webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · 若者
レビュー数が足りません
26 Chs

9| To Be Young and Broke

Sekolah memang selalu tidak menarik bagi Teresa bahkan saat Roy masih baik-baik saja dan bisa bersekolah menemaninya. Sekarang saat Roy nyaris sekarat dan tidak dapat menemaninya lari dari rutinitas membosankan belajar mengajar, sekolah seakan menjadi lebih tidak dan sangat-sangat membosankan.

Tidak ada lagi yang menarik di sekolah ini, semua orang sudah tau jika Teresa adalah pembuat onar yang berteman dekat dengan biang kerok Roy Fahry Ariaksa, jadi semua orang hanya mengabaikannya karena tidak ada juga yang bisa mengusik Teresa, SMA itu berada di bawah naungan Yayasan Arahap, yang punya hubungan kuat dengan Teresa, menyedihkan tapi begitulah cara kerja relasi hubungan pribadi dalam segala bidang di kebanyakan belahan bumi ini. Pihak sekolah tidak dapat berbuat apapun pada kelakuan Teresa karena anak ini berada si bawah lindungan langsung Adam Arahap yang meskipun sudah renta dan berada jauh di sebrang samudra yang sedang menjalani pengobatan penyakit tua, tetap saja perintahnya masih cukup kuat untuk tetap mempertahankan Teresa di sekolah itu

Sudah hampir dua minggu Roy dirawat dan tidak dapat menghadiri sekolah, desas-desus beredar mudai dari kematian Roy karena perkelahian hingga pernikahan dirinya dengan seorang gadis beraga taat, entah dari mana semua berita itu berasal, Teresa tidak perduli dan tidak ingin memberi penjabaran, gadis itu hanya tersenyum miring

Pihak sekolah sudah mengetahui keadaan Roy yang sebenarnya dan mengapa pria itu bisa berakhir terbaring di bangkar rumah sakit, tidak ada satupun yang mempertanyakan dan tidak ada satupun yang terlihat menyesalkan, dan entah mengapa Teresa merasa miris dengan itu, tiada satupun yang memperdulikan seorang anak yang sejak lahirnya sudah menjadi sebatang kara bernama Roy Fahry Ariaksa, lalu kenapa manusia itu dilahirkan sejak awalnya jika hanya penderitaan saja isi hidupnya?

Keputusan dewan sekolah adalah untuk sementara setidaknya satu bulan ke depan, Roy menjadi siswa tidak aktif sekolah yang jika memang memungkinkan dapat kembali diterima sekolah untuk menjadi siswa aktif dan mengikuti UN, jika tidak, intinya sekolah tidak mau ambil pusing mempertahankan dan mencari jalan keluar tentang siswa biang onar yang sekarang terkapar itu, lebih dari sebulan Roy tidak bisa pulih, sekolah mendepaknya.

Teresa tidak banyak berkomunikasi dengan orang lain di sekolah, gadis itu biasanya mengkuti pelajaran tanpa minat atau terang-terangan tidur di kelas mengabaikan apapun yang disampaikan oleh siapapun yang mengajar di depan kelas, atau jika ia benar-benar tidak ingin berada di kelas, dengan sedikit uang rokok, lelaki paruh baya bernama Setia yang menjaga pintu kecil di belakang kantin selalu sedia meloloskannya dari sekolah

Selama Roy di rumah sakit, Teresa selalu mengunjunginya hanya sekedar untuk meledek pria itu untuk membuatnya tertawa mencoba meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, esok pria itu akan diterbangkan ke Amerika untuk memperoleh pengobatan dan Teresa tidak bisa sama sekali mengantarnya, sekarang pun Teresa tidak dapat menjenguknya karena masa karantina Roy untuk mempersiapkan kondisinya untuk menempuh perjalanan jauh

Sementara Bintang, Teresa sesekali bertemu dengan pria itu, membahas agenda pernikahan mereka. Tidak ada yang istimewa dari itu semua, baik Bintang maupun Teresa, keduanya sadar bahwa tidak ada rasa diantara mereka. Mereka berdua setuju untuk terikat jerat pernikahan hanya karena ego, dendam dan mungkin juga emosi akan keadaan sosial dan tekanan di sekitar mereka yang tidak terelakan. Pertemuan mereka hanya seputar duduk di sebuah coffee dengan sekelompok orang WO dan sisanya Bintang dan Teresa lebih banyak menangguk kehilangan minat dengan apapun yang dikatakan oleh sekelompok WO itu

