webnovel

Bab 19

Cinta bagi sebagian orang memiliki gambaran sebuah penerimaan yang menjadikan ikatan sah di dalamnya. Cinta dalam pernikahan tentu berbeda makna dengan cinta yang sebelumnya. Dalam pernikahan, gelora mencinta berbeda. Tertimbun oleh masalah silih berganti dan percekcokan yang tidak berkesudahan. Lain halnya dengan cinta sebelum keterikatan pernikahan menjerat. Percikan panas yang terciprat mampu meletupkan sejuta elemen untuk terus merongrong hingga terjadi pemujaan.

Namun demikian, ikatan pernikahan tidak bisa membuyarkan goyahan cinta yang menyapa. Sama halnya dengan Hesa Ardika. Di usia pernikahannya yang menginjak angka enam dan berbuntut satu—Ardika Aksara berusia lima tahun—godaan rumah tangganya menyapa.

Hesa di ombang-ambingkan pada pesona wanita secantik Diana Patih. Perempuan muda asal Bandung penari jaipong yang merantau ke Jakarta. Parasnya ayu, rambutnya panjang hitam legam. Tubuhnya langsing tinggi proposonal. Lelaki pada masanya—kala itu—sangat mengejar-ngejar Diana sampai dapat meski berujung penolakan. Bisa bayangkan seberapa banyak saingan Hesa?

Diana tak hanya cantik namun juga teliti dalam memilih.

Sayangnya, Tuhan Maha membolak-balikkan keadaan pun dengan hati seseorang. Yang awalnya Diana anti dengan lelaki bersuami, kini di hadapkan pada pesona Hesa Ardika, Diana bertekuk lutut. Entah jimat apa yang sudah Hesa taburkan, Diana rela-rela saja dijadikan wanita simpanan di rumah Hesa yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Hubungan keduanya terjalin atas dasar suka sama suka. Lalu memulai bersama. Diana mencoba memahami kesibukan Hesa yang seorang pimpinan dan suami serta ayah bagi keluarganya di Jakarta. Diana tidak menuntut banyak kecuali di kunjungi selagi Hesa memiliki waktu luang.

Hingga garis dua berwarna merah terlukis indah, senyum Diana terukir. Buah cintanya dengan Hesa bersarang di rahimnya. Masih tidak Diana memprotes. Seolah mengalah adalah sifatnya selama ini. Membuat Hesa anteng-anteng saja. Merasa bersyukur memiliki Diana di hidupnya sampai terlantun kalimat:

"Kamu anugerah buat saya. Seandainya kita di pertemukan lebih dulu, tentu …"

Manusia suka sekali berandai. Tidak pernah puas dengan apa yang sudah di milikinya saat ini. Padahal menjaga itu lebih sulit ketimbang memertahankan. Meski terkadang, kita tidak boleh terikat dengan orang lain.

"Apa kata dokternya."

Hesa tengah mengenang masa-masa di mana Diana merajai kehidupannya. Perempuan cantik yang hari itu berpamitan mengontrol kandungannya dan Hesa berhalangan mengantar.

"Sehat. Aku lihat bentuknya. Dia mulai tumbuh, berkembang, kaki dan tangannya sudah bisa mengepal seperti ini." Diana praktekkan apa yang disaksikannya di layar monitor siang tadi. Telapak tangan kanannya mengepal dengan binar wajah antusias. "Kelaminnya bisa berubah-ubah jadi aku minta dokternya buat jangan ngomong."

"Tapi maunya apa?"

"Apa saja. Asal dia sehat." Diana usapi perut buncitnya. "Ini kehamilan pertama aku, pengalaman pertama aku yang benar-benar aku tunggu."

"Kamu harus jaga dia sebaik mungkin." Diana mengangguk patuh. "Sekarang tidur. Ini susunya."

Malam itu berjalan selayaknya malam-malam yang lalu. Bagi Hesa, berada di sisi Diana adalah kebahagiaan abadinya. Sedang bagi Diana, di sisi lelaki yang sudah beristri tentu bukan sesuatu yang dirinya harapkan. Karena setiap perempuan berhak mendapatkan cintanya, Diana ingin menjadi satu-satunya yang utuh.

***

Pasti sakit sekali rasanya. Sinar mentari berkunjung di atas bumi pertiwi. Kicauan burung gereja berputar, bergerombol memadukan suaranya yang khas. Desau angin pagi dengan latar kabut tebal yang menaungi. Sudah menjadi pemandangan di kala Diana membuka mata. Yang selalu menjadi pembeda hanyalah ranjang sebelahnya yang kosong. Meski ada jejak badan yang menyinggahi, tapi tetap saja hampa.

