webnovel

Rahasia

Beberapa hari setelah kasus pembunuhan yang terjadi di laboratorium IPA sekolah mereka, sekolah kembali dijalankan seperti biasa. Namun bedanya, aura gelap itu masih ada di sana. Beberapa orang masih takut untuk datang ke sekolah, dan sebagian besar tetap datang dan menjalani kehidupannya seperti biasa. Dan ruang lab. itu akan ditutup untuk sementara sampai beberapa minggu ke depan.

Andi tahu tentang itu, dan pria itu menyuruh Nara untuk segera pindah sekolah karena ia merasa sekolah itu sudah tidak layak untuk ditempati oleh anaknya. Namun Nara menolak dengan tegas. Ia berkata bahwa ia ada urusan penting yang harus dituntaskan di sana. Dan Dimas pun turut membantu dan meminta pria single parent itu untuk membiarkan Nara tetap sekolah di sana hingga lulus nanti. Karena Dimas yang meminta, Andi menurutinya. Pria itu juga tidak ingin hubungannya dengan orangtua Dimas terputus hanya karena menolak permintaan anak mereka.

Dimas memperhatikan sahabatnya yang sedang duduk di sebelahnya. Sejak tadi pemuda di sebelahnya itu hanya diam menatap kosong ke arah depan. Menatap papan tulis yang bersih tanpa goresan spidol. Nara mulai berubah sejak si pengirim surat itu datang di kisah hidupnya. Dulu Nara adalah orang yang ceria, kini sahabatnya itu sering murung dan mengeluh sakit kepala. Sebagai sahabatnya, ia ingin membuat Nara kembali sepertinya yang dulu. Ceria dan murah senyum. Tidak menjadi pendiam seperti ini.

Pikirannya terganggu. Pemuda berambut putih itu datang menghampiri bangkunya bersama Nara. Dengan senyuman yang ia anggap memuakkan, pemuda bermata sayu itu dengan seenaknya duduk di kursi yang ada di depan Nara. Memanggil nama Nara dan akan semakin tersenyum saat sapaannya dibalas. Aneh. Dimas berpikir anak ini begitu aneh. Alvin berperilaku seakan-akan sudah mengenal Nara sejak lama.

"Nara," Panggil Dimas dan Nara menoleh, mengabaikan Alvin di depannya yang sedang menanyakan sesuatu tentang sarapan Nara. "Ayo, ke kantin. Nanti keburu penuh." Dan Nara mengangguk.

"Aku ikut." Pemuda berambut putih itu ikut berdiri saat Nara dan Dimas hendak beranjak ke kantin. "Boleh, 'kan?"

Dimas sebenarnya merasa terganggu dan ingin menolaknya, tapi saat Nara mengizinkan anak itu untuk bergabung dengan mereka, ia hanya diam saja. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Nara saat ini. Ia penasaran.

Mawar yang biasanya bersama Alvin kini sedang tidak masuk sekolah. Gadis itu masih takut dengan kejadian beberapa hari silam yang terjadi di sekolah mereka. Jadilah Alvin sendirian dan memutuskan untuk bergabung bersama Nara. Hanya ingin dengan Nara, karena ia sama sekali tidak menyukai Dimas. Ia merasa selalu diintimidasi oleh pemuda tan itu.

Di perjalanan menuju kantin, setiap kali ia mengajak Nara mengobrol, Dimas selalu memotong pembicaraannya dan membuat Nara mengalihkan perhatian darinya. Membuatnya diabaikan. Ia tahu Dimas sengaja melakukan itu. Ia juga tahu bahwa Dimas sangat tidak menyukainya. Dan ia juga tahu,

Nara pun demikian.

Tapi itu tidak masalah untuknya asal ia bisa berteman dengan Nara. Ia tertarik dengan pemuda itu. Ia sangat ingin menjadi temannya. Ada beberapa hal yang Nara miliki membuat Alvin sangat ingin bersamanya. Dan pemuda berambut kecoklatan itu juga pernah membelanya. Membuatnya merasa dianggap ada, karena selama ini ia selalu sendirian. Walaupun ada Mawar yang selalu di dekatnya, tapi ia tahu gadis itu hanya mendekatinya untuk keuntungannya sendiri. Tidak tulus. Tapi jika Nara, ia sangat tahu bahwa teman sekelasnya itu adalah orang yang sangat tulus.

Mereka sampai di kantin. Kali ini tempat itu tidak begitu penuh seperti biasanya. Ada beberapa meja kosong di sana. Nara melangkah bersama dua orang lainnya menuju sebuah meja kantin yang kosong. Duduk di sana dan mulai berpikir akan memesan apa.

