webnovel

WANITA IRI HATI

Hans, Dara dan Mahendra pulang ke rumah di sambut dengan wajah masam Melinda.

"Kalian ini tidak punya otak sama sekali! Bisa-bisanya datang ke pesta pertunangan Gadis. Apa kalian lupa bahwa kita ini sudah dipermalukan? Sebagian dari kawan-kawanku tau jika Dara akan menikah. Tapi, yang terjadi adalah dia yang bertunangan. Dan kau malah datang dengan senyuman ke sana!" seru Melinda.

"Dia adalah anakku yang sah! Jadi, dengan siapapun dia menikah dia tetap akan menjadi menantu."

"Kau berikan yang terbaik untuk anakmu dari wanita itu, sementara anak-anakku? Kau biarkan Dara sakit hati dan menahan malu!"

Mahendra menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar.

"Bu, bisakah ibu menahan mulut ibu untuk tidak bicara yang tajam? Selama ini kita selalu mendapatkan yang terbaik dari ayah. Sekarang aku bertanya pada ayah, berapa yang ayah berikan pada Gadis dan Bu Karina setiap bulan?" Mahendra angkat bicara. Hans menatap putra tertuanya itu.

"Kenapa tiba-tiba kau tanyakan berapa ayah memberi uang pada Gadis?"

"Untuk memastikan sesuatu yang baru saja aku dengar. Dara, berapa yang setiap bulan kau berikan pada Gadis dan Ibunya?"

"Tiap bulan ibu memberikan 2 juta rupiah. Itu yang aku berikan pada Bu karina," jawab Dara.

Wajah Melinda pucat seketika sementara Hans langsung menautkan alisnya.

"Berapa?! Dua juta rupiah? Aku selalu memberikan uang 5 juta rupiah untuk Gadis dan ibunya setiap bulan! Bisa kalian jelaskan kepadaku?!" seru Hans.

"Melinda, kenapa hanya dua juta yang kau berikan pada Gadis dan Karina?!"

Melinda merasa ketakutan namun, ia menatap Hans dengan berani.

"YA! Aku yang mengurangi jatah bulanan mereka! Mereka hanya hidup berdua, untuk apa banyak-banyak?! Toh uang kontrakan selalu diberi setiap tahunnya. Dua juta itu sudah banyak!" seru Melinda sengit .

"IBU!" teriak Mahendra keras membuat Melinda tersentak kaget. Selama ini, Mahendra tidak pernah berteriak pada siapapun, terlebih kepadanya.

"Ka-kau?"

"Apa kita pernah tau saat rumah mereka pernah kebanjiran karena atap bocor di mana-mana? Mungkin, mereka bisa saja pindah ke rumah lain yang lebih layak. Tapi, mereka bertahan karena halaman rumah itu cukup besar. Untuk apa? Terkadang halaman rumah itu dipakai untuk orang-orang yang berjualan di pagi hari, dan Gadis mendapatkan sedikit uang sewa. Apa kita tau saat Ibu Karina sakit dan harus dirawat? Ibu hanya memberi uang yang cukup untuk membeli obat murah. Keluarga kita ini apakah masih pantas disebut manusia?!" teriak Mahendra.

Hans langsung melotot mendengar perkataan putranya.

"Apa katamu?! Kau tau dari mana berita itu?" tanya Hans.

"Aku berkenalan dengan sahabat Gadis dan dia yang mengatakan semuanya, Yah. Ibu sudah mencuri! Jika ibu bilang dua juta itu banyak, apa Ibu bisa menggunakan uang dua juta untuk di rumah ini? Bahkan biaya ibu sekali ke salon saja sudah berapa ratus ribu? Bahkan sekali ibu pergi ke dokter kulit bisa menghabiskan dua juta rupiah untuk perawatan wajah ibu! Ibu bilang banyak? Tidakkah ibu lihat bagaimana kondisi kita? Selama ini kita makan dengan cukup , ibu tidak perlu mencuci atau melakukan pekerjaan rumah karena ada pembantu. Tapi, di sana Tante Kirana bekerja menjadi buruh cuci! Berapa tahun ibu sudah mengambil hak mereka?! Aku benci harus mengatakan hal ini. Tapi, aku malu menjadi anak ibu! Aku malu terlahir dari rahim Ibu!" seru Mahendra dengan tangan terkepal dan pemuda itu segera beranjak pergi ke kamarnya.

