webnovel

Chapter 34 (18+)

Kiyoyasu sedang menebang pohon sembari melatih kemampuan teknik pedangnya. Kepalan kedua telapak tangan penuh lebam dan berdarah. Tetapi sepadan dengan hasil yang didapat. Satu persatu, batang pohon mulai dipotong. Melepaskan baju zirah yang selama ini dia kenakan. Melihat para rakyatnya mengangkat ranting pohon. Menyeka wajahnya penuh keringat. Sorot kedua matanya bersinar. Merasa senang karena bisa mendapatkan hasil material untuk dijual. Suara tiga buah kunai dilemparkan ke pohon. Kiyoyasu mendengar teriakan dari salah satu instruktur. Memarahi seorang laki-laki berusia delapan tahun.

"Lemparanmu payah! Masa' segini saja tidak bisa! Apa perlu aku kasih gambar target di tengah pohon? Lagi!" bentaknya.

"Baik instruktur!" kata anak laki-laki mengiyakan perkataan beliau.

Disusul oleh para murid berusia sama. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi pembunuh terhebat seperti Saito Harumochi. Pembunuh yang melegenda 150 tahun lalu. Tepat saat menghadapi puluhan monster yang susah dikalahkan. termasuk The Blind Angel Snake. Bersama dengan Nesseus selaku pahlawan, dia memberikan jaminan pada semua Kerajaan bahwa Desa Edo merupakan kota yang harus dilestarikan dan dikunjungi layaknya pengunjung. Apalagi, Nesseus diperlakukan baik oleh warga sekitar. Saito selaku perwakilan dari Desa Edo merasa terhormat bisa membantu pahlawan semacam Nesseus. Akan tetapi, dia gugur bersama para pahlawan lainnya. Dan Nesseus kehilangan teman berharganya. Sejak itulah, Desa Edo memilih mengasingkan diri dan melatih kemampuan mereka, dari samurai menjadi assassin atau ninja. Serta menerima klien yang meminta untuk membunuh bangsawan yang menghalanginya. Tentu saja, Desa Edo tidak mengandalkan misi atau klien untuk bertahan hidup.

Sandal geta diangkat sejenak. Tidak sengaja menginjak daun-daunan yang sudah matang. Dipungutnya dan dimasukkan ke dalam keranjang pada punggungnya. Pedangnya disarungkan kembali. Sebilah pisau dia potong. Mengambil kulitnya sambil menikmati panas teriknya matahari.

"Benar-benar damai."

"Kiyoyasu-sama!"

Kiyoyasu mendengar suara seorang anak laki-laki mengenakan kimono dan hakama. Terlihat sedang berlari-lari membawa tongkat kayu hasil ukirannya. Kiyoyasu menoleh pada seorang gadis jelita dengan rambut diikat. Menggendong balita berusia tiga bulan dan putri berusia lima tahun.

"Soga, jangan lari-lari!"

"Yuriko nee-chan lama sekali! Padahal kan dikit lagi," gumam Soga menggerutu.

Hal itu wajar karena Yuriko, istrinya baru pertama kali keluar dari rumah semenjak melahirkan anak keduanya. Tangisan bayi pun pecah. Kiyoyasu menghampiri istrinya. Dia menggendongnya dengan penuh kasih sayang. Lengannya digoyangkan. Sedangkan Yuriko melepaskan tangan putrinya. Membiarkan dia dan Soga bermain.

"Danna-sama, aku membawakan bekal untukmu."

Yuriko membawa sebuah bento yang dibungkus warna ungu. Kiyoyasu berjalan serta belok ke kanan. Dia duduk di bawah pohon yang lebat. Disusul Yuriko yang menggendong putranya. Bunga sakura tumbuh di musim semi. Berjatuhan beserta mengenai teh yang dibawa oleh istri tercinta. Senyuman bibirnya begitu menawan. Di usia yang masih muda, dia mampu melahirkan dua buah hati yang periang dan energik. Berbanding terbalik dengan dirinya yang menginginkan hidup damai. Di luar sana, terdapat banyak sekali anak muda antusias berburu monster di sekeliling Desa Edo. Dan menjadikan mereka sebagai markas sementara atau sekedar bertapa. Ratusan gubuk dari jerami telah dipasang dengan posisi berbeda-berbeda.

"Ittadakimasu~"

Kiyoyasu membelah dua sumpitnya jadi dua bagian. Tangan kirinya dia capit, mengambil kuning telur yang sudah dimasak. Kemudian, mengambil tempura dan ayam. Meski mentah, setidaknya dia menikmatinya dengan hidangan lezat.

