webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · 若者
レビュー数が足りません
26 Chs

22| To Be Young and Broke

Hari demi hari berlalu, sudah sebulan setelah kejadian itu, kehidupan stagnan yang monoton terus diulangi oleh Teresa, gadis itu berangkat pagi-pagi sekali untuk mencari sarapan di luar rumah dan pulang menjelang malam dan langsung menuju ke kamarnya untuk merokok dan menghabiskan sisa harinya diam termenung atau melamun menatap langit hingga mengantuk. Gadis itu menghindari segala kontak yang mungkin saja bisa terbangun dengan Bintang, gadis itu menghindari untuk bertemu bahkan untuk melihat pria yang sudah dinikahinya itu

Teresa menatap layar ponselnya yang tertera sederet nomer asing yang sudah lama ingin ia hubungi, gadis itu memejamkan matanya dan seperti sulap ponselnya berdering, gadis itu tersentak dan sangat berharap bahwa yang menghubunginya adalah Roy, namun gadis itu berakhir kecewa karena layar ponselnya menampilkan nama Bu Farida di layarnya, bukan sederet nomer asing yang beberapa saat lalu ia tatap dengan ragu

"Halo" Gadis itu mengangkat telfonenya pada deringan ke tiga

Ada suara isakan di sebrang sana

Teresa mengernyitkan keningnya "Ada apa bu?" Tanya gadis itu tidak mengerti apa yang sedang terjadi

Ada suara Bu Farida membuang ingusnya "Teresa, Bintang drop"

Gadis itu langsung bangkit dari duduknya "HAH" "Ibu dimana sekarang?" Gadis itu begitu saja menyambar dompetnya dan berlari keluar kamar

"PAK BAKTI" Teriak Teresa tanpa mematikan panggilan ponselnya, gadis itu di lantai 4 dan berteriak-teriak memanggil Pak Bakti selama langkahnya menuruni tangga, gadis itu panik dan lift bukan opsi yang ia pilih saat itu

"Bu, ibu dimana?" Gadis itu mengulang pertanyaannya pada sambungan telfone itu

"Saya di Rumah Sakit Harapan" Tukas suara di sambungan telfone itu

Teresa beberapa kali nyaris jatuh dan terpeleset pada beberapa anak tangga yang dengan terburu-buru ia turuni, gadis itu telah berada pada lima anak tangga terakhir sebelum tiba di lantai satu dan gadis itu jatuh terjerembab dua kali terguling sebelum benar-benar tiba di lantai satu, Pak Bakti berada di sana, pria tua itu membantu Teresa untuk bangkit, gadis itu mengangguk pelan pada Pak Bakti sebelum setengah berlari menuju mobil mendahului pria tua itu

"Kenapa bisa drop gitu bu?" Gadis itu bertanya dengan nada panik dan heran menjadi satu

Isakan di sana bertambah kencang

"Kondisinya gimana bu? Ibu kenapa bisa ada di rumah sakit duluan?" Gadis itu menghujani wanita setengah baya yang telah kalut di sebrang panggilan itu dengan berbagai pertanyaan

Suara sesegukan memenuhi sambungan di ujung sambungan lainnya itu "Dokter lagi tanganin Bintang Ter" Wanita paruh baya itu menarik ingusnya "Ibu gak tau, Bintang minta tolong ibu untuk mengantar obatnya sore tadi saat kamu masih sekolah dan saat ibu sampe ke kantornya, Bintang sudah dilarikan ke rumah sakit, ibu langsung ke rumah sakit Ter" Jelas wanita setengah baya itu dengan susah payah

"Yaudah, saya nyusul secepatnya ke sana" Tukas Teresa sambil mengakhiri sambungan dan menggeletakan ponselnya sembarang di jok penumpang mobil itu

Pak Bakti terengah-engah karena ikutan berlari juga, pria tua itu baru memasuki kemudi mobil "Rumah Sakit Harapan pak" Tukas Teresa segera setelah Pak Bakti berada di balik kemudi mobilnya

Pria tua itu tidak banyak berkomentar dan dengan sigap meluncurkan mobil itu dengan cepat menuju ke rumah sakit yang disebut Teresa

