webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · その他
レビュー数が足りません
63 Chs

UF2568KM|| 49

"Barra!" Pria itu menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Ia melihat beberapa orang di salah satu meja kantin melambaikan tangan mereka kepadanya. Ah, tidak juga. Salah satunya terlihat terdiam saja dan hanya menatapnya dari sana.

"Ke sana, yu! Mereka temen-temen aku." Seorang gadis yang tengah memeluk erat lengannya pun mulai memperhatikan orang-orang tersebut yang masih saja menatap ke arah mereka seakan mengisyaratkan mereka untuk datang dan bergabung.

"Jangan ah, Barra! Kita berdua aja."

"Aku udah lama juga gak ngumpul sama mereka, Chaer." Chaerin otomatis menatap wajah pria itu dengan tatapan menuntutnya

"Kamu gak mau nurutin permintaan aku? Aku gak mau gabung sama mereka, Barra. Ya udah sih kalau kamu mau gabung sama mereka ya udah, aku pulang aja kalo gitu." Chaerin melepaskan tangannya yang kala itu memeluk lengan Barra dan pergi begitu saja meninggalkan kantin.

Barra terdiam sejenak sebelum ia pergi menyusul gadis itu. Ia sempat memberikan bahasa tubuh kepada mereka yang memanggilnya tadi seakan-akan ia meminta maaf karena ia tidak bisa duduk bersama mereka.

"Chaer! Chaerin!" Barra sedikit berlari untuk mengejarnya karena gadis itu sudah berjarak lumayan jauh darinya. Hingga setelah ia berhasil menyamakan langkah mereka, tangannya bergerak untuk menahan gadis tersebut. "Mau ke mana, sih? Iya ya udah kita berdua aja."

Barra hendak menarik gadis itu untuk kembali ke kantin, tapi rupanya tidak ada pergerakan yang terjadi karena Chaerin sama sekali tidak melangkahkan kakinya untuk menerima ajakan dari Barra.

Barra menghela napasnya pasrah lalu ia menatap wajah gadis itu yang terlihat kesal. "Ya udah, kamu mau apa sekarang, Chaer?"

"Aku mau makan di tempat lain aja, gak mau di kantin." Barra tersenyum lembut dan ia mengangguk pelan untuk mengiyakan permintaan dari gadis itu. Mereka berdua pun langsung pergi meninggalkan kampus dan pergi ke tempat lain.

Sedangkan itu di tempat lain, Bastian dan yang lainnya menatap heran pada Barra ketika pria itu pergi untuk mengejar kekasihnya tersebut. Bibir mereka terasa gatal dan akhirnya mereka memberikan tanggapan tentang apa yang telah mereka lihat.

"Keknya ceweknya gak mau diajak ke sini, deh, makanya dia pergi ninggalin si Jongos," celetuk Sakti sebagai orang yang pertama kali memberikan tanggapannya.

"Hooh, tadi juga gue liat muka si ceweknya pas natep kita-kita itu kek gimana ya, kek ada aura aura gak punya duit gitu." Bastian yang berada di samping Jian otomatis melayangkan pukulannya pada temannya yang kini sudah kehilangan seluruh kewarasannya itu.

"Apa hubungannya, Bangke?!" Kesalnya.

"Rein, lo kenal sama pacarnya, gak?" Tanya Jian pada seorang gadis yang sedari tadi terlihat berdiam diri seraya memperhatikan mereka.

"Enggak, gue gak kenal," balas Rein seadanya. Karena ya, dia juga tidak mengetahui siapa namanya dan dari fakultas mana ia berasal.

Sakti mencabut sebuah tisu dan memberikannya pada Rein karena ia melihat ada sedikit noda makanan di sudut bibirnya. Rein yang mengerti akan hal itu ia pun menerima tisu tersebut dan langsung mengelap bibirnya.

"Cantik-cantik makannya belepotan," ejek Sakti yang diiringi dengan kekehannya. Rein mengerling pada sakti yang duduk di sebelah kanannya. "Rein, habis dari sini anter gue, ya?"

Rein mengernyitkan keningnya heran. Ke mana Sakti akan membawanya jika ia menerima permintaannya itu. "Ke mana?"

Sakti tersenyum dan ia mendekatkan bibirnya pada telinga Rein dan berbisik di sana. "Ke rumah nyokap gue."

"Oh, nyok-mphh!" Sakti langsung membekap mulut Rein dengan tangannya agar gadis itu tak mengatakan tentang apa yang telah dibisikkan padanya.

"Jangan diomongin, Rein!" Bastian dan Jian hanya menatap mereka heran. Sebenarnya mereka penasaran juga dengan apa yang telah dibisikkan Sakti pada Rein.

"Lo berdua mau ke mana?" Tanya Bastian dengan tatapannya yang penuh selidik ke arah mereka berdua.

"Ada, deh."

"Lo mau bawa kabur dia, ha? Entar si Haris ngamuk baru tau rasa, lo," timpal Jian.

"Ya kagak lah, Setan! Gue cuma ada urusan negara aja. Yoi, Rein?" Sakti menatap Rein dengan alisnya yang ia angkat sebelah.

"Iya deh, ayo!" Akhirnya Rein bersedia untuk menuruti permintaan Sakti. Tidak mungkin jika ia menolaknya karena pria itupun selalu bersedia menolongnya jika ia memerlukan bantuan darinya.

Sakti dan Rein menghabiskan makanan dan juga minuman mereka terlebih dahulu, setelah itu mereka pamit pada Bastian dan juga Jian untuk pergi lebih dulu.

