webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · 若者
レビュー数が足りません
26 Chs

14| To Be Young and Broke

Pagi yang cerah itu Bintang pulang dari rumah sakit, Teresa terus di sampingnya menemani pria itu dan mengawasi segala kegiatannya. 10 hari pria itu menginap di rumah sakit dan sejauh ini pria itu menjalani semua perawatan yang diberikan padanya, Teresa memastikan lelaki itu mengkonsumsi semua obat-obatannya, makanan yang tidak membahayakan hatinya, berkonsultasi dengan dokter setiap beberapa jam melalui telfone meskipun sebagian besar perkataan medis yang dokter itu sampaikan pada Teresa sama sekali tidak dimengerti oleh gadis itu

Pria itu duduk di sofa yang meghadap langsung ke kaca besar yang terbuka, Teresa duduk di sampingnya, pria itu sudah terlihat lebih baik, wajahnya sudah mulai kembali bewarna, kehidupan sudah mulai kembali perlahan memasuki tubuh pria itu, lelaki itu bersikeras untuk melepas infusnya yang menurutnya konyol berjalan di rumahnya dengan sebuah tiang yang menggantungkan sebuh kantong cairan yang ditusukan ke lengannya, Teresa tidak mau menyulut sebuah pertengkaran, perkembangan kesehatan Bintang sudah cukup baik dan mood pria itu juga sama baiknya dengan perkembangan kesehatannya, Teresa tidak ingin merusak salah satu diantaranya,Dokter Julius juga mengabulkan permintaan Bintang selama obat yang diberikannya dikonsmsi rutin dan Bintang tidak lagi berusaha kabut dari segala macam rangkaian pengobatannya

Pria itu bersandar pada sofa menikmati pemandangan langit dan semilir angin dari jendela yang terbuka itu "Kamu sudah siapin barang kamu buat field trip?" Tukas pria itu

Teresa mengangguk seraya ikut bersandar pada sofa itu "Udah Bu Ida udah siapin buat gue" Sautnya

Bintang menghembuskan nafas "Teresa, mungkin bagi kamu Bu Ida hanya seorang karyawan yang bekerja untuk saya, namun bagi saya dia adalah ibu angkat saya, tolong jangan kamu perlakukan dia seperti itu" Tukas lelaki itu

Teresa menyeringai, atanya terpejam, gadis itu menikmati hembusan angin yang menerpanya, kedua tangannya menyilang di depan dada "Gue tau, seneng ya rasanya punya orang yang beneran care sama lu" Gadis itu meyahut matanya masih terpejam, tubuhnya masih bersandar dan tengannya masih terlipat di depan dada "Dia yang nawarin diri buat rapihin barang gue dan gue fokus temenin lu, seenggaknya lu punya figure pengganti nyokap lu, gue gak pernah dapet kesempatan itu"

Bintang menoleh pada Teresa, gadis itu masih memejamkan mata dan memeluk dirinya sendiri "Saya fikir Mba Talita sosok ibu yang baik"

Gadis itu mengangkat bahunya sambil kedua tangannya masih terlipat di depan dadanya, dia tertawa ringan "Ya, dia ibu yang baik, istri yang baik" "Tapi persepsi ibu yang baik buat gue udah mati jatuh ke jurang bareng jasad nyokap gue"

Bintang sedikit banyak mengerti arah pembicaraan ini, ia tau apa yang terjadi pada ibu kandung Teresa dan cerita sebenarnya yang bahkan tidak diketahui Teresa, bukan kewenangannya untuk memberi tau Teresa apa yang terjadi sebenarnya, lelaki itu meraih Teresa ke dalam dekapannya, gadis mungil itu begitu rapuh, wajahnya semakin cekung, mungkin gadis itu lelah mengurusinya, Bintang berbisik pada Teresa "Kamu punya saya, saya akan jadi figur yang kamu inginkan" Tukas Bintang memeluk Teresa dalam dekapannya

