Luna terpaku beberapa saat, melihat pria itu. Karena memang mereka saling mengenal. Bahkan sangat mengenal.
"Heidi?"
Bahkan keduanya terlihat masih bergerak kaku saat si pelayan tadi telah membereskan barang yang tumpah dan segera meninggalkan posisi di sana. Kini tinggal Emili yang ikut terpaku melihat dua orang di depannya. Dia tidak mengenali pria yang menyebut nama Luna itu karena memang Luna belum pernah bercerita apapun mengenai si pria berwajah Eropa tersebut. Namun apapun itu, dia mengerti bahwa mereka saling mengenal, telah lama.
Pria muda dengan rambut warna cokelat keemasan itu tersenyum ramah. Matanya menatap langsung pada mata si lawan bicara. Pipinya merona kemerahan seperti bunga mawar.
"Apa kabar Luna?"
"Baik. Bagaimana denganmu?" Luna berdehem pelan untuk menetralisir situasinya. Membuat dirinya yang sedikit terkejut menjadi tenang total.
"Baik juga. Ah ya, apa kita bisa bicara sebentar di meja kalian?"
Dia (Heidi) meminta dengan sopan, tanpa melepas tatapan dan senyumannya yang manis terhadap Luna. Luna akhirnya mengangguk setelah terdiam satu detik. Dia menyilakan Heidi untuk duduk bersamanya dan Emili di meja yang mereka pesan.
"Kau tampak masih sama seperti dulu, Luna. Terlihat sehat. Bagaimana dengan bisnismu?"
Seketika Luna terkesiap walau samar, mendapat pertanyaan seperti demikian. Dia merasa kurang nyaman. Apalagi dia juga tak suka berbohong menjelaskan hal yang terjadi sebenarnya. Emili ikut menyadari apa yang dirasakan atasannya. Maka dari itu, dia segera melakukan tindakan kecil agar Luna merasa sedikit lebih baik dalam berbicara.
"Nona, saya izin ke toilet dulu sebentar." Ujarnya pada Luna.
"Baiklah, silakan."
Perempuan paruh baya itu segera beranjak dari kursi dan meninggalkan dua orang lainnya di sana. Tindakannya memang tepat, karena kini Luna merasa lebih percaya diri berbicara hanya berdua dengan orang di hadapannya.
"Bisnisku sedang bermasalah. Apa ... kau melihat berita dunia bisnis saat datang ke sini? Di sana ada beberapa kabar tentang bisnisku." Luna menjawab dengan hati-hati.
"Tidak, Luna. Aku baru datang kemarin. Tapi, aku ikut bersimpati mendengar kabar kurang bagus itu. Aku tahu kau wanita kuat, karenanya kau pasti bisa melewati masa sulit apapun."
Luna terdiam sesaat mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut pria di hadapannya sebelum dia berkata dan mengangguk.
"Terima kasih banyak."
Hening beberapa saat karena mereka saling terdiam. Namun Heidi masih seperti dulu bagi Luna, pandai mengolah kata untuk terus membuat suasana tidak kaku dan menjadi santai. Caranya menatap pun masih seperti hari yang telah berlalu. Dan sekarang dia malah memandang Luna dengan sorot mata biru samuderanya yang hangat, dengan tubuh sedikit dicondongkan ke depan. Membuat lawan bicaranya terusik tanpa sepengetahuan dirinya tentunya. Karena Luna memang tidak menunjukan, dia berusaha terlihat tetap tenang meski ada sesuatu merekah di relung dadanya.
"Jangan ragu meminta bantuan padaku, Luna. Aku akan selalu ada untukmu."
"Terima kasih sebelumnya. Aku akan mengatakannya jika nanti perlu." Luna sedikit merasa gelisah.
Namun untungnya, saat itu Emili segera kembali dan itu membuat setitik kegelisahan di hati perempuan berambut hitam-poni tersebut seketika lenyap. Emili lantas dengan cerdiknya mengatakan sesuatu yang merupakan sebuah alasan untuk segera pergi dari sana.
"Nona, jadwal selanjutnya sebentar lagi." Ujarnya. Seraya melirik arloji di tangan kirinya.
"Ah ya. Baiklah. Heidi, aku harus pamit dulu, ada satu urusan yang harus kuselesaikan."
"Begitu? Baiklah, sampai berjumpa lagi Luna. Aku masih beberapa hari di sini." Heidi ikut berdiri untuk menjabat tangan Luna serta Emili.
"Permisi." Emili dan Luna menundukan kepala sekilas bersamaan. Lantas segera keluar dari area kafe. Emili sudah membayar bill pesanan mereka sebelum pergi.
