webnovel

This Love Is Unbreakable

"Sebaiknya jangan terlalu benci, nanti bisa jadi cinta," sepertinya itu kalimat yang tepat jika melihat dua orang anak manusia yang saling membenci. Soledad membenci Nicholas karena dia anak kulit putih, anak orang Inggris - Belanda - Rusia. Golongan yang tidak disukainya karena menjajah dan menindas orang-orang pribumi seperti dirinya. Soledad membenci semua hal yang kebarat-baratan termasuk namanya. Soledad Miranda Tendean, nama yang diberikan padanya untuk menghormati seorang dokter keturunan Spanyol bernama Soledad yang membantu proses kelahirannya. Nicholas membenci Soledad karena dia anak perempuan kotor, nakal dan kasar. Bagi dirinya yang terbiasa dimanja dan dipuja, diperlakukan kasar dan dihina adalah hal yang paling ia benci. Nicholas yang hidup dengan kenyamanan dan kemewahan tidak pernah tahu apa itu penderitaan. Namun, pandangannya berubah saat ia harus tinggal di Hindia Belanda (Indonesia) dan bergaul dengan anak-anak pribumi di tanah air yang tertindas. Ikatan persahabatan pun terbentuk diantara mereka, hingga takdir membuat mereka terpisah saat Jepang mulai menduduki Hindia Belanda dan membuat Nicholas harus kembali ke Inggris dengan membawa kenangan indah tentang cinta pertamanya.

Adlet_Almazov · 都市
レビュー数が足りません
4 Chs

Bab 3. Pertarungan Dimulai

Soledad dan Ratna masuk kedalam kelas. Awalnya tidak terjadi apa-apa sampai dua orang anak laki-laki berkulit putih menghadang mereka tepat didekat meja belajar.

"Stop, je kunt hier niet zitten! (Berhenti, kamu tidak boleh duduk disini!)" ucap salah seorang anak laki-laki bertubuh gemuk beramput pirang. Ia merentangkan lengannya untuk menghalangi Soledad.

"Apa maksudmu? Itu kursiku, menyingkirlah!" ucap Soledad, ia melotot tajam menunjukkan bahwa ia tidak takut.

"Kamu Inlander, kamu tidak boleh duduk di sini. Kamu harus pindah kebelakang!"

"Apa kamu bilang? Peraturan darimana itu? Aku tidak mau!"

"Kalau begitu, kami akan menghalangi kamu duduk," dua orang anak laki-laki bergabung dengannya, mereka ikut merentangkan tangan mereka.

Ratna yang terlihat takut, mencoba untuk mengalah dan membiarkan mereka mengambil tempat duduknya dan Soledad, tapi tentu Soledad tidak berpikir seperti itu. Soledad yang tempramen, bukan hal yang mustahil baginya untuk berkelahi, menghajar bocah-bocah itu.

"Menyingkir kalian!" teriaknya, dia membusungkan dadanya dan bersiap-siap menghajar ketiga bocah tengik itu.

"Kau pikir kami takut padamu, dasar jelek..."

"Kalian yang jelek...!" teriak Soledad sambil melayangkan tinjunya kewajah si bocah gendut.

"Brukk....!" hanya dengan sekali pukul anak itu langsung jatuh terlentang. Kedua temannya dan anak-anak lain yang berada didalam kelas langsung terkejut.

"Rasakan ini... rasakan aroma sepatu anak pribumi miskin ini, ini yang kalian suka?" ucap Soledad, ia injak-injak kepala anak laki-laki itu dengan sepatu usangnya.

Anak laki-laki yang tidak berdaya itu hanya bisa menangis, sedangkan teman-temannya yang tadinya ikut membantunya hanya bisa terdiam tak berkutik.

"Soledad, sudah hentikan. Nanti leraar datang dan memarahimu!" pinta Ratna, beberapa orang anak perempuan lain ikut mencoba menghentikan Soledad.

"Soledad, stop...!" ucap mereka. Soledad yang keras kepala tak semudah itu dihentikan, ia sudah muak diperlakukan tidak adil.

"Bagaimana ini? Kita harus panggil Miss Anne sekarang," belum lagi sempat dipanggil, wali kelas mereka sudah masuk kedalam kelas yang ribut.

Wanita itu terkejut melihat apa yang terjadi didalam kelasnya. Soledad berkelahi dengan anak laki-laki, meski hal ini sudah sering terjadi, tapi tetap saja tidak bisa dibiarkan.

"God, wat is hier gebeurd? (Ya tuhan, apa yang terjadi disini?)" tanya wanita itu, ia histeris.

"Miss Anne, Soledad berkelahi lagi!" seru Wendy, gadis berambut merah.

