Airin PoV
'Kenapa terlambat datang?"
Belum juga kaki melangkah ke dalam, pak Banyu sudah menghadangku dan Nina di depan pintu kafe. Tangannya bersedekap dengan tatapan dingin, sulit di artikan.
Namun bukan itu yang menjadi fokusku. Melainkan pakaian yang ia kenakan.
"Berarti, tadi benar bukan mimpi?"
Gumam ku penasaran.
Aku yakin betul, pakaian yang pak Banyu kenakan saat ini sama persis dengan yang aku lihat saat di rumah tadi.
Pak Banyu mengerjap beberapa kali.
"Maksudmu?"
"I-iya, tadi aku kayak ngelihat pak Banyu dateng ke rumah buat ngajak berangkat ke kafe bersama. Aku pikir cuma mimpi karena tiba-tiba pak Banyu ilang gitu aja," sahutku jujur, meski diawal aku sempat ragu.
Aku tidak tahu di mana letak kesalahanku sampai pak Banyu dengan suara lantangnya mendadak meminta Nina untuk masuk lebih dulu.
"Saya ada perlu sama Airin. Kamu masuk dulu, sana," ujarnya saat Nina bertanya tak mengerti.
Sedari tadi mata bulatnya lekat memandangi aku dan pak Banyu bergantian. Membuatku risih saja.
"Tapi kan, Pak. Yang telat aku sama Airin. Jadi kalau mau dihukum harusnya bareng kan, Pak?"
"Nggak usah ngebantah! Saya bilang masuk ya, masuk!"
"I-iya, Pak. Permisi."
Setelahnya Nina buru-buru masuk ke dalam kafe.
Dan akhirnya, setelah dua hari ini dia bersikap aneh, kali ini keluar juga sifat aslinya. Pak Banyu yang tegas, keras, dan tidak suka dibantah.
Ekor mataku masih memandangi punggung Nina yang bergerak menjauh, lewat kaca bening saat tiba-tiba saja pak Banyu menarik lenganku ke arah samping kafe.
"Eeh, ada apa sih, Pak?"
"Kamu kenapa tadi lama sekali, sih? Saya hampir saja jadi korban salah tangkap, dan diamuk massa karena dikira mau mencuri di kost-an itu!"
Tawaku meledak seketika saat kudengar alasan yang sebenarnya.
"Oh, jadi itu alasannya, kenapa tiba-tiba Bapak ngilang gitu aja."
Pak Banyu melotot, memintaku berhenti tertawa. Tapi mau bagaimana lagi, semakin ditahan, bukan berhenti justru semakin kuat dorongan tawa itu ingin dikeluarkan.
"Ssstt... Sudah! Saya nggak mau tahu, ya. Pokoknya di sini nggak ada yang boleh tahu soal ini."
Beberapa kali pak Banyu mengusap rambutnya, gusar. Pasti hal seperti ini menjadi momok besar bagi seorang yang selalu menjaga wibawa, seperti pak Banyu.
"Baik, Pak. Saya nggak akan cerita ke siapapun."
"Termasuk Nina."
"Termasuk Nina."
Aku mengulang kalimatnya sambil mengangkat tangan kanan, tanda sebuah janji.
"Yasudah, ganti pakaianmu dan segera bekerja. Layani pengunjung."
Pak Banyu mulai menurunkan tangan, kemudian berganti tolak pinggang.
Aku mengangkat tangan, bersikap siap, hormat kemudian segera beranjak, meninggalkan pak Banyu yang masih terdiam di tempatnya.
Sampai detik ini, aku masih belum mengerti kenapa secara tiba-tiba pak Banyu datang ke tempat ku tapi, mendadak pergi begitu saja. Ini terlalu aneh.
Tapi, ya sudahlah. Tak perlu dipikirkan lagi, tidak ada untungnya juga.
"Allahu Akbar!!"
Aku terlonjak kaget ketika melihat dua pasang mata menatapku penuh curiga dari balik pintu loker penyimpanan, sesaat setelah aku selesai menyimpan barang-barangku.
Jantungku bisa saja lepas dari tempatnya, kalau tubuhku buatan China. Beruntung sekujur tubuh dan segala yang ada di dalamnya adalah ciptaan Tuhan, jadi lebih awet dan tahan lama.
"Kalian, lagi apa di sini? Bikin kaget saja." Masih sambil mengelus-elus dada, aku tegur Nina dan Ryan.
Keduanya masih tak bergeming. Menatapku penuh selidik.
"Kamu ada hubungan apa sama pak Banyu, Rin?" Nina yang lebih dulu membuka suara.
"Ya hubungan antara bos dan anak buah lah!" jawabku ngasal.
"Bohong. Pasti lebih dari itu!"
Nina bahkan sampai mengikutiku yang berjalan mondar mandir, dari tempat loker, ke dapur khusus karyawan, untuk meneguk segelas air putih.
Setelah berjalan cukup jauh, rupanya haus juga.
"Lebih dari itu apa sih, Na?"
"Aku yakin, lebih! Aku tuh udah perhatiin dari awal pak Banyu negur kita di depan tadi."
"Terus?"
"Tatapannya tuh beda, antara kamu sama aku, Rin. Dia tiap kali menatap ke arah kamu, itu kayak ... Kayak apa, ya?"
"Kayak apa?"
Itu bukan suaraku, asli. Aku dan Nina spontan membalikkan badan, yang berdiri membelakangi pengunjung.
Lagi-lagi aku dibuat terkejut. Dan sepertinya Nina juga merasakan hal yang sama saat kami dapati ada pak Banyu menatap kami dengan tatapan tak suka.