Di belakang mereka, sosok seorang laki-laki memancarkan aura mengerikan. Melotot tajam pada Kiyoyasu yang bercanda ria dengan Yuriko.

~o0o~

"Ayah! Kenapa diam saja soal pernikahan pria brengsek dengan wanita pujaan hatiku?" bentak salah satu pria kepada orang yang lebih tua.

Dia bernama Yoriaki Nagasaki. Mengenakan baju zirah lengkap berwarna coklat. Rambut jambulnya setengah botak. Bersujud di hadapan Ayahnya, Yoshiatsu Nagasaki yang merupakan klan Nagasaki, rival utama Ogasawara. Keduanya saling rebutan siapa yang terbaik dalam Desa Edo. Dimonopolisasi kedua klan, mereka terus merekrut dan melatih anak buahnya hingga menjadi terbaik. Sampai-sampai, satu di antara seratus orang, akan dipilih sebagai ketua klan. Nantinya, ketua klan akan menjadi penasehat bagi Kepala suku Desa Edo. Kiyomasa Ogasawara, pria yang mengomando 100 pasukan elitnya untuk melawan monster yang menyerang Desa. Beliau menggerakkan pasukan dengan cara memberikan pelatihan yang sangat ekstrim dan Spartan. Serta memberikan ilmu pengetahuan pada klan Nagasaki walau mereka kembangkan sendiri sisanya.

Akan tetapi, generasi muda sekarang masih belum siap untuk keluar. Semenjak kehilangan Saito Harumochi 150 tahun lalu, Desa Edo seperti kehilangan arah menuju kejayaan. Seperti batu mengapung di tengah derasnya lautan.

Hampir 150 tahun lamanya, akhirnya Kiyoyasu dari klan Ogasawara berhasil menyamakan kekuatan dari Saito Harumochi. Serta menguasai teknik pedang dan pembunuh secara bersamaan. Selangkah lagi, dia akan menguasai kemampuannya kalau saja tidak jatuh hati pada seorang gadis bernama Yuriko. Mulanya, bapaknya Kiyomasa melarang hubungan mereka. Tetapi, karena Yoshiaki berencana memanfaatkan situasi ini untuk mempersuntingnya, akhirnya beliau tidak memiliki pilihan dengan syarat untuk setia pada klan Ogasawara. Dan Yuriko bersedia.

Setelah menikah dengan Kiyoyasu, mereka dikarunai dua anak. Salah satunya laki-laki, mengamankan klan dari kepunahan. Mereka dari klan Nagasaki bergerak untuk merebut Yuriko. Tetapi, tidak ada seorang pun yang mendekatinya lantaran dikalahkan oleh Kiyoyasu dengan mudah.

"Yoriaki …"

Meski terus memanggil nama putranya, Yoriaki tidak mengindahkan perkataan Yoshiatsu selaku pemimpin klan Nagasaki. Rahang giginya menggertak. Kepalan kedua tangannya tidak mampu menahan rasa amarah yang memuncak. Serasa aksi yang dilakukannya untuk menghancurkan rumah tangga jadi sia-sia. Yoriaki mundur ke belakang, mohon pamit untuk pergi menenangkan diri. Disusul para pengikut Yoriaki. Setelah mereka pergi, Yoshiatsu mendengar suara hentakan kaki halus dari belakang. Tepat berada di pojokan sambil berlutut di belakang beliau.

"Yoshiatsu-sama."

"Aku tahu. Awasi anak bodoh itu. Jangan sampai dekati Yoriaki."

"Baik, Yoshiatsu-sama."

Seketika, wujudnya menghilang. Yoshiatsu menghela napas. Tidak menyangka akan berakhir merepotkan.

Setelah menghabiskan perbekalan yang ada, Kiyoyasu duduk di paha Yuriko. Tiupan angin kencang memasuki permukaan kulitnya termasuk istrinya. Elusan kepala dia terima oleh Yuriko. Senyuman tipis dan hangat, melelehkan hatinya dan pikiran. Kiyoyasu memejamkan kedua matanya. Menikmati waktu berdua saja.

"Apa Kikyo akan senang ya punya adik laki-laki?"

"Memangnya kenapa?"

"Kiyotoda memiliki wajah yang sama denganmu lho. Sama-sama riangnya," ucap Yuriko pelan.

"Jangan begitu. Aku jadi malu tahu tidak."

Kedua wajah di antara mereka memerah. Termasuk Kiyoyasu sekalipun. Yuriko memalingkan wajahnya. Baju kimononya menutupi separuh wajahnya. Matanya berbinar-binar sembari memancarkan kilauan sekilas. Senyuman bibir tulus disertai mengelus kepala Kiyoyasu.