Dimas berdiri. Kali ini ia yang berinisiatif untuk memesankan makanan. Sebenarnya ia sedikit tidak rela karena harus memesan makanan Alvin juga. Tapi mungkin sedikit mengerjainya tidak apa, 'kan?

Pemuda berkulit tan itu kembali beberapa menit kemudian. Matanya melirik Alvin yang tengah mengajak Nara bicara, dan sahabatnya itu hanya menanggapinya dengan singkat. Dimas menaruh nampan berisi tiga porsi makanan yang ia pesan sesampainya di meja dan membagikannya pada masing-masing pemesan.

"Itadakimasu." Ucap Alvin pelan dan  mulai memakan makanannya. [Selamat makan.]

Dimas meliriknya dan terus menatapnya. Menunggu reaksi dari pemuda putih yang duduk di depan Nara. Dan ia menyeringai dalam hati saat melihat si murid baru tersebut terdiam setelah memakan sesuap.

Alvin menelan makanannya. Kemudian menatap Nara di depannya. "Makanannya sedikit pedas, ya." Lapornya. Nara hanya berdehem dan mengangguk pelan untuk menanggapinya sambil tetap memakan makanannya. "Punya Nara pedas?"

Peduli amat. Pikir Dimas. Ia memang sedikit menambahkan sambal pada makanan milik Alvin, padahal anak itu sudah bilang untuk tidak memakai sambal di makanannya sebelum Dimas memesan.

Pemuda tan itu tercekat. Alvin menatapnya. Memang bibirnya tersenyum, tapi tatapannya jauh lebih dingin dari biasanya. Firasatnya tidak enak. Jelas saja anak itu pasti tahu ia mengerjainya. Toh, ia juga ingin memberitahunya bahwa ia tidak suka jika Alvin berada di kelompoknya bersama Nara. Setelah itu, Alvin mengalihkan pandangannya lagi dan melanjutkan acara makannya.

Hingga sekolah usai pun pemuda berambut putih itu tetap mengikuti mereka. Dan Dimas semakin risih dibuatnya. Tapi ia hanya bisa diam karena ternyata Nara memiliki rencana sendiri dengan membiarkan Alvin berada di sisinya. Jadi ia hanya menuruti kemauan sahabatnya itu.

Mereka sudah berada di pertigaan dan akan berpisah ke arah yang berbeda. Alvin berbelok ke jalan lain setelah pamit pada Nara. Sekali lagi hanya pada Nara. Dan pemuda putih itu melambaikan tangannya.

"Alvin," Panggil Nara tiba-tiba saat Alvin sudah jauh beberapa meter darinya berdiri. Alvin menoleh. "Gue boleh ke tempat lu?" Nara tahu, jika ia tiba-tiba ingin mengunjungi tempat Alvin tinggal, anak itu pasti akan curiga padanya dan tidak akan  mengizinkannya.

Alvin diam, menatap Nara dalam. Kemudian ia berpikir, dan pada akhirnya menggelengkan kepalanya.

"Nggak bisa. Maaf." Ucapnya pada akhirnya. "Aku mau ke tempat lain dulu. Mungkin lain kali? Dah." Dan kemudian berbalik pergi.

Nara memperhatikannya hingga pemuda bermata sayu itu hilang dari pandangannya. Ia tahu, Alvin akan pergi ke tempat ibunya berada. Ia pernah mengikuti Alvin hingga ke sebuah Rumah Sakit Jiwa, dan Almarhum Pak Guntur pernah berkata bahwa ibu Alvin berada di tempat itu. Berarti selama ini Alvin berkunjung ke sana untuk melihat ibunya. Lalu bagaimana dengan ayahnya? Beliau berada di Indonesia-kah? Atau berada di kampung halamannya, Jepang?

***

Alvin sampai pada sebuah pintu bercat putih. Menghela nafas sebelum ia memegang pegangan pintu di depannya. Namun sebelum ia benar-benar membukanya, suara debuman di pintu terdengar di telinganya. Sedikit tersentak karena sebelumnya tidak ada yang pernah berkunjung ke kamar itu selain dirinya. Dan pintu itu terbuka, menampilkan seorang pria bertubuh tinggi dengan mata tajamnya tengah menyeka sebuah noda merah di rahangnya dengan kain. Rahang pria itu berdarah, dan Alvin melihat ada pisau buah di lantai.

"Otou-san?" Alvin bersuara, menatap orang di depannya. [Ayah?]

Pria itu tersenyum tipis begitu melihat anaknya yang memiliki rambut dengan warna yang unik ada di hadapannya, kemudian melenggang pergi setelahnya. Pria itu berkata bahwa ia akan menunggunya di depan Rumah Sakit, tepat di tempat mobilnya terparkir, sebelum dirinya benar-benar pergi dari sana.

