webnovel

Chapter 21 Roar

Beberapa menit kemudian, mereka selesai makan.

"Ha... Aku benar-benar belum pernah merasa sekenyang ini sebelumnya. Aku bisa memakan semuanya karena rasanya sangat enak," kata Leo sambil memegang perutnya yang kenyang.

Lalu Caise, yang sudah selesai mencuci, duduk di samping Leo, membuat Leo terdiam bingung.

"Caise?"

"...Um... Apa? Aku tidak bermaksud melakukan sesuatu, tapi... Aku hanya ingin sesuatu... Eh maksudku..." Caise menjadi canggung dan malu. Lalu Leo tersenyum kecil dan langsung merangkul Caise. Mereka duduk di bawah sofa bersama.

Caise terkejut ketika Leo merangkulnya dengan hangat.

"Mas Leo?" Caise berwajah merah karena Leo mendekat.

"Kenapa? Apa yang kau pikirkan ketika aku mendekatimu seperti ini?" tanya Leo.

"(I... Ini membuatku meledak...)" Caise mendorong bantal, membuat bantal itu menutupi wajah Leo, tapi dia jatuh dan menarik kerah Leo secara tidak sengaja.

"Ah!" Caise terjatuh di bawah, tapi siapa sangka, ketika Leo ikut jatuh, tangannya menahan kepala Caise agar tidak terbentur di lantai. Sekarang posisi mereka sangat dekat, dengan Leo berada di atas Caise yang benar-benar berwajah merah.

"(Apa ini... Apa dia ingin menciumku... Aku mungkin berharap begitu...)" Caise terdiam. Dia lalu menutup mata dan menunggu Leo mencium bibirnya.

Tapi rupanya, Leo memegang pipi Caise dan mencubitnya perlahan. "Haha... Wajahmu benar-benar sangat manis, Caise..."

Caise terkejut mendengar itu. Jantungnya berdegup sangat kencang. "I... Itukah yang kau katakan setelah mendorongku dan mencubit pipiku?"

"Ah, aku tidak mendorongmu, kau sendiri yang melakukannya. Dan soal bagaimana aku menilai kau imut, itu memang kenyataan."

"Te... Terima kasih," ucap Caise sambil membuang wajah.

"Caise... Apa kau belajar sesuatu hari ini, soal hubungan kita?" tanya Leo, sambil mengelus pelan pipi Caise dengan posisi yang masih sama.

"(Yang aku ingat hanyalah perkataan Mas Noah soal Mas Leo yang termasuk seseorang dengan nama bermarga besar... Tapi tetap saja, aku bingung bagaimana memahami ini.) Maafkan aku... Aku tak bisa cepat belajar, dan aku pikir aku tak bisa melakukannya... Pengetahuanku cukup lambat soal hal ini," kata Caise dengan wajah kecewa.

Tapi Leo kembali mengelus pipinya, membuat Caise menatapnya. "Aku tak menganggapmu harus melakukan seperti yang kulakukan... Sekecil apapun itu, aku akan tetap mengajarimu dari dasar. Mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman, karena itulah yang penting saat mengajari seseorang, terutama kamu, Caise," tatap Leo, membuat Caise bertambah berwajah merah.

"Mas Leo... Aku benar-benar bisa melihat bahwa kau lelaki yang sangat baik," tatap Caise.

"... Hahaha, apakah selama ini aku buruk bagimu? Tidak, kan? Selama aku menemukan pencerahan seperti mu, aku tidak akan bersikap buruk kepadamu," kata Leo.

Caise kembali tersenyum dan langsung memeluk Leo. "Ini hangat," kata Caise.

Leo juga tersenyum kecil. "(Aku berhasil menciptakan suasana hangat.)"

"Oh ngomong ngomong, bagaimana dengan luka Mas Leo?" tanya Caise.

"Luka? Luka yang mana?"

"Luka yang ada di perutmu, saat itu, saat Mas Leo membantu ku dengan melepas jaket mu, tak ada perban di perutmu... Dan apakah itu tidak meninggalkan bekas luka?" Caise menatap.

"Oh..." Leo memegang perutnya. "Jangan khawatir Caise, aku sudah beberapa kali terkena hal ini, itu di samarkan oleh bekas luka yang lain..." dia mengangkat bajunya memperlihatkan bekas luka itu.

"(Warnanya... Sepertinya dia memiliki regenerasi luka yang cepat sehingga bekas lukanya hampir tidak terlihat...)" pikir Caise.