"Soledad, stop!" teriak Miss Anne. Mendengar teriakan gurunya, Soledad langsung berhenti menginjak anak laki itu.

Miss Anne melangkah, mendekati sibiang keributan. Sambil membawa penggaris kayu panjang, ia pukulkan keatas meja.

"Braakk..." semua murid yang tadinya ribut, mendadak terdiam, mereka terkejut.

"Soledad, Eddy, kalian berdua ikut saya menghadap Schoolhoofd (kepala sekolah) dikantornya," Miss Anne menatap kedua muridnya dengan tajam. Meski sebenarnya ia bukan tipe guru yang galak, namun dengan situasi seperti ini, mau tidak mau ia harus tegas.

Soledad dan Eddy terpaksa mengikuti Miss Anne menghadap Schoolhoofd. Eddy merasa ketakutan, ia tidak biasa terlibat masalah, berbeda dengan Soledad. Gadis kecil ini tetap tenang seolah tidak peduli hukuman apa yang akan menimpannya.

"Tok... Tok.. Tok..." Miss Anne mengetuk pintu ruangan Schoolhoofd.

"Silahkan masuk!" seru seorang pria paruh baya dari dalam ruangan.

"Goede morgen, Schoolhoofd?" sapa Miss Anne sambil menunduk, ia menggandeng tangan kedua muridnya yang bermasalah ini.

"Goede morgen, Miss Anne? Ada yang bisa dibantu?" tanya Schoolhoofd.

"Soledad dan Eddy berkelahi didalam kelas, jadi saya bawa mereka kesini." jawabnya.

"Benarkah? Soledad berkelahi lagi?" tanya Schoolhoofd sambil memperbaiki letak kaca matanya.

Soledad tak menjawab, ia malah membuang mukanya. Ia benar-benar tidak peduli dengan semua pertanyaan dan tuduhan apa lagi yang akan menimpanya hari ini.

"Eddy, kenapa kamu berkelahi dengan Soledad?" tanya Schoolhoofd.

"Soledad yang lebih dahulu memukulku,"

"Kenapa Soledad memukulmu? Pasti kamu melakukan sesuatu yang membuatnya marah!" mendengar kata-kata Schoolhoofd, Eddy terdiam. Ia mengakui kalau ia yang lebih dahulu memulai perkelahian.

"Schoolhoofd, boleh saya izin lebih dahulu ke kelas? Ada yang harus saya kerjakan." pinta Miss Anne.

"Baiklah, silahkan. Bawa Eddy bersamamu. Tapi obati dulu luka dikepalanya itu. Biarkan Soledad disini, ada yang ingin aku bicarakan dengannya."

"Baiklah, ayo Eddy!" Miss Anne membawa Eddy kembali ke kelas. Meninggalkan Soledad bersama Schoolhoofd.

Selama beberapa detik ruangan yang cukup luas itu dilanda keheningan. Soledad sama sekali tidak mau bicara, dimatanya, tersimpan kebencian yang sangat besar.

"Ada apa Soledad? Apa yang membuatmu begitu benci dengan sekolah ini?"

"Tidak ada!" jawabnya dengan nada yang dingin, anak ini seperti sudah kenyang dengan hukuman.

"Tidak masalah jika kamu benci berada disini, tapi saya tahu kamu murid yang cerdas. Jadi, jangan sia-siakan semua yang kamu miliki hanya karena hatimu diliputi kebencian."

"Saya tidak memiliki apa-apa, saya hanya anak pribumi yang miskin, melarat, kotor, bau dan juga kasar. Saya sudah sering mendengarnya."

"Siapa yang mengatakan itu?"

"Mereka semua mengatakannya,"

"Karena itu kamu memukul mereka?"

"Ya..." jawabnya pelan.

"Kamu membalas mereka dengan cara memukul mereka, apa kamu puas?"

"Bapak saya pernah bilang, jikalau ingin meraih sesuatu maka harus ada sesuatu yang dikorbankan. Jadi, untuk menutup mulut mereka, saya mesti memukul mereka supaya mereka diam."

Schoolhoofd terdiam, ternyata sungguh sulit menyelami pikiran anak ini. Anak-anak pribumi seusianya biasanya pasti tidak memikirkan hal yang rumit, tentang kebencian ataupun dendam.

Anak-anak itu cenderung polos, melihat anak lain yang hidupnya senang, pasti ingin seperti itu juga. Namun, Soledad berbeda, dia tidak ingin hidup seperti orang lain, yang dia inginkan, orang-orang itu merasakan penderitaan yang sama dengan dirinya dan anak-anak pribumi lain yang diperlakukan tidak adil.

"Soledad, apa ada sesuatu yang kamu inginkan tapi tidak kamu dapatkan? Jika ada, coba katakan pada saya, saya akan mengusahakannya untukmu asal kamu berjanji untuk tidak berkelahi lagi."