Tiba-tiba, tangisan putrinya Kikyo pecah. Kiyoyasu dan Yuriko bangkit berdiri. Mereka berdua menemui Soga yang menggendong anaknya sebentar. Membiarkan dia menggendong balitanya. Sedangkan Kiyoyasu mengusap air mata Kikyo.

"Ayah … aku—"

"Ya nak. Ayah tahu kok."

Dia mengelus-elus kepalanya sambil tersenyum. Merasa bersyukur bisa bahagia bersama keluarga kecilnya. Hingga Kiyoyasu mendengar suara semak-semak dari belakang. Dia menoleh ke belakang. Sosok Yoriaki ada di belakangnya. Kiyoyasu memasang wajah mengerutkan kening. Mengeraskan wajahnya lantaran seringnya muncul untuk mengganggu mereka.

"Maumu apa Yoriaki? Apa kau tahu aku sedang sibuk mengurus anak bersama—"

"Diam kau, Kiyoyasu! Aku tidak akan mengampunimu! Bermesra-mesraan di depanku! Apakah itu sikap yang pantas bagi penerus klanmu?"

"Apa yang kau bicarakan?"

Kiyoyasu memiringkan kepala. Tiba-tiba, Yoriaki mengeluarkan pedangnya. Mengayunkan pedangnya ke arahnya. Ayunan pedang katana terus dilakukan. Membuat Kiyoyasu menghindarnya tanpa mengeluarkan senjata.

"Danna-sama!"

"Jangan mendekat. Ini tidak bahaya kok."

Walau demikian, raut wajah khawatir terpancar dari Yuriko. Dia tidak ingin suaminya kenapa-kenapa. Soga menarik kain baju kimononya, menatap ke istrinya Kiyoyasu.

"Aku akan meminta bantuan nee-chan!"

"Tolong ya, Soga. Kasih tahu ayahanda untuk membawa Yoriaki-sama pergi."

"Tidak akan kubiarkan kau pergi begitu saja!" bentak Yoriaki.

Namun, ayunan cepat dari sarung pedang katana Kiyoyasu. Pedang katana miliknya terhempas hingga berjatuhan ke tanah. Kiyoyasu mengeluarkan aura mencekam. Hentakan kakinya berencana untuk mengeluarkan pedang katana yang disarungkan. Tatapan Yuriko memohon kepada suaminya untuk tidak membunuhnya. Saat itulah, dia berhenti melakukannya. Kiyoyasu paham situasi tersebut. Mencengkram pedang katana miliknya di balik sarungnya. Tarikan napas panjang dihembuskan. Bersiap untuk memberi pelajaran kepada Yoriaki.

"Kembalikan Yuriko-ku!"

Ayunan vertikal serta serangan awal dari Yoriaki, dapat terbaca oleh Kiyoyasu. Dia hanya menggerakkan setengah badannya. Mempelajari setiap kali Yoriaki melangkah. Yuriko yang melihatnya, terperangah dengan aksi suaminya.

Sedangkan Kiyoyasu sendiri tidak akan menggunakan kekuatan secara penuh. Cukup andalkan kelima nalar atau indera. Akui LIMA hal yang Anda lihat di sekitar Anda, Akui EMPAT hal yang dapat, Anda sentuh di sekitar Anda, Akui TIGA hal yang Anda dengar, Akui DUA hal yang dapat Anda cium, Akui SATU hal yang dapat Anda cicipi.

Meski demikian, Kiyoyasu tidak ingin berakhir seperti pamannya, Hakabane yang ambisius dan ingin menghancurkan dirinya dengan teknik pedang berdarah. Kiyoyasu berjanji tidak akan menggunakan teknik itu lagi.

"Sialan! Kenapa tidak mengenainya!" bentak Yoriaki.

Ayunan demi ayunan terus dilakukan. Kiyoyasu tersenyum lebar. Menikmati pertarungan dengan Yoriaki. Yuriko tidak mengerti dengan sikap suaminya. Akan tetapi, dia merasakan menikmati pertarungan yang bersahabat. Sedangkan di mata Yoriaki, seolah-olah Kiyoyasu mengejek dirinya. Padahal, dia berencana untuk menyingkirkan siapapun yang hendak menghalanginya. Termasuk Kiyoyasu dari Ogasawara sekaligus.

"Itu dia!" teriak Soga dari kejauhan.

"Kemari kau pembunuh!"

Rupanya, yang datang untuk menolong Kiyoyasu adalah para anggota klan Ogasawara. Hentakan kaki mereka berjalan cepat menuju lokasi kejadian. Suara langkah kaki terdengar mengakibatkan pertarungan di antara mereka berakhir. Yoriaki membuang wajahnya, berdecak lidah kesal karena pertarungannya terganggu. Kemudian, dia pun pergi meninggalkan mereka berdua. Merasa bahwa dirinya kalah keroyokan jika diteruskan. Pedang katananya dimasukkan kembali.

