Di sela-sela mersawa yang kehabisan hutannya
masih ada genangan rawa
yang bisa memberi minum owa-owa
tapi tak sanggup menyediakan makanannya
Pertarungan hebat itu berlangsung beberapa lama. Tidak ada yang terdesak maupun mendesak. Ratri Geni yang menggunakan jurus-jurus Pukulan Geni Sewindu sanggup mengimbangi pukulan si kakek yang mengeluarkan angin luar biasa dahsyat. Sima Braja terlihat tenang dan tak lagi khawatir akan keselamatan Ratri Geni. Harimau itu berbaring dengan santai sambil menjilati kakinya.
Kakek tua itu rupanya sudah bosan atau lelah. Sambil menggeram hebat melepaskan pukulan dahsyat seperti badai berkekuatan tinggi. Ratri Geni yang tahu kakek itu mencoba kekuatannya, tidak mau kalah. Kedua tangannya terpentang lebar menyambut pukulan badai itu. Aliran hawa sakti dalam tubuhnya secara otomatis mencampur hawa pukulan Bayangan Matahari dan Busur Bintang sekaligus. Hal yang sama sekali belum pernah dicobanya.
Dessss! Desss!
Tubuh Ratri Geni melayang ke belakang terkena dorongan hawa pukulan yang saling berbenturan. Gadis itu berjungkir balik beberapa kali dan mendarat dengan mulus di samping Sima Braja yang masih berbaring dengan santai.
Di lain pihak, tubuh kakek tua itu terlontar ke belakang dengan hebat. Kakek itu harus menyeimbangkan tubuhnya yang terhuyung-huyung saat turun ke tanah karena hawa pukulan itu mendorongnya secara dahsyat.
Kakek tua bertongkat itu bertepuk tangan dengan penuh kekaguman. Suaranya serak saat berkata memuji Ratri Geni.
"Luar biasa! Kau hebat sekali, Nduk! Jarang sekali di dunia ini yang sanggup menerima dan menahan pukulan Maruta Liwung dari Ki Ageng Semeru." Suaranya masih bergema di dalam hutan mengiringi tubuhnya yang berkelebat pergi dengan sangat cepat.
Ratri Geni tertegun. Jadi dia baru saja bertempur melawan satu dari tokoh sakti Delapan Penjuru Gunung? Wah!
Ratri Geni membersihkan tubuh dan mukanya di sungai kecil yang mengalir jernih. Inti Bumi memang luar biasa. Dia punya ketahanan tubuh yang luar biasa. Meskipun pertarungan melawan Ki Ageng Semeru membutuhkan pengerahan tenaga tingkat tinggi, namun tenaganya cepat sekali pulih. Ratri Geni sangat berterimakasih kepada Ki Ageng Waskita.
Karena berlari cepat semalam, tanpa terasa Ratri Geni sudah melihat sosok raksasa Gunung Ciremai dari kejauhan. Ah, dia terlalu cepat sampai. Tapi tak mengapa. Bukankah dia bisa berdiam beberapa hari di lereng Ciremai untuk mengetahui siapa saja yang akan hadir di puncak Ciremai? Tugas dari Ki Ageng Waskita adalah memantau keadaaan dan memastikan bahwa Kitab Langit Bumi tidak jatuh ke tangan orang selain tokoh dari Delapan Penjuru Gunung. Ratri Geni lupa bertanya kepada Ki Ageng Waskita. Setelah pemanggilan Kitab Langit Bumi di Gunung Ciremai, gunung mana giliran berikutnya untuk didiami kitab sakti itu? Eh tapi bukankah Ki Ageng Waskita menegaskan bahwa kitab itulah yang akan memutuskan gunung mana yang terpilih berikutnya?
Gadis cantik yang sangat suka berpetualang itu tiba di lereng Ciremai sore hari menjelang petang. Dia memutuskan untuk bermalam di pinggiran sungai lereng Ciremai. Tidak jauh di atas, terdapat jalan setapak menuju puncak Ciremai. Dia bisa melihat lalu lalang siapa saja yang menuju puncak gunung.
Ratri Geni membayangkan ayah dan ibunya juga hadir di sini. Alangkah menyenangkan jika sampai hal itu terjadi. Tapi Ratri Geni tidak yakin sama sekali. Ayahnya sudah bersumpah tidak akan ikut campur lagi urusan apapun di dunia. Arya Dahana hanya ingin menghabiskan sisa usia di Gua Danu Cayapata sampai akhir hidupnya bersama Dewi Mulia Ratri dan Dyah Puspita.