Siang itu Teresa duduk sendirian di kursi yang agak terpojok di kantin, gadis itu mencoba mengasingkan diri dari keramaian di kala jam istirahat. Teresa sedang tidak memiliki tujuan untuk membolos, tidak punya keinginan untuk bersandar menatao langit sembari merokok, apalagi belajar untuk pelajaran selanjutnya. Gadis itu hanya diam duduk sambil mengaduk-aduk jus alpukat yang ada di hadapannya tanpa minat

"Eh Teresa" Tukas sebuah suara yang begitu saja duduk di sampingnya berlagak sok akrab

Teresa hanya melirik sesaat kemudian kembali acuh mengabaikan lelaki yang tiba-tiba berada di sampingnya dengan teman-temannya yang seolah mengepung Teresa

"Lagi apa lu sendirian?" Tukas suara itu lagi

Teresa memutarkan bola matanya jengah "Buta? Gak liat lu gue lagi apa?" Sinis gadis itu

Mendapat reaksi demikian gerombolan itu saling berpandang dengan tertawa-tawa "Dih sinis banget sih lu?" Tukas pria itu lagi

Teresa tidak menanggapi

"Roy kemana nih?" Tukas pria itu lagi

Mendengar nama Roy disebut, begitu saja Teresa langsung menatap tajam pada sosok lelaki di sampingnya

"Lu ditinggalin ya sama dia?" Pancing suara itu lagi dengan nada suara yang menyebalkan

Teresa bangkit dari duduknya, gadis itu memutar tubuhnya menghadap kepada lelaki itu, gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, dengan agak membungkuk Teresa mendekatkan wajahnya dengan wajah lelaki itu, mengikis jarak diatara mereka, hidung mereka nyaris bersentuhan

"Ter" Tukas pria itu canggung

Teresa memasang senyum menyeringainya

Ada suara riuh redam bersiul-siul diantara mereka, Teresa dapat merasakan nafas lelaki itu di wajahnya, lelaki itu menutup mata

'DUKKK'

Untuk sejenak semua orang seakan beku akan apa yang mereka saksikan

"Urusin aja urusan lu sendiri Jing" Tukas Teresa setelah membenturkan keningnya dengan sangat keras pada kening Alex

Kerumunan itu masih menga-nga, ini semua di luar perkiraan mereka, kerumunan itu masih diam terkejut, mereka masih mencerna apa yang sedang terjadi, dan Teresa, gadis yang begitu saja menjedotkan kepalanya pada ketua basket yang cukup disegani di SMA itu, dengan banyak pengikut dan penggemar wanita, yang secara tidak langsung jika berurusan dengan lelaki itu akan ada efek sampingnya, gadis itu sama sekali tidak peduli, gadis itu juga tidak berfikiran hingga ke sana, gadis itu melenggang saja tanpa beban meninggalkan gerombolan yang segera riuh redam di belakangnya

Sisa pelajaran dilalui oleh Teresa dengan sangat tanpa minat, gadis itu bahkan tidak ingat satu katapun yang dikatakan oleh gurunya selama di kelas. Gadis itu hanya melamun jika ia tidak tertidur, kemudian bel pulang sekolah berbunyi. Dengan malas gadis itu bangun dari posisi nyamanya di bangkunya menyeret tas selempang yang bahkan sama sekali tidak ia keluarkan buku-buku di dalamnya, gadis itu juga bahkan tidak tau buku-buku apa saja yang ia bawa di tas itu, dengan langkah yang jug atidka kalah terseoknya, gadis itu melangkah dengan malas menuju ruang osis, akhir-akhir ini sulit baginya untuk kabur dari hukumannya bersih-bersih ruang osis karena, beberapa anak buah Jordan sudah mencegatnya di gerbang utama maupun di pintu kecil di belakang kantin. Teresa makin benci dengan lelaki itu.