"Awas kau Kiyoyasu! Lain kali, kau tidak akan selamat!"

Yoriaki pun pergi tanpa menoleh sedikit pun. Hanya mendorong bahunya saja. Kiyoyasu melihat punggung orang itu. Menatapnya penuh keheranan. Dalam lubuk hatinya, dia tidak menyadari kebencian yang mendalam. Terutama Yoriaki bersikap demikian Kiyoyasu itu sendiri.

"Kiyoyasu-sama!" bentak salah satu anggota klan Ogasawara memanggil namanya.

Jumlahnya ada tujuh orang, bersenjatakan pedang katana. Kiyoyasu mengerutkan kening. Melirik pada Soga dengan senyuman lebar.

"Anda tidak apa-apa, Kiyoyasu-sama?"

"Aku baik-baik kok. Kenapa kalian mengkhawatirkanku?"

"Habisnya, Soga-dono berteriak meminta tolong kepada kami yang kebetulan patroli. Jadi, kami bergegas ke sana. Ternyata—"

"Terima kasih kalian sudah mengkhawatirkanku, kalian semua. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian."

Meski mengatakan demikian, orang-orang dari klan Nagasaki berencana membalaskan dendam kepada Kiyoyasu mengenai insiden itu pada ketua klan, Yoshiatsu.

~o0o~

Suara burung hantu berkukuk panjang. Kedua kaki tajamnya bertengger di pohon. Matanya melotot tajam ke tiap arah. Memperhatikan suara dan orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang berpakaian baju zirah mondar-mandir, lengkap dengan senjata pedang katana di pinggang sebelah kanan.

Jangkrik berkerik di sekitar rerumputan. Salah satu gubuk, penerangan masih dalam kondisi menyala. Beberapa dari mereka menenggak sake dari toko bersangkutan. Sedangkan para pembunuh melompat ke sana kemari. Berlatih kala malam hari dan merangsang kelima inderanya. Satu persatu, mereka melompat dan bergelantungan tiap pohon. Setelah itu, para pembunuh itu mengawasi pergerakan para penjaga. Mereka saling mengangguk. Bergegas menuju lokasi target.

Sinar rembulan terang benderang. Puluhan ikan koi berenang di kolam ikan. Genangan air kecil bergoyang sedikit. Percikan air membasahi bebatuan. Hal itu tidak mengganggu Kiyoyasu yang duduk senderan dekat pintu. Kunang-kunang beterbangan di sekitarnya. Mengambil sesuatu di sana. Kiyoyasu beranjak dari tempat duduk. Sandal geta pun dikenakan. Kedua telapak tangan dan lengan ditutupi yukata berwarna hijau bergaris-garis, pakaian tradisional khas mereka.

Senyuman bibir disertai pedang katana dia cengkram. Untungnya, itu terbuat dari kayu. Sehingga tidak dapat membunuh siapapun di sana. Diam-diam, Kiyoyasu menutup pintu kamar tidurnya. Membiarkan Yuriko dan kedua buah hatinya tertidur. Posisi berdiri ke depan. Mencengkram pedang kayunya. Mengeluarkan seluruh kekuatannya. Mengayunkan sekuat tenaga hingga membelah angin. Hempasan yang sangat kuat. Menghancurkan pohon-pohon di sekitarnya.

"Sudah lama aku tidak mengayunkan pedang ini."

"Begitukah?"

Kiyoyasu menoleh ke samping. Dia menengok sosok seorang pria mengenakan baju zirah lengkap dengan odachi di punggungnya. Pedang itu sangatlah panjang. Sampai-sampai Kiyoyasu terbelalak dengan pedangnya tersebut.

"Bagaimana bisa … legenda Muramasa ada di sini?"

Namun, reaksi itu sangatlah berbeda dari apa yang dikiranya. Langkah kakinya berjalan pelan. Menembus tubuh Kiyoyasu dengan tatapan sinisnya. Dia menoleh pada laki-laki itu.

"Fisikmu bagus sebagai seorang samurai. Tapi aku tidak ingin kau berakhir sepertiku."

"Apa katamu bilang?"

Muramasa menoleh ke arah Kiyoyasu. Menerangkan apa yang dia ketahui.

