webnovel

UNFORGIVEN BOY

Bertemu dengannya adalah anugerah, karena dia menunjukkan ku sisi lain dunia yang tak pernah ku lihat. Mengenalnya adalah kebahagiaan, karena dia memberi ku warna lain dalam hidup yang tak pernah ku tahu.... Bersamanya adalah mimpi, karena dia membuatku seolah menjadi gadis sempurna di balik semua kekurangan yang aku punya. Aku, bukanlah gadis cantik yang sempurna. Aku adalah gadis buruk rupa yang sering disebut sebagai anak singa. Namun begitu, andai takdir bisa diulang kembali, maka aku tak ingin bertemu dengannya, aku tak ingin mengenalnya, dan aku tak ingin bersamanya. Karena, terlalu banyak hal yang hilang tak bersisa, semenjak ada dia. Dia, adalah seorang lelaki, yang sampai kapanpun tak akan pernah ku lupa. Dia, adalah seorang lelaki yang sampai kapanpun tak akan pernah ku maafkan, dia, ya dia.

PrincesAuntum · 若者
レビュー数が足りません
160 Chs

Umberella Blue -B

Aku langsung keluar sambil membawa tasku, tidak ada motor, Tante punya motor buntut satu pun hanya dia yang bisa mengendarainya. Satu-satunya yang bisa aku gunakan hanya ontel ini, dan semoga ada warnet di dekat sini. Jujur, meski dari kecil aku berada di kompleks ini, tapi aku jarang keluar rumah, paling-paling pergi ke toko roti Tante Rosi dan itu pun ada di gang depan rumah.

"Paman, di sekitar sini ada warnet, gak?" tanyaku setelah menepikan ontelku, seorang Paman penjual ketoprak itu pun menggeleng.

Rupanya, dia tidak tahu. Harus aku cari di mana lagi warnet berada. Aku bingung harus bagaimana, terlebih malam ini mendung, dan semoga saja tidak hujan, tapi rupanya, Tuhan berencana lain, belum sempat ku yaguh lagi sepedaku, gerimis datang. Buru-buru aku berhenti di teras toko yang sudah tertutup.

Lalu bagaimana? Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Seolah semua jalan yang ku usahakan buntu, seolah aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan nilaiku ini. Apa aku menyerah saja?

Aku tidak salah lihat, kan? Ricky hujan-huajan sambil membawa payung menghampiriku, dan masih mengenakan seragam putih abu-abunya itu. Dia dari mana? Atau, dari mana dia tahu jika saat ini, aku di sini? Ini bukan kebetulan, kan? Aku yakin jika ini bukanlah kebetulan.

Aku mengabaikan keberadaannya yang kini berdiri di sampingku. Lebih baik, aku pura-pura tak mengenalnya, toh nantinya dia akan melakukan hal yang seperti itu.

Hujan, berhentilah.

Hampir setengah jam, kami di sini menunggu hujan dalam diam. Dia diam di tempatnya, seolah asik degan fikirannya sendiri. Sementara aku, selalu berharap dan menunggu jika rintikan air ini akan mulai berkurang dan reda.

Tak menunggu waktu lama, aku segera pergi. Menjauh darinya, itulah hal yang lebih baik. Dia adalah cowok yang tak mau diganggu, dia adalah cowok aneh yang aku temui seumur hidupku.

"Elo mau ngerjain makalah elo, kan?" tanyanya tiba-tiba, aku terhenti untuk sesaat tapi ku abaikan ucapannya, mengambil sepedaku tapi dia tahan, sehingga aku tak bisa pergi ke mana-mana.

"Gue bawa laptop," seolah dia tahu apa yang ku butuhkan. Dia langsung menggeser tempatku berdiri, dibawanya sepedaku kemudian dia naik begitu saja di sana.

"Ayo, naik." perintahnya, sambil menyerahkan payungnya padaku.

Aku tak mengerti.

Aku bingung, dengan sikapnya yang mudah berubah-ubah. Kadang dia terlihat begitu perduli dan kadang dia bersikap acuh. Sebenarnya, siapa dia sebenarnya? Apakah dia seorang cowok yang memiliki kepribadian ganda?