Pemuda putih itu menatap kepergian ayahnya, dan kemudian memasuki sebuah ruangan bernuansa putih yang ditempati oleh seorang wanita lusuh. Itu ibunya. Ia menutup pintu dan mengobrol dengan wanita itu seperti biasanya. Bercerita tentang sekolahnya dan segala hal yang ia lakukan. Walaupun ia tahu ibunya tidak akan pernah menanggapinya, tapi ia pun tahu kalau wanita itu tetap mendengarkan.

Wanita berumur sekitar tiga puluhan itu menatap kosong pada sebuah taman melalui jendela di kamarnya. Telinganya mendengar tentang yang diceritakan oleh anaknya, namun pikirannya selalu random. Ia sebenarnya tidak benar-benar mengalami sakit jiwa, tapi seseorang memasukkannya ke tempat ini karena sudah melakukan hal yang tidak wajar sebagai seorang ibu pada anaknya. Orang itu adalah ayah dari anaknya.

Saat umurnya masih delapan belas tahun, dengan pergaulannya yang bebas, ia membuat sebuah kesalahan selama hidupnya. Pada hari itu, tengah malam, ia kabur dari rumahnya bertengkar dengan kedua orangtuanya saat itu, kemudian ia bertemu dengan teman-temannya. Beberapa kali meneguk minuman keras dan menerima tawaran dari teman-temannya di saat dirinya tengah mabuk. Walaupun ingatannya samar, setidaknya masih ada sedikit memori yang tersisa.

Teman-temannya menawarinya melakukan sesuatu untuk sebuah barang yang sangat diinginkan wanita itu. Salah satu dari teman-temannya itu membawanya ke sebuah tempat mewah. Ibu Alvin yang masih muda saat itu dipinjami pakaian bagus oleh temannya. Dan di tempat itu, mereka berdua bertemu dengan seorang wanita berumur 35 tahun ke atas sambil membawa seorang pria asing. Dan kemudian berakhirlah dengan ia yang mendapatkan laporan dari seorang dokter bahwa ia tengah mengandung anak saat ia dan ibunya konsultasi tentang keluhan yang ia derita.

Sejak itulah, ia dikucilkan oleh kerabatnya dan diusir dari rumahnya. Mendiami sebuah kamar rusun yang disewa ayahnya. Ia depresi. Tidak ada yang mau menerimanya di sana. Berkali-kali ia mencoba menggugurkan kandungannya sendiri, namun itu selalu gagal. Tentu saja. Bayi di kandungannya sangat ingin hidup dan melihat dunia, walaupun itu tidak akan seindah ekspetasinya. Dan pada akhirnya ia menyerah. Melahirkan anak laki-laki dan membesarkannya sendiri.

Ia kelelahan karena pekerjaannya. Juga karena caci maki orang-orang sekitar. Dan ia melampiaskannya pada anak kandungnya sendiri. Padahal itu adalah hasil kesalahannya di masa lalu. Dan ia sendiri tidak ingin mengambil resiko atas hal yang diperbuatnya.

Pemuda berambut putih itu bangkit dari duduknya. Memeluk wanita itu walaupun ia tahu hal itu tidak akan dibalas olehnya.

"Jangan sentuh gue." Ucap wanita itu dingin dan kasar, tapi Alvin sudah terbiasa. Alvin melepaskan pelukan pada ibu kandungnya. Ia tidak paham alasan wanita itu selalu membencinya.

Alvin bangkit dan berlalu pergi setelah pamit pada ibunya yang masih menatap kosong taman di luar kamarnya. Menutup pintu dan menatap sendu pada pintu bercat putih itu, kemudian pergi dari sana untuk menemui ayahnya.

***

Pagi hari yang suram. Entah pertanda hujan atau sesuatu. Membuat sekolah kembali terlihat lebih menyeramkan dari biasanya.

Pemuda putih itu melangkah memasuki gerbang sekolah. Menjadi pusat perhatian di setiap langkahnya dan banyak pula yang mulai berbisik tentangnya. Tidak apa, ia sudah biasa.

Beberapa langkah di depannya ia melihat seseorang yang selama ini ingin dijadikannya teman. Orang yang ia ingin bersamanya. Namun satu orang yang tidak ia sukai selalu bersama orang itu. Selalu berada di sisinya. Menghalangi interaksinya bersama pemuda dengan rambut kecoklatan yang benar-benar ingin ia jadikan teman. Sahabat kalau bisa.