Asal usul yang tepat dari Muramasa sampai saat ini tidak diketahuinya. Di Desa Edo sendiri belum ada penjelasan mengenai pedang tersebut. Menurut gulungan dari salah satu penyair tanpa nama, Pedang tertua yang masih ada yang dilengkapi dengan tanda nama Muramasa pada tulisan kanji. pedang bertanda Muramasa (tetapi tanpa tanda tahun) sedikit lebih tua dari pedang lainnya. Ditambah lagi, jenisnya berupa odachi, pedang besar yang cocok untuk petarung jarak jauh. Diperkirakan bahwa aliran Muramasa berlangsung setidaknya tiga generasi. Teknik yang digunakan muramasa hanya baru dua teknik saja. Yaitu Muramasa-ba. Teknik pertama itu menggunakan hamon berbentuk gelombang, yang mana bentuk seperti gelombang acak. Secara khusus, teknik itu sulit dipelajari jika hanya mengandalkan itu saja lantaran penggambarannya seperti sosok Dewa yang turun dari langit, mengubah struktur dunia di mana terdapat lembah yang sangat panjang dan dangkal di antara sekelompok bentuk gunome. Dan itu sangat susah dilakukan dan membutuhkan bertahun-tahun untuk dipelajari. Sedangkan yang kedua yaitu Muramasa-nakago. Teknik ini menggunakan pemotongan seperti ikan mentah yang akan siap dipotong. Atau melakukan persembahan kepada Dewa karena rasa syukur yang diberikan. Teknik ini merupakan penutup dari situ. Dan tidak mudah untuk mempelajarinya.

Selain itu, Legenda menyatakan bahwa Muramasa dulunya memiliki murid yang bernama Masamune, ahli pedang terbesar The All Region. Mereka tidak percaya, bahwa hubungan mereka itu benar-benar ada. Satu hal yang pasti, Muramasa sendiri mengalami tragedi mengerikan. Di mana dia dibunuh oleh para ksatria dan penyihir lantaran pedangnya terus membunuh umat manusia yang ada. Padahal kenyataannya, pedang itu terkena cipratan darah berwarna hitam. Mengakibatkan pedang tersebut mengalami kutukan. Dan membunuh orang-orang tidak bersalah. Sengo yang mendapatkan julukan Muramasa, juga diselimuti mitos. Dewa Ila mengatakan, Muramasa lahir di sebuah tempat bukit bernama Sengo, tetapi sebenarnya tidak ada tempat seperti itu di dekat sungai Kuwana.

"Murasa was a most skillful smith but a violent and ill-balanced mind verging on madness, that was supposed to have passed into his blades. They were popularly believed to hunger for blood and to impel their warrior to commit murder or suicide."

Sejak itulah, Muramasa tidak pernah disentuh oleh siapapun. Dan legenda itu mulai pupus seiring berjalannya waktu.

Hingga Kiyoyasu bertemu untuk kali ke sekian. Mengingatkan kembali era dulu. Di mana pedang saat itu masih melegenda. Akan tetapi, itu tidaklah mungkin karena Desa Edo sendiri belum terlihat masih menganut tradisi lama. Termasuk pedang kayu yang dimiliki Kiyoyasu.

"Kitsune, bangunlah."

"Sudah kubilang jangan memanggilku kitsune. Baitsuna namaku. B-A-I-T-S-U-N-A!"

Namun Muramasa tidak peduli dengan nama itu. Sebaliknya, munculnya rubah itu memperlihatkan keunikan. Sembilan ekornya diperlihatkan. Berwarna merah kekuning-kuningan. Tetapi, ukurannya sangat kecil. Membuat Kiyoyasu mengelus kepalanya. Walau demikian, dia kembali ke dalam wujud pedang yang dimiliki Muramasa.

"Luar biasa …"

"Benar kan?"

"Tapi kenapa?"

"Gampangnya, kau terpengaruh oleh sesuatu yang membuatmu menahan diri."

"Menahan diri?"

Muramasa menggumamkan bicaranya. Dia ingin sekali membantunya. Akan tetapi, ada sesuatu yang berusaha menahan Muramasa. Berjalan sejumlah lima langkah. Mengamati setiap jengkal tubuh Kiyoyasu dan lainnya.

"Pernahkah kau mendengar sebuah legenda?"

Legenda yang dimaksud adalah Kitsune itu sendiri. Dalam legenda, Kitsune adalah seekor makhluk langka, yang mana seekor rubah yang memiliki otak cerdas dengan kekuatan dan kemampuan paranormal yang meningkat, seiring bertambahnya usia dan bijaksana. Walau demikian, kitsune yang disentu oleh Muramasa adalah versi bayi. Versi ini tidaklah mudah karena mudah terpengaruh oleh sifat manusia. Dia akan menerima seseorang apabila sudah melakukan tes terhadap manusia. Barulah, kitsune akan menerima sebagai alat atau hewan pelihara bagi tiap individu.

