webnovel

Who Are You In My Mind

dr. Alvero Yudistira, Sp. Kj... seorang dokter ahli kejiwaan. Tidak banyak yang tahu dia pernah mengalami gejala psikosis di usia 19 tahun. Sekarang, ia dihantui perasaan bahwa suatu hari nanti penyakitnya akan kambuh. Perasaan yang akhirnya membuatnya membatasi diri untuk berhubungan dengan orang lain. Vero bahkan tidak punya keberanian untuk mempertahankan orang yang ia cintai.

Romaneskha · 現実
レビュー数が足りません
67 Chs

Chapter 4: Kleptomania

Perlu waktu lima belas menit dari rumah sakit ke pusat kota. Vero meninggalkan Lamborgini hitam terparkir di basement mall. Langkahya cepat menuju lift. Laki-laki itu tidak punya banyak waktu siang itu. Ia bahkan enggan melepas kacamata hitamnya dan langsung menuju sebuah toko jam tangan bermerk.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Vero tidak menjawab. Matanya tertuju pada deretan benda berdetik yang terpajang di dalam kotak kaca.

"Berikan aku yang itu!" tunjuknya pada sebuah jam tangan berwarna silver dengan tali pengikat berbahan kulit kecokelatan.

"Ini sangat cocok untuk Anda."

Itu terdengar seperti sebuah pujian. Hanya saja, Vero tidak merasa nyaman dengan hal yang baru di tangannya. Meski pun model dan merknya sama dengan yang dulu ia punya. "Aku bersumpah akan mendapatkannya kembali," pikir Vero. "Kleptomania!" Vero tersenyum sinis mengingat rekaman CCTV yang merekam kejadian beberapa hari lalu. "Berani sekali dia mencuri barang milik psikiater, akan kuberi terapi yang sesuai untuknya!" gumamnya lagi. Vero memang meletakkan jam tangannya di atas meja samping tempat tidur saat itu. Pukul 15.20 ketika tidak ada siapa pun di kamar pribadi Vero kecuali perempuan yang diserang tiga jam sebelumnya, perempuan itu dengan santai mengambil jam tangan dan memasukkan benda itu ke saku celana. Tidak ada ekspresi ketakutan atau bersalah, membuat Vero yakin perempuan itu mengidap kleptomania.

Vero kemudian memperhatikan sekeliling sambil menunggu penjaga toko memproses kartu kredit dan membungkus barang yang ia mau.

Tapi, "Tidak usah dibungkus, Mbak! Kartu kreditku saja!" Vero tidak berpaling dari seseorang di jarak sekitar sepuluh meter darinya. Ia berusaha bersikap wajar ketika keluar dari toko jam sambil mengenakan jam tangan baru.

"Ini kebetulan," pikirnya tentang perempuan yang mencuri jam tangannya dua hari lalu. Vero ingat mereka bertemu di depan mall dan siapa sangka kalau perempuan itu adalah pelayan di salah satu butik di mall tersebut. Vero menghampirinya.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya perempuan itu dengan senyum yang jelas-jelas dipaksakan.

Vero membalas senyuman itu. Senyuman yang perlahan akan menenggelamkan senyum orang yang sekarang berdiri di hadapannya.

~II~

"Apa Anda ingin membeli sesuatu?" tanya Amira. Ia masih berusaha bersikap biasa. Setengahnya pura-pura lupa tentang sosok tinggi dan selalu terlihat elegan dengan setelan yang ia kenakan. Bagi Amira, laki-laki di hadapannya adalah uang berjalan. Kemeja yang ia kenakan tidak kurang dari 500 ribu, celananya mungkin hanya kurang sedikit dari 1 juta, kacamata hitam yang baru saja ia lepaskan mungkin sekitar 7 juta, ikat pinggangnya... Amira tidak tahu persis berapa, tapi itu kulit asli, sama aslinya dengan sepatu dan dompet yang terselip di saku celananya. Itu belum termasuk handphone limited edition yang tidak beredar di Indonesia, dan isi dompetnya. Orang itu juga membawa kunci dari benda seharga tidak kurang 4 milyar. Sekali merampok orang itu di jalan bisa merubah predikatmu menjadi orang kaya. Dan mungkin, jika datang ke rumahnya dan merampok orang itu saat di rumah, itu akan membuatmu bisa bertahan hidup selama 60 tahun tanpa harus bekerja. Untuk beberapa hal, Amira ingin sekali menelanjanginya.

"Hanya kemeja," sebut Vero.

"Baik. Silakan Anda ikut saya!" Amira bersikap seperti biasa ia melayani pelanggan yang lain.

Vero membuntuti, melewati lorong-lorong sempit di antara potongan-potongan pakaian yang didominasi warna putih, abu-abu dan hitam.

"Ini merk yang sama seperti yang Anda kenakan, ini koleksi terbaru kami."

