webnovel

Janji 1000 Bangau

"Papa, ceritain cerita bagus dong ya??", "Iya nak…papa ceritain ya...", lalu anakku duduk dipangkuanku.

*** (flashbacks)

Namaku Rendi, mahasiswa baru dan perantau dari kota seberang. Awalnya, aku merasa tidak adanya kecocokan antara aku dan lingkungan sekitar fakultas. Saat-saat menjadi mahasiswa baru adalah sebuah tekanan yang memberatkanku. Merantau di kota orang, jauh dari orang tua dan keluarga besar, merupakan tantangan yang cukup berat bagiku. Tapi, dengan tekad yang kuat, aku mulai berusaha untuk beradaptasi. "Ini untuk kebaikanku kelak.", pikirku.

Suatu pagi, kakak tingkat memanggilku dan beberapa orang lainnya untuk berkumpul dan membicarakan mengenai tema yang akan digunakan untuk orientasi fakultas. Lalu, kakak pembimbing mempersilahkan masing-masing kelompok untuk memperkenalkan diri.

Dari sekian banyak mahasiswa dan mahasiswi, mataku tertuju pada satu perempuan. Dia terlihat lugas, tegas dan periang, aku mulai terfokus padanya. "Dek, dek, waktunya perkenalan diri.", ujar kakak pembimbingku, Kak Beni. Semua orang menertawakanku termasuk dia.

Senyumnya merekah seperti bunga, "Aku pikir, aku mulai menyukainya." ujarku dalam hati. Aku memperkenalkan diri dan hal itu pula menjadi penutup serangkaian perkenalan anggota yang singkat itu. "Jadi, sudah perkenalan diri kan semuanya? Sekarang kalian cari tema tentang perjuangan, baik itu tentang perjuangan dalam mempertahankan pendapat maupun mempertahankan pola pikir..Apapun itu, yang penting tentang perjuangan. Batas waktu 3 hari dari hari ini. Tidak perlu dibuat esai formal, tapi kalau kalian pelupa, tulis biasa ya gak popo. Gaonok sing takon?", aku menggeleng diikuti oleh beberapa temanku.

Selang beberapa lama, pembahasan berubah mengenai hal lain seputar pengenalan fakultas hingga sore hari, dan akhirnya seluruh anggota diperkenankan untuk pulang.

***

Sekembaliku dari fakultas, aku berselancar di internet untuk beberapa waktu. Mencari pengertian tentang perjuangan dalam artian luas. Seketika, aku teringat tentang Hana. Nama Hana mengingatkanku tentang bahasa Jepang yang berarti bunga.

Lalu, aku mulai mencari cerita rakyat Jepang di internet, "ah ini dia." pikirku. Cerita tentang perjuangan seseorang untuk membuat 1000 origami burung bangau sebagai simbol bahwa satu permintaan dapat terkabul nantinya bila telah melipat sampai 1000 burung bangau, dan aku pikir seseorang seperti dia patut diperjuangkan, "Aku akan membuatnya.", gumamku.

Aku bergegas ke toko buku terdekat, mengambil beberapa yang aku perlukan dan lekas membayarnya, "wah mas mborong yo? Sampean pasti arek despro yo mas?" , aku membalas dengan senyuman. Dengan senang hati, aku pulang dan seketika mencari kotak sepatu bekas sebagai tempatnya untuk sementara waktu.

Aku mulai mencari referensi seni melipat kertas berbentuk bangau dan aku melupakan tujuan awal mengapa aku berselancar di internet.

Jam telah menunjukkan pukul 21.00 yang artinya sebentar lagi menjelang tengah malam, "Yah, lumayan baru coba udah dapat 22 buah.", gumamku. Aku menghentikan kegiatanku sejenak dan menyiapkan hal-hal yang diperlukan untuk masa orientasi esok hari untuk beberapa hari kedepan. Selain itu, yang membuatku bersemangat memulai pagi adalah dapat bertemu dengan Hana, "Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.", pikirku. Aku memutuskan untuk bersiap tidur dan mencoba membayangkan hal apakah yang akan terjadi keesokan harinya.

