Tak ada malu lagi bagi seorang Bryan Sandavid untuk meringik pada Elina, sudah seperti anak kecil saja tingkah lelaki tersebut pada Elina. Karena, tak ingin di tinggalkan oleh kekasih hatinya itu hanya dengan cara ini mungkin Isa dapat mengurngkan niatnya untuk berangkat kerja mala mini.
Malam yang sunyi dan cuaca pun begitu mendukung untuk bermanja dengan kekasih yang paling di cintai.
"Malam ini luangkan waktumu untukku sayang," pinta Bryan, merangkul pinggang Elina dari belakang.
"Bryan ini bukan saatnya untuk bermanja, aku ingin kerja jika tidak Reno akan marah denganku," ujar Isa, sambil menatap dirinya di depan kaca besar.
"Lihatnya, kaca itu," tunjuk Bryan, menatap wajahnya yang kekar.
"Ya dari tadi aku sudah menatap kaca Byan, kan aku lagi make up, haduh kamu ini ada-ada saja," sambil menepuk jidat.
"Ya maksud aku mah, lihat kita berdua di kaca itu. Kita sangat cocok untuk menjadi suami istri," ucap Bryan, sambil tersenyum melihat wajah cantik Elina melalui kaca.
Tubuh Bryan tak mengenakan pakaian sehelai pun, hingga membuat dia terlihat begitu kekar dengan otot yang menonjol.
"Apakah aku terlihat sangat seksi," bisik Bryan pada telinga Elina.
"Kamu tidak seksi, kamu hanya gendut," jelas Elina.
"Kenapa kamu begitu jahat, mengucapkan hal itu padaku?" dengan wajah mengkerut.
"Hahahah, jangan dimasukan ke dalam hati aku hanya bercanda saja. Ada apa dengan cermin itu, kita memang terlihat berdua di kaca itu lalu apa lagi?" ujar Elina, menatap wajah Bryan dari kaca.
"Kita sangat pantas bila menjadi Ayah dan Ibu," ucap lelaki tersebut dengan nada yang bahagia.
Karena, itulah keingiannya saat ini menjalin hubungan yang harmonis dengan Elina hingga pada akhirnya ia dan wanita yang ada di depannya ini mendapatkan sebuah julukan Ayah dan Ibu.
"Ahhh, kamu jangan bercanda deh. Aku ingin berangkat kerja saja, yang ada Reno akan memotong gajiku bulan ini karena, terlalu banyak izin," cetus Elina, berbalik tubuh, hingga kedua bola matanya mendapatkan sebuah tatapan sejuk.
Jika keadaan material mendukung mungkin saja ia, ingin sekali memperjuangkan cintanya dengan Bryan. Tapi, semuanya sama sekali tak mendukung keadaannya sudah buruk terutama dengan keluarga yang entah dimana keberadannya, belum tentu juga keluarga Bryan mau menerima dirinya dengan baik dan ramah.
"Apa kamu tidak bisa meluangkan waktu bersamaku?" tanya Bryan dengan hati sedih. Karena, Isa tetap kekeh akan keputusan dia untuk bekerja.
"Emmm, kalau kamu mau, ayo ikut kesana saja. Nanti kamu bisa istirahat di ruang biasanya," usul Isa.
"Hmmm," membuang muka dengan masam. "Aku hanya ingin berdua saja dan taka da orang lain," lanjutnya.
"Bryan," tangan mulai naik lalu mengusap dada bidang lelaki itu. "Segala permintaan kamu sudah aku lakukan, masa ketika aku hanya ingin bekerja kamu menghalangi. Ini semua juga untuk kebutuhan Sindy, dan aku tidak ingin membebani kamu dengan keuanganku," jelas Elina.
"Tapi, aku tidak pernah merasa terbebani sayang. Malah aku bahagia bisa membantu kamu,"
"Aku hanya tidak ingin mendapatkan julukan wanita matre. Secara kamu adalah orang yang berada sedangkan akuu,"
"Hustttt, jangan bicara seperti itu. Ya sudah, aku antar kamu kerja, dan jika disana suasananya baik aku ikut," balas Bryan, memilih untuk mengalah dan tak memaksa wanita ini untuk menuruti apa yang menjadi permintannya.
