webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · その他
レビュー数が足りません
63 Chs

UF2568KM || 21

Saat malam harinya, Haris datang mengunjungi rumah Rein dengan kotak kado yang ada di tangannya.

Setelah ia menekan bel rumahnya, keluarlah seseorang yang telah membukakan pintu dan Rendi adalah orangnya.

"Nah ini nih orangnya. Lo apain adek gue? Mamih bilang, dia nangis pas baru sampe rumah tadi siang." Saat mereka baru saja beratatap muka, Rendi langsung menyuguhkan pertanyaan pada Haris perihal Rein yang menangis pada saat pulang sekolah.

"Iya Bang gue habis berantem sama dia." Rendi otomatis memberikan tatapan tajamnya pada Haris. Rendi benar-benar sangat menyayangi Rein dan ia tidak akan terima jika adiknya itu disakiti oleh orang lain. Ya, walau dia juga sering mengusili adiknya itu bahkan sampai menangis sekalipun, tapi jika orang lain yang membuatnya menangis … Rendi tidak akan diam saja.

"Berantem? Berantem karena apa sampe lo bisa bikin adek gue nangis kek gitu? Eh, gue udah percaya ya sama lo. Lo jangan coba macem-macem sama adek gue! Gue gak rela kalo ada yang sakitin adek gue kek gitu. Pulang-pulang malah nangis gak jelas."

Haris menghela napasnya dan ia kembali menatap Rendi. "Bang, gue ke sini karena gue mau minta maaf sama dia. Gue nyesel udah bikin dia nangis tadi pas pulang sekolah. Tolong lo izinin gue ketemu sama dia, ya? Kalo enggak, kapan masalah kita bakal beres?"

"Ya udah. Tapi, lo jangan macem-macem lagi sama dia! Lo bakal berurusan sama gue kalo lo sampe bikin dia nangis lagi."

"Iya Bang gak akan."

Rendi kembali masuk ke dalam untuk memanggilkan adik kesayangannya itu. Haris masih menunggu di luar dan berharap Rein bersedia untuk menemuinya.

Setelah beberapa lama akhirnya Rein keluar juga dan Haris sangat merasa senang akan hal itu. Haris mengikuti langkah Rein yang ternyata membawanya ke arah sebuah ayunan besar di taman. Ketika Rein sudah duduk di atas ayunan tersebut, Haris pun mengambil posisi duduk di hadapannya.

"To the point! Gue mau tidur."

"Iya. Gue cuma mau minta maaf sama lo atas kejadian tadi siang. Gue cuma lagi emosi aja makannya gue gak meduliin lo pulang sendiri tadi. Gue udah sadar akan kesalahan gue dan lo emang bener, gue seharusnya ngerti akan masalalu lo. Cuma gue pengen aja gitu Rein, gue tau kok pasti bukan cuma ini doang yang lo umpetin dari gue. Jadi gue mohon sama lo, apapun yang berkaitan dengan Sakti, tolong, jangan sampai gue tau. Lo harus sembunyiin di tempat yang aman bahkan harapan gue sih lo mau buang apapun yang ada kaitannya sama dia. Lo milik gue Rein, gue cuma takut kalo misalnya lo bakal ada rasa lagi sama dia. Susah buat gue dapetin lo. Gue gak mau usaha gue selama ini bakal runtuh gitu aja karena adanya sebuah kenangan."

Rein memalingkan wajahnya dari Haris dan ia sedikit menghirup udara segar di taman rumahnya ketika malam hari. Ia mencoba untuk tetap tenang walau sebenarnya masih ada kekesalan di dalam hatinya.

"Ris, gue gak ada kenangan spesial sama dia. Lo juga tau, kan? Gue sama dia gak pernah nyatu. Lo gak perlu takut, gue gak bakal balik lagi ke masa itu karena gue udah ada lo di masa ini. Lo percaya, kan?"