Teresa memasuki ruang osis dengan sangat terpaksa, gadis itu membanting tubuhnya untuk duduk di sofa yang ada di sana sambil memandangi balik dengan tatapan sengit pada Jordan yang sudah menunggunya, lelaki itu berdiri berseberangan dengannya

"Apa lu liat-liat" Singit Teresa

Lelaki itu malah tertawa "Lu kepikiran dari mana sih bisa sampe ngadu kepala lu sama Si Alex?"

Teresa memutarkan kedua bola matanya jengah pada sosok Ketos yang sedang berdiri di depannya "Kalo lu ngeselin, gue juga bisa ngadu kepala gue sama lu" Tukasnya acuh tak acuh

Gadis itu mengangkat kakinya ke atas meja di depannya kemudian memejamkan matanya

Jordan menaikan sebelah alisnya, biasanya Teresa akan menyulut rokoknya, tapi kali ini gadis itu hanya bersandar dengan kedua tangan menyilang dan mata terpejam "Ter, lu ngapain?" Tanya Jordan heran

Teresa menaikan sebelah alisnya, matanya tetap terpejam "Semedi" Tukas gadis itu "Lu pikir gue ngapain? Molorlah. Jan ganggu"

Jordan menghembuskan nafas, lelaki itu seakan menemui jalan buntu, ia tidak tau harus bersikap dan berlaku seperti apalagi pada gadis yang ada di hadapannya ini. Jordan duduk di hadapan gadis itu, ikut bersandar, ia tau sekarang bukan saat yang bagus untuk menyulut pertengkaran dengan gadis bar-bar di hadapannya

"Gimana keadaan Roy?" Tanya Jordan dengan pandangannya yang dilemparkannya sembarang tapi tidak kepada Teresa

Gadis itu seketika langsung terjaga, matanya terbuka sempurna dan mengawasi Jordan dengan tatapan tajam "Gak usah so peduli"

Gadis itu begitu saja bangkit dan bergegas meninggalkan ruangan osis

Jordan ikut bangkit dan menahan lengan Teresa "Eh mau kemana lu? Beresin dulu nih ruangan" Tukasnya mendapat delikan tajam dari Teresa

Gadis itu menghentakan cekalan Jordan di lengannya "Denger ya dewa osis, gue sekolah buat nyenengin bokap gua doang, lu kalo mau nih ruangan bersih selalu, minta sana dana sama kepsek buat sewa ART khusus ruang osis" Tukas gadis itu kemudian berlalu begitu saja

Teresa sedang tidak dalam mood yang baik tentang segala hal hari ini, gadis itu bingung dengan perasaan dan fikirannya sendiri, Roy akan meninggalkannya untuk waktu yang belum pasti, mungkin akan lama sampai keadaan pria itu membaik dan oprasinya dikatakan berhasil. Sementara, di saat yang hampir bersamaan, dirinya akan menikah dengan Bintang, pria asing yang baru beberapa saat ia kenan melalui perjodohan gila yang ia terima dan ia paksakan sendiri. Mungkin saat inilah saat-saat Teresa membutuhkan Roy untuk membawanya kabur dari kenyataan, tapi saat ini juga saat dimana Roy juga harus pergi dari sisinya

Teresa menghembuskan nafas sembari langkahnya terus melaju tak berarah, ia bahkan tidak berani membahas tentang Bintang kepada Roy apalagi memberi tau pria itu tentang perjodohannya yang tak terelakan dan berada di depan matanya

Untuk pertama kali dalam hidupnya Teresa memikirkan, kehidupannya yang selanjutnya akan ia bawa kemana setelah pernikahan itu?

Teresa melambaikan tangannya pada seorang tukang ojek pangkalan, gadis itu memberi isyarat bahwa ia ingin menyewa jasa pria paruh baya itu "Puncak pak" Tukas gadis itu begitu saja sambil menaiki motor bebek paruh baya itu

"Hah" Tukas si tukang ojek "Gak salah neng?"