Langkahnya dipercepat sehingga dapat menyusul kedua teman sekelasnya. Kemudian menyapa salah satu di antara keduanya, membuat jengkel satu pemuda lainnya.

"Ayo, ke kelas bareng!" Ucapnya pada Nara dengan sedikit ceria. Berdiri di antara Nara dan Dimas. Membuat si pemuda berkulit tan semakin jengkel dengan kehadirannya.

Nara tersenyum dan mengiayakan. Ia pikir, mungkin jika ia dekat dengan pemuda putih itu, bisa memudahkannya mencari informasi tentangnya. Jadi ia membiarkannya untuk bergabung dengan dirinya dan Dimas.

Kelas sudah ramai, padahal jam masih menunjukkan pukul tujuh pas. Nara dan kedua orang lainnya memasuki kelasnya yang berisik karena seluruh murid di kelas itu saling mengobrol. Mereka pun duduk di kursi masing-masing dan menaruh tasnya di atas meja.

Mawar datang menghampiri Alvin. Ia terlihat sangat senang saat bertemu dengan pemuda putih itu. Kemarin ia tidak datang ke sekolah, tapi dipikir lagi ia merindukan pemuda putih itu.

Gadis berambut pendek itu duduk di sebelah Alvin yang baru saja hendak duduk di kursinya setelah menaruh tasnya di atas meja. Dan dengan ramah Mawar menyapa Alvin.

"Mungkin aku pindah duduk ke sini aja kali, ya?" Ujarnya membuat Alvin menatap gadis itu dengan alis yang sedikit menukik. Nyaris tidak terlihat, tapi Alvin benar-benar merasa tidak suka. Walaupun begitu, ia tetap diam. Setidaknya dia harus terlihat baik di depan Nara agar pemuda itu bisa menjadi temannya.

Si pemuda berambut putih melirik Mawar yang sibuk bercerita seputar kesehariannya kemarin di rumah, dan Alvin hanya menyahut seperlunya jika gadis itu meminta pendapatnya tentang sesuatu. Kemudian ia melirik Nara. Melihat pemuda itu sedang sesekali tertawa sambil mengobrol dengan si pemuda tan. Ia tidak suka. Nara tidak pernah tertawa jika sedang di sisinya.

Mungkin jika Dimas tidak ada, Nara bisa tertawa seperti itu bersamanya?

***

Langit kelabu, dan sesaat kemudian turunlah butir-butir air langit dengan deras. Kini mereka yang ingin menghabiskan jam istirahat tidak bisa menggunakan taman maupun lapangan outdoor dan hanya bisa terdiam di tempat kering.

Nara menatap langit kelabu di atas sana. Di sampingnya, Dimas bersandar pada pagar pembatas  sambil membaca komiknya. Dan dari dalam kelas, seseorang menatap mereka. Merencanakan sesuatu.

Pemuda berambut coklat itu menghela nafasnya. Ia lapar dan tidak sempat untuk ke kantin. Hujan-hujan seperti ini ia jadi mengantuk dan enggan untuk beranjak dari tempatnya berdiri. Kemudian perutnya berbunyi, membuat Dimas mengangkat kepalanya dan menatap Nara.

"Yuk, ke kantin." Ajaknya. Dimas, sih, tidak begitu lapar karena sarapan pagi tadi ia memakan dua piring nasi goreng, tapi ia merasa kasihan pada sahabatnya itu.

Nara mengangkat bahunya. "Mager." Dan perutnya kembali berbunyi.

"Jangan mikirin mager-nya, pikirin perut lu 'tuh." Dimas memaksa, namun Nara tetap tidak beranjak. Ia malah menopang dagunya di atas pagar pembatas. Masih menatap langit.

Dan beberapa detik setelahnya, seseorang datang menghampirinya dan menyodorkan sebungkus roti rasa tiramisu ke hadapan Nara. Pemuda itu melirik si pemberi, dan mendapati Alvin tersenyum di sebelahnya.

"Ini buat kamu." Ucapnya. Nara diam, Dimas pun diam. Nara berpikir sejenak, apa tidak apa-apa untuknya menerima roti itu? Bagaimana jika sudah dicampur sianida? Tapi itu tidak mungkin melihat bungkus roti itu masih mengembung tanpa lubang. Nara mengangkat tangannya. Mungkin tidak apa menerima barang pemberian pemuda putih itu. Ia sedang membutuhkannya sekarang. Namun roti itu terlepas begitu saja dari tangan Alvin dan jatuh menuju lantai satu. Nara menatap sedih.

Ia menoleh, dan mendapati Alvin sedang beradu tatap dengan Dimas. Itu terjadi setelah bahu Alvin tersenggol oleh Dimas dan mengakibatkan roti yang akan ia berikan untuk Nara terlepas dari genggamannya dan jatuh. Sebenarnya Dimas sengaja melakukannya.