"Gue percaya, Rein. Sorry." Haris menundukkan kepalanya sebagai tanda rasa bersalah dia. Rein tersenyum lembut dan kedua tangannya ia gunakan untuk memegang kedua bahu Haris.

"Gak papa, gue ngerti. Itu tandanya lo beneran sayang sama gue." Haris kembali mengangkat pandangannya dan ia kembali menatap wajah cantik Rein malam ini.

"Maafin gue ya, Rein?

"Iya, maafin gue juga."

Haris menatap kado yang masih ia pegang itu dan ia langsung memberikannya pada Rein. Rein menatap kado itu dengan penuh tanda tanya. "Ini apa?"

"Lo buka aja dulu." Rein pun membuka tutup kotaknya dan mengelurkan isinya. 3 buah novel baru kini sedang Rein pegang. Satu novel yang sama dengan Novel yang Haris ambil darinya tadi siang, dan sisanya adalah novel yang belum Rein dapatkan sebelumnya.

"Gue sengaja ganti sama yang baru biar nama pemerannya bukan Rein sama Sakti lagi." Rein hanya tertawa mendengarnya. Haris ini terlalu niat, pikirnya.

"Terus, kok lo tau kalo gue lagi pengen 2 novel ini?" Tanya Rein heran karena dia memang tidak pernah memberitahukan tentang novel yang sedang ia inginkan itu kepada Haris.

"Rahasia, dong."

"Pasti tau dari Sheril, ya? Ayo ngaku! Soalnya gue cuma pernah cerita tentang novel ini sama dia doang."

"Iya iya lo bener, gue emang tau dari Sheril." Haris akhirnya mengakui semuanya. "Kan? Ih. Tapi gak papa deh, makasih ya Haris. Aaah makin sayang deh."

Haris membalas pelukan Rein ketika gadis itu memeluknya. Senyuman terlukis di bibir mereka masing-masing setelah mereka kembali berdamai seperti ini. Ini semua melegakan dan membuat mereka berdua sama-sama merasa senang.

• • •

Rein keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya dengan kedua tangannya.

"Pantes aja sakit," monolog gadis itu seraya berjalan ke arah laci dan membuka laci yang paling bawah. Ia mendengus sebal ketika ia tidak melihat benda yang ia cari dan seharusnya memang ada di sana.

"Terus gimana, dong? Kalo gue beli sekarang yang ada keburu … ahhk!" Rein turun ke bawah untuk menemui ibunya. "Mamih …."

"Kenapa, Sayang?" Ibunya yang saat itu sedang membaca majalah langsung mengalihkan atensinya pada putrinya.

"Mamih ada pembalut, gak? Punya Rein abis. Ini mau beli tapi takut bocor di jalan, kan berabe kalo misalnya kek gitu."

"Gak tau juga Mamih, coba kamu cari sendiri! Siapa tau masih ada." Rein langsung memasuki kamar ibunya dan akhirnya ia pun menemukan benda yang ia butuhkan.

"Ada, gak?" Tanya Nayra ketika melihat anak gadisnya itu sudah keluar.

"Ada satu lagi. Rein ambil ya, Mih." Rein langsung kembali ke kamarnya untuk melakukan sesuatu yang harus ia lakukan tersebut.

Setelah selesai dengan kegiatannya, ia berniat untuk membeli pembalut di minimarket yang letaknya tak terlalu jauh dari rumahnya. Waktu yang diperlukan untuk sampai sana adalah 10 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Saat ia baru saja sampai depan rumah, ia melihat Haris yang kala itu baru sampai di rumahnya. "Loh, Rein. Lo mau ke mana?"

"Minimarket," jawab Rein singkat.

"Ya udah gue anter."

"Jangan pakek motor, ah, jalan aja!" Rein berjalan lebih dulu dan Haris pun langsung mengikutinya dari belakang.

"Tumben maunya jalan kaki aja."

"Masalah?"