Sementara Melinda terduduk lemas, ia sama sekali tidak menyangka bahwa kelicikannya akan dibongkar oleh putranya sendiri. Selama ini, Hans memang mempercayakan keuangan kepadanya. Dan, Hans sendiri juga tidak pernah mengecek atau datang berkunjung ke rumah Gadis. Itulah sebabnya Hans tidak pernah tau bahwa selama ini Gadis hidup susah dan kekurangan. Dia tidak pernah mau mendengarkan, dalam hati ia merasakan penyesalan yang sangat dalam. Ingin rasanya ia berteriak pada Melinda. Tapi, teriakan Mahendra tadi rasanya sudah cukup untuk menghukum Melinda.

"Kau renungkan kesalahanmu, aku akan tidur di ruang kerjaku," kata Hans. Ia pun segera melangkah menuju ke ruangan kerjanya.

Dara yang melihat sang ibu duduk termenung sambil menitikkan air mata langsung mendekat berusaha untuk memeluk, namun Melinda mendorongnya, "Semua ini gara-gara kau!" hardiknya pada Dara. Lalu ia pun bangkit dan menarik Tania untuk berlalu dari ruangan itu. Sementara Dara kini hanya bisa menangis terisak. Hatinya dilanda kesedihan yang luar biasa malam ini. Yang pertama karena ia harus mengikhlaskan lelaki yang dicintainya bertunangan dengan adiknya sendiri yang kedua dia harus menerima kenyataan pahit tentang kelicikan ibunya.

"Kak, jangan nangis. Kenapa semua orang berteriak malam ini?"

Dara mendongak dan melihat Arsea adik bungsunya berdiri di hadapannya sambil menyodorkan kotak tissue. Dara meraih kotak tissue dari tangan Arsea sambil tersenyum.

"Seharusnya kau ada di tempat tidurmu, Sea. Kenapa bangun?" tanya Dara sambil bangkit berdiri.

"Aku mendengar semua orang berteriak dan saling memaki. Jadi, aku terbangun," jawab bocah berusia 6 tahun itu. Dara tersenyum dan langsung menggendong adik bungsunya yang sedikit gempal itu.

"Kita tidur lagi, kau tidur di kamar kakak saja," ujar Dara.

"Iya, tapi aku mau dibacakan dongeng."

"Tentu saja, asalkan kau menjadi anak yang baik," kata Dara. Arsea mengangguk dan memeluk kakaknya itu.

**

Sementara itu Gadis tengah berdiri di balkon kamar hotel tempatnya menginap. Ia menghela napas panjang berulang-ulang lalu mengembuskannya. Pesta pertunangan sudah selesai sejak 2 jam yang lalu. Dan Xabiru juga sudah kembali ke rumahnya. Pernikahan mereka akan dilangsungkan seminggu lagi di hotel ini. Gadis merasa sedikit galau. Dalam hati ia merasa bahagia sekaligus juga merasa sedih. Ia bahagia karena ia mencintai Xabiru. Tapi, di sisi lain ia merasa iba pada Xabiru. Tidak seharusnya ia memanfaatkan rasa cinta mereka untuk sebuah pembalasan dendam.

"Kau belum tidur, Dis?"

Gadis menoleh dan melihat ibunya begitu bahagia sedang berjalan ke arahnya.

"Aku masih seperti bermimpi, Bu. Rasanya aku tidak percaya bahwa aku akan menikah dengan orang yang baru aku kenal. Yang lebih membuatku tidak percaya adalah kita bisa keluar dari rumah itu dan bisa hidup dengan lebih layak."

"Kau pantas untuk mendapatkan itu semua, nak. Apa yang selama ini dirampas darimu akan kembali kepadamu," kata Karina sambil memeluk putrinya itu.

'Apakah Xabiru akan memaafkan diriku, jika satu hari dia tau bahwa aku memanfaatkan cinta kami untuk membalaskan sakit hati?' gumam Gadis dalam hati.