***

Keesokan harinya, aku bergegas menuju fakultas untuk mengikuti serangkaian orientasi lanjutan. "Terlalu pagi ini mah.", ujarku. Pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sejenak di tempat duduk terdekat yang ada disekitarku. Seketika mataku berhenti pada satu sudut, ada seorang perempuan sedang asyik melipat kertas berwarna-warni. Beberapa ada yang sudah berbentuk burung bangau. Rasa penasaranku tumbuh dan tanpa sadar aku sudah berada didepannya. Ya, perempuan itu adalah Hana.

"Hei, lagi buat apa?" tanyaku, "Rencananya aku mau bikin 1000 bangau sih." jawabnya singkat. Mataku terbelalak dan aku terdiam untuk beberapa saat. "Ren, kamu kenapa?" ,"Ah enggak, aku gapapa." jawabku sembari tersenyum. Kupikir hanya aku saja yang percaya tentang mitologi yang bahkan menurutku sains tidak dapat menjangkaunya.

Pikiranku mulai sedikit liar, ternyata Hana memiliki beberapa persamaan denganku. "Ren, jangan bilang siapa - siapa ya…soalnya ini rahasia antara kita aja. Ini spesial banget soalnya", aku mengangguk. Dari kejauhan, terdengar hiruk pikuk mahasiswa baru mulai berkumpul, "Eh, Hana, aku kembali dulu ya..Bye.". Aku meninggalkannya dalam diam, dan aku segera berkumpul dengan kelompok inti.

Selama diskusi kelompok, aku masih terbayang dengan pernyataannya tentang hal spesial apa yang dia maksud. "Mungkin origami itu untuk orang yang dia suka atau untuk kemujuran dalam hidupnya.", pikirku. Aku merasa sedikit putus asa untuk memikirkan sebabnya, hingga "Dek, bisa ikut aku sebentar?", sergap Kak Beni padaku, "I-iya kak.." jawabku terbata.

"Kamu tadi ngapain sama Hana? Dia adik kandungku. Jangan aneh-aneh kamu. Belum cukup kenalannya kemarin?","Mohon maaf kak, tadi saya berangkat terlalu pagi dan kebetulan saya melihat Hana duduk sendirian, akhirnya kami putuskan untuk mengobrol singkat..." jawabku sambil menunduk. Kak Beni memperhatikanku dan berpesan, "Oke, boleh berteman sama adik aku, tapi jangan disakitin. Dia gak suka kalau aku overprotective. Sebenarnya ini pesan mendiang papa untuk menjaga adik perempuanku satu - satunya. Dia pernah kabur dari rumah dan aku yang membawanya pulang. Aku bertengkar dengan beberapa orang dan membuat mama menangis. Setelah itu, kuputuskan untuk melindungi adikku dari apapun dengan cara selain kekerasan. Jadi, tolong bila ingin berteman dengannya, jadilah teman baik dan jangan menjerumuskan.", aku menelan ludah dan "Kaget ya dek? Maaf panjang lebar, intinya demikian. Ayo kembali ke barisan.", aku mengangguk pelan dan mengikutinya untuk kembali ke barisan dan melanjutkan diskusi hingga sore hari.

Menjelang pulang, beberapa anak berkumpul memenuhi papan pengumuman pembagian kelas. Aku menunggu dari kejauhan, menunggu keramaian untuk mengurai. Selang beberapa menit kemudian, aku mulai membaca satu per satu daftar nama pembagian kelas. Aku mencari namaku dan namanya dalam daftar nama, "hm, ternyata enggak sekelas.." gumamku lirih.