Teresa bergeming di tempat duduknya sambil menggigiti buku-buku jarinya, fikiran gadis itu tidak menentu dan ia merasa takut, ini tidak mungkin akan menjadi hal baik dan gadis itu memikirkannya, gadis itu bergerak-gerak gelisah menolehkan kepalanya ke kanan dan kekiri membuat kesan bingung pada gadis itu

Pak Bakti memerhatikan Teresa dari kaca tengah, pria tua itu sangat paham jika gadis muda yang sedang dibawanya sedang gelisah dan tuannya mungkin sedang mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, pria tua itu dapat menyimpulkan hanya dengan mendengar beberapa kalimat percakapan telfone yang dilakukan gadis muda itu dengan siapapun yang berada di sebrang panggilan itu, pria tua itu sama sekali tidak berkomentar, ia membiarkan keheningan diantara perjalan itu dan tanpa berkata-kata dengan keahlian menyetir puluhan tahun, pria tua itu mengendarakan mobil itu berkali-kali lebih cepat dari biasanya, menikung tajam dan mengambil jalan pintas, nyonya mudanya tidak memperdulikan goncangan dan mobil yang ugal-ugalan, gadis muda itu seolah terhipnotis oleh fikirannya sendiri walaupun tubuhnya ikut terombang-ambing ke kanan dan ke kiri

Pak Bakti menghentikan mobil di pintu loby rumah sakit, Teresa yang menyadari mobil itu berhenti langsung melompat turun meskipun gadis itu tidak tau ruangan apa yang harus ditujunya. Tidak kehilangan akal, gadis itu langsung bertanya pada salah satu pegawai yang dengan setia berada di balik meja besar di tengah-tengah lobi

"Mba, Bintang Arahap ada dimana?" Tanya gadis itu tergesa-gesa

Pegawai itu langsung mengetikan jari-jarinya pada layar komputer yang menyala di hadapannya kemudian kembali menatap Teresa dan memerhatikan gadis itu, celana pendek, kaos dan sendal jepit dengan tampang bingung yang mungkin acak-acakan, Teresa lebih mirip seperti salah satu pasien yang kabur dibanding seorang gadis muda yang hendak menengok keadaan suaminya

"Maaf, mba Pak Bintang tidak dapat dikunjungi oleh siapapun" Tukas pegawai itu entah mengapa menyulut amarah Teresa

"Bangsat! Dia suami gue!" Sentak Teresa hendak menjambak rambut wanita itu, namun sebelum itu terjadi, Bu Farida datang entah dari mana dan langsung berseru "Teresa" Tukas wanita paruh baya itu seraya menyerbu memeluk Teresa

Teresa membalas pelukan itu, gadis itu juga kalut "Ibu gimana keadaan Om Bintang?" Tanya gadis itu entah mengapa ikut menangis

"Bintang masih belum sadar Ter, dokter udah periksa dan Bintang udah ada di kamar rawat intensif, kondisinya gak bagus" Saut lelaki paruh baya itu

Seketika Teresa melerai pelukan itu dan mengelap hidungnya yang berair dengan punggung tangannya "Aku mau ketemu Bintang bu" Tukas Teresa

"Sebaiknya jangan Ter" Saut Bu Farida "Kata dokter, Bintang harus istirahat dulu"

Teresa makin menjadi-jadi "Mana dokternya, aku mau ketemu sama dia, dia harus jelasin kondisi Bintang gimana, dia harus sembuhin Om Bintang" Tukas gadis itu lagi

Bu Farida menahan Teresa, gadis itu mulai meronta dan Bu Farida sadar jika kekuatan gadis itu meskipun tubuhnya mungil, dengan emosi seperti ini mungkin dapat membuat Bu Farida kewalah untuk menahan gadis itu, dan gadis itu sama sekali tidak bisa diajak berkompromi untuk meninggalkan rumah sakit ini tanpa menemui Bintang, dengan langkah pelan, Bu Farida menggandeng Teresa untuk menuju ke ruang rawat Bintang

Teresa memandangi Bintang yang tertidur dengan raut kesakitan dari kaca yang ada di kaca yang menjadi pemisah mereka, berbagai alat medis menyala untuk membantu kehidupan pria itu, tubuhnya seakan membengkak dan wajah pucat tentu saja menghiasi pemandangan itu