Walaupun di dalam hati serasa kesal, tapi ia tak bisa membiarkan hal itu terus menyelinap di dalam hatinya. Ia juga harus belajar mengalah, dan menghargai apa yang menjadi pemintaan Elina.
"Nahhh, gitu dongg. Aku jadi semangat kalau kamu mau menuruti apa yang menjadi keinginan akuu," seru Elina dengan wajah bahagia.
Menjadi anak tunggal dan paling di sayang ialah impian setiap anak, dan hal itu terjadi pada Bryan yang sampai detik ini selalu di kejar-kejar oleh keinginan orang tuanya untuk menikah dengan Amora, gadis yang di pilihkan sejak Bryan masih dalam kandungan.
"Emmm, mau sampai kapan kamu tak akan pulang ke rumah?" tanya Elina memecah keheningan di dalam mobil.
"Entahlah, ketika terlingaku sudah tidak mendengarkan perjodohan dengan Amora maka aku akan pulang," jawab Bryan, tersenyum tipis.
"Aku juga tak pernah meminta untuk menjadi anak tunggal, namun mama selalu kekeh jika tak ingin memiliki anak lagi hingga pada akhirnya berimbas ke aku. Dan sampai saat ini aku seperti boneka mereka yang dapat di atur dengan sesuka hati," ungkapnya, sambil memandang gadis yang duduk disampingnya.
"Yang sabar aja ya, kalau dia memang yang terbaik untuk kamu. Maka akan di permudah kok, dan seiring berjalannya waktu kamu juga bakalan bisa menerima posisi Amora sebagai calon kamu," sambil menggenggam tangan Bryan, yang berada di pahanya.
Jalan cinta kedua insan yang sedang berpadu kasih serasa begitu sulit untuk di jalani, namun bila semua ini jalan yang terbaik dari Tuhan pun pastinya akan di permudah.
***
"Tante, pokoknya kita harus cari tau pacarnya Bryan. Aku penasaran banget seperti apa dia, sampai si Bryan tergila-gila,"
"Iya Amora, tante juga pengen tau bagaimana wajah wanita itu. Hingga mampu mengasah otak Bryan, sampai dia tak pernah pulang kerumah," lanjutnya.
Tekad calon menantu dan mertua begitu kuat untuk mencari tau akan kekasih anak tunggal Ajeng, hingga membuat dia tak pernah ingin pulang dan menolak tegas akan keberadaan Amora yang padahal sudah cukup cantik.
"Mama, jangan buat ulah yaa," sambung suara dari belakang.
Langkah kaki yang terus terdengar membuat mereka berdua teralihkan, "Papa?" ucap Ajeng, dengan kening mengkerut.
"Ehh, om. Sejak kapan om datang?" basa-basi Amora sambil menyalami lelaki yang berada di belakang Ajeng.
Tak ada jawaban bahkan terlihat dari wajahnya lelaki itu acuh akan ucapan Amora yang menyapa dirinya dengan sangat halus. "Mama mau melakukan hal apa?" tanya lelaki tersebut, dengan tatapan penuh pada istrinya.
"Papa," sambil tersenyum, dan menggaruk kepala.
"Jawab pertanyaan papa, ma!!" nada tegas mulai terdengar.
Hinga membuat Amora yang berada di sisinya hanya mampu menelan salivanya berulangkali. Karena merasa takut akan ucapan Papa Bryan.
"Om jangan pakai nada tinggi dong, aku jadi takut dengernya," sambil memegang pundak Papa Bryan.
"Diam kamu!! Jika kamu tak ingin mendengarkan ucapan om, lebih baik kamu pergi saja dari sini,"
"Paa!! Kok kamu kasar sih dengan Amora," bela Ajeng pada calon menantunya.
"Papa ingatkan ke mama, jangan mengatur lagi hidup Bryan. Biarkanlah dia memilih bagaimana jalan hidupnya termasuk pendaming dia kelak, karena dia itu anak kita ma! Bukan boneka yang seenaknya mama atur, dan jika tidak sesuai mama acuhkan,"
"Mama hanya ingin yang terbaik untuk Bryan, dan mama ingin hidup dia kelak nyaman dengan wanita yang tepat,"
"Terbaik itu, jika mama membebaskan Bryan untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa ada tekanan dari luar!" jelas lelaki paruh baya, dengan tatapan tajam pada istrinya.