Hana juga berada didepan papan pengumuman dengan muka masam, aku pikir, dia berusaha mencari namanya, "Hana, namamu ada di kelas D dan Kita enggak sekelas…" ujarku padanya. Hana terkejut dan kebingungan, "Makasih udah dicariin… Jadi mempersingkat waktu aku…oiya, aku pulang dulu ya..Bye.", sambil tersenyum tipis dan menunduk. "Mungkin dia sedih karena harus adaptasi lagi..Semoga dia bisa melalui semuanya tanpa ada gangguan.". Lalu, aku bergegas pulang karena hari sudah petang.

***

Sesampainya di kos, aku tetap melanjutkan untuk melipat origami meskipun aku kurang tahu pasti, kepada siapakah origami yang Hana buat akan diberikan. Saat melipat, aku teringat tentang tugas dari Kak Beni dan besok adalah hari terakhir pengumpulan.

Aku segera mengambil kertas dan membubuhkan beberapa kalimat, "Aduh, aku merasa ada yang kurang…Mungkin aku browsing lagi aja deh.", sembari menyiapkan komputer jinjing, aku masih tidak dapat berpikir dengan jernih, mengapa ekspresi Hana berubah seketika, saat aku memberi tahu tentang pembagian kelas tadi sore, "Apakah dia mencemaskanku? Mana mungkin,..Aku lah yang pasti mencemaskannya…" pikirku. Setelah Kak Beni menceritakan sekelumit hal yang pernah terjadi padanya, sekarang semua tentangnya menjadi terasa aneh.

Otakku tidak dapat bekerja seperti semestinya. Terus - menerus aku disibukkan tentang Hana. Sebenarnya masa lalu apa yang Hana pernah alami sebelum bertemu denganku. Aku pikir, Hana anak yang baik, periang, cerdas, dan sedikit penyendiri setelah beberapa percakapan kecil pagi ini. Tidak jauh berbeda denganku yg juga menyukai kesendirian.

Karena dengan sendiri, dapat membuat perasaan dan pikiran jauh lebih tenang. Namun disatu sisi, aku merasa bahwa ada beberapa aspek lain yang membuatku yakin bahwa memang Hana orangnya. Kupikir dia dapat membantuku melewati masa - masa sulitku saat merantau. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya, "Mungkin karena besok hari terakhir kita ketemu, aku akan menanyakan beberapa hal dan ingin menjadikannya temanku selama aku mengenyam pendidikan disini.", ujarku dalam hati.

Dalam kebingungan untuk menambahkan kalimat apa yang pantas untuk kutulis. Tanpa sadar, aku mengambil selembar kertas kosong dan mencoba menulis ulang makna perjuangan. Aku mencoba mengartikan makna perjuangan dengan caraku. Tidak sampai 10 menit, aku sudah menyelesaikannya, "Oke, singkat, jelas dan padat. Udah aja deh, ntar berubah lagi.", aku meraih map dan memasukkanya. Aku mulai mempersiapkan diri untuk tidur dan menyambut hari esok.

***

Hari ini adalah hari terakhir aku bertemu dengannya, "Aku harus memanfaatkan kesempatan ini." ujarku. Aku segera bergegas menuju fakultas agar tidak terlambat untuk bertemu dengannya, "Aku belum melihatnya, apa yang terjadi padanya…" kataku dalam hati. Dalam kegelisahan, aku menunggunya untuk beberapa menit.

Tak butuh waktu lama, aku melihat Hana terburu - buru untuk segera duduk di tempat dimana kami pernah memulai percakapan. Kulihat dari kejauhan, dia mengeluarkan pot obat dan segera mengeluarkan beberapa obat dan meminumnya.

Aku tertegun sejenak dan lekas menghampirinya untuk beberapa saat kemudian, "Hei, tadi minum obat apa?", "oh ini….cuma obat maag sih." balasnya sembari melempar senyum padaku. "Aku punya maag sih, sering kambuh - kambuhan, tadi obatnya ketinggalan, makanya aku buru - buru karena takut telat, eh ternyata enggak hehe" ujarnya sambil terkekeh.