"Om Bintang kenapa bu?" Teresa bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari kaca yang membatasi antara dirinya dan Bintang

Bu Farida masih menangis, Bintang sebelumnya sudah sering keluar masuk rumah sakit, namun baru kali ini Bu Farida menyaksikan sejak dari awal penanganan Bintang dan betapa lelaki itu kesakitan, wanita paruh baya itu kemudian menggeleng

Teresa tidak puas dengan jawaban wanita paruh baya itu, gadis itu membuang tatapannya ke kanan dan kekiri, menggelengkan kepalanya seolah tidak menerima apa yang terjadi, sebelum Julius datang mendekat kepadanya

"Teresa" Tukas dokter itu mengalihkan fokus Teresa

Teresa menoleh padanya dan seketika menghambur ke arahnya seraya menarik jas putih dokter itu "Om Bintang kenapa? Om Bintang kenapa dok?" Racau gadis itu

Julius menatap Teresa dengan tatapan iba, pria itu sama sekali tidak melawan cengkraman tangan Teresa pada jasnya, gadis itu terus mencengram dan menggoyang-goyangkan cengkramannya menuntut penjelasan dari Julius hingga buku-buku jari gadis itu memutih saking kuatnya cengraman gadis itu pada jas sang dokter

Julius menghembuskan nafas dan dengan pelan ia mulai menjelaskan "Keadaan Bintang sama sekali gak baik Ter, saya menyesal mengatakan ini, Bintang sekarang ada di stadium 3"

Tangisan gadis itu entah mengapa semakin menjadi, cengkraman gadis itu pada jas sang dokter mengendur dan kakinya bergetar, Teresa nyaris jatuh berlutut jika saja Julius tidak menahannya

"Kenapa? Kenapa bisa?" "Bintang selalu minum obat dokter. Dia udah janji sama gue buat sembuh!" Tukas gadis itu histeris

Julius mendudukan gadis itu pada kursi tunggu yang berderet di lorong itu, dokter itu ikut duduk di samping Teresa, dokter itu menggeleng "Hasil pemeriksaan menunjukan bIntang tidak rutin meminum obatnya" Dokter itu menunduk dan menghela nafas "Dia dalam keadaan stress dan meminum banyak sekali alkohol yang sama sekali tidak menguntungkan untuk fungsi hatinya" Jelas sang dokter

Teresa menatap Julius dengan tatapan memohon, gadis itu tau jika Bintang mengingkari janjinya dan ada rasa sakit dihianati akibat itu dan amarah juga masih ada semenjak kejadian malam itu, tapi membayangkan kondisi pria itu yang terkapar kesakitan dengan obat bius yang mungkin hanya mampu membuat Bintang terpejam namun tidak menghilangkan rasa sakit pada pria itu, bayangan itu begitu saja menyingkirkan semua murka yang sebelumnya masih bercokol di kepala gadis itu "Dokter tolong sembuhin Om Bintang" Tukas gadis itu dengan mata sembab yang masih mengalirkan air mata

Julius tersenyum sambil sebelah tangannya mengelus lengan Teresa "Saya dan semua anggota medis di rumah sakit ini, kami mengusahakan yang terbaik untuk Bintang. Namun kamu harus selalu ingat, bukan kami yang memutuskan takdir Teresa" Tukas pria itu "Yakinlah Bintang akan baik-baik saja"

Gadis itu menggeleng "Om Bintang gak baik-baik aja dok, dia kesakitan, tolong tambahin obat biusnya dok biar Om Bintang gak ngerasain sakit lagi" Gadis itu berkata dengan memohon memegangi salah satu tangan Julius dengan kedua tangannya

