webnovel

What is My Position

Untuk menuruti permintaan Maya yang merupakan sahabatnya, Delisa terpaksa menikah dengan calon suami sahabatnya sendiri, yaitu Argat. Karena sebuah alasan, Maya terpaksa menolak pernikahan yang sudah ada di depan mata. Alasan tersebut membuat Delisa harus menanggung kehidupan rumah tangga yang tidak memiliki masa depan. Berbagai ujian datang silih berganti menerpa kehidupan rumah tangga Delisa dan Argat. Sosok Maya yang membuat Delisa tetap bertahan dan berusaha sebaik mungkin sampai waktu yang ditunggu tiba. Waktu di saat Delisa berjanji akan mengakhiri pernikahan ini, janji untuk mengembalikan Argat pada Maya. Namun, apakah Delisa mampu memenuhi janjinya pada sahabatnya? Apakah Delisa mampu merelakan suaminya kembali kepada kekasih lamanya?

MiranDa · SF
レビュー数が足りません
273 Chs

Ditolak

Untuk makan malam aku memasak tumis kangkung dengan cumi-cumi. Selain itu aku juga memasak ikan kakap goreng saus asam pedas. Aku sudah terbiasa memasak, jadi aku tidak mengeluh jika memasak dalam jumlah banyak. Bu Rima sejak tadi berdiri di dekatku untuk mengawasiku. Maksudku, Bu Rima sengaja berada di dekatku untuk berjaga-jaga jika aku membutuhkan sesuatu.

"Bu Rima, tolong gantikan aku sebentar," ucapku meminta bantuan.

Aku menjauh dari kompor untuk membaca pesan dari Maya. Pesannya berisi bahwa Maya memintaku untuk memperhatikan segala kebutuhan Argat. Tak henti-hentinya Maya ingin membuatku mengerti bahwa aku istrinya Argat. Namun setiap kali Maya mengirim pesan, dia tidak ingin aku membalasnya. Maya juga selalu menuliskan bahwa dia akan merasa senang jika aku mau melakukannya. Mataku ini tidak pernah mengeluarkan air mata jika membaca setiap pesan dari Maya. Seberapa besar kemarahan Argat, aku langsung luluh saat membaca pesan Maya.

"Makanannya sudah siap?" tanya Mama yang baru saja datang.

"Iya, Ma. Tinggal disajikan," jawabku.

Aku kembali melakukan pekerjaanku. Bu Rima membantuku untuk menyiapkan piring dan gelas di meja makan. Akhirnya semuanya sudah siap. Sekarang aku tinggal memanggil mama di kamarnya. Kuketuk pintu kamar mama untuk memberitahunya bahwa makanan sudah siap. Mama turun duluan karena aku harus memanggil Argat. Pintu kamar Argat terbuka sedikit. Lebih tepatnya kamar yang ditempati Argat saat ini adalah kamar tamu. Aku jadi bisa melihat apa yang Argat lakukan di dalam. Argat masih sibuk dengan laptopnya, dia terlihat sedang berpikir keras. Aku jadi tidak tega untuk mengganggunya. Mungkin aku akan kembali memanggilnya nanti.

"Di mana Argat?" tanya Mama.

"Dia terlihat serius dengan laptopnya. Aku tidak ingin mengganggunya," jawabku.

"Delisa, tolong nanti antarkan makanan ke kamarnya," perintah Mama dengan halus.

"Iya, Ma."

Aku senang melihat mama yang menikmati makanannya. Mama sampai tergila-gila dengan tumis kangkung dan cumi-cuminya. Aku ingin mengajak Bu Rima makan bersama, tetapi dia menolak karena merasa sungkan. Pandanganku teralihkan ke kursi yang biasanya diduduki Argat. Rasanya sepi jika tidak ada Argat di sini. Mengapa aku mencarinya? Apa aku sudah melupakan kemarahannya?

"Bu Rima! Tolong kupaskan apel untukku!" perintah Mama.

"Ma, biar aku saja," ucapku menawarkan diri.

"Tidak usah. Tugasmu hanya melayani Argat, bukan Mama, Mama akan lebih senang kalau kau memperhatikan Argat lebih baik daripada Mama," tolak Mama.

"Mama juga Ibuku, kan? Aku senang bisa melayani Mama," ucapku.

Baru saja aku akan berdiri, Bu Rima sudah datang dengan membawa sepiring apel yang sudah dipotong-potong. Mama memang orang yang santai, jika sifatnya sedang tidak mendominasi. Bisa kubilang kalau mama adalah mertua idaman karena menghormati dan memperlakukan menantunya dengan baik.

"Perut Mama rasanya ingin meledak. Saking enaknya Mama jadi tidak bisa berhenti makan," keluh Mama yang membuatku tersenyum.

"Aku senang melihat Mama menikmati makanannya," ucapku.

"Makanmu memang enak, itulah yang membuat sifat rakusku keluar," gurau Mama.

