webnovel

Don't Fall In Love With Me (Part 2)

Tiba-tiba, pintu kamar sebelah terbuka. Rava keluar dengan kaus oblong dan rambut acak-acakan. Begitu bersentuhan dengan hawa luar, dia langsung bergidik.

"Gila, dingin banget," komentarnya sambil menggosok-gosok lengannya, berusaha menghangatkan diri. Dia tidak sadar kalau di sebelahnya Ananda sedang menatapnya.

"Apa?" tanya Rava begitu sadar dan Ananda cuma menggeleng sambil tersenyum. Rava menatap cewek itu heran, dia lalu bergerak ke kamar mandi karena hasrat alamnya.

Ananda menatap geli Rava yang kebelet. Semalam, Ananda seperti bermimpi bisa mengobrol panjang lebar dengannya.

"Eh, tunggu," gumam Ananda bingung sendiri. "Kemajuan apaan?"

Ananda mendadak terkena serangan panik. Rava yang sudah keluar dari kamar mandi menatapnya bingung.

"Kenapa Kamu?" tanyanya dan Ananda menatapnya tak percaya.

"Ya ampun, ya ampun," kata Ananda masih menatap Rava tak percaya. "Nggak mungkin!"

"Apaan, sih?" tanya Rava kesal karena Ananda seperti hidup dalam dunianya sendiri. "Ngomong-ngomong, di muka Kamu ada nasinya tuh."

"Hah? Masa, sih?" kata Ananda sambil bercermin di jendela kamarnya, sementara Rava buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Setelah lama berkaca dan tak menemukan satu butir pun nasi di wajahnya, Ananda baru sadar kalau dia belum sarapan dan tak mungkin ada nasi di wajahnya.

"Heeiii!" seru Ananda sebal ke arah pintu kamar Rava. Namun, setelah itu dia tersenyum dan berangkat ke kampus dengan hati riang walaupun hujan yang turun tambah deras.

Rava tidak pergi ke mana pun hari ini karena hujan turun dengan lebat sepanjang pagi. Sekarang, setelah langit cerah, dia sudah malas untuk menggerakkan tubuhnya. Rava menggapai handycam, lalu menyetel kaset yang bertuliskan "Jakarta Beach 2004" setelah sempat ragu sejenak.

Baru sedetik film itu terputar, Rava menutup layar handycam-nya. Ternyata, dia memang masih belum mampu menontonnya. Rava menatap layar handycam-nya kosong. Seharusnya dia tak pernah menonton video ini.

Rava tiba-tiba ingin melihat pantai. Dia ingin berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan semua kepenatannya. Rava bangkit, dan bersiap-siap pergi. Tak berapa lama, dia sudah menuruni tangga dan mendapati Ananda baru memasukkan motornya ke dalam garasi. Rava menatap motor Ananda dan seketika mendapat ide. Ananda balas menatap Rava bingung.

"Aku pinjem motor Kamu, dong," kata Rava.

"Hah? Emang mau ke mana?" tanya Ananda heran.

"Udah deh, nggak usah banyak tanya," jawab Rava sambil mengambil helm Ananda dan membawa motornya.

"Eh! Tunggu! Ini motor baru! Aku ikut!" seru Ananda sambil mengambil helm dari motor Gaara dan melompat ke belakang Rava. Ananda tidak bisa membiarkan Rava pergi dengan motor hasil dari warisan orang tuanya.

Rava segera tancap gas, membuat Ananda terjengkang dan hampir jatuh.

"Mau ke mana, sih?" sahut Ananda.

"Pantai," jawab Rava tenang dan Ananda cuma mengangguk-angguk. Tetapi, tak lama kemudian dia tersadar.

"HEEEH? Pantai?" serunya membuat motor oleng. "Eh Kamu gila, ya?"

"Iya, Kamu kasih tau jalannya, ya," jawab Rava lagi, membuat Ananda semakin yakin kalau Rava benar-benar sakit jiwa.

Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, mereka sampai juga di pantai daerah pinggiran Yogyakarta. Rava berjalan tenang ke pantai, sementara Ananda menatap sedih motor barunya yang kepanasan karena baru diajak jalan-jalan sepanjang berkilo-kilo.

"Oi, Rava, tunggu!" sahut Ananda menyusul Rava yang tatapannya kosong. Ananda menatapnya curiga, lalu mendekap mulutnya. Lalu dia mengguncang-guncang bahu Rava. "Rava! Kamu nggak bermaksud ngelakuin hal gila, kan? Rava, sadar!"

Tepat ketika Rava akan bicara, Ananda menamparnya sekuat tenaga, membuat pipi Rava terasa panas dan lehernya serasa patah.

"Apaan, sih, Kamu?" amuk Rava. Pipinya berdenyut menyakitkan.

"Hhh... Syukur, deh," kata Ananda dengan mata berkaca-kaca, lega.

"Syukur apanya!" sahut Rava membuat Ananda bingung.

"Lho? Emangnya Kamu nggak mau bunuh diri, ya?" katanya polos, membuat Rava gemas dan ingin menjitaknya. "Abis, Kamu tiba-tiba aja mau ke pantai."

Rava menghela napas, sambil meneruskan perjalanannya ke pantai. Saat itu karena habis hujan, laut menjadi pasang. Pantai ini tidak begitu bagus, tapi lumayan untuk menenangkan pikiran Rava.

"Wah, langit abis hujan cerah banget, ya," komentar Ananda saat melihat langit biru tanpa awan. "Udah lama juga Aku nggak ke pantai."

Ananda meregangkan ototnya lalu merentangkan tangannya, bermaksud merasakan angin yang berhembus. Rava menatapnya sebentar, mengeluarkan handycam dan merekam Ananda di luar kesadarannya.

Ananda tidak sadar kalau Rava sedang merekamnya. Dia benar-benar senang datang ke pantai setelah lama tidak melakukannya. Dia berlari-lari ke air dan bermain kejar-kejaran dengan ombak sambil sesekali menjerit kedinginan saat kakinya terkena air.

Rava melepaskan matanya dari layar dan menatap Ananda yang tertawa sendiri karena ombak yang datang begitu besar sehingga membasahi rok se-lututnya.

"Rava! Kamu ngapain? Ayo sini!" sahut Ananda membuat Rava tersadar. Rava segera mematikan handycam-nya dan mengikuti Ananda untuk turun ke air. Memang benar, airnya dingin sekali.

Rava menatap ke laut lepas, dia bermaksud untuk berteriak sekuat tenaga, tetapi tiba-tiba Ananda mendorongnya sekuat tenaga sampai dia tercebur.Ananda lantas tertawa lepas melihat Rava yang sekarang basah kuyup.

Rava menatap Ananda sebal, dia bangkit, bermaksud mengejar cewek itu. Ananda segera berlari menghindari Rava, tetapi akhirnya tertangkap. Walaupun Ananda memberi perlawanan, Rava berhasil menceburkan cewek itu ke air. Rava berganti tertawa penuh kemenangan, tapi beberapa detik kemudian, dia tersadar.

"Kenapa, Rava?" tanya Ananda, heran melihat Rava yang tiba-tiba berhenti tertawa.

"Nggak Apa-apa," kata Rava sambil kembali ke pasir, dan terduduk di sana sementara Ananda masih bermain-main dengan ombak. Rava menatap Ananda kosong. "Barusan Aku ngapain, sih," gumamnya, lalu tertawa miris.

Rava membaringkan tubuhnya di pasir yang masih lembab, mencoba memejamkan matanya. Dalam lima tahun terakhir, baru kali ini dia tertawa selepas itu. Dan bahkan dengan cewek yang baru dikenalnya. Saat pertama kali mendengar kenyataan pahit yang menimpanya, jangankan tertawa, untuk tersenyum saja rasanya sulit sekali.