"Pilihkan saja yang menurutmu terbaik!"

Amira memperhatikan Vero sejenak dan kemudian melihat pada barisan pakaian yang tergantung.

"Bagaimana kalau yang ini?" Sebuah kemeja putih. Kemeja yang sekilas terlihat biasa saja, tapi saat diperhatikan, maka Vero akan menemukan detail di sana. Tekstur kain bermotif dengan warna yang sama pada bagian kerah, pergelangan tangan, dan area kancing. Elegan, Vero suka kata itu.

"Bagus,"ujarnya.

"Anda mau beli yang ini?"

"Ya."

Amira tersenyum. Ia kira benda yang ada di tangannya adalah salah satu yang termahal di toko mereka dan dia berhasil menjualnya.

"Apa ada yang Anda perlukan lagi?" tanya Amira.

"Tidak. Tapi...,"

"Tapi apa?"

"Bagaimana kabarmu?"

Amira diam.

"Jangan berpura-pura tidak mengenalku!"

"Apa Anda ke sini sengaja ingin bertemu dengan saya?" tanya Amira terdengar lebih tegas.

"Tidak juga. Aku memang ingin membeli sesuatu di sini dan kebetulan aku melihatmu."

"Lalu, apakah ini soal saya yang melarikan diri? Apa saya harus membayar biaya rumah sakit?"

"Apa? Biaya rumah sakit? Tentu saja bukan itu."

"Lalu?"

"Aku hanya mengkhawatirkan seseorang yang mungkin saja trauma atas kejadian waktu itu. Orang lain mungkin bereaksi lebih keras tentang kejadian itu, mereka bisa saja tidak berani keluar rumah dan tidak berani bertemu orang lain. Dan aku senang bisa melihatmu di sini. Apa kamu baik-baik saja?" Vero mendekatkan wajahnya.

"Ya. Saya baik-baik saja."

"Tapi, aku tidak yakin."

"Kenapa?"

"Aku hanya merasa tidak yakin! Gimana kalau kapan-kapan kita ketemuan, kita akan bicarakan masalah ini, boleh aku minta nomor telpon kamu?"

Amira diam. Ia mulai merasa ada sesuatu yang aneh yang sedang terjadi.

"Ah... aku tidak menerima penolakan. Lagi pula aku berusaha menolongmu waktu itu, bagaimana jika tidak ada aku... hmm..."

"Saya mungkin tidak ada di sini sekarang," sambung Amira.

"Ya. Benar banget."

"Terima kasih."

"Jadi, nomor telponnya?" Vero menyodorkan smarthphone-nya.

Meski agak ragu, Amira meraih ponsel Vero, ia mengetik 12 digit nomor dan menuliskan namanya.

"Amira!" sebut Vero. "Kita harus bertemu lagi," ujar Vero dengan senyum penuh kepuasan. Pengidap kleptomania bukan orang yang bodoh, entah darimana Vero mendapatkan teori itu. Hanya saja, jelas hal yang sia-sia jika sekarang ia langsung menyerang Amira dengan tuduhan pencurian dan memaksa untuk mengembalikan jam tangan miliknya. Vero percaya berhasil mencuri adalah sebuah bentuk kepuasan dari seorang klepto. Orang ini tidak akan berkata jujur soal di mana ia menyimpan barang curiannya dan akan berusaha keras untuk mempertahankan apa yang pernah dicurinya. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali jam tangannya adalah dengan mendekati Amira dengan cara yang lebih manusiawi. Diam-diam mengawasi perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Dan karena itu, Vero harus tetap bersikap baik.

~II~

Vero memutar stir dan membiarkan mobilnya mundur perlahan di antara dua mobil yang telah terparkir lebih dulu. Mobil di sisi kanan menarik perhatian Vero sejak ia memasuki gerbang rumah sakit. Itu mobil Angel. Turun dari mobil, Vero melongok ke jendela samping bangku kemudi. Tidak jelas apakah ada orang di dalam mobil itu. Tapi, mesin mobil menyala kemudian.

Vero mengetuk kaca mobil, seakan enggan melihat Angel pergi begitu saja. Kaca mobil turun perlahan.

"Apa kita serius akan melakukan ini sepanjang hari? Jangan seperti anak kecil!" Vero mencoba bicara.

"Aku mau pulang," sinisnya.

Vero memasukkan tangannya ke dalam mobil, membuka kuncian pintu mobil dan segera menerobos masuk.

"Eh, kamu ngapain?"