Gadis itu tidak melawan dalam pelukannya, Bintang tidak dapat meliha ekspresi gadis itu, gadis itu menggeleng "Lu gak perlu jadi figur yang gue mau om, lu gak perlu pura-pura jadi orang lain. Gue suka lu yang apa adanya" Tukas gadis itu mengeratkan pelukan Bintang pada dirinya

Perasaan hangat menjalar di seluruh tubuh Bintang, ia mengecup puncak kepala gadisnya dalam pelukannya, ia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya, sebuah rasa memiliki yang tidak ingin ia lepaskan, suatu rasa aneh yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat, mungkin Teresa dapat mendengar detakannya

Waktu berlalu dengn cepat, sore itu tiba, langit cerah dan mulai bewarna jingga, Bintang sedang tertidur di kamarnya akibat pengaruh obat, Teresa tidak berniat membangunkannya, gadis itu berpamitan pada Bu Ida dan berpesan untuk merawat Bintangselama ia pergi dan Bu Ida juga berpesan untuk memberi kabar jika Teresa sudah tiba di tempat tujuan field tripnya, Teresa mengiyakan dan mereka berpelukan sebentar kemudian salah satu sopir Bintang mengantarnya ke sekolahnya untuk kemudian Teresa dan teman satu angkatannya melanjtkan perjalanan dengan bus

Gadis itu nyaris terlambat saat ia tiba di sekolah, beberapa bus telah berangkat dan tersisa hanya satu bus untuk orang-orang yang terlambat sepertinya. Gadis itu duduk di deret ke tiga dari depan bus itu, kursi di sampingnya kosong dan barang-barangnya sudah masuk ke dalam bagasi bus sehingga satu kelebihan bangku di sampingnya merupakan hal yang bagus

Tapi keberuntungan itu tidak berlangsung lama, bus itu peralahan mulai terisi penuh, dua jjajar kursi di depannya diisi oleh 4 orang guru bagian disiplin yang telah terlebih dulu memberi ceramah pada Teresa karena datang telat dan sebagainya, bagian belakang bus itu ramai karena gerombolan Alex juga dalam bus yang sama dengannya dan terakhir naiklah orang yang sangat tidak ingin ditemui Teresa baik di sekolah maupun di kehidupannya yang sekarang, sebelumnya maupun sesudahnya

Bus itu sudah berisi petaka bagi Teresa sekarang ditambah Jordan membuat kendaraan itu seperti akan mengantarnya ke neraka

"Kosong ga?" Tanya Jordan sambil menaruh ranselnya pada kabin kecil di atas tempat duduk Teresa

Gadis itu menaikan kakinya ke bangku kosong itu "Ngga, ada kaki gue" Sautnya

Jordan menghembuskan nafas jengah dan seorang guru keisiplinan menolah dari kursi depan dan melotot ke arah gadis itu

Dengan sangat terpaksa Teresa menurunkan kakinya dan membiarkan Jordan duduk di sampingnya dengan sangat tidak rela

"Emang gak ada kursi lain apa?" Sungut Teresa pada Jordan

Lelaki itu sibuk mengikat tali sepatunya "Ada sih, gue bisa minta Alex tukeran tempat duduk sama gue" "Lu mau?"

Gadis itu bersungut membuang pandangannya pada kaca jendela "Lah kok nanya gue"

Jordan menghembuskan nafas "Oh yaudah, lu mau duduk sama Alex" Pria itu hendak bangkit dan begitu saja Teresa menarik jaket jeans pria itu hingga ia duduk kembali

"Gausah" "Lu duduk aja di samping gue, pura-pura gak kenal" Tukas gadis itu sambil mengalihkan padangan dari Jordan

Lelaki itu menyeringai sesekali menatap wajah Teresa yang sengaja dipalingkan darinya

