webnovel

Pengantin Datang

***

Siapa itu ....

Wanita cantik berkerudung satin dengan aksen manik-manik keemasan, lukisan henna menghiasi tangan, cincin berlian melingkar di jari manisnya. Ia berdiri di teras rumah dengan wajah menunduk  dan gugup sambil meremas jemarinya tak berani mengangkat wajah untuk menatap bola mataku bahkan sepatah kata pun tak terdengar dari bibirnya, namun, aku bisa memastikan bahwa ia  adalah pengantin baru.

**

Sudah dua hari sejak kepergian suamiku yang izin untuk melaksanakan  tugasnya di luar kota, Mak Ikbal, suami yang begitu kucintai sepenuh hati dan telah memberiku seorang putri cantik, ia adalah imam yang hampir tanpa cela dalam keluarga kecilku. 

Perawakannya yag tinggi, wajah berseri dengan iris mata kecoklatan, hidung mancung serta rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus membuat aura ketampanan suamiku nyaris menyamai pangeran dari negeri Arab.

Suamiku adalah sosok pria yang bertanggung jawab dan penyayang  pada keluarga, serta taat beribadah. Sekali pun ia tak pernah alpa untuk membahagiakanku, lahir dan batin, bagaimana aku tak semakin cinta padanya, jika semua sikap manis dan perhatiannya membuat hati ini  seakan ditumbuhi bunga-bunga yang disirami air surga.

Tiap pagi ia menyapaku dengan senyum manis memberi  kecupan dan pelukan hangat serta bisikan, 

" Terima kasih telah menemani hidupku sejauh ini, Sayang."

Aku tersentuh juga terharu mendengarnya, apalagi ketika tiba-tiba sekuntum bunga tiba-tiba ia hadirkan dari balik baju kokonya.

"Mas Ikbal sempat-sempatnya memetik bunga," kataku manja.

"Kan, banyak tumbuh di halaman masjid jadi Mas petik sekuntum untuk istri tercinta."

Aku tertawa bahagia lalu membalas pelukannya. Sungguh pagi yang syahdu dalam kenikmatan bernapas lega dan menikmati alam raya. 

"Subhanallah Tuhanku, abadikanlah cinta kami." Begitu doaku dalam rangkulan teduhnya.

**

Semua scene di atas seperti putaran tayangan DVD di kepalaku, setelah siang ini pintu gerbang terdorong, mobil avanza hitam memasuki halaman dan putriku dengan gembira segera menghambur ke depan untuk menyambut Ayah yang sangat ia rindukan selama dua hari terakhir.

"Ayah ...."

Mas Ikbal merentangkan kedua tangan dan menyambut anak semata wayangnya yang baru berumur dua tahun.

"Hai, Sayang, Ayah rindu," katanya.

"Raisa juga rindu Ayah," balas putriku sambil merangkul leher ayahnya dan Mas Ikbal menghadiahinya kecupan kecil di  pipi putrinya.

"Assalamualaikum," katanya lembut di depan pintu.

"Waala'ikum salam, Mas." Kusambut dia dengan mengecup punggung tangannya.

"Bagaimana kabar Mas, apakah urusannya lancar?"

"Uhm, i-iya, Alhamdulillah," jawabnya namun dengan nada sedikit bergetar.

"Ada apa, Mas, kenapa Mas tampak tak sehat, pucat, dan gugup?" tanyaku karena aneh melihat ekspresinya.

"Eng, anu, enggak ada." Katanya.

"Mas terlihat berbeda," kataku sambil meraih wajahnya dan membingkainya dengan kedua belah tangan, ia terlihat lebih tampan seperti habis bercukur, "Mas terlihat seperti pengantin baru," godaku.

Ia tergelak namun rasanya terdengar ganjil di telingaku. 

"Ehm, anu Sayang, aku ingin bicara," katanya sambil menuntun tanganku menuju kursi ruang tamu. Aku yang dituntun seperti itu, hanya mengikuti namun dalam hati ini mulai berdesir tak nyaman, rasanya ... sama seperti hari di mana ibunda tercinta meninggal dunia, Sedih, hampa, dan terluka.

Namun,  segera kutepis firasat itu dengan banyak melafalkan istighfar dari dalam hati ini.

"Jannah, Mas ingin bicara, tapi mohon, jangan terburu emosi, ya," katanya sambil memegang erat kedua tanganku.

"Apa sih, Mas. Jangan bikin mati penasaran deh, kabar baik atau buruk sih?"

"A-anu ...." Ia tampak sangat-sangat ragu.

"Mas ...." Aku menunggu kalimatnya yag terjeda tadi.

"Kamu percaya 'kan, jika semua yang Mas lakukan demi kebahagiaan kita, kebahagiaan keluar besar kita, Mas yakin kamu istri terbaik yang diberikan Allah, Mas akan selalu

lalu mencintaimu, Sayang."