"Rava, kok malah tidur?" tanya Ananda yang menghampirinya.

"Tolong jangan ganggu Aku sebentar," kata Rava tanpa membuka matanya. "Aku butuh sendiri."

Benar. Rencana awalnya adalah dia datang sendirian ke pantai dan melepaskan semua kepenatannya. Tapi, kenapa cewek ini malah ikut?

"Oh, Baik lah," kata Ananda, dia berjalan kembali ke pantai.

Entah sudah berapa lama Rava tertidur, saat dia terbangun, langit sudah berganti warna. Matahari sudah mau tenggelam. Rava duduk, melihat Ananda yang sedang berlari menyeret sesuatu yang bentuknya seperti layangan. Rava menatapnya heran.

"Kamu ngapain?" tanya Rava bingung.

"Oh, udah bangun?" tanya Ananda dengan napas tersengal. "Aku lagi main layangan."

Ternyata benar, layangan. Rava menghela napas. Cewek satu ini memang tidak bisa diharapkan. Rava bangkit, lalu mengambil benang dari tangan Ananda.

"Pegang layangannya," perintah Rava dan Ananda segera melakukannya. "Kalo Aku bilang lepas, dilepas."

Ananda mengangguk. Rava menghela napas lagi, lalu berkata, "Lepas."

Ananda melepas layangannya, dan tepat pada saat itu, Rava menarik benangnya. Dalam seketika, layangan berbentuk burung itu sudah terbang.

"Uwwaaahh! Hebaatttttt!" sahut Ananda sambil bertepuk tangan girang. Rava meliriknya, heran kenapa cewek di sampingnya itu begitu senang melihat layangan terbang.

"Emang begini harusnya maen layangan. Aku nggak pernah liat versi Kamu tadi," ejek Rava, membuat Ananda mendelik.

"Eh, Aku boleh pegang nggak?" tanya Ananda penuh harap, Rava menyerahkan benangnya. "Uwaaahhh!"

Sebenarnya, Ananda agak grogi saat memegang benang layangan itu, takut layangan itu putus. Ananda tak pernah sekali pun memegang layangan yang benar-benar terbang seperti itu. Itulah sebabnya, dia memegang benangnya dengan ekstra hati-hati. Ekor layangan itu berkibar-kibar indah membuat Ananda takjub. Rava kembali ke pasir dan duduk sambil melihat Ananda yang masih berteriak-teriak girang seperti anak kecil. Rava lantas merekamnya lagi dengan handycam-nya.

Tak terasa, matahari sudah hampir tenggelam. Ananda sudah puas dengan layangannya yang terbang karena pegangannya terlepas. Sekarang, dia sedang duduk lelah di samping Rava yang tertidur lagi.

Ananda menatap wajah polos Rava yang sedang tertidur. Ananda benar-benar senang bisa menghabiskan sore bersama cowok itu seperti ini.

"Jangan ngeliatin terus," kata Rava tiba-tiba membuat Ananda kaget.

"Siapa juga," kata Ananda blushing + salah tingkah dan berusaha membuang pandangannya. Namun, tak berlangsung lama, karena di luar kesadarannya, dia kembali menatap Rava.

"Serius. Ntar Kamu suka sama Aku," kata Rava lagi.

"Emangnya kenapa kalo Aku suka sama Kamu?" tanya Ananda menantang.

"Nggak Boleh," jawab Rava setelah beberapa detik.

"Kenapa?" tanya Ananda lagi, membuat Rava menghela napas.

"Karena kita nggak akan punya masa depan," jawabnya tanpa membuka mata. Ananda menatap wajah itu lama, tak mengerti akan perkataannya, tetapi entah mengapa dia tak punya keinginan untuk bertanya lebih jauh. Ananda memiliki perasaan, kalaupun bertanya, jawaban Rava pasti akan lebih menyakitkan.