Ku turuti ucapannya, duduk di boncengan sepedaku. Dia mulai menggayuh sepeda kecilku. Aku tahu, sebentar lagi kaki panjangnya akan sakit, karena ditekuk begitu lama.

Kami seperti dua pasang kekasih yang kasmaran, naik sepeda di bawah rintikan hujan. Aku bisa membayangkan betapa nyamannya andai ku rebahkan kepalaku ini di punggung besarnya, betapa nyamannya jika ku lingkarkan kedua lenganku ini di perut datarnya. Tapi, apa yang aku fikirkan ini? Kami tidak ada hubungan apa-apa, kan? Dia hanya berlaku baik, berlaku baik pun bukan melakukan sesuatu yang istimewa.

"Udah sampek."

Dia turun dari sepeda kemudian ku susul, rupanya dia mengajak ke sebuah cafe, yang aku sendiri tak tahu, cafe apa itu. Yang jelas, ada banyak pemuda-pemudi yang nongkrong di sini. Apa aku pantas masuk ke tempat seperti ini? Aku hanya mengenakan pakaian tidur serta jaket coklat usang kesukaanku. Sementara kakiku, hanya berlapiskan sendal beruang yang bahkan bulu-bulunya sudah mulai menghilang, dan rambut serta wajahku? Aku menunduk dalam-dalam tapi Ricky cepat-cepat menarik tanganku untuk diajaknya duduk.

"Kenapa harus ke sini?" tanyaku bingung, dia hanya diam kemudian mengeluarkan laptopnya. Sementara aku, masih dengan tampang bodoh yang terlihat semakin bodoh melihatnya.

"Mas Ricky, pesen apa, Mas?" tanya sang pelayan, dia melihatku seolah hendak tertawa tapi ditahan. "Beda lagi, Mas?" katanya, aku tahu pasti Ricky sering membawa pacar-pacarnya datang ke sini, dan aku yakin, pelayan itu salah faham terhadapku. Mana mungkin, pacar Ricky seburuk aku? Itu tidak mungkin.

"Susu panas satu kalau ada, jus alpukat satu, burger dua sama nasi goreng dua," pesannya, kemudian dia kembali menatapku dengan dahi berkerut.

"Laptopnya buat ngerjain tugas bukan buat elo liatin doang." tegurnya, aku langsung meraih laptop dari Ricky, kemudian segera ku kerjakan makalahku secepatnya, agar aku bisa cepat keluar dari situasi mengerikan seperti ini.

"Kalau gak keburu gimana? Bisa gue pinjam buat bawa pulang?" tanyaku, ini makalah yang mungkin membutuhkan waktu lebih dari dua jam untuk menyelesaikannya.

"Enggak, nanti lo rusakin. Kerjain aja sampai selesai, gue tungguin."

Aku mengangguk lagi, seperti dikasih hati minta ampela saja, aku jadi tidak enak. Pasti dia capek, bahkan seragamnya belum diganti, dan harus menungguiku mengerjakan tugas membosankan ini.

"Lo tahu dari mana gue butuh laptop?" tanyaku, dia hanya menarik sebelah alisnya kemudian mengalihkan pandangannya, bertopang dagu melihat ke arah luar cafe. Sepertinya, aku sedang duduk bersama batu.

"Gue keluar rokok dulu." Ijinnya. Aku mengangguk lagi, daripada melihat dia mati bosan. Lebih baik dia melakukan kegiatan hariannya, ya merokok adalah kegiatan harian dia.

Jam setengah dua belas kira-kira aku sampai di rumah. Ricky mengantarkanku sampai depan rumah, tidak mungkin sekali untukku persilahkan dia masuk, aku sudah cukup tahu sekarang jam berapa.

"Makasih."

"Tumben," katanya, aku menatapnya bingung kemudian dia mengambil sebatang rokok lagi dan diselipkan di antara bibirnya. "Biasanya aja elo selalu bilang 'maaf' tumben sekarang bilang 'makasih' gak takut ama gue lagi?" tanyanya. Aku tersenyum, entahlah, bagian mana dari ucapannya yang lucu, yang jelas itu cukup sebagai alasan untukku tersenyum.

"Kenapa elo begitu suka ngerokok? Rokok kan gak baik buat tubuh lo."