Walau demikian, kitsune tidak bisa disamakan dengan rubah. Jika rubah tersebut hanya memiliki otak cerdas saja, maka kitsune dapat menyatu dengan sebuah objek, yang nantinya akan mempengaruhinya dalam bertarung. Apalagi, kitsune digambarkan sebagai sosok yang usil dan tidak pernah diam.

Entah kenapa, ada rasa ketertarikan terhadap Kiyoyasu. Menurut cerita rakyat yōkai, semua rubah memiliki kemampuan untuk berubah bentuk menjadi bentuk manusia. Pada dasarnya, Rubah dan manusia mulai hidup berdekatan sudah lama. Tepat the All Region terbentuk. Persahabatan ini memunculkan legenda tentang makhluk-makhluk lain seperti kappa, yokai, dan makhluk yang tidak ada di dunia ini. Tidak ada yang mengetahui asal muasal para makhluk selain kitsune. Tetapi, mereka meyakini bahwa mereka berasal dari Unknown Origin Dungeon meski secara bukti fisik masih ambigu.

Biasanya, Kitsune telah menjadi perantara antara dunia manusia dengan dunia roh. Terutama ada kaitannya dengan Unknown Origin Dungeon baru-baru ini. Muramasa merupakan salah satu orang yang tertarik.

"Masalahnya sekarang, para makhluk itu susah ditemui. Terakhir itu—"

Tiba-tiba, Kiyoyasu menoleh ke belakang. Sosok bayangan mengelilinginya, berlambang klan Nagasaki. Kiyoyasu berdecak lidah. Mereka telah mengganggu perbincangan dengan roh Muramasa. Di sisi lain, seseorang telah membuka sebuah portal, yang mana terhubungkan antara monster dengan portal misterius. Muncullah kaki monster yang keluar dari dimensi.

~o0o~

Para penjaga menguap karena kelelahan sehais berjaga malam. Telapak tangan menutup mulutnya, saking ngantuknya. Tombak dan topi dengan kain renda menutupi wajahnya. Berusaha menahan kantuk sebisanya. Janggut tebalnya dipanjangkan, menatap tajam pada rekan pengawalnya.

"Ngantuknya."

"Oi, oi! Ini masih belum pagi lho," gerutu salah satu penjaga malam.

"Aku tahu. Hanya saja, aku mulai terasa ngantuk."

Helaan napas berhembus dari mulut dan rongga hidungnya. Dia menoleh pada seorang misterius sedang menaiki anak tangga. Tepat menuju sebuah kuil yang menghubungkan dengan dunia monster. Telapak tangannya menyentuh rekannya.

"Lihat di sana!"

Dia mengangkat dagunya ke atas. Menatap derapan langkah kaki melangkahi anak tangga. Seseorang telah membuka sebuah portal, yang mana terhubungkan antara monster dengan portal misterius. Muncullah kaki monster yang keluar dari dimensi. Para pengawal bergegas ke lokasi kejadian. Mereka berlari cepat. Berharap tepat waktu untuk mencegahnya. Akan tetapi, sebilah pisau menancap ke samping lehernya. Kedua bola matanya terbelalak syok. Melihat orang yang telah menikamnya. Sayangnya, mereka langsung tersungkur. Meregang nyawa beserta penuh bersimbah darah.

Sementara itu, jubah hitamnya dibuka. Ternyata, orang itu Yoriaki Nagasaki sendiri yang melakukannya. Menggenggam sebuah bola besar berwarna hitam pekat.

"Dasar pengganggu," katanya meludahi ke wajah pengawal.

Hari itu merupakan sesuatu yang tidak bisa dimaafkan bagi Yoriaki sendiri.

"Yoshiatsu-sama."

"Aku tahu. Awasi anak bodoh itu. Jangan sampai dekati Yoriaki."

"Baik, Yoshiatsu-sama."

Seketika, wujudnya menghilang. Yoshiatsu menghela napas. Tidak menyangka akan berakhir merepotkan.

Setelah menghabiskan perbekalan yang ada, Kiyoyasu duduk di paha Yuriko. Tiupan angin kencang memasuki permukaan kulitnya termasuk istrinya. Elusan kepala dia terima oleh Yuriko. Senyuman tipis dan hangat, melelehkan hatinya dan pikiran. Kiyoyasu memejamkan kedua matanya. Menikmati waktu berdua saja.

"Apa Kikyo akan senang ya punya adik laki-laki?"

"Memangnya kenapa?"

"Kiyotoda memiliki wajah yang sama denganmu lho. Sama-sama riangnya," ucap Yuriko pelan.

"Jangan begitu. Aku jadi malu tahu tidak."

