webnovel

1 | MENAPAKI JALAN

"Apakah tahun ini adalah suratan dari ramalan itu?"

Orang yang ditanya menggeleng. Mengembuskan napas yang berat. "Entahlah. Semoga saja tidak. Jika sudah dimulai, berarti Sang Penyelamat telah turun dari langit."

Si penanya bergeming. Pakaiannya yang berupa kemeja cokelat dan celana panjang dengan warna senada bergerak diterbangkan angin. Pandangannya menerawang jauh. Ditilik dari apa yang dikenakannya, dia adalah seorang saudagar dari negeri seberang.

"Kabarnya di Andalas, naga telah keluar."

"Serius?! Kapan? Bukankah Itu hanya legenda?"

"Saban hari. Semuanya telah rata. Perempuan-perempuan banyak yang hilang. Satu hal yang mesti diingat, jangan kau bilang itu adalah legenda. Tabu!"

Raut wajah saudagar itu cemas. Ah, sebenarnya setelah dia berkunjung ke tempat ini perjalanan akan dilanjutkan menuju Andalas. Beruntung dia belum berangkat.

"Tidak ada satu pun yang selamat?"

Laki-laki dengan tubuh tambun berusaha mengingat. Tangan kanannya mengelus dagu dengan pelan. "Ada, Pendekar Lazh."

"Pendekar?" Dahi saudagar itu terlipat.

"Kau kira aku berbohong?" Laki-laki itu sedikit tersinggung atas ucapannya.

"Tidak. Bukan seperti itu maksudku. Sangat janggal seorang pendekar tidak mampu mengamankan wilayah itu."

Lawan bicaranya termangu. Kembali memikirkan ulang kejadian. Mereka-reka atas apa yang tidak diketahui.

Ah, selalu begitu. Apakah di dunia ini semua orang selalu seperti ini? Menelaah sesuatu berdasarkan pendapat sendiri. Lantas menyebarkannya tanpa tahu kenyataan berbanding terbalik dengan ucapannya.

Sudahlah! Bukan urusanku.

"Tidak bisakah kau diam sebentar penjagal?" Suara saudagar itu telah meninggi. Tatapannya tajam ke arahku. Baiklah, kegiatan menempa pedang ini terpaksa terhenti. Tapi bukankah lebih baik berbicara hal tersebut di ruang tamunya yang mewah milik laki-laki tambun? Kenapa mesti di gudang?

"Hendak ke mana kau lagi, saudagar? Mustahil kau akan ke Andalas."

Tanpa ragu dia menyebutkan `Kampar`. Bahkan hal itu membuat laki-laki tambun itu terkejut.

"Kau sama saja bunuh diri jika berpijak ke tanah itu."

"Terima kasih atas perhatian kau. Sayangnya, setelah tujuanku menuju Andalas, Kampar adalah tempat selanjutnya. Kau ingin bilang jika itu wilayah Pendekar Hitam? Sarangnya para naga? Atau sumber dari kekacauan sekarang ini? Legenda ini, legenda itu? Aku tidak peduli. Toh, dunia ini telah busuk sejak lama. Terlebih lagi tentang Tirta Nirwana. Semuanya sangat tidak masuk akal."

Aku yang memperhatikan mereka sedari tadi, mendapatkan gairah baru. Sudut pandang saudagar sama dengan apa yang aku lihat selama ini.

"Kapan kau akan berangkat. Aku akan mempersiapkan apa yang kau butuhkan. Mungkin—"

"Tidak perlu." Laki-laki itu kian terkejut. Pikirannya berkecamuk atas rencana saudagar itu. "Izinkan aku membawa penjagal ini."

"Ayolah, kau tidak mesti pergi ke sana. Apalagi mesti mengajak penjagal tidak berguna itu."

Rahangku mengeras atas perkataannya. Bagaimana mungkin aku tidak berguna selama ini? Mengawalnya kian kemari. Menjadi senjata sekaligus tameng di saat dia dalam bahaya. Bagiku, laki-laki tambun itu mesti memahami dahulu arti terima kasih sebelum menentukan arah jalan orang lain.

"Kau menolak, perjanjian batal!" Ancaman saudagar itu membuatnya tidak berkutik. Ucapannya menjadi gelagapan. Perihal perjanjian, aku tidak tahu sama sekali.

Dengan berat hati, laki-laki tambun—majikanku—mengizinkan penjagalnya ikut bersama saudagar itu. Haruskah aku berterima kasih kepadanya karena telah membawaku pergi dari cengkramannya?

"Kau persiapkan kuda sekarang. Kita berangkat saat matahari telah condong ke arah barat."

Aku memperhatikan langit yang cerah. Langit biru menampakkan ronanya bersama awan putih. Ah, mungkin ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan setelah sekian lama menghabiskan waktu menempa pedang. Sudah saatnya aku kembali mengembangkan peta yang telah lama ditinggalkan.

Tanpa aku sadari, ada awan kelabu yang berarak bersama awan putih.