Namun, aku melihat ada beberapa obat selain obat maag, beberapa obat anti depresi dan obat yg lainnya, "Sebenarnya, apa yang terjadi, Hana..?", Ingin rasanya mendengar lebih jauh tentang kesulitan apa yang sedang kamu hadapi masa kini dan masa lalu. Aku melihat dari kejauhan, tampak Kak Beni memandangiku dan mengangguk, seperti mempersilahkanku untuk melanjutkan percakapanku dengannya, "Kesempatan emas." pikirku.

Tanpa membuang waktu, aku segera menanyakan apapun padanya. Mulai dari percakapan mengenai perkuliahan sampai kepada hal - hal kecil seperti kesukaan masing - masing dan kesulitan apa yang menjadi beban akhir - akhir ini. Angin semilir dan suara rindangnya pohon, membawaku semakin larut dalam topik yang tidak berarah, "Situasi yang sangat mendukung." pikirku.

Tiba - tiba, "Yuk masing-masing bikin 1000 origami, total 2000 origami. Kalau salah satu dari kita nggak bisa sampai 1000 origami, yang lain harus melanjutkan tujuan awalnya.","Oke tantangan diterima." jawabku tanpa pikir panjang. Kak Beni memanggilku dan Hana dari kejauhan, memberi tahu bahwa sudah waktunya untuk kembali ke barisan. Dia melempar senyum dan aku membalas senyumannya, "Gila gak nyangka…Berasa ngimpi." gumamku.

Selama pengarahan, aku masih memikirkan Hana. "Aduh, jangan sampai memengaruhi kuliahku, aku merantau untuk membuat orang tuaku bangga atas pencapaianku kelak.", gumamku. Tapi sejujurnya, aku benar - benar tidak dapat berkutik, "Kurasa aku memang menyukainya…Tidak ada keraguan sedikitpun untuk melipat origami bersama lagi. Untuk siapapun dia akan melipat itu, aku akan tetap memperjuangkannya." kataku dengan penuh keyakinan dan tanpa sadar Kak Beni mendatangi dan memberitahuku, "Kulihat tadi kamu dan adikku bercakap - cakap, dan aku yakin, kamu tak akan menyakiti adikku. Kamu boleh berteman dengannya. Sangat jarang adikku menampakkan raut wajah sebahagia itu dengan orang asing. Terakhir kali kulihat sewaktu mendiang papa masih hidup. Terima kasih sudah membuatnya menjadi dia yang dulu untuk sementara waktu.", aku terpana akan kalimat Kak Beni, "Iya kak.." balasku. "Ini artinya, aku bisa berteman dengan Hana dalam waktu yang cukup lama." pikirku.

Lalu, Kak Beni memberikan telepon selulernya dan memberi tahu sosial media Hana, "Nih, adekku suka pinjem hapeku, akunnya lupa nggak di log out, udah aku add. Dia rajin upload di sosmed.". Akhirnya, kami berteman di sosial media atas bantuan kakaknya. Kak Beni paham, karena kami akan sangat jarang bertemu untuk beberapa tahun ke depan. Terkendala jadwal mata kuliah yang ditempuh, belum lagi masalah skripsi. Salah satu mahasiswa baru menghampiri kami dan bertanya, "Kak Beni, mengenai tugas individu yang diberikan, kapan dibahas?","Dek, gak akan kubahas, karena ini untuk kalian sendiri. Perjuangan itu bersifat relatif, dan setiap orang, memiliki pandangan yang beragam tentang perjuangan. Jadi, sekedar untuk media pembelajaran pribadi aja, dan selalu ingat untuk selalu perjuangkan apapun yang pantas untuk diperjuangkan.", balas Kak Beni sambil menatapku tajam. Sepertinya Kak Beni merasakannya, "Tak akan aku sia - siakan kak." ujarku dalam hati. Perjalananku pun dimulai dan aku akan terus melipat origami itu.

*** (time skip)

Tidak terasa, sudah berjalan hampir 4 tahun, aku membangun hubungan ini dengan Hana. Sebanyak 1000 origami telah berhasil kulipat. Namun, kebahagiaan itu tidak berjalan lama, aku tidak sengaja membakar beberapa origami yang berhasil kulipat, "Sial, ini karena mati lampu tadi malam.", sambil menyiramkan air mineral, "Gila asepnya. Bodohnya aku ni.".