Berjam-jam bus itu sudah membelah jalan raya, beberapa kali berhenti untuk mengisi bahan bakar atau menurunkan beberapa siswa yang menginkan ke toilet (Sebagai alasan untuk menyesap rokok). Teresa sudah merasa bosan setengah mati berada di bus itu, ponselnya berada di tasnya yang ada di bagasi bus, yang ada di kantong celana jeansnya hanya earphone yang tidak berguna dan dompetnya. Jordan di sampingnya membaca buku, pria itu asik dengan dunianya sendiri, ia bahkan tidak mengucapkan satu katapun pada Teresa

"Kita mau kemana sih" Tukas Teresa akhirnya pada Jordan

Lelaki itu tidak menoleh dari bukunya "Loh gue gak kenal lu" Tukas lelaki itu membuat Teresa memutarkan kedua bola matanya

Gadis itu menjulurkan tangan "Kenalin gue Teresa" Tukas gadis itu mengikuti permain yang ia buat sendiri

Jordan menyeringai, pria itu menutup bukunya "Udah tau" Saut pria itu menyebalkan

Teresa lagi-lagi memutarkan bola matanya, gadis itu sedang tidak ingin menyulut pertengkaran, di depannya ada guru disiplin, Alex berada di salah satu tempat duduk di belakangnya, fikiran gadis itu sedang terbang pada Bintang dan Roy yang sedang menjalani pengobatan mereka dan gadis itu malah ikut-ikutan field trip bersama semua orang diangkatannya yang hampir semuanya adalah orang asing baginya, dan perjalanan berjam-jam bersebelahan dengan mahluk yang paling tidak ia harapkan keberadaannya yang duduk di sampingnya benar-benar menguras semua energi Teresa untuk menyulut sebuah pertengkaran

"Kita bakal kemah di kaki gunung" Tukas Jordan

"Hah" Teresa terperangah "Gue bukan anak SD, gue juga gak pernah ikutan organisasi apapun, kenapa gue harus ikutan kemah?" Gadis itu bertanya dengan wajah tidak senang

Jordan menghembuskan nafas "Mangkanya surat edarannya dibaca" Saut lelaki itu cuek sambil kembali membaca bukunya

"Berapa hari kita kemah?" Tanya gadis itu dengan tatapan mengarah pada jalan raya

"Sehari" Saut Jordan masih asik dengan bukunya

Teresa memberengut "Kalo kemahnya cuma sehari kenapa jadwal field tripnya sampe seminggu?"

Jordan menggelengkan kepala dan membuang nafas lagi, tapi fokusnya masih kepada buku yang ada di tangannya "Kita lanjut trip lagi"

"Kemah lagi di tempat lain?" Gadis itu belum selesai mengintrogasi

"Ngga, tidur di villa" Tukas laki-laki itu "Udah jangan berisik, gue lagi baca buku"

Teresa tidak menghiraukan Jordan, bus itu sangat berisik, semua orang seakan tertawa dan jika tidak mereka mengobrol dan berteriak dan tidur, aneh sekali mahluk di sampingnya bisa membaca dengan khusyuk di hutan rimba yang sangat berisik ini

"Seru banget bukunya?" Tanya Teresa lagi dengan padangan masih mengarah kearah jalan raya yang sudah sangat gelap

"Biasa aja" Saut pria itu

"Kenapa lu baca?"

"Bagus banget pemandangan gelapnya?" Tanya balik lelaki itu masih fokus pada bukunya

Teresa menoleh padanya "Biasa aja" Jawab gadis itu malas

"Yaudah" Saut lelaki itu mengantung

Gadis itu memejamkan matanya, tapi tidak bisa tertidur, bayangan akan malam gelap penuh teriakan itu mulai membayanginya, ia tidak bisa tertidur, tubuhnya sangat lelah, seakan pinggang dan perutnya terpisah belah karena ia telah duduk berjam-jam, gadis itu ketakutan, taapi ia hanya diam