Julius kembali menghela nafasnya, Bintang adalah temannya, sahabatnya, mereka berdua sudah berteman sejak SMA, Bintang memang sakit-sakitan sejak dulu dan gaya hidup lelaki itu tidak membuat semuanya menjadi lebih baik, Bintang adalah pasien pertama Julius dan salah satu alasan Julius menempuh kehidupannya yang sekarang, menjadi seorang dokter. Bintang sangat loyal kepadanya, dan Julius juga akan berlaku demikian, Julius mengupayakan yang terbaik bagi kesehatan Bintang, baik sebagai dokternya maupun sahabatnya. Dan sekarang dirinya dihadapkan oleh keadaan Bintang yang sama sekali tidak baik dan istrinya yang histeris bukanlah hal yang menyenangkan untuknya "Saya tidak bisa Ter" Saut Julius akhirnya "Obat bius dengan dosis tinggi beresiko sangat besar pada hatinya, dan saya menghindari resiko itu semaksimal mungkin" Jelasnya kemudian

Gadis itu sesegukan dan Julius membawanya ke pelukannya, Julius memang belum lama mengenal Teresa, yang ia ketahui Teresa adalah istri dari sahabatnya dan masih SMA, mereka berakhir menikah karena perjodohan, itu saja, selebihnya Julius menghormati keputusan sahabatnya untuk menikah dengan gadis SMA yang sekarang ada di pelukannya, meskipun Julius pernah mengatakan langsung pada Bintang jika perjodohan itu gila. Namun, pada kondisi ini, gadis yang ada di rengkuhannya itu mengingatkannya akan sosok adiknya, Jane.

"Dokter," Gadis itu mengurai pelukan Julius padanya "Ada cara lain supaya Om Bintang bisa sembuh ga?" Tanya gadis itu di sela-sela tangisnya

Julius mengernyitkan dahinya "Bintang sama sekali tidak percaya pada pengobatan alternatif" Tukasnya "Dan saya pun sebagai dokter berlisensi dengan segala metode dan teori pengobatan yang saya pelajari, saya juga tidak meyakin dan tidak menyarankan itu"

Teresa menggeleng "Bukan itu maksud gue" Tukas gadis itu "Upaya lain, oprasi? Bedah? atau apapun itu!"

Julius menyadari kebodohannya untuk beberapa saat, lelaki itu mengangguk kemudian "Transplantasi" Tukasnya kemudian

Sejanak ada secercah harapan pada Teresa untuk mengakhiri semua penderitaan Bintang "Iya, ayo transplantasi, ambil aja hati gue" Tukas gadis itu tanpa berfikir

Julius menatap Teresa dengan tidak yakin "Tidak semudah itu Ter" Tukas lelaki itu berusahamemberi pemahaman bagi Teresa

Gadis itu menggeleng "Pasti bisa! Ambil aja hati gue!" Tukas gadis itu lagi kemudian menjadi histeris lagi "Gue benci sama dia! tapi gue gak mau dia mati" Tukas gadis itu dalam raungan tangisnya, Julius iba melihat gadis di hadapannya itu, begitu juga Bu Ida, Julius bangkit dan posisinya langsung digantikan oleh Bu Ida yang langsung mendekap gadis itu dalam pelukannya, Bu Ida menganggukan kepalanya pada Julius yang di sambut tatapan iba oleh Julius sebelum lelaki itu pergi tanpa sepatah kata apapun meninggalkan dua orang wanita yang terlihat sangat menyayangi sahabatnya itu, dengan berat hati Julius melangkah meninggalkan mereka 'Lu beruntung Tang, lu harus tetep hidup' Tukasnya dalam hati

Bu Farida dan Teresa duduk bersebelahan nyaris untuk dua jam, hari sudah gelap di luar sana, Bu Farida menyuruh Teresa pulang sedari tadi namun gadis itu mengabaikannya, sebaliknya, Teresa menyerankan Bu Farida untuk pulang terlebih dahulu dengan Pak Bakti namun perempuan paruh baya itu tidak mau pulang jika tidak dengan Teresa, maka berdebatlah mereka sebentar lalu memutuskan untuk tinggal di rumah sakit berdua

Teresa bersandar kepada Bu Farida untuk beberapa saat, gadis itu menyadari bahwa kepalanya kerap pusing belakangan ini, namun gadis itu diam waaupun kali ini pandangannya mulai berbayang, Bu Farida menyadari wajah Teresa yang memucat dan meraba kening gadis itu, wanita paruh baya itu memekik "Teresa kamu panas nak" Tukasnya

Teresa hanya menggeleng "Ngga bu, tangan ibu aja yang dingin" Tukasnya

"Nggak! Kamu panas nak, ayo kita pulang" Tukas wanita paruh baya itu sambil berusaha membangunkan Teresa dari duduknya

