webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · その他
レビュー数が足りません
63 Chs

UF2568KM || 54

"I-iya?" Rein menyahut tanpa memberikan perhatiannya pada Barra. Ia mendengar pria itu menghela napas panjang sebelum ia beranjak dari duduknya dan mendekat ke arahnya.

'sret'

"Ayo duduk dulu sama gue!" Barra meraih tangan Rein dan sedikit menariknya untuk mengajaknya duduk. Tapi, Rein tidak melakukan pergerakan sama sekali sehingga pria itu kembali menatapnya.

"Lo lagi marah, gue gak mau," tolak Rein pelan namun masih dapat terdengar oleh Barra.

"Gue bakalan tambah marah kalo lo nolak."

"Terus, dengan adanya gue di sini, lo mau apa? Numpahin semua kemarahan lo sama gue." Rein mulai memberanikan dirinya menatap pria yang kini ada di hadapannya tepat di matanya.

"Gue kangen sama lo." Rein berdecih dan ia tersenyum menyungging setelah mendengarnya. Ia ingin tertawa sebenarnya, tapi ia harus terlihat profesional saat ini. Ia merasa jika dibalik perkataan rindu itu terselubung sesuatu hal di dalamnya ketika ia mengingat akan kejadian beberapa waktu yang lalu.

"Kangen?" Barra tak merespon apa-apa, ia hanya terus menatap wajah Rein saat ini yang nampak begitu meremehkan dirinya. "Atas dasar apa lo tiba-tiba kangen sama gue? Emangnya lo bisa ngerasain kangen, ya?"

"Rein gu-"

"Sssttt…! Jangan ngomong dulu, dong, gak sopan itu namanya. Gue belum beres." Rein berjalan menuju ke arah sofa dan ia mengambil posisi duduk di sana. "Lo punya rencana apa dengan cara lo ngomong kalo lo kangen sama gue?"

"Rencana? Gue gak ada rencana apa-apa dengan gue ngomong kek gitu sama lo." Barra menatap Rein dengan heran, bagaimana bisa gadis itu menanyakan hal demikian secara tiba-tiba?

"Barra, gue gak bodoh, ya. Gue tau semuanya karena gue liat sendiri. Gue liat tadi lo berantem sama cewek lo dan sekarang lo tiba-tiba aja ngomong hal kek beginian sama gue. Kenapa? Lo mau jadiin gue pelarian buat sekarang ini, iya?"

"Yang jadi pelarian itu dia bukan lo!" Seketika Rein menatap tak percaya ke arah Barra. "Sorry kalo cara gue emang salah selama ini. Gue gak bisa lupain perasaan gue sama lo, Rein."

Rein menggelengkan kepalanya dan ia melarikan perhatiannya dari Barra. "Tega banget sih lo, Barra. Pernah gak sih lo bayangin gimana perasaan cewek lo itu kalo sampe dia tau sebenernya lo itu kek gini? Kalo gue ada di posisi dia sih ya gue bakal sedih banget, cowok yang gue sayang, cowok yang gue cinta ternyata masih mikirin cewek lain di luar sana."

"Gue udah berusaha."

"Berusaha?"

"Berusaha buat mencintai dia dengan tulus. Tapi," Rein kembali menatap Barra untuk meminta penjelasan lebih lanjut akan apa yang telah dilakukannya. "Tapi, dia seakan nolak buat gue cintai. Kelakuannya yang buat gue tiap hari makin males buat cinta sama dia. Dia terlalu ngekang sama gue, gue bener-bener gak bebas ngelakuin yang gue suka. Waktu gue semuanya pasti dia yang nuntut. Gue udah berusaha, tapi, nyatanya sikap dia yang seakan nyuruh gue buat berhenti."

'BRAK!'

"Jadi bener?!" Rein dan Barra seketika beranjak dari duduknya ketika tiba-tiba saja ada seseorang yang menerobos masuk dan menghentikan perbincangan mereka.

Saat Chaerin baru setengah perjalanan pulang, ia memutuskan untuk kembali ke rumah Barra dan bermaksud untuk memperbaiki hubungannya dengan Barra yang sempat terguncang beberapa waktu yang lalu. Tapi, saat ia baru saja akan membuka pintu, ia mendengar adanya suara dua orang yang tengah berbincang di dalam sana. Karena itu adalah suara wanita, Chaerin pun memutuskan untuk menguping percakapan mereka terlebih dahulu di balik pintu.

Karena tak percaya dengan apa yang tengah mereka bincangkan, ia pun memutuskan untuk menerobos masuk ketika dirinya sudah tak sanggup lagi untuk mendengarkan semuanya.

