webnovel

UNFORGIVEN BOY

Bertemu dengannya adalah anugerah, karena dia menunjukkan ku sisi lain dunia yang tak pernah ku lihat. Mengenalnya adalah kebahagiaan, karena dia memberi ku warna lain dalam hidup yang tak pernah ku tahu.... Bersamanya adalah mimpi, karena dia membuatku seolah menjadi gadis sempurna di balik semua kekurangan yang aku punya. Aku, bukanlah gadis cantik yang sempurna. Aku adalah gadis buruk rupa yang sering disebut sebagai anak singa. Namun begitu, andai takdir bisa diulang kembali, maka aku tak ingin bertemu dengannya, aku tak ingin mengenalnya, dan aku tak ingin bersamanya. Karena, terlalu banyak hal yang hilang tak bersisa, semenjak ada dia. Dia, adalah seorang lelaki, yang sampai kapanpun tak akan pernah ku lupa. Dia, adalah seorang lelaki yang sampai kapanpun tak akan pernah ku maafkan, dia, ya dia.

PrincesAuntum · 若者
レビュー数が足りません
160 Chs

Ricky's Life

"Ricky beberapa tahun terakhir ini tinggal di rumah Om." kata Om Irawan seolah tahu apa yang ada di otakku. Aku menunduk... malu.

"Enggak... males."

"Kalau lo sampai nggak dateng. Papa lo akan nururin foto Mama dan Adek lo. Emangnya elo rela? Hm?"

Ricky hanya diam tak bersuara. Entah kenapa... keceriaannya mendadak hilang. Kini... sisi Ricky yang kelam tampak dengan begitu nyata. Sisi Ricky yang seolah selalu kesepian.

"Ayo, balik!" serunya mengabaikan ucapan Om Irawan. Dia menarik tanganku, mengajakku untuk keluar Kantor Kepolisian kemudian menuju parkiran.

"Lo mau nemenin gue?" tanyanya, setelah lama dia diam dan berdiri di balik mobil hitam yang mungkin itu milik Om Irawan.

"Gue mau... kita hadapi bersama." kataku. Kugenggam tangannya, membuat Ricky memandang ke arahku.

"Apa lo masih cinta ama gue kalau lo tahu bagaimana keluarga gue?" tanyanya. Mata cokelatnya yang sendu terlihat semakin sendu dan aku tak ingin melihatnya seperti itu.

"Gue yakin... perasaan gue nggak bakal berubah ama elo, Rick." dia tersenyum. Masuk ke dalam mobil hitam itu. Aku mengikutinya kemudian kami pergi dari sana. Jujur... tanganku masih gemetaran. Dan bahkan... gemetar ini semakin hebat. Ya... aku tahu, aku terlalu sok berani untuk hal seperti ini. Seharusnya, kutolak ajakan Ricky. Seharusnya, kularang saja dia pergi.

@@@

Tak berapa lama perjalanan dari Kantor Polisi. Kira-kira 45 menit. Kami pun sampai di komplek perumahan elite di kawasan Jakarta Selatan.

Dan tujuan kami adalah... rumah megah yang ada di sana. Bahkan rumah itu, lebih megah dari pada yang lainnya. Sejenak kutatap Ricky dengan nyali yang semakin ciut. Ricky... bukanlah orang sembarangan. Bahkan, dia adalah orang kaya raya. Bagaimana bisa dia mencintaiku yang miskin dan jelek seperti ini?

Mataku menangkap motor besar yang saat tawuran dikendarainya, bahkan mobil merah yang digunakan untuk mengantarku pulang saat hujan itu. Dulu... dia bilang jika barang-barang itu milik Mondy pun Rendy. Tapi nyatanya... semua adalah miliknya. Tapi... jika memang dia tidak pernah pulang? Kenapa motor dan mobil itu ada di sini? Aku sama sekali tak mengerti.

"Ayo turun." ajaknya. Aku menuruti ucapannya kemudian melangkah pelan mengekori langkahnya dari belakang. Aku seperti itik buruk rupa yang tesasar di istana megah. Bahkan rasanya, aku ingin pulang saja. Bagaimana bisa, makhluk kumuh sepertiku ada di tempat semegah ini?

"Den Ricky!" pekik seorang pelayan yang membuka pintu besar seperti pintu istana Negara berwarna cokelat itu. Ricky hanya diam, tak menjawab sapaan pemembantu rumahnya. Sementara aku... kikuk dan merasa sungkan sendiri.

"Tuan sedang menunggu Den Ricky di ruang makan, Den."

Aku kembali mengikuti langkah Ricky. Menuruni beberapa anak tangga dan menuju ke arah ruang makan... mungkin. Rupanya, tempat ini dibuat bukan hanya naik ke atas. Tapi turun ke bawah juga. kira-kira... harus kerja berapa puluh tahun agar bisa membangun istana semegah ini?

"Pulang juga rupanya... ternyata, membawa motor dan mobilmu dari rumah Irawan cara yang efektif untuk memaksamu pulang, ya." Ricky memalingkan wajahnya, seolah tak sudi melihat laki-laki matang yang sedang duduk dengan begitu karismatik di salah satu kursi makan. Beserta seorang perempuan yang menurutku masih cukup muda. Bahkan... lebih muda perempuan itu dari pada Tanteku.

"Ricky... duduk. Ayo kita makan malam bersama."

Lagi... Ricky mengabaikan ucapan perempuan cantik yang mungkin usianya masih dua puluh tujuh tahunan itu.

"Kamu temannya Ricky?" tanya Papa Ricky. Aku mendunduk kemudian mengangguk takut-takut.

"I... iya, Om."

"Kamu Nilam, kan?!"