Pikiran nakal Ratri Geni membayangkan juga jika seandainya Sima Lodra juga ke sini lalu berjumpa dengan Sima Braja. Ah, tapi harimau putih raksasa itu adalah makhluk gaib peliharaan Ratu Laut Selatan. Sedangkan Sima Braja adalah harimau biasa. Mereka binatang yang berbeda. Tak mungkin keduanya menjadi pasangan kemudian melahirkan anak harimau yang lucu-lucu. Ratri Geni tersenyum geli.
Malam itu dihabiskan oleh Ratri Geni untuk berlatih Inti Bumi. Gadis itu sangat bersemangat untuk mencapai puncak tertinggi dari ilmu langka itu. Dia sudah merasakan efek luar biasa pada tubuhnya setelah semakin mendalami ilmu tersebut. Dia tidak boleh kalah dengan para tokoh yang akan berebut kitab pusaka. Melawan Ki Ageng Semeru, dia sanggup mengimbangi. Pertarungan memang tidak sampai usai, tapi Ratri Geni percaya diri bahwa dia tidak kalah dengan salah satu tokoh nomor wahid dunia persilatan itu.
Lagipula tugasnya bukan mencegah para penjaga gunung itu. Mereka tidak akan ikut memperebutkan kitab pusaka, namun bahkan mempertahankan agar kitab itu tidak terjatuh ke tangan orang selain mereka sendiri. Kitab itu harus berdiam di gunung berikutnya yang menunjukkan sinyal berbahaya akan meletus atau menimbulkan bencana bagi masyarakat banyak.
Renungan Ratri Geni terputus oleh getaran yang cukup kuat di kakinya. Bumi sedang berguncang. Gempa! Disusul lamat-lamat suara dentuman dari kejauhan. Lirih tapi pendengaran tajam Ratri Geni memastikan bahwa itu memang suara dentuman. Entah di mana. Ratri Geni mulai merangkai kesimpulan gunung mana berikutnya yang harus didiami oleh kitab pusaka Langit dan Bumi.
Malam dihabiskan Ratri Geni dengan bersamadi. Menghimpun hawa Inti Bumi sebanyak-banyaknya untuk kemudian dikeluarkan lagi ke tanah, pohon, sungai dan batu-batu di sekitarnya. Ilmu ini ternyata menghimpun tenaga dari semua unsur bumi, mengolahnya dalam tubuh dan mengeluarkannya lagi ke sumbernya masing-masing. Air kembali ke air. Tanah kembali ke tanah. Dan seterusnya.
Saat pagi tiba dengan sukacita di lereng gunung Ciremai yang sejuk dan segar, Ratri Geni menyudahi samadinya. Benaknya masih diliputi dengan tanda tanya. Gunung mana yang semalam menunjukkan aktifitas kegempaan dan menimbulkan dentuman. Kalau melihat dari nama-nama yang disebutkan Ki Ageng Waskita, Gunung Slametlah yang terdekat dari sini. Setelah itu Merbabu dan Merapi. Kemungkinannya ada pada tiga gunung itu saja. Semeru terlalu jauh kalau sampai terasa getarannya hingga ke sini. Apalagi Agung, Rinjani dan Kerinci.
Terdengar langkah kaki tersaruk-saruk di jalan setapak menuju puncak. Suara langkah kaki yang cukup banyak. Dalam sekejap tubuh Ratri Geni melesat ke atas dahan tertinggi dari sebatang pohon raksasa di pinggir sungai. Dia ingin melihat dengan lebih jelas.
Serombongan orang berikat kepala merah darah menelusuri jalan setapak. Ratri Geni mengingat-ingat. Rasanya dulu ayahnya pernah bercerita tentang sebuah perkumpulan yang ciri khasnya ikat kepala merah. Ah! Perkumpulan Malaikat Darah! Dia pernah mengalahkan nenek tua pemimpin perkumpulan itu tempo hari. Ratri Geni mencatat dalam hati. Tak lama kemudian muncul tiga rombongan besar yang jaraknya cukup berjauhan. Melihat umbul-umbulnya, Ratri Geni yakin kedua rombongan itu berasal dari Pajang, Jipang dan Sumedang Larang. Disusul kemudian rombongan-rombongan kecil yang kemungkinan adalah padepokan-padepokan silat entah dari mana.
Ratri Geni terus mencatat dalam hatinya. Dia belum melihat kemunculan tokoh-tokoh muda sakti yang pernah bentrok dengannya. Raden Soca, Gadis Penebar Maut, Ario Langit, pasti akan hadir di sini. Ini kesempatan langka dan jarang terjadi. Orang-orang itu mungkin banyak yang hanya sekedar melihat keramaian. Hanya sedikit saja yang berani mencoba mengadu keberuntungan mendapatkan kitab langka yang dahsyat itu.
--*****