Perjalanan itu semakin jauh dan menyiksa, suara tawa dan teriakan anak-anak lain sudah berubah menjadi dengkuran, lampu dipadamkan, hanya suara dengkuran dan deru mesin serta cahaya temaram dari lampu di sekitaran kabin yang dinyalakan

"Tidur aja" Tukas Jordan sudah memejamkan matanya dan menyilangkan tangannya di depan dada

Andai laki-laki itu tau betapa Teresa berniat untuk tidur dan andai laki-laki itu tau trauma keparat yang dideritanya, gadis itu hanya diam dan terus memandang ke kegelapan malam

Jam 4 pagi mereka tiba entah dimana, Teresa sama sekali tidak mengetahuinya. Tempat itu seperti lapangan luas dan di kelilingi oleh pohon-pohon hijau, hanya dataran luas itu dan pohon-pohon sepanjang mata memandang. Semua orang turun dan bus-bus berjajar parkir di sana, kebanyakan dari anak-anak yang turun dari bus masih menguap dan merentangkan tangan mereka erat-erat ke udara, sementara Teresa bahkan tidak lagi merasa kantuk

Mereka semua dikumpulkan di tengah tanah lapang itu, seorang guru pembimbing memakai alat pengeras suara dan membacakan semua instruksi yang diperlukan selama kegiatan mereka, jadi intinya mereka akan medaki dan membangun kemah, kemudian turun lagi lewat jalur lain dimana bus lain telah menunggu di sana, dengan tujuan yang terlalu mengada-ada, leburkan diri dengan alam dan coba untuk menghargainya.

Dan mimpi buruk selajutnya berlanjut, Teresa satu kelompok mendaki dengan Jordan, Alex, dua orang perempuan anggota cheers dan seorang laki-laki pendiam yang bahkan Teresa sama sekali tidak tau lelaki itu sebelum ia satu kelompok dengannya

Teresa tau hari ini akan sangat melelahkan dan mungkin akan terjadi banyak konfrontasi yang tak terelakan ke depannya, memikirkannya saja sudah membuat kepala gadis itu berdenyut

Pukul lima setelah sarapan kepagian dengan menu apa adanya, mereka semua memanggul tas masing-masing dan mulai mendaki dengan arahan seorang guru pembimbing setiap 5 tim, dan jumlah mereka ada 60 tim, ya, sangat ramai, sehingga mungkin saja satu orang menghilang di jalan tidak ada yang menyadarinya

Jordan membawa dua buah ransel besar dan kamera, terlihat tidak menyulitkan sama sekali untuk pria itu, sementara Teresa agak bermasalah dengan tas jinjing besarnya, gadis itu bulak-balik mengangkatnya dengan berpindah tangan kanan dan kiri, kadang keduanya dan kadang gadis itu menggendong tasnya. Tapi masih ada yang lebih kesulitan dari Teresa, dua orang perempuan cheers itu membawa koper yang sama sekali tidak berguna pada jalur perdakian berbatu dan berlumpur karena hujan pada tengah malam di daerah itu. Alex hanya membawa sebuah ransel yang terlihat sangat ringan dan hanya tersenyum sinis jika tidak sengaja berpapasan dengan Teresa. Dan lelaki pendiam terakhir yang bernama Rian itu membawa sebuah carrier seakan memang mengharapkan perjalanan ini

Mereka mendaki selama satu jam tanpa jeda dan istirahat sebelum tiba pada dataran luas lainnya dengan petak-petak bekas kemah yang masih berbekas tempat orang lain berkemah sebelumnya di sana, semua orang berkumpul dan kemudian membangun kemah masing-masing, dan inilah salah satu mimpi buruk lainnya, Teresa tidak memiliki tenda. Gadis itu terduduk begitu saja pada tanah yang lembab, ia menyesali semua keputusannya untuk mengikuti field trip yang menurutnya konyol itu, gadis itu terlentang di atas tanah sambil meraih ponselnya di dalam tas jinjingnya, 40 panggilan tidak terjawab dari Bintang dan 5 lainnya dari Ibu Ida, dan sekarang tidak ada signal untuk telfon balik, hanya satu yang ada di kepala Teresa saat itu, PULANG!