"Sorry. Enggak sengaja." Dimas membuka mulut setelah beradu tatap beberapa saat dengan Alvin. Dagunya ia angkat dan menatap rendah pada pemuda putih itu. Berusaha memberi tahunya bahwa ia tidak suka jika Alvin berada di antara dirinya dan Nara, sedangkan Alvin hanya menatap datar dengan mata sayunya.

Ia pun mengalihkan tatapannya. Kini ia menatap Nara yang juga menatapnya.

"Maaf, ya, Nara. Rotinya jatuh." Pemuda putih itu tersenyum sedih. "Lain kali aku belikan roti lagi." Dan senyuman itu melebar sebelum ia melangkah untuk kembali ke kelas.

Dimas di tempatnya menatap kepergian Alvin. Ia memang tidak menyukai pemuda itu, tapi bukan seperti ia sangat membencinya. Melainkan ia hanya merasa Alvin akan membawa pengaruh buruk pada Nara. Ia hanya mengkhawatirkan sahabatnya.

***

Hujan reda saat sekolah telah usai. Para murid pun bernafas lega karena mereka bisa segera pulang tanpa harus menunggu hujan reda ataupun nekat menerobos hujan.

Nara dan Dimas mengemasi buku-buku mereka dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian hendak beranjak keluar dari kelas. Namun sang ketua kelas menahan mereka di ambang pintu.

"Mau ke mana?" Tanya pemuda berkacamata itu sambil menatap Dimas, dan yang ditatap hanya menatapnya datar.

"Pulang, lah." Sahutnya datar. Pemuda yang menjabat sebagai ketua kelas itu pun menggeleng dan berdecak.

Ia menghela nafas. "Lu lupa hari ini piket?"

Nah. Dimas ingat, tapi ia terlalu malas untuk melakukannya. "Malas, ah." Dan ia melangkah lagi melewati si ketua kelas.

"Ehhhhhhhh!!!" Dan sang ketua menahan lengan pemuda tan itu. "Piket!"

Nara tersenyum sedikit. Ketua kelas mereka itu sedikit feminim menurutnya. Tapi bukan feminim seperti berbicara kemayu atau bertingkah seperti perempuan. Hanya saja, ia sangat cerewet dan memiliki sifat keibuan. Wajar saja jika pemuda itu dijadikan ketua kelas oleh seluruh murid di kelas itu karena sifatnya.

"Engga apa, Dimas. Mending lu piket aja, nanti emak ngamuk. Hahaha." Ia melangkah keluar, melewati keduanya. "Duluan, ya. Dah." Dan pergi meninggalkan Dimas yang kini dipaksa untuk memegang sebuah sapu oleh sang pemimpin kelas.

"Udah, sana. Bantuin yang lain."

Kegiatan membersihkan kelas berlangsung selama sekitar kurang dari setengah jam. Hanya ada tiga orang yang piket hari itu termasuk Dimas dan si gadis berambut pendek yang selalu menempel pada si murid berambut putih. Mawar. Ia bahkan tidak ingat gadis itu mendapatkan jatah piket di hari yang sama dengannya. Dan sisanya? Jelas kabur. Tapi mungkin esok paginya mereka akan mendapatkan omelan dari sang emak.

Dimas menaruh sapu di samping lemari yang ada di pojok belakang kelas bersama dengan alat kebersihan yang lain, kemudian mengambil tasnya yang ada di atas meja. Begitu ia melangkah keluar dari kelas, ia mendengar Mawar mengomel tentang cara seseorang menaruh sapu dan peralatan lain di sebelah lemari dan bukannya memasukkannya langsung ke dalamnya. Tapi ia tidak menghiraukannya dan terus melangkah.

Lantai di sepanjang koridor basah dan licin akibat hujan tadi siang. Hingga tangga menuju lantai bawah pun sama. Hujan tadi memang disertai angin sehingga membuat percikan air sampai ke tangga. Dan ia harus sangat hati-hati jika ia tidak ingin mendapatkan kecelakaan kecil atau…

Besar.

Dimas jatuh. Ia terjatuh dari lantai tempat kelasnya berada sampai di belokan tangga menuju lantai bawah, dengan suara debuman yang keras dan jeritan seorang gadis yang hendak menuju lantai atas. Kepala Dimas berdenyut sakit karena bagian tubuhnya yang itulah yang mendarat terlebih dahulu. Dan tubuhnya yang lain pun terasa sangat sakit, apalagi di bagian tangan kirinya. Gadis yang berteriak tadi pun kembali berteriak untuk meminta bantuan.