"Saya menggaji kalian untuk bekerja, ya. Bukan untuk merumpi," tegurnya dengan tatapan khas yang buat kami para karyawannya merinding.
Aku dan Nina menunduk khidmat, merasa bersalah.
"Iya, Pak. Maaf,"
"Itu, di meja delapan sudah tidak ada pengunjung tapi gelas dan piring masih belum dibersihkan. Kalian niat kerja apa tidak sih, sebenarnya?"
"Iya, Pak. Akan aku bersihkan sekarang," kata Nina.
"Kejadian ini tolong jangan sampai terulang lagi atau, saya akan berikan kalian surat peringatan!"
"B-baik, Pak!" Sahut Nina kemudian buru-buru pergi.
"Kamu juga-"
Suara lonceng tanda seseorang baru saja masuk, berbunyi tepat saat pak Banyu hendak menegurku.
"Ya sudah sana layani pelanggan!"
"Siap, Pak."
Aku bergegas pergi.
Huft... Sepertinya aku harus berterima kasih pada pelanggan ini karena telah menyelamatkanku dari amarah pak Banyu.
Dengan perasaan yang membaik, kuhampiri pengunjung yang baru datang itu yang duduk di meja paling pojok.
Spot itu memang jadi tempat favorit bagi beberapa orang yang sudah menjadi langganan di sini.
Karena dari meja itu, pengunjung bisa leluasa melihat padatnya lalu lalang kendaraan di persimpangan jalan. Juga tempatnya yang terasa lebih privat, bagi mereka yang tidak ingin obrolannya di dengar oleh sembarang orang.
"Selamat datang di coffeshop, mau pesan apa, Pak?"
Tidak langsung menjawab, seorang lelaki yang duduk sendiri sambil membuang pandangan ke arah jalanan itu terdengar tertawa meskipun lirih.
"Kamu nggak pantes ngomong sok imut begitu. Nggak usah pura-pura jadi orang lain, cuma demi sebuah pekerjaan."
Alisku berkerut,
"Maksudnya, Pak?"
Perasaanku mulai tak enak, dan jelas saja mataku membelalak sempurna saat lelaki yang sedari tadi memunggungiku, membalikkan badannya.
"Kamu!"
Nyaris saja aku berteriak emosi, kalau saja tidak mengingat aku di sini sedang bekerja, dan ada banyak pengunjung dalam kafe.
"Kenapa? Nggak perlu sok kaget gitu. Kita ke sini kan bareng. Nggak usah pura-pura nggak kenal, deh."
Kuatur napas, menghirup dalam-dalam lalu mengeluarkannya pelan. Coba mengatur emosi agar tak sampai meledak di sini.
"Aku ke sini mau buat kesepakatan sama kamu."
"Kesepakatan?"
Lelaki itu mengangguk, kemudian mengeluarkan secarik kertas dari kantung kemeja. Sepertinya dia sudah mempersiapkan 'perjanjian' ini dari awal.
"Baca," katanya sambil menyodorkan secarik kertas itu.
Meski malas, akhirnya aku baca juga secarik kertas itu. Untuk ukuran seorang lelaki yang menyebalkan, tulisan tangannya cukup rapi dan bagus juga. Jauh denganku yang sering di ledek mbak dan mas ku dulu, yang lebih mirip tulisan ceker ayam.
Dih, kok aku jadi malah muji dia, sih!
"Maksudnya apa ini?"
Kualihkan pandangan ke arahnya, coba mengembalikan fokus.
"Kamu nggak bisa baca apa gimana? Di situ tertulis jelas bahwa, sebelum kamu berhasil melunasi hutang, maka hape kamu akan saya sita sementara sebagai jaminan."
Rasanya ingin aku timpuk wajahnya yang songong itu dengan penampan di tangan. Hh, rasanya pasti menyenangkan melihat dia mengaduh kesakitan sambil mengelus-elus kepalanya yang benjol!
Haduh, Airin... Mikir apa, sih!
Semenjak bertemu dia aku jadi punya otak kriminal! Benar benar pengaruh buruk!
"Iya, saya udah baca. Tapi maksudnya kenapa harus hape? Itu alat komunikasi yang penting lho buat aku yang anak perantauan."
"Mana saya peduli. Yang jelas saya butuh jaminan. Kalau nggak, bisa saja kan, kamu malah kabur."
Benar-benar ya, ini orang!
" Kamu kan orang kaya, sih! Waktu yang kamu buat merongrong ganti rugi dari aku bisa kamu gunain buat cari uang yang lebih banyak. Yang bisa buat kamu belikan hape seperti punyamu yang rusak itu banyak banyak!"
Dia bangkit dari duduknya, bersedekap sambil menatapku intens.
"Kalau begitu, orang-orang miskin seperti kanu jadi ngelunjak! Modal muka memelas setelah melakukan kesalahan, biar dikasihani. Terus orang-orang akhirnya mengampuni. Lepas deh dari tanggung jawab," katanya lalu menoyor keningku dengan satu telunjuknya di akhir kalimat.
Aku sudah menyiapkan rentetan sumpah serapah untuknya, tapi sayang semua terhalang saat kulihat di sudut meja bar sana, pak Banyu rupanya memerhatikan aku dan lelaki sialan itu.
Dan saat aku kembali menoleh, lelaki sialan itu tanpa rasa bersalah sudah melenggang menuju pintu keluar.
"Benar-benar cowok sialan!!"
Umpatku tak tahan.