Gadis itu bersikukuh diam pada tempat duduknya "Ngga bu, saya ga apa-apa" Tukasnya kali ini sambil sebelah tangannya memegangi keningnya

"Kamu sudah makan?" Tanya Bu Farida

Teresa mengangguk

"Kapan?" Tukas Bu Farida lagi

"Siang tadi di sekolah" Tukas gadis itu sambil mengernyitkan dahinya menahan pening, dan kemudian rasa mual tak tertahankan menimpanya

Bu Farida yang melihat hal itu langsung membawa Teresa menuju toilet untuk memuntahkan isi perutnya, Bu Farida mengurut tengkuk gadis itu dan gadis itu hanya memuntahkan air saja dan nampak sangat tersiksa

"Sayang, ayo kita pilang dulu saja nak" Tukas Bu Farida pada Teresa

Gadis itu menggeleng masih sambil berusaha memuntahkan isi perutnya

"Kamu masuk angin mungkin nak, istirahat dulu di rumah, lingkungan rumah sakit tidak baik untuk kamu nak" Tukas Bu Farida lagi "Lingkungan rumah sakit gak bagus buat kamu"

Teresa mengelap sudut-sudut bibirnya menggunakan punggung tangannya "Aku gak apa-apa bu" Tukasnya sambil menatap Bu Farida melalui cermin besar di hadapannya

Teresa mencuci tangan dan membasuh wajahnya, kemudian gadis itu dengan langkah pelan berusaha meninggalkan toilet itu dengan Bu Farida membantunya setengah memapah gadis itu, baru selangkah mereka keluar dari toilet, Teresa pingsan

Teresa terbangun karena sinar mentari yang begitu menyilaukan seakan menembus alam mimpi buruknya, lagi-lagi, mimpi tentang hari perpisahan kedua orang tuanya, peluh membasahi pelipis gadis itu walau pendingin udara menyala selama 24 jam dan udara di kamar itu sangat sejuk. Teresa mengerjapkan kedua kelopak matanya seraya perlahan membukanya

Talita di sana bersama Evan, mereka segera mengerubungi Teresa dan Evan dengan paniknya menekan tombol untuk memanggil dokter, Talita memegangi tangan Teresa sambil meremasnya pelan

"Nak, kamu sudah sadar nak" Tukas Talita terlihat khawatir

Evan berjalan-jalan gelisah di sekitar Teresa sambil sesekali mengusap kepala gadis itu, lalu kemudian seorang dokter dan seorang suster datang untuk melakukan serangkaian pemeriksaan pada Teresa sebelum berkata bahwa semuanya baik-baik saja dan mereka kembali pamit meninggalkan ruangan

Evan menghampiri Teresa bersebrangan sisi dengan Talita dan memegangi sebelah tanga Teresa yang bebas

"Bintang gimana?" Tukas gadis itu seketika teringat dengan keadaan Bintang

Remasan tangan Talita semakin kuat dan Evan menghembuskan nafas, mereka berdua diam

"Om Bintang gimana?" Ulang Teresa dengan agak histeris

"Hss" Talita berusaha menenangkan Teresa "Bintang ga apa-apa, dokter masih memantau dia dengan intensif"

"Bu Farida mana? Kalian pulang aja, aku mau ditemenin sama Bu Farida aja" Tukas gadis itu kemudian

Evan menunduk semakin dalam seraya terus memegangi tangan Teresa

"Bu Farida gak bisa temenin kamu dulu" Tukas Talita

"Kenapa? Kemana dia?" Tanya Teresa

Talita menghembuskan nafas, sejenak wanita itu ragu untuk menyampaikan kenyataan pada Teresa "Bu Farida sedang terbang ke luar negeri ini, dia mengurus pemakaman Kakek Arahap" Tukas Talita kemudian dengan agak tercekat

Remasan tangan Evan pada Teresa semakin kuat dan gadis itu kemudian terisak

"Hushhhttt" "Jangan nangis sayang" Tukas Talita namun wanita itu sendiri telah banjir air mata