"Lagipula, ini juga berkat Caise..." tatap Leo dengan lembut membuat Caise berwajah merah dan membuang wajah. "Berhentilah menggoda ku..." dia panik, Leo hanya bisa tertawa kecil melihat itu.

Sementara itu, Noah melihat sekeliling, lalu menghela napas panjang. Rupanya dia berada di rumah Leo yang besar dan gelap. Tak ada siapa pun kecuali dirinya, kecuali kalau dia berniat mencari tahu di mana Leo berada.

"Geez... Sialan sekali... Dia tidak ada di rumahnya..." Noah kesal karena Leo ternyata tidak ada di rumah. Leo masih berada di apartemen Caise.

Lalu ia mengambil ponselnya dan menghubungi Leo.

Leo, yang sedang duduk di sofa di apartemen Caise, mendapati Caise memeluk lengannya. "Mas Leo... Aku suka aroma parfummu. Wangi yang kamu pakai benar-benar berbeda dari yang lain," kata Caise.

"Aku juga suka aromamu, Caise... Aku suka jeruk," jawab Leo.

"Eh, bagaimana Mas Leo tahu?"

"Penciumanku sangat tajam," balas Leo sambil tertawa. Mereka berdua tertawa hangat, tapi tiba-tiba ponsel Leo berbunyi, membuatnya kesal. Ketika melihat siapa yang menelepon, rupanya Noah.

"Ck... Apakah dia harus mengganggu sekarang?" gumam Leo.

"Mas Leo, tak apa, angkat saja," kata Caise.

Leo terdiam sejenak, lalu menjawab panggilan Noah. Seketika Noah berteriak, "Di mana saja kau, bodoh!! Kita harus segera menyelesaikan dokumen ini, dan kau juga harus menyelesaikan urusanmu dengan Tuan Mandara dan Nona Walwes! Kau bilang bisa mengerjakannya sendiri tanpa aku, tapi nyatanya ini belum tersentuh sama sekali!!" Noah terus berteriak.

Telinga Leo hampir tuli mendengar teriakan itu. Dia pun mematikan ponselnya dan menutup telinganya. "(Sialan... Aku tidak tuli... Jangan berteriak...)"

Sementara itu, Noah menatap ponselnya dengan kesal. "Astaga... Dia benar-benar membuatku jengkel, dia bahkan mematikan panggilan! Sialan kau, Leo... Lihat saja, aku akan menjemputmu dan pastikan kali ini aku yang marah." Dia berjalan ke garasi, naik ke motor speed miliknya, dan langsung melaju dengan cepat.

--

"Mas Leo, ada apa? Kenapa orang itu berteriak? Suaranya seperti Mas Noah," tanya Caise.

"Dia hanya memintaku mengurus beberapa pekerjaan."

"Lalu kenapa tidak segera?" tanya Caise, membuat Leo terdiam. Caise memahami bahwa Leo enggan meninggalkannya.

"(Apa Mas Leo... tidak mau pergi? Dia ingin tetap di sini... Aku juga sebenarnya ingin begitu, tapi bagaimana lagi, aku harus merelakannya hanya karena pekerjaan itu yang bahkan aku tidak tahu,)" pikir Caise. "Mas Leo, ini baik-baik saja," katanya.

"Baiklah kalau begitu," Leo berdiri.

"Ah, boleh aku mengantarmu sampai keluar?" tanya Caise.

"Tentu, ayo," jawab Leo sambil mengulurkan tangan.

Caise tersenyum senang, wajahnya sedikit memerah, lalu menerima uluran tangan Leo. Mereka pun keluar dari apartemen bersama.

Setibanya di parkiran apartemen yang luas, hanya ada mobil Leo. Mereka melepas genggaman tangan masing-masing. "Caise," Leo menatapnya.

Caise hanya tersenyum, tetapi pandangannya berubah saat melihat seekor kucing kecil di tengah jalan sepi dan gelap. Kucing itu tampak sehat, berbulu tebal, jelas bukan kucing liar.

"Mas Leo, kasihan kucing itu..." Caise menunjuk.

Leo menoleh dan melihat kucing tersebut. "Aku akan mengambilnya untukmu," katanya sambil berjalan ke arah kucing, namun kucing itu waspada dan menjauh.

"Mas Leo, coba menunduk dan tatap dengan kedipan mata," saran Caise dari jauh. Leo menuruti, membungkukkan sedikit tubuhnya dan mengulurkan tangan.