"Bangun" Tukas Jordan sambil menaruh ke dua ranselnya di dekat Teresa "Bantuin bikin tenda"

Gadis itu memejamkan matanya kesal "Gue gak bawa tenda" Tukas gadis itu berang

Jordan menyeringai sambil memaksa Teresa bangkit dari tidur terlentangnya "Gue tau lu bodoh, dan gak pernah baca buku atau apapun itu, termasuk ketentuan fieldtrip ini. Tenda kelompok kita ada sama Rian, ayo bantuin dia bikin tenda" Tukas pria itu

Dengan sangat terpaksa Teresa bangkit dari posisi putus asanya

Rian sedang membuat rangka tenda, sedangkan Alex entah dimana, dua anak cheers itu sibuk mengeluh dengan segala hal sebelum mereka berdua juga menghilang, dan Jordan menariknya untuk membantu membangun tenda

"Nanti kita semua satu tenda?" Tanya Teresa sambil menggali tanah untuk patok tenda

"Lo pikir aja sendiri" Tukas Jordan sibuk dengan tenda itu

"Kita buat dua tenda" Tukas Rian untuk pertama kalinya Teresa mendengar pria itu bicara

Teresa memberengut, gadis itu menjatuhkan dirinya duduk di tanah "Cuma kita bertiga? Dih gak sudi gue, kelompok kita ada 6 orang, kenapa kita jadi babu enak aja" Sungut gadis itu berang

Jordan menarik nafas tidak menghiraukan dan Rian menyeringai

Gadis itu bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan dua lelaki menyebalkan itu dengan bersungut-sungut, gadis itu menelusuri jalan-jalan setapak dan mendaki sedikit lebih tinggi setelah tanpa sengaja ia melihat salah satu teman Alex mengendap-endap diantara pepohonan sekitar seratus meter jarak agak mendaki dari tempat kemah mereka, dan tanpa rasa takut Teresa menuju ke sana

Sesuai dugaannya, disanalah Alex dan gerombolannya dan beberapa anak cheers asik merokok dengan beberapa kaleng bir yang sudah terbuka bergeletakan di depan mereka

Teresa muncul dengan wajah yang tidak begitu menyenangkan dan kedua tangan terlipat di depan dada. Seorang dari mereka melihat kedatangan Teresa dan bersiul sambil memasang wajah meledek pada Alex, Alex yang menyadari tingkah temannya meleparkan padangannya pada Teresa

"Ngapain lu di sini?" Tanya lelaki itu

"Lu tanya diri lu sendiri" Tukas Teresa berang

"Eh Lex ngapain lu disini? Lu buta? Gue nyebat, nyatai, minum" Tukas lelaki itu bermonolog pada dirinya sendiri sambil meledek Teresa

"Bangsat" "Lu masih bisa nyebat kan? Masih lahap minum kan? Jadi sekarang juga turun lu, bikin tenda" Sulut gadis itu, tangannya bertulak pinggang

Alex merasa tersulut, lelaki itu bangkit dari duduknya, melangkah menyusut jarak dengan Teresa, gadis itu sama sekali tidak takut, matanya semakin melebar menantang pria itu

"Kalo gue gak mau gimana?" Pancing lelaki itu

"Fine, tidur aja lu di bawah pohon bareng kaleng bir" Tukas gadis itu sama sekali tidak menurunkan tensinya

Kemudian seorang diantara gerombolan Alex mendekati pria itu dan berbisik, sejenak lelaki itu terlihat berfikir, kemudian menyeringai, Teresa merasakan suatu firasat buruk saat itu juga. tapi gadis itu sama sekali tidak menghiraukannya

"Oke" Tukas Alex "Gue bikin tenda, tapi lu yang harus cari kayu bakar"

Melihat cegiran Alex, Teresa melihat sebuah motif yang sangat jelas "Deal" Tukas gadis itu "Tapi kalo lu jail sama gue, sisa waktu lu cuma sampe lu ketemu gue lagi, nyawa lu di tangan gue"

Alex dan gerombolannya terkekeh "Siapa lu? Tuhan? Ngatur-ngatur nyawa gue?"