Kedua wajah di antara mereka memerah. Termasuk Kiyoyasu sekalipun. Yuriko memalingkan wajahnya. Baju kimononya menutupi separuh wajahnya. Matanya berbinar-binar sembari memancarkan kilauan sekilas. Senyuman bibir tulus disertai mengelus kepala Kiyoyasu.

Tiba-tiba, tangisan putrinya Kikyo pecah. Kiyoyasu dan Yuriko bangkit berdiri. Mereka berdua menemui Soga yang menggendong anaknya sebentar. Membiarkan dia menggendong balitanya. Sedangkan Kiyoyasu mengusap air mata Kikyo.

"Ayah … aku—"

"Ya nak. Ayah tahu kok."

Dia mengelus-elus kepalanya sambil tersenyum. Merasa bersyukur bisa bahagia bersama keluarga kecilnya. Hingga Kiyoyasu mendengar suara semak-semak dari belakang. Dia menoleh ke belakang. Sosok Yoriaki ada di belakangnya. Kiyoyasu memasang wajah mengerutkan kening. Mengeraskan wajahnya lantaran seringnya muncul untuk mengganggu mereka.

"Maumu apa Yoriaki? Apa kau tahu aku sedang sibuk mengurus anak bersama—"

"Diam kau, Kiyoyasu! Aku tidak akan mengampunimu! Bermesra-mesraan di depanku! Apakah itu sikap yang pantas bagi penerus klanmu?"

"Apa yang kau bicarakan?"

Kiyoyasu memiringkan kepala. Tiba-tiba, Yoriaki mengeluarkan pedangnya. Mengayunkan pedangnya ke arahnya. Ayunan pedang katana terus dilakukan. Membuat Kiyoyasu menghindarnya tanpa mengeluarkan senjata.

"Danna-sama!"

"Jangan mendekat. Ini tidak bahaya kok."

Walau demikian, raut wajah khawatir terpancar dari Yuriko. Dia tidak ingin suaminya kenapa-kenapa. Soga menarik kain baju kimononya, menatap ke istrinya Kiyoyasu.

"Aku akan meminta bantuan nee-chan!"

"Tolong ya, Soga. Kasih tahu ayahanda untuk membawa Yoriaki-sama pergi."

"Tidak akan kubiarkan kau pergi begitu saja!" bentak Yoriaki.

Namun, ayunan cepat dari sarung pedang katana Kiyoyasu. Pedang katana miliknya terhempas hingga berjatuhan ke tanah. Kiyoyasu mengeluarkan aura mencekam. Hentakan kakinya berencana untuk mengeluarkan pedang katana yang disarungkan. Tatapan Yuriko memohon kepada suaminya untuk tidak membunuhnya. Saat itulah, dia berhenti melakukannya. Kiyoyasu paham situasi tersebut. Mencengkram pedang katana miliknya di balik sarungnya. Tarikan napas panjang dihembuskan. Bersiap untuk memberi pelajaran kepada Yoriaki.

"Kembalikan Yuriko-ku!"

Ayunan vertikal serta serangan awal dari Yoriaki, dapat terbaca oleh Kiyoyasu. Dia hanya menggerakkan setengah badannya. Mempelajari setiap kali Yoriaki melangkah. Yuriko yang melihatnya, terperangah dengan aksi suaminya.

Sedangkan Kiyoyasu sendiri tidak akan menggunakan kekuatan secara penuh. Cukup andalkan kelima nalar atau indera.

"Sialan! Kenapa tidak mengenainya!" bentak Yoriaki.

Ayunan demi ayunan terus dilakukan. Kiyoyasu tersenyum lebar. Menikmati pertarungan dengan Yoriaki. Yuriko tidak mengerti dengan sikap suaminya. Akan tetapi, dia merasakan menikmati pertarungan yang bersahabat. Sedangkan di mata Yoriaki, seolah-olah Kiyoyasu mengejek dirinya. Padahal, dia berencana untuk menyingkirkan siapapun yang hendak menghalanginya. Termasuk Kiyoyasu dari Ogasawara sekaligus.

"Itu dia!" teriak Soga dari kejauhan.

"Kemari kau pembunuh!"

Rupanya, yang datang untuk menolong Kiyoyasu adalah para anggota klan Ogasawara. Hentakan kaki mereka berjalan cepat menuju lokasi kejadian. Suara langkah kaki terdengar mengakibatkan pertarungan di antara mereka berakhir. Yoriaki membuang wajahnya, berdecak lidah kesal karena pertarungannya terganggu. Kemudian, dia pun pergi meninggalkan mereka berdua. Merasa bahwa dirinya kalah keroyokan jika diteruskan. Pedang katananya dimasukkan kembali.

