Setelah beberapa hari kemudian, Ibu Alice selaku wali kelas yang over peduli pada salah satu siswa yang bernama Erich itu masih saja memohon kepada Joa untuk membujuk Erich kembali masuk sekolah tanpa alasan yang jelas. Rasa penasaran Joa terhadap hal itu ia tekan begitu saja. Ia tidak ingin ambil pusing mengenai monster yang hobi berteriak dan mengamuk pada orang-orang.
"Jo.. Joa.. huhh. Ibu Capek." Panggil Ibu Alice dengan napasnya yang terengah-engah.
'Ohh, Tuhan. Kalo saja aku jadi guru ini, aku nggak bakal mau menderita gara-gara ngurusin monster yang nggak tau diri itu.' — Batin Joa yang lagi-lagi mengeluh. Ia tidak ingin menumpahkan keluh kesahnya pada orang lain.
Ibu Alice menarik napas sedalam-dalamnya lalu membuangnya perlahan. "Yaudah kalo kamu nggak mau bantu Ibu untuk membujuk Erich, Ibu mohon kamu bantu Ibu buat ambil tugasnya yahh. Okee Okee?"
Joa merasa kasihan terhadap wali kelasnya itu hingga akhirnya ia mengiyakan permintaan Ibu Alice. Lagipula, Joa masih mempunyai hati nurani meskipun terkadang jarang ia gunakan karena rasa pedulinya yang kurang.
"Baiklah, kalau begitu saya pamit pulang Bu." pamit Joa.
"Oke, hati-hati di jalan nak." teriak Ibu Alice yang Joa balas dengan lambaian tangan seraya tersenyum tipis yang hampir tidak terlihat.
Bagi Joa, Ibu Alice seperti seorang remaja yang seumuran dengannya. Meskipun umurnya terbilang memasuki kepala tiga. Namun, tidak terlihat seperti seorang wanita yang tengah memasuki kepala tiga. Ibu Alice terkenal dan populer diantara semua guru. Bahkan menjadi idola dikalangan siswa-siswanya. Buktinya tiga siswa yang Joa lawan beberapa hari yang lalu yang hingga kini jarang terlihat batang hidungnya. Padahal Joa senantiasa menunggu kedatangan ancaman mereka.
Seperti biasanya, Joa menggenggam buku kecil yang senantiasa ia bawa kemana-mana untuk ia baca. Joa menyukai tempat yang sepi seperti bangunan-bangunan tua untuk ia lalui karena ia tidak menyukai keramaian. Beberapa orang mengatakan bahwa hidup sebagai Joa itu sangat suram dan tidak berseni. Namun baginya, itulah seninya. Seninya adalah kesunyian yang menghasilkan ketenangan dan kedamaian.
Sreeekkkkk...
Tas Joa tersangkut paku bangunan tua yang ia lalui hingga putus. Paku yang bisa membahayakan orang-orang yang lewat atau hanya sekedar bersandar di dinding tersebut. Kejadian itu membuat moodnya hancur. Ia memikirkan uangnya yang harus keluar karena membeli tas baru. Andai saja ia tahu bagaimana cara menjahit sesuatu, bisa dipastikan uangnya tidak akan keluar hanya untuk mengganti tasnya yang putus ini.
"Ahh, sial." Umpatnya. Ia membuang napasnya dengan kasar. Bahkan ia sengaja tidak membawa semua bukunya ke rumah agar tasnya tidak terasa berat dan lebih memilih menyimpannya di loker untuk memperpanjang umur tasnya itu. Namun, hanya karena paku yang berukuran 5 cm itu membuat tasnya kehilangan umur panjang.
"Huaaaaa, pengen teriak rasanya. Kapan sih Mommy pulang jenguk anaknya? Dasar orang tua yang hanya memikirkan pekerjaan dan berpura-pura baikan dengan Daddy. Dia pikir aku ini anak bodoh yang tidak tau masalah keluarganya sendiri yang sudah bertahun-tahun mereka cerai dan menyembunyikannya dariku." ujar Joa yang memberontak pada takdirnya.
"Aku capek hidup sendiri tiap hari. Berbeda dengan anak-anak yang lain yang tiap hari dibuatkan bekal oleh orang tua mereka. Lah, aku?" lirihnya.
Hatinya sakit. Namun tidak mampu dan sangat sulit ia luapkan melalui air matanya. Semenjak ia melihat pertengkaran orang tuanya, ia berhenti menjadi gadis yang cengeng hingga sesuatu apa pun yang menyakitinya tidak akan mampu membuatnya mengeluarkan air mata. Semenjak saat itu Mommynya menjadi maniak dalam sebuah pekerjaannya dan melupakan anak semata wayangnya.
Mengenai Daddynya, tidak usah ditanyakan lagi. Ia sudah berkeluarga dengan janda berkurcaci lima. Bagi Joa, Daddynya adalah pria gila hidung belang. Apa bagusnya menikahi wanita yang sudah memiliki anak lima? Joa pernah sempat berpikir, Janda berkurcaci lima itu menggunakan pelet atau susuk gitu buat menarik hati Daddynya. Padahal Mommynya lebih cantik dan menarik dibanding janda itu.
"HAAAAAAA, DASAR MOMMY MANIAK KERJAAAAAA." teriaknya yang menggema diantara bangunan-bangunan tua.
"DASAR DADDY PRIA GILA HIDUNG BELANG KAYAK ZEBRAAA. HAAAA SIA—"
"Mmmpppphhh."
Tiba-tiba mulutnya tersumpal tangan yang ukurannya lumayan besar dan keras.