Tanpa pikir panjang, aku mulai menghitung jumlah origami dan membuatnya kembali tanpa menerapkan seberapa banyak aku harus membuat, "Sebanyak-banyaknya untuk kali ini, harus." *ping-ping*, "Ah, dia mengirim pesan di facebook messenger.". Meskipun jarang bertemu, tetap saja, kami masih saling memberi kabar melalui sosial media.

Selama waktu itu, aku dan Hana saling bertukar cerita dan menyelipkan sebuah harapan agar dapat diwisuda bersama-sama. Pada suatu waktu, Hana mengabariku agar aku datang di seminar skripsinya, "Maaf Han, aku masih sakit nih." balasku, dia hanya membaca pesanku, tanpa membalasnya.

Selang beberapa hari, dia mengirim foto padaku bahwa dia dinyatakan lulus seminar skripsi. Aku bahagia untuknya, "Selamat ya, maaf aku dulu gak bisa datang.","Iya Ren, gapapa kok. Lekas sembuh ya.." balasnya. Sebenarnya, aku ingin datang, tapi beberapa origami yang kubuat terbakar. Karena aku tidak ingin menghabiskan waktu yang tersisa untuk meratapi yang sudah terbakar, aku berbohong.

Disatu sisi, aku harus segera menyiapkan sidang skripsiku yang akan dilaksanakan 2 minggu yang akan datang. Aku segera memberi tahu Hana, dan mengharap agar dia datang, "Kalau sempat, aku dateng deh.", balasnya singkat. Hari ini menandai untuk terakhir kalinya aku bertukar pesan dengannya.

***

Sehari menjelang seminar skripsiku, aku mencoba untuk mengingatkannya. Namun, terakhir kali dia aktif adalah seminggu yang lalu, "Aku khawatir bila sesuatu terjadi padanya.", pikirku. Seketika aku teringat tentang obat yang pernah aku lihat saat itu.

Tanpa pikir panjang, aku segera menuju fakultas untuk menanyakan data pribadi Hana, alamat dan yang terpenting, nomor telepon Kak Beni kepada bagian akademik. Setelah itu, kusegerakan untuk mengirim pesan dan menanyakan bagaimana kabar Hana.

Tidak butuh waktu lama aku mendapatkan balasan, "Hana sih….lagi di rumah sakit. Maagnya kambuh, dia pingsan sewaktu milih kebaya untuk persiapan wisuda. Maaf aku nggak ngabarin.". Aku terkejut dan segera menanyakan informasi lebih lanjut kepada Kak Beni, "Aku ingin bertemu dengannya." pikirku.

Aku segera menemui bagian akademik kembali untuk menanyakan perihal berkas penilaian seminar skripsi yang akan diberikan kepada dosen - dosen penguji dan pembimbing. Setelah mendapatkan surat - surat itu, aku segera menuju ke ruangan para dosen dan bergegas untuk menjenguk Hana di rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, aku teringat akan penyakit Hana, "Jangan sampai aku melewatkan makan siangku." gumamku. Lalu, aku menuju toko donat terdekat dari rumah sakit untuk membeli beberapa donat, "Mungkin Hana sebaiknya aku belikan donat juga.". Tanpa perlu waktu lama, aku segera menuju kamar Hana. Aku mendapati Hana sedang tertidur lelap, "Dek, masuk aja, jangan didepan pintu." kata Kak Beni.

