webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · その他
レビュー数が足りません
63 Chs

UF2568KM || 55

Setelah pulang dari rumah Barra, Rein segera kembali ke kamarnya dan tidak melakukan apa-apa. Ponselnya masih diisi daya dan ia tidak berani memainkannya. Lagi pula, jika ia memainkannya untuk apa? Tidak ada yang mengajaknya berkomunikasi saat ini.

Entah mengapa, tapi hari ini begitu terasa membosankan karena tidak ada yang menemaninya dan ia pun tidak tahu harus melakukan apa.

"Haris gak nelpon-nelpon, gue sama Sakti berantem, sama Barra juga sama, temen-temen gue yang lain pada sibuk. Ini kenapa jadi gini, si? Pengen balik ke masa SMA aja deh, kangen banget sumpah."

Rein menendang-nendangkan kakinya bosan hingga membuat tempat tidurnya yang telah rapi itu kembali berantakan dibuatnya.

'Ting!'

Perhatiannya dialihkan oleh suara notifikasi dari ponselnya yang tengah diisi daya tersebut. Karena penasaran dengan notifikasi tersebut, ia pun memilih untuk melihatnya karena siapa tahu itu adalah sesuatu yang penting. "Haris ngirim pesan? Tumbenan banget, biasanya juga langsung nelpon."

Rein menggerakkan jarinya untuk mengetikkan balasan pesan dari Haris. Haris mengira hari ini Rein ada kelas jadi ia memilih untuk mengirimkannya pesan untuk menyemangati gadis kesayangannya itu. Tapi, setelah Rein memberitahukan yang sebenarnya, Haris pun memilih untuk segera menghubunginya.

"Udah cantik ya walau gak ke kampus juga," puji Haris ketika ia mendapati Rein yang memang sudah terlihat rapi.

"Gue juga males mandi si sebenernya, cuma tadi mami nyuruh nganterin makanan ke rumah tetangga."

"Cuma nganterin makanan, lo mandi terus dandan? Ada apa nih? Anak tetangganya ganteng?" Rein sebenarnya malas dengan pertanyaan Haris yang ini. Tapi, sepertinya akan seru juga jika ia mempermainkannya.

"Iya Ris ganteng banget, lebih ganteng dari lo malahan. Gue juga suka banget sama dia, udah ganteng baik lagi. Ah, the best pokoknya."

"Ya udah pacaran aja sama dia sana!"

Seketika Haris memutuskan sambungannya secara sepihak dan Rein tertawa puas setelah ia melihat Haris yang terlihat kesal padanya. Kemudian Rein mencoba untuk menghubungi Haris kembali, namun Haris terus saja menolak panggilan darinya. "Ih, beneran ngambek?"

Rein kemudian melakukan cara yang kedua untuk membujuknya, yaitu dengan mengirimkannya pesan dan menjelaskan yang sebenarnya bahwa ia tidak serius mengatakan semuanya. Setelah Haris berhasil diluluhkan, akhirnya mereka kembali melakukan panggilan video.

"Tambah ganteng kalo lagi cemburu. Haris tenang aja, Haris yang paling ganteng, kok."

"Halah!"

"Ih, kok masih ngamok? Kan udah dijelasin cuma becanda tadi." Rein terkekeh saat ia melihat wajah Haris yang masih terlihat kesal padanya.

"Becandanya gak lucu."

"Lucuin aja kali."

"Haris, mama gak bisa anterin Shuhua beli keperluan yang udah habis. Haris temenin Shuhua, yu!"

Rein terdiam ketika ia mendengar ada suara seorang gadis yang pernah ia dengar sebelumnya di sela-sela panggilannya bersama Haris. Saat ini yang Rein lihat hanyalah langit-langit berwarna putih karena Haris meletakkan ponselnya di atas kasur dan pergi menghampiri Shuhua yang berdiri di ambang pintu kamarnya.

Meski Haris telah menjelaskannya beberapa kali pada Rein tentang Shuhua, tapi tetap saja Rein masih belum bisa menerima adanya gadis itu di kehidupan Haris.