Teresa kali ini menyeringai lebar "Gue nyokapnya Tuhan" "Kenalin Mother Teresa!" Tukas gadis itu sembari berlalu

Teresa kembali ke tanah lapang tempat hampir semua kelompok mendirikan tenda, Jordan dan Rian sudah setengah jalan membangun tenda itu, Jordan sudah bersungut melihat Teresa yang tiba-tiba hilang dan kemudian kempai setelah tendanya sudah hampir jadi

"Dari mana aja lu?" Sungut lelaki itu

Teresa menggedikan bahunya kemudian menoleh ke belakang yang disusul oleh kedatangan Alex dan dua orang wanita cheers yang membuntut di belakang Alex "Cari kuli tambahan"

Jordan hanya diam dengan ekspresi seribu pertanyaan di benaknya, Rian sama sekalo tidak berkomentar dan Alex begitu saja turun tangan membangun tenda dan dua orang anggota cheers itu bergosip ria beberapa langkah di samping Teresa

Tenda itu berdiri bersampingan antara tenda yang akan dihuni Jordan, Rian dan Alex dengan tenda yang akan dihuni Teresa dengan dua anak cheers yang sepertinya akan menginap di tenda teman mereka yang lain dan meninggalkan Teresa sendirian di tendanya. Matahari sudah bersinar terik ketika seluruh tenda selesai dibangun, lalu seketika mendung ketika jam menunjukan pukul 1 siang, dan pada saat itu Alex menagih kesepakatannya

"Cari kayu sana, gue mau masak" Tukas pria itu

"Lu bisa pake spirtus, di tas lu juga isinya makanan semua, sama bir" Saut Teresa

"Gue mau masak dan harus pake kayu bakar" Tukas pria itu memperjelas

Dengan malas dan sebuah dengusan, gadis itu kembali menuju tendanya dan berusaha mencari senter di dalam tas jinjingnya, wanita itu tidak menemukannya. Tak kurang akal, gadis itu menemui Jordan

"Pinjem senter" Tukas wanita itu

"Buat apa?" Tanya Jordan

"Cari kayu bakar" Saut Teresa

"Pake spirtus aja" Tukas Jordan

Teresa memutarkan kedua bola matanya "Bilang sana sama Alex" Saut gadis itu menahan jengahnya "Udah buruan pinjem senter"

Jordan kembali ke tendanya dan mengambis sebuah senter "Nih" Tukas Pria itu ketika kembali dengan sebuah senter dan memberikannya pada Teresa

"Lu sama siapa?" Tanya lelaki itu satu langkah setelah Teresa berbalik untuk pergi setelah menerima senter itu

"Sendiri" Tukas gadis itu sekenanya

"Ini mendung Ter, gelap banget" Tukas Jordan lagi

Gadis itu berbalik dengan ekspresi jengah "Gue gak buta Jor!" "Lu terus ngajakin gue ngomong, keburu ujan nanti sebelum gue dapet kayu bakar"

Ekspresi wajah Jordan menjadi berang "Lu, kenapa tiba-tiba lu jadi nurut sama Alex?"