"Apa sih, jangan bertele-tele," ucapku dengan perasaan yang sudah tidak karuan, tanpa bisa kubendung air mataku tiba-tiba meluncur begitu saja tanpa kumengerti sebabnya.

Tiba-tiba dari depan sana, suara gemerincing perhiasan terdengar semakin mendekat, terdengar teratur seirama hentak kaki pemiliknya.

Krisk ... krisk ....

"Siapa itu,Mas?"

Orang yang kutanya hanya menunduk dalam. Kuguncang-guncang lengannya agar ia segera menjawab pertanyaanku. Aku tahu sesuatu yang tidak baik bagiku telah terjadi, sebuah bencana atau entahlah, aku bertanya terus dan air mataku kian menderas hingga bayang wanita itu hadir sempurna di depan pintu utama, masih mengenakan gaun pengantin dengan jilbab terulur hingga ke lantai ia menunduk dan  tak sedikit pun menatap ke arahku.

"Kamu siapa?" tanyaku dengan suara yang nyaris tercekat.

Ia tak menjawab namun tangannya tiba-tiba saling bertautan memperlihatkan cincin pernikahan yang ia kenakan.

"Dia siapa Mas!" Intonasi ku meninggi seketika.

"Soraya ... Istriku."

Seketika aku merasa pendengaran di telingaku hilang, semuanya hening, hanya  embusan angin bisa kutangkap sejenak. Aku terpana, terkesima, dan dengan nanar kutatap wanita cantik itu, ya, aku memastikan aku tidak bermimpi.

"Yang benar ... Mas ... Tapi kenapa ... Ap-apa salahku?" kataku lirih, tak sanggup berkata lantang karena tiba tiba aku seperti kehilangan energi. 

Aku tersungkur dan  lemah di lantai, dan terisak sementara putriku melihat semua itu hanya terperangah, "Bunda ...." Ia memelukku seketika. 

"Jannah, aku telah melamarnya untuk memenuhi permintaan Abinya yang merupakan guru di pesantrenku dulu," katanya pelan.

"Tapi kenapa, kenapa harus menikah?"

"Aku sudah berjanji sewaktu muda dulu jika aku akan menjadi menantunya," jawabnya.

"Kalo begitu ... ka-kalo begitu ... Kenapa kamu menikahiku," kataku dengan dada yang mulai sesak. Ingin berteriak tapi tenggorokanku tercekat, suaraku tertahan sehingga ada sensasi bengkak dan sakit di batang leherku.

"Aku ... Aku ...."

"Ada kau lupa dengan janjimu pada ustadzmu, lalu menikahiku, Mas. Kini kamu teringat dan melamarnya, kenapa kamu gak jujur dari awal Mas?"

"Aku ragu, kamu tidak setuju."

Aku terkesiap mendengarnya, kepalaku berdenyut denyut dan telingaku berdenging,  seketika pandanganku berkunang-kunang dan berputar sehingga aku nyaris tersungkur dalam posisi telungkup. Mas Ikbal dan wanita itu, wanita yang tak akan  sudi Kusebut namanya itu menghampiri dan berniat menolongku.

"Jangan ... Jangan sentuh aku! Aku gak sudi, kalian licik dan jahat."

Wanita itu mundur dua langkah dari hadapanku.

"Dan kamu, Suamiku," aku menangis mengeja kata 'suamiku' "Tega sekali, kamu Mas," kataku terbata bata dan sesenggukan.

"Maaf, Jannah, Mas akan bersikap adil," jawabnya lirih.

"Adil katamu, Mas? Sekiranya Mas memang adil dan jujur tidak akan terjadi seperti ini, dan kamu ... wanita yang berasal dari kalangan terhormat dan agamis," kataku sambil menolehnya, "Kenapa kamu merusak kebahagiaan wanita lain. Kenapa, katakan?!" Aku kalap dalam tangisanku. 

"Maaf, Mbak."

"Maaf katamu?" Ujarku bangkit dengan tatapan  membeliak dan bersiap-siap menarik hiasan di kepalanya. Namun mas Ikbal sigap menarikku dan memelukku kuat-kuat.

"Lepasin, ceraikan saja aku sekarang, lepasin ...."

"Tenang Jannah, istighfar," katanya sambil menepuk-nepuk punggungku.

"Mas jahat ... Jahat ...." Kupukul-pukul dadanya sepuasku.

"Aku mau cerai! Sekarang juga!" Putriku yang mendengar itu langsung menangis  dan memanggil manggil.

"Bunda ... bunda," tangisnya.

Lamat lamat penglihatanku kabur, tubuhku lemas lalu semuanya menggelap.