"Hmm" Guman gadis itu

"Jauh ituloh neng"

Teresa menjulingkan matanya "Kalo deket saya jalan kaki pak" Tukas Teresa jengah

"Mahal neng" Saut si tukang ojek lagi

"Bisa bayar pake kartu kredit ga?" Teresa berdecak "Udah deh pak gak usah rame, saya banyak duit" Tukas gadis itu asal, menghindari perdebatannya dengan si tukang ojek

Tukang ojek itu hanya mendengus sembari memberikan Teresa sebuah helm batok tua yang cat hitamnya sudah luntur menjadi abu-abu

Gadis itu meloncat turun begitu ia sampai pada tempat yang ia tuju, setelah memberikan beberapa lembar uang pada si tukang ojek, gadis itu langsung berlari memasuki sebuah pekarangan yang dijaga oleh seorang satpam, Teresa tidak banyak bercakap, gadis itu hanya menyapa pria berkumis yang lumayan kekar itu dan seolah langsung mengenali, pria itu berlari memeluk Teresa

"Mba Tere" Tukasnya dalam logat daerah yang kuat

Teresa membalas pelukan pria itu dan senyumannya yang langka mekar begitu saja

"Apa kabar" Tukas pria itu lagi setelah melepaskan pelukannya pada Teresa

Teresa memasang cengirannya "Lagi semrawut nih pak" Sautnya "Ada siapa aja di dalem?"

"Kenapa toh neng?" Tanya satpam itu "Ada lengkap di dalem" Saut si satpam

Teresa menggedikan bahunya, satpam itu membukakan gerbang besar yang tinggi itu kemudian mepersilahkan Teresa masuk

Pemandangan hijau membentang ketika gerbang besar itu dibuka, hamparan rumput subur yang terpelihara, susunan bukit dikejauhan dan beberapa kicauan burung liar, Teresa tidak pernah menyadari betapa ia merindukan suasana ini sebelum ia tiba di sini. Gadis itu seolah melupakan Pak Bayan, satpam yang tadi menyambutnya, gadis itu begitu saja berlari menuju sebuah bungalow dengan posisi menjorok ke bukit

Sebelum Teresa tiba di bungalow itu, dari arah yang berlawanan, Teresa menangkap sesosok pria muda, jangkung kurus, pria itu juga melihat ke arah Teresa, mata mereka bertemu dan seakan-akan mereka sama-sama membeku kaku

"Kakak" Gumam pria itu

Ada sejuta rasa yang tiba-tiba meledak di dada Teresa, gadis itu berlari sekencang yang ia bisa, gadis itu melemparkan dirinya memeluk pria janggkung kurus itu "Kaisar"

Seakan waktu berhenti, Teresa menagis sejadinya tidak memperdulikan apapun dan siapapun, sosok yang ada dipelukannya adalah Kaisar, adiknya yang sudah 13 tahun lamanya memilih hidup terpisah dari keluarganya, Teresa tidak pernah tau apa yang terjadi pada adiknya selama ini, mungkin untuk Teresa, perpisahan orang tua mereka hanya sebatas trauma dan kebencian pada ayahnya. Namun bagi Kaisar, mungkin akhir dari sebuah keluarga?

Teresa dapat merakan tangan Kaisar yang balas merengkuhnya. Tidak banyak kenangan yang Teresa habiskan bersama Kaisar, saat semuanya masih baik-baik saja, mereka berdua masih terlalu kecil untuk perduli satu sama lain, dan saat mereka sudah beranjak semuanya harus berakhir tragis antara ayah dan ibu mereka. Kaisar yang ada diingatan Teresa adalah bocah kecil yang selalu mempertanyakan segala hal pada dirinya sekaligus bocah pendiam yang tidak banyak ingin bercakap pada orang yang baru dikenal. Bocah itu kini telah berumur 17 tahun, tingginya sudah melampaui jauh tinggi Teresa, rambutnya agak gondrong, suaranya sudah berat dan tampan

Teresa memang jarang sekali mengunjungi Kaisar, mereka semua, ayah, Hany dan Ibu tirinya juga jarang mengunjungi Kaisar, karena memang Kaisar sendiri yang tidak menghendaki kunjungan mereka, namun kali ini Teresa tidak butuh persetujuan Kaisar, gadis itu hanya ingin menemui adiknya, dan ia tidak membutuhkan persetujuan siapapun.