Kucing itu mendekat perlahan, mengendus tangan Leo. Namun tiba-tiba, cahaya terang dari sebuah motor yang melaju cepat menyorot ke arah Leo.

Caise terkejut melihatnya, begitu pula Leo yang terpaku saat menoleh dan melihat cahaya itu.

Pengendaranya adalah Noah. Dia kaget melihat Leo. "Sialan! Leo!! Awas!!" teriaknya sambil mengerem.

Leo mencoba menghindar, tetapi bahunya terkena spion motor Noah yang tajam. Noah terjatuh, sedangkan Leo memegang bahunya yang mulai terasa sakit. "Sialan..." Leo kesal, tapi untungnya dia tidak jatuh dan berhasil menahan tubuhnya.

"Astaga!" Caise terkejut. Dia berlari ke arah Noah, membuat Leo terdiam dan menatap Caise yang lebih dulu mengkhawatirkan Noah. "(Ini wajar, karena Noah jatuh. Aku tak bisa bersikap kekanak-kanakan hanya karena melihat Caise lebih peduli padanya dulu,)" pikir Leo dengan sedikit kecewa.

Noah tergeletak di jalanan, tetapi untungnya dia mengenakan pakaian lengkap, helm, dan pelindung tubuh dari jaketnya. Motornya terguling di tempat berbeda, dengan banyak bagian yang terlepas.

"Mas Noah, kamu baik-baik saja?" tanya Caise.

"Ugh, sial... Aku baik-baik saja," jawab Noah sambil berusaha bangkit.

Lalu Caise menoleh ke Leo. "Mas Leo, bagaimana denganmu?"

"Aku baik-baik saja," jawab Leo sambil melepas tangannya dari bahunya. Namun, siapa sangka darah keluar sangat banyak, dan goresan di bahu kiri Leo cukup dalam, seperti cakaran tajam.

"Mas Leo... Itu luka parah!" Caise berlari mendekat. Dia memegang tangan Leo dan menekannya di luka itu. "Jangan biarkan darahnya mengalir, tekan luka itu."

"Caise, aku baik-baik saja."

"Lihat ini, ini tidak baik sama sekali! Kamu harus ke dokter, cepat!" kata Caise panik.

Sementara itu, setelah membuat motornya berdiri lagi, Noah melepas jaketnya dan menatap Leo tajam. "Sialan! Apa kau tahu jalanan bukan tempat untuk mati seperti itu!!" katanya dengan kesal.

Namun Leo balas menatap marah. "Siapa yang salah di sini? Kenapa kau hanya bersikap begitu? Kau pikir ini tidak sakit?!!" teriak Leo.

"Kau yang tidak punya akal! Seharusnya lihat lihat dulu jika ingin ke tengah jalan!!" teriak Noah.

"Hei! Matamu buta! Kau seharusnya tidak menggunakan kecepatan itu!! Masih bisa mengalahkan aku!!?" Leo menambah sangat murka.

"Mas Leo, sudahlah, jangan berteriak... Ini akan tambah parah," kata Caise mencoba menenangkan.

"Bagaimana aku bisa tenang?! Kau bisa melihat jalan atau tidak, Noah?!?" Leo terus berteriak.

Noah terdiam. "Kau harus memikirkan sifatmu, Leo," jawabnya dingin.

Leo terdiam dan menoleh ke Caise yang tampak hampir ketakutan karena teriakan Leo pada Noah.

"Aku... Aku tidak bermaksud begitu..." kata Leo, merasa bersalah. Dia menjadi merasa bersalah melihat Caise yang ketakutan.

Noah menggeleng lalu melihat mobil Leo. "Sudahlah, ayo cepat," kata Noah sambil masuk ke mobil dan mengemudikan mobilnya.

"(Mas Leo... Kenapa tadi aku melihat sikapnya yang begitu berbeda? Apakah ini yang dimaksudkan oleh Mas Noah? Aku baru pertama kali melihat kemarahan Mas Leo, meskipun itu hanya singkat, dan setelah meminta maaf padaku, dia langsung mengubah sikapnya... Apakah ini yang disebut sebagai auman kemarahan Mas Leo?)" pikir Caise di dalam mobil.

Leo yang duduk di sampingnya hanya bisa terdiam. Ia terus menekan lukanya sambil diam-diam menghela napas panjang. "(Ha... Sialan... Kenapa tadi aku harus berteriak... Ini karena emosiku pada si bangsat itu,)" pikirnya sambil melirik Noah yang fokus mengemudi.