Semalaman Airin tidak bisa tidur, hanya berguling dari satu sisi ke sisi ranjang lainnya.
Isi kepalanya penuh dengan wajah Banyu yang tersenyum dan bersikap ramah padanya setelah hampir enam bulan Airin bekerja padanya.
Selepas jam kerja habis, entah atas dasar apa tiba-tiba saja Banyu menghampiri Airin yang masih belum juga mendapat angkutan.
"Belum ada yang lewat juga?" tanya Banyu membuka obrolan di antara mereka, kala itu.
Airin menggeleng. Sudah hampir pukul dua belas malam, sementara gawai yang biasa dia banggakan sudah kehabisan kuota sejak sore tadi.
"Nina mana? Bukannya kost-an kalian berdekatan? Kenapa nggak bareng?"
"Tadi Nina dijemput pacarnya, Pak."
Banyu berdecak, sebal.
"Egois banget si tuh, Nina. Bukannya pulang bareng, malah ninggalin kamu gitu aja."
Airin mengernyitkan dahi. Tidak biasanya sang bos bersikap seperti itu.
"Kan, emang sudah biasanya, Pak."
Banyu menggaruk kepalanya. Baru menyadari sikapnya yang jadi terkesan ikut campur urusan karyawannya.
"I-ya, juga. Tapi tetap nggak betul itu. Kamu kan cewek, nggak baik pulang malam sendirian. Kalau sama Nina, kan mendingan. Apalagi tubuhnya yang mirip atlet sumo itu, pasti orang juga bakal mikir dua kali buat ngejahatin dia."
Airin sudah semampunya berusaha menahan agar tawanya tak meledak. Sayangnya, sikap Banyu malam itu benar benar di luar dari kebiasaannya.
Banyu yang dia kenal sebelumnya adalah bos yang kaku dan cuek terhadap karyawan, tak pernah mencampuri hal hal yang bukan urusannya.
Namun lihatlah malam ini, pria itu bahkan tak segan mengatai Nina sebagai atlit sumo.
"Kenapa tertawa?"
Gadis itu menggeleng,
"Daripada kita ngomongin yang nggak jelas, mending bapak antar aku pulang?"
Segera Airin membekap mulut, setelah menyadari sang bos menatapnya dengan tatapan aneh.
Jelas saja Banyu menatapnya dengan raut heran. Dia bos lho di sini, dan sudah terbiasa memerintah. Bukan diperintah.
Selintas Banyu ingin sekali memarahi karyawannya yang ta tau adat tapi, mengingat kejadian sore tadi membuatnya sadar, bahwa Airin adalah gadis malang yang harus ia selamatkan dari dendam Devan. Tak perlu lagi menambahi penderitaan gadis itu dengan sikap angkuhnya.
"Ya sudah, ayo...."
Airin kembali membekap mulut. Kali ini dengan mata yang terbuka lebar, tidak menyangka.
Setelah beberapa menit terdiam, Banyu yang terkenal masa bodoh itu menuruti keinginannya.
"Eh, nggak perlu, Pak. Tadi aku cuma bercanda," jawab Airin setelah kesadarannya kembali.
"Nggak usah sungkan. Lagi pula kamu kan karyawanku. Aku juga yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu sama kamu."
Airin masih mematung ditempatnya saat Banyu sudah kembali ke parkiran dan menyalakan mesin mobilnya.
"Ayo! Sebelum aku berubah pikiran!" seru Banyu dari dalam mobil. Kepalanya sedikit menyembul dari balik kaca mobil.
Dipikir-pikir, ini kesempatan langka. Buru-buru Airin berlari menghampiri sang bos, sebelum lelaki itu berubah pikiran dan meninggalkannya sendirian di sini.
***
Matahari siang ini begitu percaya diri memamerkan keperkasaannya. Teriknya sinar UV ditambah polusi yang berterbangan dari berbagai arah, membuat cuaca di luar semakin membuat gerah.
Itulah kenapa sejak bangun pagi tadi, Airin hanya rebahan di kasur mini dalam kontrakannya. Berbagai bungkus camilan berserak di lantai, sebagai teman halunya sampai sore nanti.
"Airin..."
Dengan malas gadis itu bangkit dari posisi nyamannya, setelah suara cempreng khas milik Nina merusak waktu melamun nya.
"Apa, Na?"
Belum dipersilahkan masuk, gadis bertubuh tambun itu sudah menerobos ke dalam. Airin hanya menggeleng, sudah menjadi tabiat dari teman kerjanya.
"Jorok banget, sih! Sampah dimana-mana. Anak perawan kok kelakuannya begini banget!"
Nina mengoceh panjang lebar, yang tentu saja tidak ditanggapi oleh Airin. Ceramah Nina hanya dianggap layaknya kentut, yang hanya akan terasa efeknya di awal, dan akan segera hilang seiring angin berembus.
Wushh....
"Ada apa siang panas begini main? Tumben." Sambil membuka lagi satu bungkus kacang telur yang di panggang bukan digoreng, Airin duduk bersila di samping Nina yang sekarang sudah menguasai kasur busa mini miliknya.
"Mau numpang ngadem. Kipas di kamar aku mati," jawabnya enteng, satu tangannya merogoh bungkus jajanan yang Airin pegang tanpa permisi.