Teresa mendengus dan siap meluapkan kekesalannya "Gue buat perjanjian sama dia, dia bantuin bikin tenda, gue cariin dia kayu bakar" Tukas Teresa berang

Jordan menghembuskan nafas panjang "Tunggu" Tukasnya kembali masuk ke tendanya dan mengambil sebuah senter lagi "Gue ikut" Tukas lelaki itu kembali dengan sebuah senter dan melangkah mendahului Teresa

"EH MOTHER TERESA, CARI KAYUNYA LEBIH KE ATAS LAGI DARI TEMPAT GUE NONGKRONG TADI" Teriak Alex di belakangnya tanpa dihiraukan Teresa dan gerombolan tawa bergema di belakangnya, sementara Jordan sudah agak jauh mendahuluinya

Teresa dan Jordan menelusuri semak-semak dan setapak yang terputus-putus lebih mendaki ke dalam hutan, sepanjang mata memandang yang ditemuinya adalah semak belukar dan ranting yang lembab, Teresa tidak peduli, gadis itu tetap memungut ranting lembab itu, Jordan di depannya menyenter setapak yang dilalui mereka

"Ter, kayaknya lu dikerjain deh sama" Tukas Jordan

"Gue tau" Saut gadis itu santai

Jordan menoleh pada gadis itu sembari terus melangkah mundur perlahan "Kenapa lu turutin dia?"

Gadis itu menyeringai "Tinggal gue kerjain dia balik nanti" Saut gadis itu

"Trus...""TERESA" Belum sempat Jordan menyelesaikan kalimatnya, pria itu sudah terjerumus jatuh kesebuah lekukan jurang besar yang basah terkena hujan

Tanpa pikir panjang gadis itu membuang semua ranting yang ada di kedua tangannya dan menuruni jurang itu perlahan dengan senter di mulutnya dan kedua tangannya berpegangan pada tanah basah di sekitarnya sembari gadis itu meluncur dengan bokongnya menuruni jurang itu

Gadis itu mendapati Jordan terlentang diantara semak dengan seluruh pakaian dan tubuhnya coklat terbalut tanah basah dengan gerimis yang semakin deras membasahi mereka. Celana jeans lelaki itu robek hingga selutut pada kaki kanannya, ada luka yang menganga di sana

Teresa dengan begitu saja mengeluarkan sekaleng bir dari jaket bahannya dan merobek kaosnya hingga memamerkan perutnya, gadis itu membuka birnya dan menyiram minuman itu pada luka Jordan, pria itu mengerang sebentar dan Teresa mengikat luka itu dengan robekan bajunya, gadis itu membuat Jordan bersandar pada sebuah batu besar dibawah sebuah pohon yang lumayan menghindari mereka dari tetesan hujan dekat tempat lelaki itu jatuh, dan gadis itu masih sibuk menyirami luka gores lainnya di wajah dan lengan lelaki itu

Jordan menyeringai "Bisa-bisanya lu nyari kayu bakar di hutan bawa bir"

Gadis itu balas menyeringai "Ini gue ambil di tempat nongkrong Alex yang kita lewatin sebelumnya" Gadis itu terus memberi perhatian pada luka-luka Jordan "Tapi guna jugakan akhirnya"

Setelah selesai dengan luka-luka Jordan, gadis itu menenggak sisa birnya dan ikut bersandar di samping Jordan dengan ekspresi wajah kepahitan jelas tidak terbiasa meminum alkohol dengan tingkat rendah sekalipun, kemudian lelaki itu mengambil alih kaleng bir itu

"Eh, lu udah dapet jatah bir banyak buat luka-luka lu" Protes gadis itu

"Gue butuh penawar rasa sakit dari dalem" Tukas pria itu dengan ringan meminum bir itu

Teresa tercengang "Lu biasa minum ya?" Tanya gadis itu menyaksikan pria di sampingnya itu

Jordan tidak menjawab

Gadis itu kembali meraih jaketnya kantongnya dan mengeluarkan dua batang rokok yang berhasil ia selundupkan

"Nih" Tukas gadis itu menjulurkan sebatang bada Jordan

Kening pria itu berkerut "Apa nih"

"Rokok" Saut Teresa enteng

"Ya, gue gak buta Ter" Tukas lelaki itu jengah "Maksud lu?"