Kuangat wajahku spontan, saat Papanya Ricky memanggil namaku. Dari mana dia tahu? Belum sempat aku bertanya, tangan Ricky menggenggamku kemudian menuntunku untuk duduk di salah satu kursi makan yang ada di depan kami.

"Kenapa kamu membawa orang luar ke sini, Rick... kami akan membicarakan sesuatu padamu." perempuan itu setengah berbisik.

"Yang orang lain di sini itu elo. Bukan Nilam." desisnya begitu tajam dan dingin.

"Ricky! Sampai kapan kamu bersikap seperti ini! Dia ini Mama kamu, Rick!"

"Gue udah punya Mama! Dan Mama gue bukan dia, Om!"

"Ricky! Sampai kapan kamu akan terus seperti ini! Yang sopan dengan orang tua! Aku ini Papa kamu!"

"Sejak kapan Om menjadi Papa gue? Papa gue sudah mati dua tahun yang lalu!"

"Ricky!"

PYAARR!!!

Kutelan ludahku yang mendadak kering saat Ricky membanting piring sampai pecah. Matanya merah, menatap ke arah perempuan itu---maksudku Mama Tirinya.

"Lo inget... apa yang lo lakuian sama keluarga gue itu jahat." lirih... Ricky mengucapkan kata itu. Bahkan, hatiku terasa tersayat mendengarnya.

"Ricky! Papa menyuruhmu datang bukan untuk melihat ucapan tak sopanmu ini! Papa mau bertanya kepadamu kenapa uang bulananmu habis dengan cepat Rick? Uang itu dalam jumlah besar!"

Lagi... Ricky tak menjawab ucapan Papanya. Bahkan aku bisa melihat, Papa Ricky berkali-kali mengusap wajahnya dengan kasar seolah menahan emosinya.

"Jika lo nggak ikhlas ngasih gue, dan takut kalau harta lo gue habisin. Lo tinggal ambil kartu ATM gue, kan? Gue juga nggak butuh. Atau... perempuan ini takut kalau dia nggak kebagian harta lo?"

"Ricky! Yang sopan kamu! Mamamu ini sedang mengandung!"

"Jika lo udah bosen ngerawat gue.... ngasih nafkah buat gue... kenapa lo harus biarin gue ada di sini! Seharusnya gue yang ikut Mama, bukan Raka! Seharusnya gue yang ada di posisi Raka!"

"Ricky! Papa sudah cukup kehilangan Raka! Papa tidak mau kehilangan kamu! Apa kamu mengerti itu?!"

"Nggak! Kalau lo nggak mau kehilangan... kenapa elo harus selingkuhin Mama? Salah Mama apa? Hah! Mama setiap hari ada di rumah buat ngurus keluarganya, ngurus elo! Bahkan... Mama rela nggak tidur demi nunggu lo pulang saat lembur. Tapi nyatanya? Semua pengorbanan Mama sia-sia! Elo malah bikin Mama pergi dari gue! Kenapa Mama milih Raka? Kenapa Mama nggak milih gue!" hening. Semuanya diam mendengar kemarahan Ricky. Bahkan... para pembantu yang ada di sana terisak. Aku tahu, betapa mereka menyayangi anak majikannya ini. Dan... aku pun tahu, betapa berat luka yang dialami Ricky selama ini.

Ricky... bukan hanya kehilangan sosok Mama pun Saudara kandungnya. Ricky kehilangan sosok Papanya. Papa yang bagi seorang anak laki-laki adalah pahlawannya. Papa yang sebagian besar anak laki-laki selalu menjadi sosok yang ingin ditiru kelak jika dewasa. Tapi Papa Ricky?

Ricky menunduk, dia mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian meraih tas yang ada di kursi. Dia berjalan membuang semua foto milik Papanya dan istri barunya. Kemudian memasang kembali foto keluarganya yang dulu. Saat dia, Mama, Papa dan Saudaranya tersenyum di dalam foto itu. Saat kebahagiaan yang utuh masih dia rasakan dulu. Ricky... ingin keluarganya kembali. Ricky... ingin menjadi anak bahagia seperti yang lainnya. Memiliki keluarga yang utuh dan begitu menyayanginya. Memiliki orang tua yang mampu mendengar semua keluh-kesahnya. Ya dia... Ricky.

"Lam... yok balik."

Aku mengangguk, setelah mengusap air mata yang menetes di pipiku.

"Om... Tante... Nilam pamit dulu." pamitku. Kemudian berlari mengikuti langkah Ricky lebar-lebar.

Setelah dia keluar dari rumah. Kucepatkan lariku dan memeluk tubuhnya dari belakang. Aku tahu lebih dari siapapun... jika saat ini dia rapuh. Aku tahu lebih dari siapapun... bahwa saat ini yang dia butuhkan hanya sandaran. Meski yang kubisa hanyalah memberinya sebuah pelukan. Aku berharap, ini sedikit mengurangi semua beban yang ada di hatinya. Meski yang kuberikan hanyalaha sebuah pelukan. Tapi aku berharap, dia mau membagi beban yang ada di hidupnya.

"Menangislah... di pelukan gue, Rick..." ricky masih diam. Pelan aku memutari tubuhnya. Dia menunduk dengan tatapan sayu. Kugenggam wajah tampannya dengan tanganku yang mungil, memandang matanya yang terlihat begitu terluka. "Cowok nggak selamanya tegar saat ada masalah, kan? Cowok wajar kok kalau nangis. Bukan berarti dia cengeng, itu berarti dia manusiawi. Jadi... menangislah kalau lo ingin mengangis, Rick." kataku lagi. Kini kupeluk dia dari depan. Dia membalas pelukanku. Kuelus punggungnya yang bergetar. Aku tahu... meski dalam diam Ricky telah menangis.