Dimas tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. Mungkin ia tidak hati-hati dengan langkahnya dan terpeleset, tapi entah kenapa ia juga merasa ada sesuatu yang mendorongnya. Namun semakin ia mempertahankan kesadarannya untuk mengingat yang terjadi sebelumnya, kepalanya semakin terasa nyeri, dan ia pun melihat melalui sudut matanya bahwa ada sesuatu bewarna merah di lantai, di bawah kepalanya. Oh, itu darah. Pemuda tan itu memejamkan mata karena ia tidak bisa menahan lagi rasa nyeri yang kepalanya terima. Dan ingatannya sampai pada suara dari beberapa orang yang datang dan mengangkat tubuhnya.

Gadis dengan rambut sebahu itu melihatnya. Mulai dari bagian awal kecelakaan itu terjadi. Benar-benar bagian awalnya. Setelah ia selesai membereskan peralatan kebersihan dan meraih tasnya, gadis itu langsung pergi keluar kelas dan melihat temannya berjalan menuju tangga. Dan kecelakaan itu pun terjadi. Juga, ia melihat sesuatu yang mengejutkannya.

***

Pemuda berambut coklat itu berdiri di samping sebuah ranjang rumah sakit tempat seorang pemuda lainnya terbaring di atasnya. Kepala pemuda di atas ranjang itu dibalut dengan perban dan di bagian hidung juga mulutnya terdapat alat bantu pernafasan. Pemuda itu belum juga sadar setelah terjatuh dari tangga di sekolah tadi sore. Dan kini malam telah datang.

Pihak keluarga dari pemuda tan tentu saja hadir di dalam ruangan itu. Di sana ada seorang wanita yang duduk di sebuah kursi di sisi ranjang lainnya, berhadapan dengan pemuda berambut coklat.

Sunyi. Hanya itu yang menyelimuti mereka sedari tadi. Sama sekali tidak ada yang membuka suara untuk mengawali suatu obrolan. Basa-basi pun tidak ada. Bahkan jangkrik di luar pun sangat terdengar.

Nara menyesal karena saat itu ia meninggalkan Dimas dan pulang. Mungkin jika ia masih di sana bersama Dimas, ia bisa menghindari kecelakaan itu. Tapi siapa yang bisa mengubah takdir selain Tuhan? Bisa saja walaupun ia bersamanya sepulang sekolah, Dimas malah terjatuh saat berada di rumah?

Ia menghela nafas, dan memutuskan untuk meminta izin pada ibu Dimas yang masih menatap anaknya itu dengan sendu. Matanya pun terlihat memerah dan sembab. Setelah itu, ia melangkah keluar dari ruangan itu dan menutup pintu kamar Dimas dirawat dengan rapat. Sekali lagi ia menghela nafas.

***

Nara baru saja memasuki kelasnya yang ramai dengan suatu perbincangan absurd teman-teman sekelasnya. Ia menatap terlebih dahulu mereka semua sebelum melangkah menuju bangkunya. Sekarang ia sendirian. Sahabatnya kini tengah berada di rumah sakit dan belum juga sadar sejak kecelakaan. Dokter berkata bahwa kepala Dimas terbentur cukup keras, jadi mungkin Dimas belum akan siuman hingga beberapa hari atau minggu ke depan.

Seseorang menarik-narik ujung seragamnya dari arah belakang. Ia menoleh kemudian berbalik. Dilihatnya seorang gadis berambut sebahu dengan wajah pucatnya berdiri di sana. Gadis itu menunduk dalam. Terlihat seperti ingin menangis.

"Aku mau bicara." Katanya pelan hampir tidak terdengar. Nara menunggu dengan bisu. Ia masih tetap menatap gadis itu. Memperhatikan gerak-geriknya. Ia dapat melihat bahwa gadis di depannya ini tengah ketakutan tentang sesuatu. Wajahnya pun semakin pucat dengan tubuh yang gemetar.

Baru saja Mawar hendak membuka mulutnya untuk kembali berbicara, mata gadis itu melirik sampingnya dan terlonjak. Dan wajahnya pun semakin memucat. Lalu setelah itu, Mawar pamit dengan tergesa, namun Nara bisa menangkap keanehan tersebut.

 Kepalanya menoleh dan mendapati teman sekelasnya yang berambut putih di sana. Tersenyum tepat di sebelahnya. Nara tidak langsung membuka suaranya. Ia hanya menatap pemuda itu dengan diam. Merasa aneh juga dengan senyuman yang ditunjukkan si pemuda putih.

"Kenapa?" Dan akhirnya ia mengawali percakapan karena tidak tahan dengan suasana hening yang melanda mereka.