"Kita gak bisa naik lagi ke atas, masih licin banget, gak ada signal dan kalo teriak pun gak ada yang denger, nikmatin aja momen ini" Tukas gadis itu menyulut rokoknya dan Jordan

Lelaki itu menyesap rokoknya dan terbatuk-batuk heboh, sementara Teresa tertawa dan mengeratkan jaketnya

Lelaki itu kembali bersandar pada batu itu menyaksikan langit kelabu di hadapannya "Dulu bokap gue peminum berat, selalu ada alkohol di seluruh sudut rumah gue, setiap hari nyokap bokap gue selalu berantem. Nyokap gue selalu naro ekpetasi yang tinggi buat gue, dia gak suka dengan beberapa kemiripan yang ada sama gue yang menurun dari bokap gue, dia terlalu benci sama bokap, dan perlahan gue capek sama itu semua, gue mulai coba minum dan itu jadi pelarian gue sampe sekarang, nyokap gue gak tau, gak ada yang tau, kecuali lu sekarang ini" Tukas pria itu mematikan rokoknya, melemparkan putung yang nyaris masih utuh itu dan menenggak habis bir di tangannya "Dan mereka cerai akhirnya, tapi gue tetep gak bisa menyingkirkan minuman itu, gue rasa itu satu lagi sifat yang nurun dari bokap gue" Tukas pria itu sambil tertawa penuh ironi

Teresa menyimak semua perkataan pria di sampingnya, sambil menyesap rokoknya dan menghembuskan asapnya pelan-pelan "Nyokap bokap gue pisah dengan cara yang sama sekali gak menyenangkan waktu gue umur 5 tahun, semua keluarga gue ngalamin trauma setelahnya, ade gue bahkan waktu itu gak bisa ketemu sama gue atau bokap gue karena traumanya, nyokap gue meninggal, dan bokap gila sama kerjaannya. Akhirnya bokap nikah lagi, dia udah bahagia dengan hidupnya tapi gue dengan rasa benci gue ke bokap, mulai jadiin rokok sebagai pelarian gue. Gue selalu berusaha buat bokap gue kecewa dan sekarang selain dendam keparat yang gue gak tau ngilanginnya gimana, trauma gue yang masih nyiksa gue sampe sekarang, gue sadar kalo semua itu membuat kutukan baru bagi cowo-cowo yang baik sama gue" "Awalnya Roy kecelakaan, trus om gue kritis karena penyakitnya makin parah dan sekarang lu berakhir luka-luka minum bir di samping gue" Tukas gadis itu ikut menertawakan ironinya

Jordan menggeleng "Roy kecelakaan waktu lu lagi gak sama dia, sama sekali bukan salah lu, om lu mungkin sebelumnya emang udah punya penyakit itu dan kalo penyakitnya tambah parah ya bukan salah lu juga, gue jatuh dan babak belur gini karena gue sendiri yang gak merhatiin langkah kaki gue Ter, bukan salah lu" Lelaki itu melepaskan jaketnya yang penuh tanah merah dan membungkusnya pada Teresa, meninggalkan kaos hitam polos yang melekat pada tubuh pria itu

"Kok lu tau Roy kecelakaan waktu lagi gak sama gue?" Tanya gadis itu membuang putung rokoknya yang sudah mati

"Tentang Roy? Semua orang tau Ter, selama lu gak masuk sekolah, dia pernah sekali kesekolah, ngajuin izin dan ngasih tau semua orang kalo lu sama sekali gak ada kaitannya sama kecelakaan dia"Tukas pria itu membuka sebuah kejutan yang tidak diketahui Teresa sebelumnya 'dan dia minta gue buat jagain lu' Lanjut batin Jordan yang tidak bisa ia katakan pada Teresa