'Waduhh, aku bakal diculik nihh kayaknya. Padahal aku belum menulis surat wasiat untuk Mommy dan Daddy. Apakah ini karma karena sudah menghina kedua orangtuaku yang tak betanggung jawab itu? Ohh Tuhan, sialnya nasibku hari ini. Ampuni aku. Mommy, Daddy, maaf. Bagaimana kalo aku dijual ke luar negeri. Ahh, setidaknya aku bisa liat luar negeri sebelum mati.' — Batin Joa yang tingkat kewarasannya mulai memudar dan sedikit untuk menghibur dirinya.
Seperti itulah dirinya jika dalam keadaan sendiri dan terdesak. Pikirannya melayang kemana-mana dan tidak mampu fokus. Joa terus memberontak dan berusaha berteriak meski kini mulutnya disumpal oleh tangan pria yang berada dibelakangnya. Pikiran yang tidak-tidak mulai bermunculan di otak Joa.
"Diam. Kalau nggak, kuperkosa kau." bisiknya yang berupa ancaman untuk Joa dan membuat Joa bergidik ngeri. Bisa Joa tebak bahwa pria ini adalah penjahat kelas kakap.
'Waduuhh, bisa berabe kalo aku digituin. Rasanya pengen punya kekuatan super aja buat sobek mulut pria ini. Kalo disuruh milih, lebih baik mati aja dehh.' — Batin Joa yang mulai frustasi dan ketakutan.
Dengan cepat Joa mengangguk dan bersikap tenang. Meskipun tubuhnya sangat kaku karena takut. Baru kali ini Joa merasa takut. 'Jangan bilang ia adalah suruhan dari ketiga gadis itu. Ancamannya benar-benar nggak lucu. Bahkan bulu kudukku berdiri semua.' — Batin Joa. Lagi-lagi ia berbicara sendiri dengan dirinya.
Tiba-tiba pria itu melonggarkan dekapannya hingga Joa bisa terlepas. Kini Joa hendak memasang posisi start jongkok dan bersiap untuk lari, namun pria itu menarik pergelangan tangan Joa dan Membuat Joa berhadapan dengannya. Ia terkejut setengah hidup melihat pria yang ada di depannya tersenyum padanya.
"Makan yukk." ajak pria itu.
Mood Joa semakin hancur melihat monster yang ada dihadapannya yang tiada lain dan tiada bukan adalah Erich Blandino, pria aneh dan super-super membuat jantung Joa hampir jatuh ke lambung karena takut. Bahkan mukanya kini memerah menahan amarahnya.
"Kamu demam yahh?" tanya Erich dengan polos yang sedikit mendekatkan wajahnya di wajah Joa dan meletakkan punggung tangannya di dahi Joa. Hal ini yang membuat Joa semakin kesal dan tidak percaya dengan kepolosan Erich yang baginya terlihat dibuat-buat. Tiba-tiba dengan segala keberanian yang Joa miliki, ia menarik kerah baju Erich dengan kuat.
"KAU GILA YAHH? KEJADIAN TADI HAMPIR BIKIN AKU MATI BERDIRI TAU." teriak Joa yang membuat Erich terkejut. Ekspresi Erich yang tadinya khawatir berubah menjadi ekspresi wajah yang sulit diartikan. Bahkan Joa sekalipun.
'Apa-apaan ekspresinya itu? Dia pikir aku akan luluh?' — Batin Joa.
Hening. Namun masih dalam posisi seperti itu. Keduanya masih belum membuka suara dan saling menatap satu sama lain yang membuat jantung Joa berdegup kencang. Posisinya cukup dekat untuk seukuran orang yang sedang bermusuhan.
Tiba-tiba wajah dan tatapan Erich berubah menjadi berbinar-binar. Joa terkejut karena perubahan ekspresi wajah Erich yang menjadi seperti orang lugu.
"Baru kali ini aku mendengar suaramu sekeras itu, Joa. Memekik di telingaku. Namun, terkesan lucu." ucapnya yang dibarengi kekehannya dan sontak membuat Joa terkejut hingga beberapa detik ia terpesona dengan Erich saat pria itu tersenyum.
Namun, tiba-tiba Joa tersedak air liurnya sendiri. "Uhuukkk uhuuukk". Dengan sigap Erich menepuk pelan belakang Joa.
'Astaga, aku tadi ngapain? Kesambet iblis apa sih dirimu Joa. Hilanglah Iblis. Sadar heiii sadar. Sepertinya, bertemu dengan orang ini membuat kegilaannya menular kepadaku.' — Batin Joa yang kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Hingga Erich menjauhkan tangannya dan melihat Joa yang bersikap aneh.
"Makan yukk." ajak Erich untuk kedua kalinya.
"Hentikan Erich. Aku mau pu—"
Kruuuyuuuukkkkk
Wajah Joa kembali memerah. Namun, kali ini bukan karena amarahnya yang meluap-luap. Tetapi karena rasa malunya yang kini telah mendidih.
"Tuhh, kan? Suara ayam di perutmu sudah minta jatah." Erich menarik pergelangan tangan Joa. Namun, Joa menepisnya.
"Nggak usah narik. Aku bisa jalan sendiri." ucap Joa yang berusaha mengembalikan harga dirinya yang beberapa menit lalu sempat memudar.
Erich hanya mengangguk patuh dan berjalan di depan Joa. Kini tasnya ia rangkul di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegang buku kecilnya yang ia baca untuk mengalihkan pikirannya terhadap pria yang ada di hadapannya itu.
***