Teresa dan Kaisar duduk bersebelahan di sebuah kabin kayu yang menjorok langsung pada pemandangan bukit-bukit hijau dan kebun teh yang membentang di depannya, angin sore serta langit jingga dengan konstan berhembus ke wajah Teresa, gadis itu memejamkan matanya, menikmati alam yang ada dihadapannya, momen yang sedang dialaminya dengan orang tersayang yang ada di dekatnya, dua cangkit kopi mengepul disajikan di depan dirinya dan Kaisar, kopi hitam itu seakan sekuat tenaga mengepulkan asap panasnya melawan udara puncak yang dingin untuk kemudian hanya menjadi sedingin udara di sana

Kaisar memerhatikan Teresa dari ujung sepatu kakak perempuannya itu yang cenderung kotor hingga ke ujung rambut berponi yang dibiarkan terurai dan tertiup angin, sudah lama sekali semenjak terakhir ia bertemu gadis mungil di hadapannya yang merupakan kakak kandungnya, ingatan Kaisar berputar pada masa-masa kecil mereka yang terasa amat singkat dan semakin samar, dahulu kakaknya adalah seorang periang yang polos dan cengeng, dulu kakanya akan menangis jika digigit nyamuk dan tangisannya akan semakin kencang kala nyamuk itu ditepuk oleh orang tua mereka, segores senyum tanpa sadar merekah pada bibir Kaisar, itu dulu sekali. Sekarang, gadis dihadapannya ini masih sama cengengnya, hanya berlagak kuat, semua orang yang mengenal kakaknya cukup lama akan tau dan menyadari itu semua

Kakaknya menghadapi masalah yang berbeda dan memilih cara yang berbeda juga untuk berusaha melanjutkan kehidupan setelah luka mental yang mereka dapatkan, Kaisar lebih memilih terbebas dari segalanya yang mungkin bisa menyakiti dirinya lagi kedepannya, Kaisar memutus rantai pesakitan yang menyebabkan lukanya, sedangkan Teresa, gadis itu hanya melawan tak tentu arah dan membiarkan dendamnya menguasai dirinya

Kaisar masih mengingat dengan sangat jelas, lebih jelas dari saat-saat terbahagia hidupnya saat semuanya baik-baik saja. Saat itu malam sudah larut, Kaisar terbangun karena suara ayah ibunya yang saling berteriak, Kaisar kecil mengintip dari celah kecil pada pintu kamarnya, kedua orang tuanya menjelma menjadi sosok yang sama sekali tidak ia kenal, ibunya berteriak dengan air mata mengalir deras, ayahnya menjelma menjadi monster yang menyeramkan dan tidak merasa iba sedikitpun, ayahnya memasuki kamar Teresa dan menggendong gadis kecil itu tidak memperdulikan seribu tanya yang ada pada gadis kecil yang masih setengah sadar dari tidurnya, kakanya yang bingung kemudian menangis dalam gendongan ayahnya yang sama sekali tidak dihiraukan oleh kedua orang tuanya, ayah ibunya masih sibuk berteriak satu sama lain, Kaisar menjauh dari pintu, dirinya yang saat itu masih berusia 4 tahun meringkuk di sudut ruangan sebelum ayahnya membuka pintu kamarnya dengan kasar dan dengan tatapan mata tajam serta wajah memerah, pria itu, Evan Adiwijaya, ayahnya dengan mudahnya mengangkat tubuhnya dengan satu tangannya yang lain, dirinya dan Teresa saat itu hanya bisa menangis, tapi tidak ada yang menghiraukan mereka

Mobil ayahnya melaju kencang, tidak perduli seberapa kencang dirinya dan Teresa berteriak memanggil ibu mereka, ayah mereka seakan tuli. Teresa sesegukan di sampingnya, gadis kecil itu memandang nanar pada ayahnya yang seakan bukan sosok ayah mereka, sementara Kaisar masih menatap ke belakang berharap dengan suatu keajaiban mobil ibu mereka yang mengejar mereka dari belakang bisa menyusul mobil mereka, tapi sebaliknya, Kaisar menyaksikan mobil itu tersungkur, samar tapi Kaisar melihat wajah ibu mereka untuk terakhir kalinya berteriak dengan padangan putus asa menatap padanya. Sejak hari itu, mimpi buruk dan luka mental terdalamnya tercipta