"I-iya enggak, sih." Haris melihat wajah Rein yang saat itu terlihat tidak seperti biasanya. Wajahnya terlihat malas dan dari tadi bicaranya tidak bisa santai.

Selama mereka berjalan, Haris beberapa kali melihat Rein memegangi pinggang dan perutnya. "Lo kenapa sih, Rein?"

"Udah diem, ah! Lagi males banyak ngomong."

"Iya nih gue diem."

Sesampainya di minimarket, Haris tidak lepas dari Rein. Ia terus mengikuti ke mana langkah kaki gadis itu pergi.

"Haris, ambilin dong! Gak nyampe. Ambilinnya 4, ya!"

"Eumm … pendek!" Rein menatap Haris seperti tatapan ingin menelannya hidup-hidup. "Pantes aja gak bisa santai dari tadi. Eh, ini gak salah? Banyak banget." Haris memasukkan pembalutnya ke dalam keranjang yang dibawa oleh Rein.

"Kan namanya juga nyetok."

Saat Rein hendak melangkah menuju kasir, Haris langsung menahannya. "Cuma beli itu doang?" Rein hanya mengangguk mengiyakan. "Beli cemilan atau apa kek gitu."

Rein tidak meresponnya sama sekali, ia benar-benar malas untuk banyak berbicara hari ini. Haris pun langsung menggandeng Rein dan membawanya ke arah rak cemilan. Rein langsung mengambil beberapa dan memasukannya ke dalam keranjang yang kini tengah dibawa oleh Haris.

"Apa lagi? Minumannya mau, gak?"

Setelah semuanya selesai, mereka berdua pun berjalan ke arah kasir untuk membayar belanjaannya. Rein hendak mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya namun Haris langsung menahannya. "Gue aja yang bayar."

"Gak us-"

"Sssttt …!" Setelah sang kasir menyebutkan totalnya Haris pun langsung membayarnya. Mereka berdua langsung keluar dari minimarket setelah semuanya selesai. Haris membawakan belanjaan Rein seraya menggandeng Rein dengan tangan kirinya.

"Malam ini kita mau kumpul di rumah gue. Entar gue jemput lo, ya."

"Oke. Haris, gue haus.." Haris langsung mengambil 1 botol yogurt di dalam kantong plastik belanjaanya dan membukakan tutupnya untuk Rein. "Capek, kan? Udah gue ajak naik motor aja tadi malah gak mau."

"Lagi pengen jalan aja." Rein memberikan kembali yogurt itu pada Haris setelah ia meminumnya karena tutupnya masih ada pada Haris. Sebelum Haris menutup botolnya, ia sempat meminumnya juga. "Padahal itu ada satu botol lagi, Ris. Kenapa lo minum yang bekas gue?"

"Ya, gak papa, gue cuma mau minum dikit aja gak banyak."

Sesampainya di rumah, Rein menyimpan dulu barangnya ke kamar lalu menghampiri Haris yang sedang menunggunya di balkon.

"Lo udah makan belum, Ris?" Tanya Rein setelah ia duduk berhadapan dengan Haris.

"Udah, kok. Lo belum, ya?" Rein hanya mengangguk kecil. "Makan dulu, dong!" Rein menggeleng pelan.

Haris mencubit lama hidung Rein sampai hidungnya memerah. "Bandel banget cewek gue."

Rein masih terus terdiam dengan dagunya yang ia tompangkan di kedua tangannya. "Malah diem lagi."

"Males makan, males ngomong, males ngapa-ngapain. Maunya liatin lo doang." Haris menatap Rein aneh, ia bertanya-tanya dalam hatinya apakah ini benar-benar Rein pacarnya? Ia baru tahu jika Rein sedang didatangi oleh tamu bulanan sifatnya menjadi seperti ini.

"Dih." Haris kemudian mengikuti apa yang Rein lakukan, ia juga sama menatap bola mata Rein dengan dagunya yang ia tompangkan juga. Tapi, tiba-tiba …,

'Brak!!!'

"Astaga!"

•To be Continued•