Awan mendung menghitam legam
membawa cuaca ke arah yang tidak semestinya
hujan dan terik mengurung segala ketidaktahuan
ke dalam setiap perjalanan
orang-orang yang letih
maupun yang sedang bertasbih
Arya Dahana terjun di gelanggang pertempuran antara Nyai Sembilang dan Dewi Lastri melawan Ki Ageng Merapi. Ayah dari Ratri Geni ini langsung mengambil alih pertarungan melawan Nyai Sembilang sehingga Ki Ageng Merapi tinggal berhadapan dengan Dewi Lastri.
Nyai Sembilang benar-benar terkejut ketika lelaki setengah baya berbaju serba hitam itu menahan serangannya dengan angin pukulan yang nyaris membuatnya terjengkang. Ini lawan luar biasa! Nyai Sembilang menatap Arya Dahana dengan tajam. Terdengar muridnya yang sedang bertarung sengit melawan Ki Ageng Merapi menjerit keras.
"Guru! Dia Arya Dahana!"
Nyai Sembilang yang masih mengira-ngira siapa lawannya ini langsung saja menyerang hebat dengan ilmu tertingginya. Rupanya inilah yang orang yang telah menewaskan adiknya, Datuk Rajo Bumi. Dia harus membayar nyawa adiknya. Nyai Sembilang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari Datuk Rajo Bumi menggerung keras sambil mengerahkan semua tenaga saktinya melalui pukulan dahsyat yang disebut Pukulan Kawah Kerinci. Ditambah lagi nenek tua nan sakti ini juga mengeluarkan Pukulan Kabut Sembilang yang sangat beracun. Asap hijau pekat membungkus kedua lengannya yang menyerang membabi buta Arya Dahana.
Pendekar sakti yang pernah menghebohkan dunia persilatan itu melawan Nyai Sembilang dengan hati-hati. Dia tahu sedang berhadapan dengan datuk sakti dari negeri seberang yang luar biasa. Hawa beracun itu bisa membunuh siapa saja tanpa menyentuh. Sedangkan Pukulan Kawah Kerinci itu saking panasnya membuat Ki Ageng Ciremai dan Raden Soca yang sedang bertempur di dekat mereka melompat ke belakang dan menjauh kemudian melanjutkan pertempuran dari jarak yang aman dari sambaran pukulan Nyai Sembilang.
Arya Dahana adalah laki-laki sakti yang kenyang menghirup berbagai pertarungan melawan banyak tokoh dunia persilatan di masanya. Tubuhnya kebal terhadap racun dan juga sihir. Oleh karena itu hawa beracun mengerikan dari Kabut Sembilang tak mempengaruhinya sama sekali. Sedangkan Pukulan Kawah Kerinci yang berhawa sangat panas bisa dihadapinya dengan Danu Cayapata yang sangat dingin. Pertempuran kedua tokoh ini luar biasa seru.
Arawinda terjun di gelanggang pertempuran antara Malaikat Darah melawan Ki Ageng Slamet. Tokoh wanita murid dari Si Bungkuk Misteri ini melawan dua Panglima Malaikat Darah. Ki Ageng Slamet hanya tinggal berhadapan dengan Malaikat Darah yang kontan langsung terdesak karena masih kalah ilmu kadigdayan dengan salah satu dari tokoh Delapan Penjuru Gunung itu.
Ario Langit tidak tinggal diam. Melihat Ki Ageng Semeru dikeroyok oleh Hantu Lautan dan Wida Segara, langsung saja pemuda ini terjun ke arena pertempuran dan menyerang Wida Segara yang tentu saja terkejut bukan main melihat kemunculan pemuda tangguh setengah siluman itu. Gelanggang pertempuran terpecah menjadi dua. Ki Ageng Semeru bertarung dengan sengit melawan Hantu Lautan, sedangkan Ario Langit menahan gempuran serangan Wida Segara yang ganas.
Ratri Geni bergerak mendekat. Dia melihat gerakan mencurigakan dari seorang tokoh yang mencoba mengambil kesempatan orang-orang saling bertempur untuk mengambil Kitab Langit Bumi yang tergeletak di bibir kawah. Seorang berperawakan besar namun lincah bukan main karena sebentar saja sudah sampai di bibir kawah dan nyaris meraih kitab itu kalau saja Ratri Geni tidak mencegahnya dengan melayangkan pukulan Danu Cayapata ke arah lengannya. Maesa Wulung berteriak keras saat merasakan sebuah angin pukulan dingin luar biasa hampir saja membuat lengannya menjadi beku. Tokoh dari Jipang itu berjumpalitan menghindar.
Sesuatu yang aneh terjadi. Angin pukulan dahsyat Ratri Geni yang luput sasaran tepat mengenai kitab yang tidak bergeming sedikitpun padahal posisinya sangat rawan terjatuh ke kawah. Ratri Geni terbelalak heran. Tapi tidak sempat berpikir lebih lama karena Maesa Wulung sudah menerjangnya menggunakan pukulan-pukulan keras dan kasar namun berisi hawa sakti yang menggiriskan.
Puncak Gunung Ciremai menjadi ajang pertempuran dahsyat antara para tokoh yang berseberangan niat. Belum ada tanda-tanda satupun yang kalah. Pertempuran itu cukup berimbang.