Alvin terdiam cukup lama untuk menanggapi pertanyaan Nara. Namun senyuman misterius itu masih bertengger di bibirnya. "Nggak." Jawabnya singkat sambil menggeleng pelan. Dan ia merubah senyuman aneh itu dengan senyumannya yang biasa. "Kalau boleh tahu, Dimas ke mana? Biasanya bareng terus."

Tumben. Pikir Nara. Ia hanya heran tentang Alvin yang menanyai Dimas. Itu tidak biasa menurutnya. "Di rumah sakit. Kemarin kecelakaan."

"Oh." Dan kembali terdiam dengan senyuman dan tatapannya yang tertuju pada Nara. "Kalau 'gitu, aku boleh duduk sebangku sama kamu?" Kali ini Nara yang terdiam cukup lama hanya untuk menanggapi permintaan dari pemuda di sebelahnya. Kemudian ia mengangguk dan senyuman Alvin semakin mengembang. Pemuda itu segera melangkah memasuki kelas sambil menarik tangan Nara dan kemudian melangkah menuju bangku yang biasanya diduduki oleh Dimas. Ia segera duduk di sana setelah menaruh tasnya di atas meja.

Okay. Nara merasa aneh.

Kenapa rasanya anak itu selalu ingin bersamanya? Ya, memang ia tahu bahwa sejak kepindahan pemuda berambut putih itu ke sekolahnya, ia sama sekali belum pernah melihatnya berbaur dengan siswa atau siswi lainnya. Kecuali Mawar karena gadis itulah yang lebih dulu mendekati Alvin. Dan di antara banyaknya siswa dan siswi di kelasnya, kenapa pemuda itu harus memilih untuk berteman dengannya? Ia juga tidak tahu, sih. Entah teman-teman sekelasnya yang enggan berdekatan dengan Alvin, atau justru malah Alvin yang tidak mau berteman dengan mereka.

Hingga jam istirahat datang, Alvin masih menempeli Nara. Pemuda putih itu berkata bahwa dirinya sudah membuat bekal untuk mereka berdua, dan ia mengajak Nara untuk makan siang bersama. Nara setuju saja. Kasihan juga kalau harus ditolak setelah membuat bekal untuknya.

Alvin membuka kain penutup kotak bekalnya. Di dalamnya terdapat dua kotak bekal berukuran sedang. Dan begitu dibuka tutupnya, terlihatlah beberapa jenis makanan di sana. Sosis goreng yang dibentuk seperti gurita, telur dadar, potongan apel yang dibentuk seperti kelinci, juga nasi. Padahal mereka sudah menjadi murid SMA, tapi bekal yang dibawa Alvin terlihat imut.

"Ini." Alvin menyodorkan sendok pada Nara. Pemuda itu menerimanya dan berterima kasih pada Alvin, lalu ia mulai melahap makanannya. Ia hanya bisa berdoa, semoga di dalam bekalnya tidak ada racun ataupun suatu mantra negatif. Ya, dia juga tidak berhak asal menuduh seseorang yang sudah membuatkan bekal demi dirinya. Tapi entah kenapa, menu bekal ini mengingatkannya pada sesuatu.

Alvin menatap Nara sebelum ia mulai memakan bekalnya. Ia merasa senang karena bisa bersama temannya itu. Jika akan begini hasilnya, ia bisa melakukannya sejak dulu.

***

Nara sangat penasaran dengan gadis bernama Mawar itu. Padahal sebelumnya, ia sangat dekat dengan Alvin bahkan seperti perekat yang menempel pada pemuda putih itu. Namun sekarang, ia dapat melihat ada sesuatu yang aneh pada hubungan keduanya. Entah kenapa Mawar terlihat menjauhi Alvin dan enggan untuk berdekatan lagi dengannya. Gadis itu pun terlihat takut pada sesuatu. Nara bisa melihatnya. Dan Alvin sendiri semakin gemar mendekatinya hingga mengajaknya pulang bersama.

Suatu ketika, Mawar mulai mendekatinya lagi dengan cara mengirimnya pesan singkat di media sosial. Namun bukan dengan niatan seperti sebelumnya, gadis itu ingin membicarakan sesuatu saat ini.

Mawar diam-diam menuju toilet dan duduk di flush toilet. Ia pun dengan terburu mengeluarkan ponselnya dari saku jas sekolahnya. Mengetik sesuatu untuk Nara. Ia tahu tentang yang terjadi pada Dimas saat itu. Jadi ia ingin memberitahu semua yang ia lihat pada Nara.