Chaerin menatap benci ke arah Rein. Rein yang ditatap seperti itupun tak terima dan ia mulai melakukan pembelaan terhadap dirinya.

"Kenapa lo natap gue kek gitu, ha? Masalah lo sama dia, kenapa gue yang lo tatap jahat kek gitu?"

"Gue udah denger semuanya. Lo berdua benar-benar, ya? Gue yakin, Barra gak akan kek gitu kalo lo gak ngegoda dia lebih dulu. Selama ini gue udah punya penilaian buruk tentang lo, dan ini alasan gue kenapa gue larang dia buat deket sama siapapun termasuk lo. Ini yang gue takutin selama ini. Selamat ya, lo udah berhasil jadi benalu di dalam hubungan gue sama dia."

Rein yang mendengar itupun membulatkan matanya tak percaya dan tangannya seketika mengepal menahan amarah.

"Lo nuduh gue yang godain dia? Cih, sorry ya, gue juga punya cowok. Buat apa gue godain cowok orang? Bikin gue kaya enggak, bikin gue tambah cantik juga enggak. Buat apa? Lo gak usah nuduh sembarangan, deh! Gue ini cewek baik-baik. Dan asal lo tau, gue lebih lama kenal dia daripada lo, kita udah temenan baik dari lama. Sekarang, lo datang-datang ribut permasalahin hubungan pertemanan gue sama dia. Lo pikir lo cantik kek gitu, ha?!"

"TAPI NYATANYA DIA CINTA SAMA LO!"

"YA LO TANYA SAMA DIA SENDIRI! Kenapa lo malah ngerecokin orang yang sama sekali gak ada dosa? Gue tau dia emang punya rasa sama gue bahkan dari lama sebelum lo hadir, tapi gue gak pernah sama sekali respon perasaan dia. Karena gue juga punya hubungan yang harus gue jaga, dan gue juga ngehargain hubungan lo berdua.

Lo nyuruh dia buat jauhin gue? Oke, gue gak ada masalah sama sekali, bahkan gue sendiri juga jauhin dia buat ngehargain hubungan lo berdua. Coba lo liat! Kurang respect dan kurang support apa lagi gue sama hubungan kalian, ha? Kita sama-sama cewek, coba lo bayangin gimana kalo misalnya lo jadi gue saat ini. Lo bakalan enak gak dituduh kek gitu?"

Chaerin terdiam setelah ia mendengar kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut Rein. Melihat Chaerin yang terlihat sama sekali tidak memiliki kata-kata untuk diucapkannya, Rein tersenyum menang dan mendekat ke arahnya.

"Makanya, sebelum ngomong itu dipikir dulu! Karena kalo lo yang salah, bukan gue yang malu. Paham?" Bisik Rein tepat di telinga Chaerin. Rein kembali menatap lawan bicaranya itu dengan senyumnya yang terlihat mengejek.

Barra menarik Rein untuk menjauh dari Chaerin ketika ia melihat Chaerin yang sudah terlihat jelas jika ia sedang menahan ledakan amarahnya. Barra tidak ingin jika ada sesuatu yang berbau fisik nantinya.

"Chaer, jangan bawa-bawa Rein ke dalam masalah kita, dia emang gak salah, aku yang salah. Aku yang selama ini suka sama dia, aku yang selama ini naruh hati sama dia. Apa kamu puas sama pengakuan aku? Apa kamu seneng karena dugaan kamu bener? Maaf, maaf udah ambil jalan yang salah selama ini. Kamu udah tau segalanya dan aku tau kamu juga pasti udah benci sama aku sekarang, kan?

Gak ada lagi yang bisa dipertahanin, kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari aku, kamu berhak mendapatkan seseorang yang bisa mencintai kamu dengan tulus. Mulai sekarang kita udahan, aku gak mau kamu terus-terusan sama aku karena nyatanya aku sama sekali gak bisa ngasih hati aku sepenuhnya buat kamu. Aku tau kata maaf mungkin gak cukup, tapi maaf, maaf udah nyakitin, maaf udah bikin kamu nangis, maaf udah brengsek."

Chaerin menatap Barra seakan tak percaya, bulir-bulir air mata itu kian mengalir dengan derasnya dari pelupuk matanya. Tapi, Chaerin dengan cepat menghapus air matanya dan pergi begitu saja meninggalkan Rein dan juga Barra yang masih mematung di tempatnya.

Setelah gadis itu benar-benar menghilang dari hadapan mereka, Rein menghela napas kasar dan ia menatap tajam pada Barra.

"Lo udah puas sekarang, ha? Berani-beraninya lo nyakitin cewek. Kalo gak siap, mending gak usah!"

"Rein, setelah semua ini berlalu, apa lo juga benci sama gue?"

•To be Continued•