Inginnya begitu mata terbuka, Diana bisa memandangi Hesa sampai jemu. Sampai ingin keluar bola matanya. Lalu bersenda gurau sebelum memulai aktivitas menyibukkan. Tidak bisa, kan? Sekali saja.

Apa yang bisa Diana lakukan selain diam?

Itu juga yang sedang Hesa pikirkan dalam benaknya.

Albert Einstein menuliskan: Ketika kamu sedang berpacaran dengan gadis yang baik, sejam terasa seperti sedetik. Ketika kamu duduk diatas bara panas, sedetik terasa satu jam. Itulah Relativitas.

Itu yang hingga detik ini Hesa rasakan. Mengenang Diana yang pergi entah ke mana serasa mencekik lehernya. Sedang menatap Mija, air mata yang ingin luruh harus Hesa tahan. Agar tidak tercetak cinta di binar matanya untuk Diana.

Dunia ini kejam dan Hesa tidak bisa berbuat banyak selain memberi strategi bertahan untuk putra keduanya. Bahkan memilih satu diantara keduanya pun Hesa kesulitan. Sama seperti beberapa tahun yang lalu: Diana atau Mija.

Jodoh menjadi rahasia Tuhan. Sesetia apapun kita, selama apapun menunggu, bersabar, setulus apapun kita menerima, jika Tuhan tidak menuliskan garis takdir untuknya berjodoh dengan kita, hasilnya tidak akan bisa bersama. Sejauh yang kita bisa hanya berpikir positif karena percaya tulang rusuk takkan pernah tertukar. Dan cinta yang kita genggam, takkan berada di pelukan hati yang salah.

Percaya saja, suatu saat nanti kita akan di pertemukan walau dalam kondisi yang berbeda. Jika sudah di takdirkan berjodoh, akan bersatu.

***

Ardika endusi aroma kopi yang menguar.

"Wangi banget baunya." Bibirnya bersambut dengan cangkir. Decak nikmat bersalaman dengan lidah. "Bikinan istri dan bikinan sendiri memang punya kesan mendalam."

Pulung terkekeh. Mendengar hiperbola suaminya yang berlebihan. Inginnya mengatai lebay tapi ingat: Surga istri di kaki suami. Jadi urung saja.

"Masih harus lembur?" Pulung duduk di sofa yang berbeda dengan suaminya. Membaca beberapa lembar laporan perusahaan yang menurutnya rumit.

Konsentrasi Ardika terlampau tinggi sampai anggukan saja yang di beri sebagai jawaban. Tak apa. Pulung coba mengerti seberapa besar tanggungjawab sang suami.

"Kamu bisa tidur dulu. Aku bisa sampai malam kalau ditungguin."

"Nggak apa-apa. Aku nemenin mas di sini. Tak buatin camilan ya."

Kaki Pulung lekas hengkang dari sana. Memangkas bibir Ardika yang sudah terbuka untuk terpaksa di tutup lagi. Istrinya itu sedikit banyaknya memiliki sifat ngeyel. Yang jika sudah punya keinginan tidak bisa di bantah. Hampir sama dengan putrinya. Pastas jika keduanya akur.

"Nih." Sodor Pulung pada semangkuk buah-buahan. Di potong dadu ukuran standar dan garpu kecil untuk menusuk. Aslinya percuma di taruh garpu di sana karena jari-jari suaminya tenggelam di keyboard laptop.

"Buka mulutnya." Kalau tidak pakai inisiatif, Pulung jamin nggak ada niatan untuk di ambil. Timbang mubazir lebih baik dirinya bantu suapkan.

"Makasih sayang." Semu-semu merah jambu bertengger di kedua pipi Pulung. Di tambah elusan yang jari Ardika larikan. Remaja tanggung bisa jatuh cinta begini ternyata. "Maaf bikin kamu kerepotan." Pulung lekas menggeleng. Menyuapkan kembali potongan kiwi. "Proposalnya deadline besok karena pagi-pagi langsung rapat sama klien."

"Jam berapa?"

"Jangan masak terlalu pagi." Ardika paham maksud istrinya bertanya begitu. "Kebetulan mau sarapan bareng juga. Oh ya, Omi gimana?"

"Baik. Dia sudah mulai menguasai gerakan awalnya. Di banding teman-temannya, Omi lebih cepat buat nangkap materi."

Baik. Ardika merasa ini tidak salah. Jalan yang dirinya tapaki sudah paling benar. Kehadiran dan tindakannya untuk membawa Pulung mengarungi bahtera rumah tangga terbilang pas. Porsi bahagia yang selama ini Ardika idamkan juga cukup. Walau masa lalunya sungguh buruk dalam membina terjalnya cobaan, kini Ardika tekadkan untuk hanya memandang Pulung sebagai masa depan.

"Terima kasih dan cinta kamu."