webnovel

Shut Up

"Ya? Bisa kau lakukan untukku? Oke, aku akan sampai di sana sebelum matahari tenggelam."

Shailene menutup teleponnya.

Ia tak habis pikir sesuatu terjadi di suasana natal seperti ini di butiknya.

"Ada apa?"

Clint muncul dari selimut. Semalam, telah terjadi pergumulan di antara mereka. Tentu saja, lagi-lagi Shailene dipaksa melakukan hal itu.

"Singkirkan tubuhmu," ucap Shailene dengan nada jijik. Ia menjauhkan tubuh berbulu uban itu dari dirinya. "Aku harus ke butik sekarang."

Shailene bangun dari ranjangnya. Ia berlari kecil ke dalam kamar mandi. Ia guyur sekenanya tubuhnya yang kecoklatan itu dengan air hangat agar peluh Clint tak lagi bercampur di tubuhnya.

Menjijikkan. Itu adalah hal yang terpikirkan oleh Shailene saat mengingat bagaimana Clint memaksanya.

Sesegera mungkin, Shailene memakai pakaian tebalnya dan berlari ke mobilnya.

"Aku akan segera kembali! Jangan cerewet!"

Shailene mengemudikan mobilnya sekencang mungkin menembus udara kota New York yang masih dingin. Beruntung salju-salju yang ada di jalanan sudah terpinggir.

Butik pakaian dalamnya yang cukup terkenal di jalanan Manhattan itu hancur kacanya, setelah segerombolan pemuda nakal yang sedang mabuk menabraknya dengan motor.

"Oh, Tuhan."

Shailene menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Kaca etalasenya hancur berkeping-keping.

Ia masuk ke dalam butiknya. Karyawannya sudah berada di sana dan menginterogasi pemuda mabuk itu.

"Dia datang bersama orang tuanya?"

Pemuda itu datang bersama ibunya yang bertumbuh tambun, meminta biaya keringanan untuk mengganti kaca yang putranya pecahkan.

"Aku tak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu, Bu. Saat aku melihat patung itu seolah birahiku bangkit karena teringat mantan pacarku," celoteh pemuda itu.

"Kau ini!" Wanita itu menghampiri Shailene yang baru saja datang. "Nyonya, bisakah kau-"

Shailene terdiam saat wanita itu menghampirinya dan mengoceh.

Kaca yang putranya pecahkan tentu saja yang terbaik di kelasnya. Shailene begitu memperhatikan bagaimana ia menyempurnakan butik ini.

"Oh, tenanglah, Nyonya." Seorang pegawai butik pakaian dalam itu menarik tubuh wanita itu menjauh dari bosnya.

"Ada yang hilang?" tanya Shailene pada pegawainya.

"Tidak, Nyonya."

Shailene mengangguk.

"Biarkan saja."

"Ya?"

"Ya, maksudku biarkan Nyonya ini dan anaknya pulang. Dan ganti saja kaca yang pecah itu. Hubungi toko kaca dan minta mereka untuk segera memperbaikinya," perintah Shailene.

Wanita tambun itu cukup berterima kasih pada Shailene yang telah menyelamatkannya dari ganti rugi yang bisa saja mencapai ratusan dolar. Mereka hanya diminta untuk menandatangani surat pernyataan untuk membuktikan bahwa pemuda itu tak mencuri apapun dari tempat ini.

Shailene sempat tersenyum saat orang-orang bermasalah itu pamit dari butiknya.

Ia membuang napasnya kasar. Beruntung. Masalah yang terjadi di butiknya ini membuatnya bisa kabur sejenak dari Clint.

"Oh, Tuhan." Shailene menutup matanya dengan kedua tangannya. "Aku lapar. Kau tak ingin makan sesuatu?"

"Apa yang kau inginkan, Nyonya?"

"Mungkin ayam dan soda. Aku ingin kentang goreng juga. Pesanlah untukmu juga."

"Baik, Nyonya. Ah, ini surat pernyataannya."

"Buang saja," perintah Shailene. "Lagipula sepertinya memang benar pemuda itu hanya mabuk, memecahkan kaca dan tidur dengan pakaian dalam di etalase depan. Dan buang saja pakaian dalam yang terkena kaca. Walaupun kita mencucinya juga tak etis kalau kita menjualnya pada pelanggan. Aku juga tak tahu apakah sperma pemuda tadi sudah menetes atau tidak."

"Baik, Nyonya."

Shailene memberi isyarat pada pegawainya untuk pergi meninggalkannya dan mengangkat telepon genggamnya. Amber, sahabatnya semasa kuliah meneleponnya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik hingga sekarang.