Setelah mama pergi kubawa semua piring kotornya ke dapur. Aku ingin mencucinya, tetapi Bu Rima tidak ingin aku yang melakukannya. Baiklah, aku akan mengambilkan makanan untuk Argat. Kuantarkan sepiring makanan dan segelas air putih ke kamar. Aku tidak bisa mengetuk pintu karena takut nampannya akan jatuh jika kubawa hanya dengan satu tangan. Kugunakan kakiku untuk mendorong pintunya. Mendengar suara pintu terbuka, Argat menoleh ke arahku. Kusingkirkan segala kegugupanku demi mengantarkan makan malamnya.

"Makanlah, Mama memintaku untuk membawanya ke kamarmu," ucapku.

Argat justru makin mempercepat ketikannya pada keyboard laptop. Tingkahnya itu menimbulkan suara yang cukup keras. Aku seperti mendengar suara mesin ketik. Karena tidak ada jawaban apa pun, aku hanya menaruh nampannya di atas meja.

"Kenapa kau marah padaku?" tanyaku dengan sopan.

"Apa aku harus menjelaskannya padamu?" Argat bertanya balik padaku.

Aku meremas bajuku dengan kuat karena takut Argat akan marah lagi. Namun, mau sampai kapan kami terus seperti ini? Aku sudah berada di sini, itu tandanya aku sudah menyetujui untuk menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Meski aku tetap tidak nyaman jika berada di dekat Argat.

"Kalau kau tidak menyukainya, aku bisa memasak yang lainnya. Sesuatu yang kau suka," ucapku menawarkan diri.

"Apa kau bisa pergi?"

"Ya, aku akan pergi. Jangan lupa makan," ucapku lalu keluar.

Aku keluar dengan perasaan campur aduk. Aku bingung harus sedih atau bereaksi seperti apa. Namun aku senang karena sudah berusaha. Kemudian kuambil ponselku dan mengetikkan sebuah pesan pada Maya. Aku mengetikkan pesan yang berisi bahwa aku sudah berhasil. Aku tidak sengaja berpapasan dengan mama. Di depan mama aku ingin selalu bersikap seakan semuanya baik-baik saja, seperti saat ini.

"Kau belum tidur? Apa Argat sudah makan?" tanya Mama.

"Dia sedang makan di kamar tamu," jawabku.

"Mama akan menyuruhnya kembali ke kamar kalian," ucap Mama.

"Ma, biarkan Argat berada di sana," ucapku menahan Mama.

"Mama akan menyuruhnya tidur di kamar kalian," ucap Mama lalu berjalan melewatiku.

Dengan pasrah aku berjalan memasuki kamar. Saat kubuka pintunya aku terkejut dengan banyaknya hiasan lampu. Aroma bunga tercium sangat wangi. Bu Rima menghiasnya dengan rapi. Aku mendekat ke arah lampu dan memegangnya. Kemudian aku mendekat ke arah kasur untuk memegang setangkai bunga mawar merah. Tiba-tiba aku tersenyum.

"Indah," ucapku spontan.

Aku mendengar suara langkah kaki yang kian terdengar di telingaku. Aku berpura-pura duduk dan sibuk dengan ponselku. Saat pintu mulai terbuka, jantungku makin menggila. Seketika aku menoleh saat mendengar suara lampu dijatuhkan. Aku terkejut melihat apa yang dilakukan Argat. Argat melepas semua hiasan lampunya lalu membuangnya ke tempat sampah. Tak cukup sampai di sana, Argat juga membuang semua bunga yang ada di atas kasur. Aku berdiri menjauh seakan merelakan perbuatannya. Setelah semuanya beres, Argat naik ke atas kasur dan tidur membelakangiku. Aku hanya bisa menggigit bibirku untuk menahan tangis. Mengapa rasanya begitu sakit? Jika memang Argat tidak menyukainya, seharusnya dia bilang saja. Dengan senang hati aku akan menyingkirkan semua hiasan ini.

"Tidurlah di sofa. Aku tidak ingin siapa pun tidur di kasurku," ucap Argat dengan tiba-tiba.

Mendengar ucapannya itu membuatku bergerak cepat untuk mengambil bantal dan menaruhnya di atas sofa. Kutatap punggungnya selama beberapa detik sebelum merebahkan diri di atas kasur dengan poisisi membelakanginya.

"Jangan berpikir kalau aku akan memaafkanmu. Karena aku tidak akan bisa memaafkanmu," ucap Argat yang terdengar begitu menyakitkan di telingaku.

Air mata tidak bisa kutahan lagi. Bajuku mulai basah karena air mata. Dengan keadaan seperti ini aku tetap berusaha memejamkan mataku supaya cepat tertidur. Namun sayang, aku tak kunjung bisa tertidur. Kini aku hanya bisa memejamkan mata dengan kepala yang tidak mau berhenti berpikir.