Meskipun belum genap satu tahun mereka saling mengenal, namun keduanya seakan sudah mengerti sifat dan karakter satu sama lain. Keduanya yang sama-sama memiliki sifat yang terbuka pada orang baru, membuat Airin dan Nina bisa dengan cepat saling mengakrabkan diri.
"Eh, nonton drakor, yuk," ajak Nina yang dijawab dengan gelengan.
"Males, ah. Kuota tinggal dikit," sahut Airin tanpa melihat ke arah lawan bicara. Kedua tangannya sibuk mengetikkan rentetan huruf pada layar ponsel sementara mulut tak berhenti mengunyah.
Nina yang mendapati bungkus snack yang teronggok di lantai, buru-buru meraih dan menguasainya.
"Lagi apa, sih? Serius banget."
Mencondongkan kepala, gadis asli Lampung itu coba mengintip apa yang sedang dikerjakan Airin.
"Biasa, mencoba merubah mimpi jadi kenyataan." Sorot matanya berbinar saat mengatakan itu. Sambil menatap langit-langit kamar, Airin membayangkan ketika suatu saat nanti namanya akan terpampang pada puluhan eksemplar buku yang memiliki cap 'best seller'. Kemudian orang-orang akan berebut untuk mendapatkan tanda tangannya.
"Dasar! Kita, orang biasa bisa apa, sih? Boro-boro mau wujudin mimpi, bisa makan sehari tiga kali aja udah bersyukur banget."
Nina adalah tipe gadis yang terlalu berpikir realistis. Bahwa baginya dunia seringkali bersikap tidak ada pada rakyat miskin sepertinya. Seolah, keadilan hanya berlaku untuk mereka yang good looking dan good materi.
Apalah arti Airin, dirinya, dan orang-orang bernasib sama yang hanya tamatan sekolah menengah, di mata dunia? Tidak ada.
"Eeh, nggak boleh begitu, Nin. Jangan lupakan Sulaiman Spirit, yang di ajarkan Ustadz Yusuf. Bahwa selama kita punya Allah, kita masih memiliki harapan. Allah akan mengabulkan asal kita mau sungguh-sungguh dalam berdo'a."
"Iya, sih. Tapi jangan ketinggian lah kalo mau ngimpi. Nanti kalo jatoh, sakiit...."
"Aku mau bermimpi setinggi langit, Na. Kalau nanti aku harus jatuh, aku akan terjatuh di antara bintang-bintang."
Pandangan Airin sekali lagi menerawang, membayangkan betapa indahnya ketika nanti ia mampu menggapai cita-citanya.
Nina mendengus sebal. Selalu saja kalah kalau sudah beradu argumen tentang mimpi dengan Airin.
Gadis sembilan belas tahun itu, datang jauh-jauh dari kampung ke perantauan dengan membawa harapan besar. Dan tidak ada satu orangpun yang mampu mematahkan semangat untuk meraihnya.
Keyakinannya amat besar bahwa suatu saat impiannya menjadi seorang penulis hebat akan segera terwujud.
Tanpa sadar, perasaannya menghangat. Selalu saja, setiap kali membayangkan cita-citanya, dada Airin bergemuruh hebat. Menggebu-gebu. Membuat netra nya basah akan haru.
Membayangkan nanti kedua orangtuanya bangga melihat anak gadisnya mampu meraih apa yang dicita-citakannya selama ini.
"Dih, mewek!"
Iseng, Nina melempar sebiji kacang pada Airin. Membuat lamunannya buyar.
"Ih, Nina. Ganggu, deh." Airin memajukan bibirnya, sebal.
"Eh, gimana soal hape kenalannya Pak Banyu? Kamu udah nemu solusinya belum?"
Pertanyaan Nina barusan membuat senyum yang sempat terukir di wajah Airin, seketika memudar.
"Belum." Terdengar nada putus asa dari jawabannya.
"Wah, sial banget kamu ketemu orang kayak dia. Wajahnya si oke kayak malaikat, tapi kelakuannya apalagi pas bentak kamu di depan umum kayak kemaren, dih ... lebih serem daripada setan!"
Nina mengatakan itu dengan ekspresif. Membuat Airin sejenak melupakan kesedihannya dan kembali mengembangkan senyum.
"Ntahlah, Na. Mungkin nanti aku bakal minta tolong ke pak Banyu. Selanjutnya, aku bakal ngelunasinya secara nyicil dengan potong gaji."
"Yakin pak Banyu mau tolong? Bos angkuh begitu?"
"Siapa tahu aja. Denger sendiri kan waktu pak Banyu bilang mau bantu aku kemarin?"
"Iya, sih. Tapi siapa tahu kalo itu cuma pencitraannya aja biar dinilai sebagai bos paling baik sedunia, oleh para kostumer."
Airin hanya mengendikkan bahu. Lupa kalau teman dekatnya itu tidak melihat kejadian maha ajaib yang terjadi semalam.
Meskipun saat di mobil lebih banyak diam, tapi jelas kalau malam itu dengan sukarela Banyu menawarkan bantuan padanya.
Sebuah pertanda yang bagus untuk coba meminta pertolongannya, bukan?