Sejak hari itu, Kaisar nyaris tidak bisa mengingat apapun kecuali wajah ibu mereka yang berteriak putus asa padanya, Kaisar tidak dapat merespon apapun dan keluarganya menjadi sebuah alergi baginya, kemudian dengan saran beberapa ahli terapis demi kesehatan mental Kaisar, bocah itu diungsikan dari keluarganya ke bungalow tempanya tinggal hingga sekarang. Tidak ada keluarga, hanya Pak Bayan satpam yang berjaga di tempat itu dan istrinya Bi Yam, mereka berdua adalah orang-orang yang merawatnya sedari kecil disamping beberapa kali dalam seminggu kunjungan psikolog dan pskiater juga beberapa guru home schooling yang terus dijejalkan padanya

Beberapa kali ayah, ibu tiri dan anak mereka Hani, mengunjunginya, Teresa selalu tidak ikut, gadis itu selalu menolak berdekat-dekatan dengan ayah mereka, terakhir kali Teresa masuk semobil dengan ayah mereka adalah delapan tahun yang lalu, terakhir kali Teresa bertemu dengan Kaisar sebelum hari ini, namun Kaisar selalu mengetahui tampang kakaknya itu karena Talita, ibu tirinya selalu diam-diam memfoto gadis itu dan mengirimkannya kepadanya, Kaisar sudah lebih baik dari bertahun-tahun lalu, dirinya sudah mulai dapat menerima kenyataan, sedangkan Teresa, gadis itu terlihat semakin lelah berperang dengan kenyataan

Lelaki berlesung pipit itu tersenyum sembari membuang padangannya pada cangkir kopi yang sudah tidak lagi mengepulkan asap di hadapannya "Kenapa lo kesini?"

Teresa memandang lelaki tampan di hadapannya dengan ekspresi meremehkan "Mau ketemu ade gue, kenapa?"

Kaisar memasang cengirannya sambil menyesap kopin dinginnya "Ya gapapa, kenapa lo gak kabarin gue dulu"

Teresa menaikan sebelah alisnya "Gue gak perlu izin dan kabar-kabaran ke siapapun buat ketemu sama ade gue" Tukas gadis itu sengit

Kaisar menaruh cangir kopinya dan menopangkan kepalanya pada satu tangannya menatap wajah Teresa "Lu kangen ya sama gue?" Tukasnya menggoda Teresa

Gadis itu melotot tajam, juga menopangkan kepalanya pada salah satu lengannya balas menatap Kaisar "Iya" Tukasnya kemudian pandangannya melunak

Gadis itu terus menatap mata Kaisar dan kemudian tangannya membelai lesung pipit di wajah pria itu "Lu mirip banget sama mama, mata lu, cengungan di pipi lu" Tukas Teresa tanpa sadar

Kaisar memalingkan mukanya, wajahnya berubah menjadi dingin "Yang berlalu gak usah diinget-inget lagi"

Teresa membuang pandangannya ke arah hamparan bukit yang sekarang berkerlap kelip karena cahaya lampu di kejauhan, gadis itu menyesap kopi dinginnya "Gue mau nikah" Tukas Teresa kemudian membelokan percakapan

Kaisar langsung melotot ke arah kakaknya, "Hah, lu serius?" Tukas lelaki itu menyuarakan apa yang ada di kepalanya

Teresa mengangguk, padangannya masih tertuju pada kelap-kelip lampu di kejauhan, gadis itu kembali menyesap lagi kopi dinginnya "Mangkanya gue kasih tau lu, takut lu ketinggalan info"

Kaisar masih memfokuskan pandangannya pada figur mungil yang sedang menyesap kopi di sampingnya "Lu serius? Lu yakin?"

Teresa menggeleng, menaruh cangkir kopi itu lagi "Mangkanya gue kesini, gue gak yakin, gue mau curhat, gue buntu" Tukas gadis itu menyuarakan apa yang ada di dalam dada dan fikirannya