Aku segera mengikuti arahannya. Hana terbangun dan melempar senyum padaku, "Eh, udah lama ya kita nggak ketemu..","Iya.." balasku. Ya, senyumannya hari ini masih sama seperti hari itu. "Eh Hana, ini aku bawain donat bomboloni, isinya ada labu, stroberi, blueberri, melon dan nanas. Pilih aja","Eh, ada rasa kesukaan aku! Kok tau sih? Aku suka banget sama donat isi." balasnya dengan nada riang. Aku tersenyum melihat tingkahnya, "Mungkin dia kesepian berada di Rumah sakit terlalu lama" pikirku. Aku pun memulai percakapan dengannya, kami menceritakan hal - hal yang beberapa diantaranya sudah pernah kami ceritakan di sosial media dan beberapa cerita tambahan yg lain.

Saat ini, aku merasa bahwa aku tidak ingin menghentikan setiap menit yang kuhabiskan hanya untuk sekedar berbincang dengannya. Aku merasa bahwa waktu ini hanya akan menjadi sebuah cerita pada akhirnya. Aku mengungkapkan bahwa aku sudah melipat origami sebanyak 1336 buah.

Dia terkejut dan ,"Aku masih 664 buah...nanti aku lanjut lagi deh bikinnya", aku terkejut,"Ada baiknya besok aku berikan beberapa origamiku yg berlebih, agar kamu bisa berharap pada origami untuk kesembuhanmu..". Hana tersenyum, "Terima kasih. Iya..Jangan lupa untuk tetap semangat, Ren.". Kami pun melanjutkan percakapan tak berarah, "egois untuk hari ini saja.", pikirku.

Larut dalam percakapan yang lebih dalam sampai Hana terlelap. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang, "Rendi, makasih banyak" ujar Kak Beni yg tiba-tiba memasuki ruangan bersama ibu Hana, akupun mengangguk dan memutuskan untuk segera pulang.

***

Keesokan harinya, aku menuju rumah sakit untuk memberikan sisa origami yang kupunya dan mengabarkan perihal seminar skripsiku hari ini juga berterima kasih padanya.

Kulihat dari kejauhan beberapa orang sedang berlarian, "Itu kamar Hana." pikirku. Aku segera berlari dan kudapati dokter dan beberapa perawat mengelilingi Hana yang sedang terbaring lemah dan sesekali kejang. Aku melihat Ibu Hana sedang menangis dan Kak Beni yang berusaha menenangkan beliau, dan aku mengurungkan niatku untuk masuk ke kamarnya.

Beberapa saat kemudian, dokter dan perawat segera meninggalkan ruangan setelah berbicara tentang sesuatu hal, "Mungkin tentang kondisi Hana terkini..", pikirku, "Semoga dia baik-baik saja.", doaku.

Aku memberanikan diri untuk masuk dan Ibu Hana terhenyak untuk sesaat lalu, "Selamat sore, saya Rendi temannya Hana.", dengan wajah sedikit bingung, Ibu Hana mengangguk dan kami mulai mengobrol tentang mengapa Hana sampai dirawat.

Setelah beberapa saat, Hana terbangun. Kak Beni dan Ibunya mempersilahkanku untuk berbicara pada Hana dan meninggalkanku berdua dengannya. Aku menanyakan kondisinya saat ini, dia berkata bahwa dia akan segera pulang, "Syukurlah kamu akan segera pulang, ntar kita koas barengan ya.." ujarku.

Hana menitikkan air mata, "Eh, kok nangis?","Aku…tidak tahu apakah aku mampu Ren. Akhir-akhir ini aku sering kejang dan teringat almarhum papa..Aku kangen papa Ren. Aku ingin pulang." dengan nada memaksa padaku. Aku terkejut, "Jangan gitu Han, ini origami yang kujanjikan kemarin. Total ada 1336 origami yang telah kubawa." Dia lalu menggabungkan origami-nya dengan origami-ku.

Tiba-tiba, Hana mencari kertas dan pena lalu menulis sesuatu, "jangan liat ih" ujarnya sambil tersenyum. Dia melipat kertas itu dan meletakkannya didalam kotak origami miliknya. Secara tiba-tiba dia meraih tanganku, "Terima kasih atas semua kenangannya selama ini. Tetap semangat dan semoga sukses untuk kedepannya, apapun yang terjadi pada akhirnya semua akan kembali padaNya. Berjanjilah untuk jangan menyerah dan senantiasa menebar kebahagiaan termasuk berbagi kepada sesama. Jangan tangisi aku ya..kalau aku kenapa-napa.","Iya aku janji." balasku dengan mulut bergetar.