Vero membuat Angel harus bergeser ke samping. Laki-laki itu mengambil alih kemudi. Ia menarik sabuk pengaman, hal yang sama yang ia lakukan pada Angel. Tidak lama mobil mulai bergerak mundur dengan kecepatan tidak wajar. Vero menginjak rem mobil tiba-tiba dan bagian depan memutar 90 derajat secara bersamaan. Ia gunakan teknik yang sama untuk beberapa tikungan. Angel tahu Vero suka olahraga yang menantang, ia pernah beberapa kali menemani Vero untuk latihan drift, tapi tak pernah benar-benar berada di satu mobil ketika Vero mempraktekkan teknik yang ia punya.

"Ver, kamu gila!" teriak Angel.

Vero tidak berhenti sampai di sana. Ia kemudian mengarahkan mobil Angel ke luar gerbang rumah sakit dan menuju jalan bebas hambatan. Enam puluh kilometer per jam, meningkat menjadi 120 km/jam dalam beberapa detik.

Beberapa menit kemudian Angel berteriak. Ia panik. Mereka sudah masuk jalan utama di kota, tapi Vero tidak menurunkan kecepatan mobilnya.

Vero juga tidak menggubris kata-kata Angel yang menyuruhnya berhenti. Mata Vero fokus ke depan, dengan ekspresi begitu datar. Vero tidak menampakkan ketakutan sedikit pun. Sesuatu yang tidak dipahami Angel tentang kondisi yang mampu mengusik ambang ketakutan seseorang. Menurutnya, apa yang ditampakkan Vero, justru membuat Angel merasa Vero tidak normal. Vero seperti ingin mengantarkannya ke kematian. Angel menutup mulutnya sendiri, air matanya mulai menetes. Ia benar-benar tidak mengerti sebesar apa masalah yang ia hadapi bersama Vero. Haruskah Vero melakukan hal sejauh itu untuk membuat mereka kembali seperti dulu? Tapi, apakah Vero benar-benar tidak menyadari tentang caranya untuk tidak menyakiti perempuan? Hanya mengatakan Ya atau Tidak untuk sebuah hubungan, rasanya sangat mudah.

"Sebenarnya, apa yang yang kamu mau, Ver?" tanya Angel tanpa suara. Vero yang tidak ingin terlalu dekat, tapi juga tidak rela menjauh, Angel benar-benar penasaran bagaimana sebenarnya perasaan Vero padanya.

Angel memperhatikan Vero sambil terus berpikir. Tidak ada yang membuatnya yakin. Mungkin ia akan meminta Vero menghentikan mobil, membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa status seperti sebelumnya, itu tentu saja menyakiti dirinya sendiri. Atau permainan ini akan tetap berjalan dengan pertaruhan hidup dan mungkin mereka akan mati bersama. Itu juga sepertinya tidak buruk.

Angel tercekat ketika tiba-tiba sebuah tronton memotong jalan mereka, itu perempatan dan Vero masih belum menurunkan kecepatan mobilnya.

"Vero!" teriak Angel sambil menutup matanya.

Vero merentangkan lengan kirinya ke dada Angel, kurang dari 3 detik sebelum mobil mereka bertabrakan dengan tronton, Vero menginjak rem dan banting stir, mobil berputar 180 derajat dan berhenti.

Ada asap pekat yang terbentuk karena gesekan ban dan aspal jalan. Vero menoleh ke Angel, perempuan itu masih memejamkan mata, dadanya mengembang cepat dan dangkal. Vero harus memastikan bahwa tidak ada benturan apa pun yang terjadi pada Angel, "Kamu nggak kenapa-napa, 'kan?" lembut Vero.

Pelan-pelan Angel membuka matanya. Ia memandang lurus ke depan, ke luar kaca mobil, ada mobil-mobil lain yang bergerak ke arah mereka. Perlu waktu cukup lama untuk menyadari bahwa mereka berada di posisi melawan arah dan tronton yang tadi hampir mereka tabrak, berada tepat di belakang mereka.

Angel menarik tas tangannya dan segera mendorong pintu mobil. Ia mengusap rambutnya dengan kasar saat itu. Mereka selamat, itu adalah mukjizat. Sikap Vero sungguh tidak biasa dan Angel hampir tidak mengenal Vero saat itu.

Tidak lama, Vero juga keluar dari mobil. Vero mencoba menahan Angel yang berjalan menjauh dengan langkah sempoyongan. Satu tamparan singgah di pipi Vero ketika Vero menarik lengan Angel. "Kamu gila!" ucap Angel pada Vero.

Vero akhirnya melepaskan Angel, ia membiarkan Angel pergi begitu saja. Satu, dua, tiga, empat, dan lima. Langkah Angel terhenti. Angel berpaling dan memperhatikan Vero yang masih berdiri di tempatnya semula. Angel kembali pada Vero.

"Kamu terluka? Apa terbentur? Sakit tidak?" suara Angel bergetar.

Satu usapan singgah di kening Vero. Cairan merah mengalir hingga ke dagu Vero kemudian. Ia tidak bersuara. Matanya meneliti setiap sudut wajah Angel dan ia menikmati setiap sentuhan dari tangan perempuan yang lebih muda tiga tahun darinya itu.