"Sayang, kamu jangan sedih, kasian bayi kamu" Tukas Evan kemudian sambil menciumi punggung tangan anaknya itu

Teresa mengernyit untuk sesaat di tengah tangisannya "Bayi?" Ulangnya

Evan mengelus kening putrinya dengan sayang sembari mengecupi punggung tangan anak sulungnya itu, Talita menatapnya dengan penuh kasih

"Iya sayang" Tukas Talita kemudian mengelus perut Teresa yang masih rata "Dia di sini" Sambungnya mengusap-usap perut Teresa

Teresa terdiam sangat terkejut dengan semua yang didengarnya, Kakek Arahap meninggal, Bintang sama sekali belum membaik dan sekarang ia hamil. Teresa tercengung hingga air matanya menyusut, gadis itu tidak tau dengan gejolak yang seakan-akan mengaduk-aduk isi hatinya dan kepalanya, semua ini hanya candaan dan lelucon kan?

"Ini bohongan kan?" Tukas Teresa tidak percaya dan menatap ngeri pada perutnya

Talita menggeleng dan Evan menatapnya dengan penuh kasih tapi mata pria itu berkaca-kaca dengan raut yang sedih "Kamu akan jadi ibu sayang" Tukas Evan pada putri sulungnya

"Gak mungkin" Guman Teresa "Aku gak mungkin hamil" Tukasnya lagi sambil mulai menggelengkan kepalanya kuat-kuat

Taluta merengkuh anaknya itu dalam pelukannya seraya menenangkan, Evan pun demikian, dalam hati pria itu hancur karena putri sulungnya menikah dan hamil di usia yang sangat belia, putri kecilnya akan memiliki tanggung jawabnya sendiri, yang mungkin saja akan menghalangi dan menghambat semua mimpi-mimpinya, ditambah suaminya yang sedang sekarat dan tidak dapat diharapkan kesadarannya, bayangan akan putrinya yang menjadi ibu tunggal di usia yang sangat belia, tanpa gelar dan pendidikan dan berjuang setengah mati menopang kehidupan mereka berdua dan menolak uluran tangan Evan karena semua kebencian dan dendam yang masuh bercokol di dalam hati dan fikiran putrinya akan masa lalu mereka dan ibunya membuat jantung Evan seakan teriris, pria itu tidak memapu lagi membendung air matanya

"Sayang, papa di sini. Jangan takut" Tukasnya sepenuh hati pada anaknya, walaupun setengan mati pria itu menghardik dirinya yang membiarkan anak gadisnya menikah dengan lelaki sekarat seperti Bintang "Kamu dan bayi kamu akan baik-baik saja" Tukasnya lagi sambil mengecupi puncak kepala Teresa

Talita semakin mengeratkan pegangan tangannya ada Teresa "Sayang, kami akan selalu ada buat kamu" "Kamu selalu punya kami" Tukas wanita itu berusaha menguatkan anak gadisnya

Teresa diam saja di tengah rengkuhan kedua orang tuanya, gadis itu mati rasa, semua penyesalan menjadi satu dan berbaur dalam dirinya, penyesalan yang hanya bisa disesal saja tanpa bisa ditarik mundur untuk diulangi agar tidak terjadi. Perlahan gadis itu melepaskan kedua pegangan orang tuanya pada kedua tangannya dan mengelus perutnya, bagaimanapun anak ini tidak tau apapun untuk Teresa jadikan kambing hitam, anak dalam perutnya sama sekali tidak berdosa, Teresa menghardik dirinya yang selalu termakan dendam dan amarah hingga berakhir di atas brangkar rumah sakit ini dalam keadaan hamil dengan suami yang terbaring sekarat dan lelaki itu tidak mengetahui bahwa ayahnya telah mati, sendirian tanpa pelepasan duka cita dari orang-orang terkasih, hanya seorang pegawai setia yang mengurus kepergiannya, Teresa memejamkan matanya, setetes air mata kembali menetes dan kehangatan pelukan kedua orang tuanya masih belum memudar, mereka masih membungkus Teresa dengan pelukan penuh kasih yang seakan tidak tertembus badai dan membuat Teresa berbesar hati untuk menerima kenyataan

"Maafin mama sayang" Gumam Teresa pada bayi dalam kandungannya