Setiap kalimat yang ia ketik di ponselnya langsung ia kirim pada Nara, membuat pemuda itu menunggu pesan selanjutnya di bangkunya sambil mendengarkan Alvin bercerita tentang ibunya. Nara penasaran tentang hal inti yang ingin diberitahukan padanya oleh Mawar. Namun gadis itu malah bertele-tele mengenai pesannya. Gadis itu berkata bahwa ia melihatnya ketika Dimas terjatuh dari tangga. Namun karena ketakutan, mungkin saja, gadis itu jadi tidak fokus tentang pesannya. Kemudian gadis itu berkata bahwa ia melihat seseorang di sana. Dan selanjutnya belum ada pesan lagi yang masuk pada ponselnya.

"Nara," Panggil Alvin di sebelahnya. Ia sedikit merasa sedih karena Nara terlihat tidak tertarik dengan ceritanya dan terus fokus pada ponselnya. Nara menoleh pada Alvin dan menatapnya. Menunggu kalimat selanjutnya yang ingin diucapkan anak itu. Namun Alvin menggeleng. Ia enggan untuk memberitahu Nara tentang yang ia rasa saat itu. Biarlah ia menutupinya.

Namun Nara dapat melihat guratan sedih itu. Ia merasa bersalah. Bagaimana, ya? Ia juga tidak tahu alasannya untuk merasa bersalah seperti itu. Hanya saja, ada sesuatu yang membuatnya merasa kasihan pada pemuda putih di sebelahnya ini. Dan ia seperti mengalami déjà vu. Sesuatu kembali datang melewati kepalanya. Di sana ia melihat, ada seorang anak laki-laki berambut kelam yang menunduk sedih dengan mata sayunya. Anak itu yang sebelumnya sering muncul di kepalanya. Bocah dengan rambut kelam dan kalung berbentuk hexagon yang melingkar di lehernya.

Kepala Nara berdenyut, namun ia harus menahannya kali ini. Mungkin lain kali ia akan memeriksanya ke rumah sakit.

Sekitar lima belas menit kemudian, terdengar suara sirine yang semakin mendekat. Para murid pun berbondong melihat ke arah luar jendela. Nara pun penasaran. Ia beranjak dari sana, tidak mempedulikan Alvin yang menatapnya. Ia hanya ingin tahu. Dan seketika perasaan itu datang lagi. Perasaan yang selalu muncul jika ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi di sekitarnya. Perasaan yang selalu muncul jika ada seseorang terbunuh.

Kemudian Nara melihatnya. Beberapa orang membawa seorang gadis di atas tandu dan dibawa ke dalam ambulans. Nara tahu siapa itu, walaupun wajahnya sengaja tertutup dengan sapu tangan, Nara dapat melihat bahwa gadis itu adalah Mawar. Terlihat dari bros berbentuk bunga di saku jasnya. Di tangan kanannya terlihat sayatan dengan darah yang merembes keluar dan mengotori setiap lantai yang dilaluinya. Bunuh diri? Benarkah Mawar adalah gadis yang mudah menyerah seperti itu?

Nara sadar tentang sesuatu. Memangnya Mawar adalah pengguna tangan kiri, kidal? Akhirnya ia menghampiri teman sebangku Mawar yang terduduk lemas. Gadis itu terlihat shock dan mulai menangis pelan. Namun Nara akan tetap menanyainya.

Pemuda itu menepuk pelan bahu gadis itu. Gadis berambut panjang itu menoleh dan menemukan Nara tersenyum ke arahnya. Tidak biasanya Nara ingin berinteraksi dengannya, jadi ia menghapus air matanya.

"Maaf sebelumnya. Aku tahu kamu lagi sedih. Aku juga. Tapi aku mau nanya," Nara mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu dan tersenyum menenangkan. "Mawar itu kidal, ya?" Gadis itu terdiam. Ia menatap heran pada Nara. Dari mana Nara berasumsi seperti itu? Setahunya, Mawar adalah pengguna tangan kanan seperti kebanyakan orang. Gadis itu menggeleng.

Baiklah. Nara mendapatkan satu petunjuk. Kemudian sebuah pesan masuk datang ke ponselnya, dan Nara semakin yakin bahwa Mawar tidaklah membunuh dirinya sendiri. Ia dibunuh.

"Ada banyak rahasia yg harus tetap tertutup rapat. Dan gadis ini tidak boleh membongkarnya. Selamat melanjutkan permainan ini!"

Nara membaca pesan tersebut dengan serius. Tidak. Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana Mawar bisa terbunuh? Padahal orang yang selama ini ia curigai selalu bersamanya sejak pagi tadi. Dan pemuda itu tengah menatapnya dengan senyum.

***

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Arien_serancreators' thoughts