***

Jika ditanya perihal perjalanan, bisa dibilang aku telah kenyang akan hal itu. Berkunjung ke tempat-tempat yang menakjubkan. Bertemu dengan orang-orang yang berbeda. Bahkan menjadi budak dari laki-laki tambun itu. Ah, ada baiknya tidak perlu ada kisahnya.

Dua ekor kuda hitam yang kami tunggangi melaju dengan cepat. Menurut perhitungan saudagar, perjalanan ini tinggal empat jam perjalanan. Atau lebih jelasnya dari Tambuo—nama tempat aku diami—menuju Kampar menghabiskan waktu sekitar sembilan jam berkuda. Lain halnya jika pergi ke arah utara, Andalas.

Memang dari Tambuo, wilayah Andalas yang berupa jajaran bukit dapat terlihat. Namun, jaraknya melebihi Tambuo-Kampar.

Malam sudah sejak tadi menghampiri daerah ini. Sejauh mata memandang hanya pegunungan hijau yang terlihat. Satu dua titik cahaya dari lentera menyala terang dari arah lereng. Bisa disimpulkan jika di sana terdapat kehidupan.

Api perlahan memakan kayu untuk mengubahnya menjadi abu. Bergemetuk bersama suara tenggerek yang seakan menangis. Langit yang menampakkan penunjuk arah telah digantikan awan hitam pekat.

Sangat jarang hal itu terjadi. Entah itu di Tambuo atau tempat-tempat yang pernah aku datangi.

"Kau tidak makan, penjagal?" Saudagar itu menepuk pundakku. Wajahnya yang ramah terpantul oleh tarian cahaya merah.

Aku menggeleng. Kembali tertuju kepada kayu yang perlahan habis.

"Padahal Kampar hanya membutuhkan waktu empat jam lagi. Langit entah kenapa menyembunyikan bintang-bintang." Dia menambahkan sepotong kayu yang cukup besar untuk perapian. Hanya menunggu waktu untuk kayu itu berubah bentuk seperti pendahulunya.

"Tidak, tidak. Aku akan ikut berjaga seperti kau, penjagal. Tidak ada yang memimpin atau dipimpin dalam perjalanan ini. Kau adalah rekanku, bukan bawahanku." Jawaban yang begitu bagus saat aku menyuruhnya beristirahat.

Tak banyak orang yang memiliki sifat seperti saudagar ini. Menganggap seorang budak sebagai rekan seperjalanannya. Biasanya, kebanyakan dari para pengembara menganggapku sebagai beban—ditambah beban bawaan mereka. Terlebih setelah kejadian yang hampir merenggut nyawaku, mereka sama sekali tidak memandangku sebagai manusia.

Manusia? Aku rasa, aku bukanlah makhluk tersebut.

"Kau itu orang baik, penjagal. Aku yakin itu. Meskipun wajah itu tampak layaknya perompak dari pulau Tortuga, tatapan kau menyimpan pelbagai kebajikan. Kau menistakan kehidupan sendiri saat dunia ini akan hancur. Omong kosong!"

Kedua alisku bertaut. Kalimatnya sukar untuk dipahami. Kobaran api kian terang. Tanpa kami sadari awan hitam itu menuju lentera yang menyala itu.

"Satu hal, penjagal. Aku takjub dengan kau sampai saat ini. Kau mampu berdiri dengan kedua kaki sampai saat ini di saat kau memiliki kekurangan yang begitu besar."

Senyumanku terukir mendengat kata-kata saudagar itu.

"Aku tidak akan menanyakan sudah berapa lama kau bersama bajingan itu. Atau bagaimana dia menemukanmu bukanlah urusanku." Saudagar itu merapatkan duduknya ke arahku. "Aku tahu kau telah berkelana hingga negeri yang tidak pernah aku tahu. Aku sangat tahu itu. Kau sudah dikenal banyak orang walaupun itu di kalangan tertentu.aku hanya ingin menanyakan satu hal. Apakah kau pernah mendegar Tirta Nirwana?"

Tatapanku pindah ke arahnya. Tidak peduli dengan perapian yang cahayanya mulai redup.

"Aku tidak tahu benda seperti apa itu. Apakah itu orang, mahkluk, atau sejenis lainnya. Namanya banyak disebut dalam buku-buku kuno yang dilarang beredar oleh pihak Penguasa. Kau tahu, berdagang adalah alasan konyol untuk melakukan semua ini. Terlalu takut untukku melakukan perjalanan. Aku tidak terlalu bisa bertualang seperti petualang-petualang lainnya. Aku hanya bisa berdagang untuk berjalan ke sana kemari tanpa ada rasa takut."

Aku masih menerka-nerka apa yang ingin disampaikan oleh saudagar ini. Ucapannya melantur entah kemana.

Aku tidak tahu Tirta Nirwana itu seperti apa, tapi aku ingin memilikinya.

Saudagar itu terperangah. Perkataannya terputus memahami apa yang aku sampaikan melalui gerakan tangan.

Aku ingin bisa berbicara lagi.

Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Saudagar itu terus menatapku dalam kegelapan. Perapian sudah padam dari tadi.