Sementara mereka meninggalkan kafe, Heidi memperhatikan terus hingga kedua perempuan itu masuk mobil.
"Bagaimana kau tahu aku ingin segera keluar dari sana, Bu? Kau memang pintar sekali." Puji Luna atas aksi cerdas wanita di sampingnya yang kini tengah fokus dengan kemudi.
"Saya tidak pergi ke toilet. Saya sibuk memperhatikan gerakan gelisahmu dari jauh." Wanita di sampingnya menjawab ringan. Dia memang luar biasa, bahkan bisa mengerti perasaan atasannya dengan detail meski Luna nyatanya tampak berusaha untuk tenang. Membuat Luna terkesan.
"Begitu? Kau berbakat jadi detektif atau peneliti Bu. Luar biasa." Pujinya lagi.
"Ah, saya senang. Terima kasih. Ngomong-ngomong, apa saya boleh tahu siapa pemuda tadi? Yah, meskipun saya punya satu perkiraan sih."
Emili menoleh sekilas.
"Jawab dulu menurutmu siapa?"
"Mantan pacarmu, pasti." Dengan ringannya Emili menjawab. Membuat Luna tersenyum lagi.
"Tepat sekali. Dia adalah orang di masa laluku yang kutinggal pergi. Ah, tapi jangan tanya lagi ya? Aku sedang tidak ingin membahasnya saat ini, Bu."
Emili mengangguk. "Baik. Saya paham." Lantas kembali fokus penuh pada kemudi.
Meskipun sebenarnya dia ingin bicarakan beberapa hal lagi tentang orang tadi dengan Luna. Namun Emili adalah pekerja yang profesional dan patuh.
Sementara akibat pertemuan tadi, Luna terus mengingat Heidi itu. Sedikit sulit menyingkirkan pria itu dari kepalanya hingga dia tiba di rumah sekalipun. Dia bertanya-tanya, sekilas, mengapa Heidi ada di sini? Namun sejenak kemudian pertanyaan tersebut terjawab oleh dirinya sendiri. Dia lupa bahwa Heidi memiliki kerabat di negara ini. Wajar saja pria itu terlihat di sini.
Lalu, setelah usai memikirkan Heidi, kepala Luna langsung memproses rekaman ingatan tentang pertemuan dengan pria angkuh dan tawarannya menjengkelkannya hari ini. Presdir perusahaan aneh yang mengajukan syarat pernikahan. Benar-benar menjengkelkan!
Bagaimana mungkin Luna harus menikah dengan orang yang sikapnya membuat dada terbakar?
"Kak? Aku masuk ya?" terdengar suara seseorang diiringi ketukan pintu pelan.
"Iyaa."
Terlihat Fioni si gadis bungsu mungil itu masuk dengan tangan membawa nampan berisi makanan. Dia tersenyum manis, ditambah dengan piyama bermotif beruang membuatnya semakin manis. Tetiba Luna merasa De Javu melihat sosok adiknya tersebut. Dia teringat suatu kejadian. Maka dia berdiri dan menghampiri sang adik sebelum gadis itu mendekati ranjangnya, lalu menuntunnya ke tepian ranjang.
Fioni tak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh kakaknya. Dia meletakan nampan di atas meja.
"Ada apa Kak?" barulah dia bertanya tentang apa maksud yang dilakukan Luna barusan.
"Tidak. Hanya membantumu membawa wadah itu." Luna tersenyum menunjuk ke arah meja.
"Oo begitu ya?" adiknya mengangguk meski tetap tidak yakin dengan jawaban tersebut.
Namun Fioni tak mempermasalahkan. "Apa Kakak sudah mandi?"
Luna mengangguk. "Sudah barusan. Segar sekali rasanya. Bagaimana dengan sekolahmu? Ada yang terjadi? Hal seru seperti acara lomba membuat cerita misalnya?"
Gadis mungil di sebelahnya menggeleng. "Aku merindukan acara itu. Tapi di tugas Bahasa Indonesia pun belum ada Kak. Doakan segera ada ya?"
"Aamiin. Semoga segera ada lagi tugas atau lomba menulis cerita." Ujar Luna, tersenyum seraya mengusap pucuk kepala Fioni.
Luna mengambil nampan di atas meja yang berisi menu makan malam. Fioni memang terkadang sengaja ingin mengantarkan makanan ke kamar Luna sama seperti yang dilakukan oleh mendiang ibu mereka.
"Fio, bagaimana jika kakak menikah?" tetiba Luna berceletuk asal sembari menyuap satu sendok kue tiramisu ke mulut dengan raut wajah yang terlihat melamun.
Yang justru membuat adiknya melongo.