Dia hanya diam, mengembuskan asap rokoknya ke udara, seperti cerobong kereta api yang mengebulkan asapnya.

"Karena rokok adalah sahabat yang gak akan pernah berkhianat."

Jawaban ambigu yang dia katakan sebelum pergi membuatku tahu, ada satu sisi dari Ricky yang terlihat sangat kelam, satu sisi dari Ricky yang seolah kesepian. Di balik tawa Ricky ada kesedihan, di balik semua orang-orang di sekitar Ricky dia kesepian. Ricky, membutuhkan seorang teman. Bukan teman yang hanya ada di sekitarnya saat dia bahagia, tapi teman yang benar-benar mengerti akan dirinya. Ya, Ricky, dia seperti itu. Seperti bumi yang memiliki dua sisi. Siang dan malam, itulah Ricky, sisi yang tak pernah orang lain tahu.

@@@

"Tan, Nilam berangkat dulu, ya."

"Eh, Lam.. Tante lupa, kemarin pas kamu pergi ke warnet, ada yang nyariin di toko roti."

"Siapa?" tanyaku bingung, bukannya Lala dan Genta Tante Rosi sudah kenal?

"Cowok, ganteng, kayak artis. Siapa sih namanya, Tante lupa. Matanya coklat sendu gitu, Lam. Ganteng pokoknya."

"Ricky?" tebakku, karena dari sekian cowok yang aku kenal, satu-satunya cowok bermata coklat dengan tatapan sendu itu hanya dia. Cowok badung yang bahkan wajahnya tak sesangar apa yang ditakuti orang-orang.

"Ya! Ricky! Tante baca kayaknya itu namanya di tag name seragamnya, dia jadi pelanggan setia Tante akhir-akhir ini. Dia nyanyain kamu, terus Tante cerita kalau kamu gak jaga toko, komputermu rusak dan sedang nyari warnet, gitu."

Rupanya benar, kedatangan Ricky kemarin bukanlah kebetulan. Lalu, untuk apa dia melakukan hal sampai sejauh itu? Apakah hanya karena ingin membantu seorang teman? Ku jawab ucapan Tante Rosi dengan senyuman kemudian aku segera pergi. Aku tidak mau telat, karena jam pertama nanti adalah pelajarannya Bu Marita.

@@@

"Jadi anak-anak, kalian sudah siap?" semua kelompok mempersiapkan mental mereka, sementara kelompokku? Semoga, mereka bisa menguasai isi dari makalah ini.

Kelompok yang pertama maju adalah kelompok Lala, Genta dan Rian setelah itu memutar, kelompokku mendapatkan nomor urut paling belakang.

"Jadi, gimana?" tanya Salma ketika dia menyikut lenganku.

Bagaimana? Bukankah aku sudah memberikan dia salinan makalah itu, apa belum bisa dia mempelajarinya barang sebentar?

"Isi dari makalahnya apa sih? Otak gue gak nangkep nih." Echa menambahi, mungkin mereka butuh kamus atau penerjemah lainnya agar sedikit faham.

"Gue udah nebelin kalimat-kalimat yang penting di sana."

"Tapi gue gak faham! Emangnya ini soal bahasa indonesia?!"

Kenapa dia marah?

"Bener kata Salma, seharusnya elo itu kasih artinya, Lam."

Apakah semua ini salahku?

Ku abaikan gumaman mereka, beradu argumen tidaklah tepat sekarang. Lebih baik, aku fokus ke depan dan melihat kelompok-kelompok yang mulai menjelaskan. Oke, sekarang adalah kelompok Ricky dan kawan-kawan. Dan Ricky bagian menerangkan materi yang ada di power point, aku sama sekali tidak tahu, jika dia sepandai ini, menjelaskan makna demi makna secara gamblang membuat yang mendengar pun akan faham dengan apa yang disampaikan. Aku akui, aku kalah darinya dalam hal ini.

"Dua minggu tidak membuat rusuh rupanya Ricky yang badung jadi Ricky yang rajin, ya? Jika kamu seperti ini terus, Ibu yakin kamu akan mendapatkan peringkat baik, Rick."

"Semoga, Bu." jawab Ricky asal-asalan, memangnya jawaban apa yang diharapkan Bu Marita pada siswa seperti Ricky? Tidak ada.