"Awas kau Kiyoyasu! Lain kali, kau tidak akan selamat!"

Yoriaki pun pergi tanpa menoleh sedikit pun. Hanya mendorong bahunya saja. Kiyoyasu melihat punggung orang itu. Menatapnya penuh keheranan. Dalam lubuk hatinya, dia tidak menyadari kebencian yang mendalam. Terutama Yoriaki bersikap demikian Kiyoyasu itu sendiri.

"Kiyoyasu-sama!" bentak salah satu anggota klan Ogasawara memanggil namanya.

Jumlahnya ada tujuh orang, bersenjatakan pedang katana. Kiyoyasu mengerutkan kening. Melirik pada Soga dengan senyuman lebar.

Sejak itulah, Yoriaki murka karena tidak berhasil membunuh Kiyoyasu Ogasawara. Dia bersama para pengikutnya kabur dari kejaran suruhan klan Nagasaki. Hentakan kaki cepat beserta melirik ke belakang. Langkah mereka semakin cepat. Keringat Yoriaki bercucuran sangat banyak. Menutup mulutnya sembari menarik napas dalam-dalam. Sorotan kedua bola matanya mendongak pada para suruhan klan Ogasawara.

"Di mana si pecundang itu?" teriak salah satu suruhan klan Ogasawara berlari ke arah berlawanan.

"Berani sekali dia melawan Kiyoyasu-sama! Kalau sampai ketemu dengannya, akan kuhabisi saat itu juga!"

Kata-kata dari setiap anak buah klan Ogasawara membuat mereka naik pitam. Mengepalkan kedua tangannya disertai urat nadi di kepala menegang. Sorot matanya melotot tajam, bersumpah akan membunuh mereka tanpa tersisa. Sementara itu, Yoriaki tidak kuasa menahan amarahnya. Setelah mereka pergi, dia mengambil segumpal tanah. Dilemparkan kembali sangat keras.

Sebuah pukulan keras dari tangan ayahnya, Yoshiatsu Nagasaki. Wajah memerah disertai rahang mengeras. Pembuluh darah di leher berdenyut, mengangkat dagunya dengan sorotan tajam pada Yoriaki. Disaksikan oleh anak buahnya. Mereka menghampiri Yoriaki penuh kasihan.

"Yoshiatsu-sama!"

"Diam kalian semua."

Yoshiatsu berusaha menahan amarah yang memuncak. Urat nadinya mulai menegang. Dia membalikkan badan. Tanpa mengatakan sepatah kata pun. Mendekati pintu geser, Yoshiatsu menoleh pada putranya.

"Mulai sekarang, jangan dekati Kiyoyasu-dono maupun istrinya Yuriko. Sekali lagi kau melakukan hal itu, aku tidak segan-segan mengeksekusimu."

"Ayah …"

"Bawa dia ke ruangan kamarnya. Dan awasi dia 24 jam. Aku tidak ingin dia pergi tanpa sepengetahuanku. Paham?" perintah Yoshiatsu kepada anak buahnya.

"B-baik Yoshiatsu-sama!"

Beliau menghentakkan kakinya. Menutup pintunya kembali. Berharap Yoriaki mendapatkan pelajaran berharga karena telah melanggar perjanjian antara kedua pihak. Tubuhnya gemetaran, mengepalkan kedua tangannya. Berharap dia kembali sadar secara perlahan dan menerima keadaan yang sudah ada.

Namun, harapan itu tinggalah harapan. Selama berada di dalam kamar, Yoriaki mendorong barang-barang perabotan hingga pecah. Lantai dipenuhi genangan air walau volumenya sedikit. Bunga yang sempat dia petik, terjatuh di atas tatami. Menggebrak-gebrak meja berulang kali sampai memerah. Bau napasnya berhembus, tidak teratur lantaran amarah yang terus memuncak.

"Sial! Sial! Sial! Sial!" ucap Yoriaki bernada mulai meninggi.

Yoriaki tidak bisa kuasa menahan emosi lagi. Mengingat kembali saat dirinya mengajak duel dengannya.

"Diam kau, Kiyoyasu! Aku tidak akan mengampunimu! Bermesra-mesraan di depanku! Apakah itu sikap yang pantas bagi penerus klanmu?"

"Apa yang kau bicarakan?"

Tubuhnya menegang. Dia melihat sebilah pedang bertengger di dinding. Pedang itu tiba-tiba melayang di udara. Membelah dinding tersebut menyerupai bentuk silang. Saat dibuka, muncullah sebuah bola berwarna hitam pekat. Di dalamnya, terdapat jantung berukuran kecil. Tertulis dalam bahasa kuno: The Blind Angel Snake.