan bersumpah akan membuang semua ilmu hitam yang Bapak anut, saya, sebagai Kepala Desa, juga para sepuh, dan Tetua yang ada di kampung ini, akan menjamin Bapak beserta keluarga, tetap aman tinggal di desa ini. Tapi jika tidak, dengan berat hati, kami terpaksa meminta Bapak beserta keluarga, untuk segera hengkang dari desa ini. 

Jadi, mohon Bapak mempertimbangkannya." 

Itu kata Pak Kepala Desa.

Pak Romi, laki-laki paruh baya ini mati-matian menyangkal. Ia bahkan bersumpah dengan menyebut nama Tuhan, menolak segala sangkaan.

Istri Pak Romi lain lagi. Ia tidak menjawab satu pertanyaan pun yang diajukan kepadanya. Sejak tadi, wanita paruh baya itu hanya menekuk wajah sembari bungkam seribu bahasa.

Berbeda dengan Pak Romi dan istri, anak Pak Romi yang ditempatkan pada ruang terpisah, terang-terangan menceritakan bagaimana keadaan ayahnya.

"Iyo. Bapakku itu hebat. Dia bisa kasi terbang kepalanya," aku anak Pak Romi.

"Kamu pernah liat?" tanya seorang ibu-ibu yang berada di ruang dapur, tempat anak Pak Romi ini didudukkan.

"Iyo, sering. Tapi hanya tengah malam. Kalau siang, ndak pernah." Betapa lugunya anak ini.

Entah ini karena keramahan para ibu-ibu yang silih berganti memberikan pertanyaan dengan nada yang lemah-lembut, atau entah dikarenakan pengaruh sesuatu yang disisipkan ke dalam permen yang diberikan kepadanya, tetapi anak Pak Romi ini sudah memberinya keterangan yang jelas. Demikian pengakuan seorang ibu-ibu.

Sedangkan perbincangan di ruang tamu, sejauh ini belum ada tanda-tanda akan adanya titik temu. Pak Romi bersikukuh menolak segala sangkaan. 

Di luar, sekeliling rumah, mungkin karena mulai kehabisan kesabaran, keributan kecil mulai terjadi. Ada beberapa orang warga bersikeras, memaksa untuk ikut masuk ke dalam rumah. 

Beruntung, masih lebih banyak yang patuh kepada permintaan Pak Kepala Desa, Bapak Modin, sepuh, juga para Tetua, yang meminta warga untuk tetap tenang. 

Satu kelebihan warga di daerah bahkan tanah ini, mereka masih cukup kuat menaruh rasa hormat kepada orang yang lebih tua, terlebih itu adalah para sepuh dan Tetua, apalagi pada Tetua Adat.

Namun demikian, suasana itu tidak berlangsung lama. Keadaan kembali tegang ketika ada salah seorang warga yang membocorkan pengakuan anak Pak Romi barusan. Karenanya, warga mulai naik pitam.

"Sudah! Seret saja kalau dia tidak mau ngaku. 'Selesaikan' jika perlu." 

Bari'u salah satu warga yang terkenal sebagai salah seorang jawara di kampung ini, seperti sengaja memanas-panasi warga.

Dari pihak keluarga korban, lebih sengit lagi, mereka bahkan meneriakkan lebih dari sekedar itu.

"Bunuh saja! Tunggu apa?" geram Rahim, salah seorang warga dari pihak korban.

Kondisi ini, tak ayal, spontan memicu reaksi warga lainnya yang juga sangat menginginkan hal yang serupa. Suasana memanas, dan jauh lebih mengkhawatirkan dari sebelumnya pun tak terelakkan lagi. 

Saling dorong, dan saling hadang pun terjadi  antara warga yang pro ucapan para Tetua, dengan warga yang sudah tidak bisa lagi meredam amarah.

Ada kekhawatiran ini akan memicu perkelahian antar sesama warga. Jika itu sampai terjadi, tentu akan sangat merugikan para warga sendiri. 

Tidak perlu menunggu lama, suasana sudah benar-benar mencekam. Bari'u sudah sempat menjotos salah seorang warga yang memintanya untuk tetap tenang.

Beruntung, entah siapa yang memberi laporan, tidak berselang lama pihak berwajib pun datang, menerobos kerumunan warga, lalu masuk ke dalam rumah.

Pada akhirnya, meski sempat mendapatkan bogem mentah dari kerumunan warga, meskipun berada dalam perlindungan petugas yang berjumlah empat personel, tetapi pada akhirnya Pak Romi berhasil diamankan, dan langsung dibawa pergi dengan menggunakan kendaraan milik petugas.

Tidak berapa lama kemudia, pada kondisi lain, entah karena sebelumnya mendapatkan intimidasi atau bagaimana, setelah pak Romi dibawa pergi, barulah sang istri mengakui segalanya. 

Dengan kepala tertunduk sambil terisak, ia pun menceritakan dengan detil semua sepak terjang suaminya selama ini. 

Memang pak Romi-lah yang menghabisi satu persatu secara gaib, bapak, ibu, dan saudara-saudara anak lelaki yang meninggal kemarin siang.

"Suami saya punya dendam lama dengan almarhum orang tua korban. Sejak lama dia sangat ingin menghapus semua keturunan almarhum hingga tak ada seorang pun yang tersisa," beber istri pak Romi.

"Kalian semua harus mendapatkan balasannya. Utang nyawa harus dibayar nyawa," teriak Fardin, salah satu warga yang masih dari pihak keluarga korban.

Pada akhirnya, Pak Kepala Desa meminta istri pak Romi untuk menyampaikan pesan beliau.

"Kalian tidak boleh lagi tinggal di desa ini. Saya tidak bisa lagi menjamin keamanan kalian. Tolong sampaikan pesan ini pada suami Ibu secepatnya," pungkas Pak Kepala Desa.

Perempuan tersebut hanya bisa menunduk. Masih dalam keadaan terisak, dengan diiringi teriakan, hujatan hingga sumpah serapah dari warga, terlebih dari pihak keluarga korban, bersama anak lelakinya, akhirnya perempuan tersebut pergi meninggalkan kerumunan manusia yang mungkin sangat menginginkan nyawa mereka. Setelahnya, warga pun mulai berangsur-angsur membubarkan diri. 

Melihat ke arah mana sebagian besar warga berarak, sepertinya mereka tengah menuju ke arah yang sama. Tampaknya, urusan ini belum akan berakhir. 

Diam-diam aku menguntit langkah warga. Lalu, seperti dugaanku, kini warga telah berhimpun di tempat yang sama, mengepung rumah Pak Romi.