"Saya tidak ingin apa-apa,"

"Benarkah?"

"Saya hanya inginkan semua orang-orang Eropa pergi dari tanah kami!" jawabnya dengan lantang. Kata-kata yang sangat berani sekaligus nekat yang pernah diucapkan anak perempuan seusianya.

Schoolhoofd tidak tahu harus mengatakan apa saat ini, sepertinya nasehat apa pun pasti sulit untuk diterimanya.

"Baiklah Soledad, kamu boleh kembali ke kelasmu." ucap Schoolhoofd. Soledad langsung beranjak dari tempat dalam keheningan.

Soledad berjalan dengan penuh keraguan, ada banyak pertanyaan yang berkecamuk dikepalanya. Salah satu dari pertanyaan itu, "mengapa mereka diperlakukan berbeda?" Padahal mereka sama-sama manusia, apa yang membuat berbeda? apakah warna kulit? Apakah bahasa mereka? Dan apakah perbedaan yang seperti itu penting sehingga ketidakadilan ini harus mereka rasakan.

Soledad berhenti didepan kelasnya, kakinya membatu, rasanya enggan untuk masuk. Disaat seperti ini, paling menyenangkan memanjat pohon atau bergolek diatas rerumputan di tepi sungai, sambil mendengar kicauan burung. Tapi, tunggu dulu.

Burung? Benar, Soledad hampir lupa. Saat ini ribuan burung yang entah dari mana asalnya bertengger di rumah-rumah orang Eropa dan pepohonan yang tinggi sebelum akhirnya mereka terbang pergi entah kemana.

Soledad ingin sekali menangkap salah satu dari burung-burung itu untuk dipelihara dirumahnya dan kesempatan ini hanya terjadi satu tahun sekali.

Mengingat itu, Soledad kembali bersemangat. Dia masuk kedalam kelasnya tanpa mengucapkan salam atau sekedar permisi pada Miss Anne yang pasti sedang mengajar didalam kelas.

"Soledad?" Miss Anne memanggil Soledad terpaku didepan pintu, mulut gadis kecil itu menganga lebar melihat sosok yang berdiri disamping gurunya.

"Maaf Miss Anne, boleh saya masuk?" pintanya, akhirnya ia bicara juga.

"Schoolhoofd menanyakan apa padamu ?" tanya Miss Anne. Soledad melangkah menunju tempat duduknya, namun matanya melirik sosok anak laki-laki yang berdiri didepan kelas.

"Tidak ada apa-apa Miss, hanya dinasehati seperti biasanya." jawabnya.

"Hahahaha... Soledad, kamu ini tidak jera dimarahi ya?" ledek salah seorang teman sekelasnya, sementara yang lainnya hanya ikut tertawa.

"Bagaimana di kantor Schoolhoofd? kamu tidak dihukum?" tanya Ratna yang duduk disamping Soledad.

"Semuanya baik-baik saja, kamu ora perlu kuwatir," jawabnya sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya.

Didepan kelas, Miss Anne membawa murid baru yang akan belajar dikelas ini. Seorang anak laki-laki bertubuh tinggi, berkulit putih, dengan rambut coklat yang di sisir rapi dan mata bewarna biru tua, anak laki-laki yang sangat tampan.

"Hari ini kita ada teman baru yang baru saja datang dari Inggris. Silahkan, perkenalkan namamu!"

"Goede morgen, nama saya Nicholas Ferdinand Walter, saya lahir di London Inggris pada tanggal 12 Agustus 1929, senang bertemu dengan kalian..."

"Tapi aku tidak senang!" seru Soledad dengan suara yang keras, seisi kelas langsung menatapnya tak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.

"Hah...?" ucap semua teman sekelasnya serantak, termasuk Miss Anne.

"So... Soledad, kenapa kamu bicara seperti itu? Ya Tuhan, anak ini. Nicholas, maafkan dia ya ? Kamu boleh duduk dikursi yang kosong itu." pinta Miss Anne yang masih syok mendengar kata-kata Soledad yang sangat tidak sopan.

"Baik Miss, terima kasih!" ucapnya, dengan menahan kesal ia berjalan sambil terus memandangi anak perempuan menyebalkan yang sejak kemarin membuat perasaannya tidak enak dan yang lebih buruk lagi, ia harus duduk tepat dibelakangnya.

"Luister, ik zal je zeker belonen! (Dengar, aku pasti akan membalasmu!)" ucapnya seolah memberi sinyal peperangan.

Soledad yang mendengar hanya tersenyum sinis, ancaman-ancaman seperti itu sudah terlalu biasa baginya.

                               

***