Hana tersenyum dan dia mulai mengendorkan genggaman tangannya. Aku pun berusaha mengusap kedua tangan dan kepalanya, "Han, bangun han, jangan gini ah","Dor! Hahaha" balasnya,"ih Rendi, kok nangis sih, aku tuh cuma mau tidur bentar, aku ngantuk banget soalnya...nanti kalau aku sudah tidur, tolong sampaikan ke mamaku sama abangku yah kalau aku akan selalu sayang mereka. Oh iya, terima kasih atas segalanya, jujur ini akan jadi kenangan indah seumur hidupku sih, jadi mimpi indah dalam tidurku juga yess.", ucapnya dengan riang. "Ada hal yg ingin kusampaikan..tapi aku ogah egois.", pikirku. Lalu, aku menyisir dan merapikan rambutnya yg berantakan hingga ia terlelap, menarik selimutnya dan membiarkan dia beristirahat.

Ada perasaan hampa ketika aku mulai meninggalkan ruangan, "mungkin aku akan tinggal beberapa waktu di sekitar rumah sakit sampai besok Hana dipulangkan.", pikirku. Akupun segera menemui Ibu Hana dan Kak Beni untuk mengutarakan pendapatku dan meminta ijin agar aku bisa menunggu di ruangannya. Mereka menyetujuiku. Aku mengikuti langkah Kak Beni dan ibu Hana masuk ke ruangannya, kulihat mereka tiba-tiba panik dan mencoba untuk menekan bel beberapa kali.

Kuraih tangan Hana, "dingin.." lalu mundur perlahan dan menangis, "Aku nggak bisa Han.." gumamku lirih. Ibu Hana menangis dan Kak Beni mencoba menenangkan beliau. Disela itu, Kak Beni berterima kasih padaku karena sudah menjadi teman yang baik selama beberapa tahun ini, "Dek, ini kotak milik Hana, kurasa dia ingin memberikannya padamu.", aku menerimanya dan aku segera pamit mohon diri.

Dengan mata berkaca-kaca, aku menyusuri koridor menuju taman terdekat untuk duduk dan menenangkan diri lalu kusempatkan untuk membuka kotak, "Ren, sebenarnya aku suka kamu sejak pertama kali kita berbincang secara personal di kursi taman waktu itu, cuma,…aku terlambat mengungkapkannya karena aku takut kalau aku akan kehilangan sahabat karena hal itu. Tentang origami, aku tidak berharap untuk kesembuhanku tapi aku hanya berharap agar kamu senantiasa bahagia, dengan atau tanpa aku. Aku sempat berimajinasi rasanya koas bareng kamu dan melanjutkan ke jenjang yg lainnya,...pasti asyik punya seseorang yang udah dekat dari dulu karena kita udah melewatkan 4 tahun masa studi bersama meski jarang ketemu langsung. Mungkin itu aja sih yang aku tulis, semoga kita ketemu di kesempatan yang lain,..dari temanmu, Hana.".

*** (present time)

Tanpa terasa, aku menitikkan air mataku, "Papa, ini tisu..","Terima kasih nak." ujarku pada anakku, Hana.

Iya, aku menamai anak pertamaku dengan nama cinta pertamaku. Aku melihat anakku berlari menuju istriku, "Mah, papa nangis karena Hana.", istriku tersenyum padaku., "Pasti cerita itu.", aku mengangguk. Aku berlari mengejar anakku dan menggendongnya, "Papa sayang Hana.". Anakku tertawa dan berlari bersama istriku. Aku duduk di teras taman dan menengadah, "Terima kasih Hana atas semua nya, kamu memang cinta pertama bagiku tapi untuk saat ini, keluargakulah cinta pertama dan terakhirku."

***

The end