Pertarungan antara Arya Dahana dan Nyai Sembilang memang kelihatan berimbang namun sebenarnya itu lebih banyak terjadi karena Arya Dahana tidak berniat melukai Nyai Sembilang yang diracuni dendam lama kematian adiknya. Kalau saja Arya Dahana mau, dia bisa saja mengakhiri pertarungannya dengan Nyai Sembilang. Amurti Arundaya dan Danu Cayapata dalam tubuhnya sudah menyatu dengan sempurna. Belum lagi hawa saktinya yang tidak terukur tingginya karena mustika naga api dan naga air telah telah larut dalam aliran darahnya.
Arya Dahana sebetulnya datang ke keramaian ini untuk memantau putrinya. Dia tidak ingin putrinya yang gila berpetualang itu salah langkah. Tapi setelah dilihatnya Ratri Geni sama sekali tidak punya keinginan mengambil Kitab Langit Bumi padahal mudah saja bila dia ingin melakukannya, Arya Dahana bernafas lega. Apalagi setelah dilihatnya putrinya itu bisa mengatasi kepandaian lelaki tinggi besar bertenaga luar biasa besar itu.
Setelah purnama semakin tergelincir di barat dan tak lama lagi fajar akan menyingsing, keseimbangan pertempuran berubah cepat.
Ki Ageng Slamet berhasil membuat Malaikat Darah tak mampu lagi melanjutkan pertarungan karena terluka dalam setelah menerima pukulan Bhutala Dewa yang merupakan ilmu andalah Ki Ageng Slamet.
Tidak jauh di sebelahnya, Arawinda memaksa kedua Panglima Malaikat Darah terpelanting dan terjungkal begitu angin pukulan Aguru Bayanaka mengenai bahu dan paha mereka. Dengan terpincang-pincang kedua Panglima Malaikat Darah menghampiri Malaikat Darah yang tergeletak tak berdaya dan memapahnya turun.
Wida Segara bernasib sama. Murid Hantu Lautan itu terdesak hebat oleh Tarian Astadewi Ario Langit. Manusia yang dibesarkan para siluman itu harus mengakui ketangguhan Ario Langit. Jeritannya sangat kencang saat dadanya terserempet angin pukulan Tarian Astadewi. Wida Segara memuntahkan darah segar. Tubuhnya terluka dalam. Hantu Lautan yang melihat hal itu langsung meninggalkan gelanggang pertarungannya dengan Ki Ageng Semeru yang masih berimbang. Menyambar tubuh muridnya yang lemas dan berkelebat menuruni Puncak Ciremai.
Dewi Lastri masih kalah tenaga sakti dibanding Ki Ageng Merapi. Namun punya kelebihan dari beragam ilmu pukulan yang disisipi begitu banyak ilmu gaib yang diajarkan Ratu Laut Utara. Karena itu pertarungannya dengan Ki Ageng Merapi masih cukup seimbang. Namun Dewi Lastri terpaksa meninggalkan pertarungannya melawan Ki Ageng Merapi setelah melihat gurunya mengeluh pendek dan terhuyung-huyung sambil memegangi lehernya.
Rupanya tadi Nyai Sembilang hendak mengadu nyawa dengan Arya Dahana. Membiarkan saja pukulan Danu Cayapata yang mengarah ke dadanya namun segera ditarik kembali oleh Arya Dahana karena nenek sakti itu pasti tewas. Dalam kesempatan itu Nyai Sembilang berhasil mendaratkan Pukulan Kabut Sembilang secara telak ke dada Arya Dahana. Pukulan beracun itu sama sekali tidak melukai Arya Dahana. Bahkan secara hebat tubuh itu membalikkan pukulan beracun itu ke Nyai Sembilang sendiri.
Dewi Lastri membopong tubuh gurunya yang menggigil karena hawa beracun Kabut Sembilang mulai merasuk ke tubuhnya. Dewi Lastri memandang dengan mata penuh kebencian kepada Arya Dahana. Bibirnya mendesis penuh kemarahan.
"Aku akan mencarimu lagi Arya Dahana! Aku akan mencari Dewi Mulia Ratri! Aku akan membuat kalian berdua menderita setelah kubuat Ratri Geni putri kalian yang jumawa itu mati berkalang tanah!" Dewi Lastri melesat turun dari Puncak Ciremai dengan dendam yang makin memuncak.
Di tempat lain, Maesa Wulung mau tak mau harus mengakui keunggulan tenaga dan jurus-jurus pukulan Ratri Geni. Tokoh Jipang itu sudah babak belur terkena pukulan dan tendangan gadis yang sengaja membatasi tenaganya agar tokoh berangasan itu tidak sampai tewas atau terluka parah. Untunglah Maesa Wulung mempunyai ilmu kebal yang diwarisinya dari kakeknya Maesa Amuk sehingga bisa menahan semua pukulan Ratri Geni meski sekujur tubuhnya biru lebam. Dengan langkah tertatih tokoh dari Jipang Panolan itu turun dari Puncak Ciremai.
Hanya tinggal pertarungan antara Si Tua Aneh melawan Ki Ageng Ciremai yang masih berlangsung. Tubuh kedua tokoh tua itu saling berkelebatan tukar menukar serangan dan adu pukulan. Namun tak lama kemudian terdengar jeritan nyaring Si Tua Aneh yang terpental bergulingan terkena serempet pukulan Ki Ageng Ciremai. Tokoh aneh yang sudah terluka bergulingan terus hingga ke bawah gunung dan menghilang dalam kegelapan hutan.
--*********