"Aku pasti akan menyesali ini," Vero meraih tengkuk Angel dan mencium bibir perempuan itu.

Sebenarnya Vero mencoba memberikan jawaban dengan bersikap ekstrem. Menjadi orang yang berbeda yang tidak dikenal Angel. Dengan begitu, Vero berpikir Angel akan membencinya. Sikap dan perlakuan akan lebih dirasakan dibanding hanya pernyataan "Tidak". Vero juga sudah mencoba melepaskan Angel. Namun, hanya lima detik sebelum akhirnya Angel kembali kepadanya. Vero seperti tidak punya pilihan selain mencintai Angel dan menghujani perempuan itu dengan kasih sayang. Cukup lama Vero mengekang perasaannya, menuruti logika untuk tidak mencintai siapa pun. Hari itu, Vero tidak bisa menahannya lagi, ia kira ia merasakan setiap definisi yang dibuat orang tentang cinta. Perasaan sayang, rindu, keinginan untuk melindungi, hasrat untuk memiliki, keegoisan, rasa cemburu, Vero mampu menyabutkan ribuan istilah untuk mengartikannya dan semua itu benar ia rasakan.

~II~

"Ayo, kita pergi!" Vero menarik lengan Angel dan membawa perempuan itu kembali ke mobil.

Ada beberapa mobil polisi yang menuju ke arah mereka, "Aku tidak punya rencana berurusan dengan polisi sekarang," Vero cepat-cepat memutar setir dan mengembalikan mobil ke jalur yang benar.

"Aku benar-benar baru tahu kamu senakal ini," ledek Angel yang tampak lebih tenang. Perempuan itu menyandarkan kepalanya di bahu Vero dan mendekap lengan kiri Vero.

"Kita lihat, apa aku akan berhasil?" Vero tampak percaya diri. Berpikir akan kehilangan Angel lebih menakutkan dibanding harus melarikan diri dari kejaran polisi. Dan perasaan bahwa sekarang ia tidak lagi sendiri, itu adalah perasaan yang luar biasa. Lebih luar biasa karena Angel yang berada bersamanya. Bidadari yang datang untuk mengisi hatinya. Vero sangat suka harum tubuh Angel, ia juga tidak ragu-ragu lagi memandangi setiap jengkal keindahan yang dimiliki perempuan itu. Bibirnya, kedipan matanya, bentuk alisnya, pipinya, sesuatu yang tidak akan membuat Vero berpaling pada siapa pun.

"Apa kita pacaran?" tanya Angel semakin merapat pada Vero. Ia juga meremas jemari Vero.

Jakun Vero bergerak naik turun, ia memperhatikan spion depan dan memastikan bahwa tidak ada mobil polisi yang mengiringi mereka. Vero menghentikan mobilnya di sebuah lahan kosong dengan ilalang yang tumbuh mencapai satu meter.

"Aku ingin mengatakan ya. Tapi...kamu mungkin akan menyesal suatu hari nanti."

Angel menegakkan punggungnya. Senyumnya menghilang dan ia memaku Vero dengan tatapannya. "Kupikir aku sudah berhasil meyakinkanmu," ucap Angel kembali murung.

"Jika suatu hari nanti aku mengalami kecelakaan, aku cacat, tidak bisa bekerja, apa kamu akan tetap mencintaiku sama seperti saat ini?"

"Apa itu yang akan terjadi padamu? Kapan? Bagaimana kamu tahu?"

Vero diam sejenak, "Aku hanya... berandai-andai."

"Jika aku yang mengalami hal yang seperti kamu ucapkan? Apa kamu akan mencintaiku sama seperti hari ini?"

Vero terdiam lagi. Mengerikan. Pikirannya sendiri yang ia takuti. Bahwa masa depan itu hanya sebentuk ruang kosong yang gelap dan dipenuhi oleh makhluk-makhluk menakutkan baginya. Tapi, jika itu hari ini, jika itu untuk Angel, tidak hanya cintanya yang akan ia beri, tapi hidupnya, bahkan nyawanya, semuanya hingga tak bersisa.

"Kenapa tidakberpikir tentang hari ini? Orang lain akan berusaha keras untuk hari ini agartidak menyesal di hari depan. Tapi, apa kamu pernah mendengar ada orang yangmemaksa dirinya meninggalkan kebahagiaan dirinya hari ini untuk hal yang tidakia ketahui di masa depan. Tidak bersamamu hari ini, aku merasa gelap, aku tidakingin keluar rumah, tidak ingin melihat langit yang cerah, aku bahkan tidakberani berpikir tentang masa depan," ucap Angel yang kembali bersandar dibahu Vero, dan ia mulai memejamkan matanya.