"Apa yang terjadi dengan butikmu?" tanya Amber saat Shailene mengangkat teleponnya.

"Kau ada di sekitar sini?"

Bunyi lonceng pertanda seseorang masuk ke dalam butik itu membuat Shailene menoleh. Tepat seperti dugaannya, Amber berada di sini.

"Duduklah," ucap Shailene saat menutup teleponnya.

"Kau sakit? Kau pucat? Kau sudah makan siang?"

Shailene hanya mengusap matanya yang mengendur.

"Bergabunglah bersama kami. Pegawaiku memesan ayam." Shailene memberi isyarat pada pegawainya yang sedang menelepon restoran makanan cepat saji untuk menambah pesanan.

"Ada apa dengan kaca etalasemu? Pencurian?"

"Tidak," jawab Shailene. "Seorang pemuda mabuk dan sedang birahi menabrakkan motornya dan tidur dengan manekin." Shailene terkikik.

"Oh," ucap Amber. "Kau tambah gendut, ya?"

Shailene menatap diameter lengannya yang hanya segenggam.

"Benarkah? Aku tak merasa begitu."

"Kau ini. Apakah kau sedang hamil?"

"Berhentilah mengoceh. Aku tak akan hamil lagi."

Shailene menengadahkan kepalanya ke atas. Ia merasa pusing karena bangun tidur dalam keadaan terkejut karena insiden ini.

"Kau masih berhubungan dengan suamimu?"

Shailene sebenarnya jengkel sekali dengan Amber. Mereka berdua sempat berseteru karena mulut Amber yang terlalu tak bisa dijaga. Tapi lama kelamaan, mereka kembali bersahabat lagi setelah cukup lama menyendiri.

"Ya, masih. Kenapa?"

"Lalu kenapa kau masih tak menginginkan kehamilan, Shail? Kau memasang kontrasepsi?"

"Tidak, aku tak akan mengacaukan hormonku. Aku sudah melakukan hal ini bertahun-tahun sebelum aku mengenal Clint. Aku sudah profesional."

"Saat kau masih bersama Matthew?"

Shailene terdiam. Ya, tentu saja. Matthew adalah pria yang lebih sering mencumbunya daripada Clint. Wanita itu lolos berpacaran tanpa hamil sekalipun.

"Diamlah," ucap Shailene lirih. "Pegawaiku mendengarmu."

"Oh, Shail. Kau cantik," puji Amber.

"Kau baru saja mengetahuinya?" Shailene terkikik.

"Sayang, suamimu sudah tua. Aku penasaran bagaimana bentuk alat kelamin pria yang berumur 50 tahun."

"Amber, diamlah!" pekik Shailene lirih.

"Kau sudah lihat berita?"

"Apa lagi?"

Shailene melihat telepon genggam Amber yang wanita itu sodorkan. Ada Matthew dan istrinya di sebuah berita daring.

"Matthew menikah dengan seorang wanita dari keluarga piatu. Ayahnya pecandu alkohol."

Shailene menatap telepon genggam Amber untuk waktu yang cukup lama. Wanita bernama Brianna Westbrook inilah wanita yang pernah ia temui di gereja. Mereka bahkan berbulan madu di hotel tua yang Matthew bangun untuknya.

"Shail! Kau masih mendengarkanku?" tanya Amber lagi.

Shailene tersadar lalu mengangguk pelan.

"L-Lalu? Apa yang harus kulakukan? Mereka tampak bahagia, bukan? Pernikahan mereka pasti berumur panjang."

Amber memberi isyarat sahabatnya untuk mendekatkan telinganya.

"Ceraikan Clint dan kembalilah pada Matt. Dia masih mencintaimu. Kau tahu perasaannya tak akan pernah berubah."

Shailene dibuat salah tingkah oleh Amber. Ia tak tahu apakah kenyataannya benar begitu atau tidak, tapi Shailene setuju dengan Amber. Hati Matthew dan Shailene terkunci.

"Diamlah," ucap Shailene sambil menenggak habis air putih yang ada di depannya.

"Dia hanya menikahi wanita itu sebagai status."

"Status?"

"Ya, isu harta warisan di keluarga MacMillan merebak dan mengharuskan Matthew menikahi seorang gadis sebelum malam tahun baru."

"Diamlah!"

"Kau tak percaya padaku? Aku tahu isi hati seorang pria tanpa mendengar dari mulutnya secara langsung."

"Kalau begitu kenapa kau bercerai dari suamimu?" tukas Shailene kesal.