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran untuk mengambil motor Sakti yang terparkir di sana. Selama mereka berjalan menuju tempat itu, mulut mereka tidak bisa diam alias mereka terus berbincang-bincang di sela-sela langkahnya.

"Sakti, emang kenapa, sih? Kok Bastian sama Jian gak boleh tau kita mau pergi ke mana?" Tanya Rein penasaran ketika ia mengingat pria itu membekap mulutnya ketika ia akan mengatakan sesuatu yang telah dibisikkan padanya sewaktu di kantin tadi.

"Gak papa, sih. Gue tau entar mereka ngecengin gue kek waktu itu, bilang gue mau nyusu lah apalah." Rein tertawa mendengarnya. Bastian dan Jian pernah bicara seperti itu? Tanyanya dalam hati.

"Iya, ya? Sakti, lo mau nyusu?" Tanya Rein dengan tawanya yang masih tersisa itu dan bermaksud untuk bercanda dengan mengikuti apa yang pernah dikatakan oleh Bastian dan Jian padanya.

Sakti hanya menatap gadis itu dengan ekor matanya. Ia membiarkan gadis itu untuk tertawa dulu hingga pada akhirnya …,

'sret'

Sakti menarik Rein dan menghimpit kepalanya dengan ketiaknya. Kali ini giliran Sakti yang tertawa ketika ia melihat Rein meronta-ronta ingin dilepaskan. Sakti tidak menghiraukan itu, mereka tetap berjalan dengan posisi seperti itu dan berhasil menjadi pusat perhatian semua orang. Pria itu masih belum berminat untuk melepaskannya sebelum mereka sampai di parkiran.

Setelah mereka sampai di parkiran, Sakti baru melepaskan gadis itu. Rein sedikit sempoyongan ketika ia baru dilepaskan oleh Sakti, kepalanya menjadi terasa sedikit pusing.

'PLAK!'

Rein menampar keras punggung Sakti sedangkan pria itu hanya mengeluarkan kekehan tak berdosanya itu. "Pusing tau?!"

Sakti memberikan salah satu helm pada Rein dan mereka pun memasangnya secara bersamaan. Perlahan Sakti mulai mengeluarkan motornya dari banyaknya barisan motor lain yang ada di sana. Ia sangat hati-hati dan berusaha agar tidak menabrak atau menyenggol motor lain yang ada di dekatnya.

Setelah motornya berhasil lepas dari desakan motor lain, Rein langsung menduduki bagian belakang dan mereka memulai perjalanan mereka.

Mereka hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam setengah untuk sampai di rumah ibunya Sakti. Setelah mereka sampai, Sakti langsung mengajak Rein masuk.

Mereka berdua melihat seorang wanita paruh baya yang tengah tertidur di ruang tengah. Rein membuntuti Sakti di belakangnya ketika pria itu mendekat ke arah ibunya yang tengah tertidur di atas sofa.

"Gimana, Sakti?" Sakti menggeleng pelan dan ia menarik Rein menuju ke arah dapur. Sakti bermaksud membuat minuman untuk Rein dan juga dirinya.

"Setelah ibu gue cerai sama bapak gue, dia emang jadi sering sakit-sakitan, Rein." Sakti sedikit menjelaskan tentang kondisi ibunya selama ini pada Rein di sela-sela ia membuat minuman.

"Dia di sini tinggal sendiri?" Tanya Rein karena ia penasaran juga mengapa rumah ini terasa begitu sepi. Sakti meletakkan minuman di hadapan Rein yang kala itu sedang duduk di salah satu kursi meja makan sebelum ia menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut gadis itu.

"Enggak, dia udah nikah lagi, kok. Cuma ya … gak punya anak lagi aja, terus bokap tiri gue kan kerja dan dia pulangnya juga malem. Jadi, kalo siang ya nyokap sendirian di rumah." Rein mengangguk mengerti akan apa yang dikatakan oleh Sakti.

"Uhuk uhuk!" Rein dan Sakti langsung menoleh pada seseorang yang tiba-tiba saja berjalan mendekati mereka.

"Mah," Sakti berjalan mendekat ke arah ibunya dan ia langsung memeluk ibunya tersebut. Tangan wanita yang sudah tak lagi muda itupun mengusap sayang surai hitam anaknya yang kini telah tumbuh dewasa.

Rein tersenyum haru melihat interaksi antara ibu dan anaknya itu. Rein kagum pada Sakti, meski dirinya dikenal nakal dan langit hitam merupakan dunianya, ternyata … ia dapat bersikap selembut itu terhadap ibunya.

"Uhuk uhuk!" Mendengar ibunya kembali terbatuk, Sakti membawa ibunya untuk duduk dan ia mengambilkan air minum untuknya. Lagi-lagi Rein dibuat kagum dengan hal itu, ia tak pernah menyangka jika Sakti bisa menjadi selembut ini.

Ibunya Sakti beralih pada Rein yang sedari tadi hanya terdiam dan memperhatikan mereka. Rein yang merasa jika dirinya sudah mulai diperhatikan pun ia berdiri dari duduknya dan tersenyum ramah pada ibunya Sakti seraya ia menyalaminya.

"Hallo Tante, perkenalkan nama saya Rein, saya adalah temannya Sakti." Wanita paruh baya itu tersenyum hangat kepadanya.

"Mama kira dia pacar kamu, Nak."

•To be Continued•