Entah kenapa Rein selalu cemburu dan tidak sepenuhnya merelakan kedekatan mereka. Rein hanya takut jika suatu hari nanti Haris akan meninggalkannya dan berpaling pada gadis itu dengan alasan telah merasa nyaman karena telah lama bersama. Rein tidak ingin hal itu sampai terjadi.

Haris tak kunjung datang kembali untuk melanjutkan komunikasi dengannya. Suasana hati Rein yang sedang tidak bagus membuatnya sedikit emosional. Ia pun memilih untuk mengakhiri panggilannya dan segera mematikan ponselnya agar Haris tidak dapat menghubunginya lagi untuk saat ini.

Kamarnya yang selama ini selalu menjadi tempat ternyamannya seketika terasa menjadi sangat membosankan. Rein berniat untuk pergi meninggalkannya sejenak dan menjernihkan pikirannya di dunia luar. Sepertinya, taman dapat mendinginkan kepalanya saat ini. Ya, Rein harus pergi ke sana sekarang juga.

Tapi, saat ia baru saja keluar dari pintu gerbang rumahnya, ia dikagetkan oleh seseorang yang berdiam diri di depan pintu gerbang.

"Rein?"

"Lo ngapain di sini?" Tanya Rein dingin.

"Gue nungguin lo keluar. Gue … gue gak berani ngasih tau lo kalo ada gue di sini dari tadi nungguin lo."

"Lo mau ngomong apa sampe lo bela-belain datang ke sini?"

"Gue mau bahas yang kemarin." Sungguh Rein malas. Tapi, daripada mereka terus berseteru, Rein akan semakin lelah dan malas nantinya.

"Gue mau ke taman, sekalian aja kita ngobrol di sana aja. Gue males diem di rumah."

Sakti menitipkan motornya di halaman rumah Rein dan mereka berjalan kaki menuju taman karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman Rein.

Sesampainya di sana, mereka berdua malah saling terdiam menunggu siapa yang akan berbicara lebih dulu. Rein lebih memilih untuk tidak berbicara lebih dulu karena ia merasa memang Sakti yang memiliki sesuatu untuk diucapkan.

"Kita jadi canggung gini, ya? Padahal kemarin-kemarin kita masih ketawa-ketawa gak jelas. Maafin kebodohan gue, Rein. Gue terus mikirin semuanya sampe gue beneran ada di titik paling nyesel. Gue emang gak sepantasnya buat lakuin semuanya sama lo walau seberat apapun perasaan gue terhadap lo. Gue harap lo gak akan benci sama gue dan gue juga berharap kita gak akan pernah berubah sama sekali setelah hari itu berlalu."

Rein masih tidak berminat untuk menatap wajah Sakti sedari tadi karena sebenarnya ia masih menyimpan amarah terhadapnya.

"Oke gue maafin. Tapi, dengan satu syarat."

"Apa?"

"Buang perasaan lo terhadap gue dan ayo kita tetep berteman! Gue gak mau ada perasaan lebih di antara kita. Lo sadar gak, sih? Kalo lo tetep sama pendirian lo yang itu, itu tandanya lo secara gak sengaja berusaha buat hancurin semuanya. Terutama persahabatan lo sama Haris.

Lo gak mungkin kan musnahin semuanya cuma gara-gara gue doang? Gue harap lo ngerti dengan apa yang gue bilang, Sak. Gue tau lo mampu nyari yang lebih baik dari gue. Jadi, lo gak usah terus berpatok sama gue, masih banyak cewek di luaran sana yang lagi nungguin lo. Gue pulang, ya? Sorry karena kemarin gue udah nampar lo. Lo harus percaya, itu kemarin bukan gue."

Awan mulai terlihat mendung dan angin terasa mulai menerpa. Ini masih pukul sebelas siang, tapi cuaca baik nampaknya tengah bersembunyi. Sakti tersenyum simpul, ia benci suasana yang begitu mendukung saat ini. Padahal ia berharap cuaca hari ini akan sangat bertolak belakang dengan perasaannya yang gusar. Biarkan dia sendiri yang tidak menyukai hari ini, alam semesta tidak perlu mengikutinya.

•To be Continued•