webnovel

The Tread Of Destiny

Altheda Estrella seorang gadis remaja dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Kehidupannya yang sederhana, dan sebatang kara tidak menyurutkan semangatnya untuk menyelesaikan pendidikan setinggi mungkin. Hingga akhirnya Altheda berhasil menyelesaikan studinya, dan baru saja diangkat menjadi seorang dokter muda di salah satu rumah sakit ternama, Singapura. Namun, sepertinya benang takdir tidak berpihak padanya. Altheda harus meregang nyawa karena menyelamatkan seorang dosen dari penembakan. Sungguh disayangkan, nasibnya yang malang membuat pendidikannya selama bertahun-tahun harus sia-sia. Seakan-akan dipermainkan oleh takdir. Altheda terbangun dengan sakit kepala yang menyerang teramat sangat. Kilasan ingatan tentang seorang gadis remaja yang teraniaya dengan caranya sendiri, tetapi malah dituduh sebagai biang keladi silih berganti menghantam pikirannya. "Azalea ... Terimakasih telah memberikan kesempatan buat gue untuk tidak membuat 21 tahun gue sia-sia, juga ... Gue akan mengubah sudut pandang lo tentang hidup, Lea. Hidup bukan hanya terfokus dengan perhatian orang lain, pria, keluarga, ataupun teman-teman lo yang tidak satupun berguna itu, tetapi juga tentang bagaimana merajut masa depan agar menjadi lebih berguna." Altheda tersenyum miring, menatap wajah seorang gadis yang bernama Azalea Caleste dengan lekat. Wajah dari tubuh yang akan digunakannya, mulai dari sekarang dan nanti! "Gue Altheda Estrella S. Akan mendapatkan kebahagiaan dengan cara gue sendiri dengan tubuh lo, Lea." Satu hal yang tidak pernah diketahui siapapun sampai Altheda meregang nyawa--Rahasia terbesarnya. *** Salam.Scorpio

Baby_Scorpio18 · ファンタジー
レビュー数が足りません
6 Chs

TTOD:five

Arya dan Altheda sudah keluar dari rumah sakit. Diperjalanan Arya tidak henti-hentinya untuk mencuri-curi pandang pada Azalea. Jujur saja, Arya sangat menyukai perubahan yang Azalea bawa. Gadis ini lebih terbuka dan sedikit banyak bicara. Namun, tak urung dirinya merasakan kejanggalan dalam diri keponakannya. Mungkinkah setelah satu bulan dirinya dirawat di rumah sakit membuat gadis ini merubah pola pikirnya, atau ini adalah bagian dari triknya untuk menarik perhatian bocah itu lagi--Lucian.

"Uncle, aku lapar." Altheda menoleh kearah Arya. Ia menatap manik mata paman Azalea dengan tatapan berbinar, berharap jika sang empu mata yang tengah berbalik menatapnya akan memenuhi keinginan Altheda.

"Uncle?" beo Arya.

"Iya hehehe." Altheda menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. "Aku rasa itu lebih keren dari panggilan paman," imbuhnya lagi dengan cengiran yang terpatri manis menunjukkan deretan gigi putih bersih miliknya.

Arya melongo mendengar penuturan dari Altheda. Hanya karena merasa keren Azalea merubah panggilannya--menggelikan. Bibirnya tersenyum dengan tangan yang telah terangkat dan mengelus pucuk kepala Azalea. Gadis ini, batinnya.

"Jadi Uncle, kita akan makan di mana?" Arya tak menjawab. Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari Azalea. Sepertinya keponakannya memang telah berubah menjadi wanita yang lebih banyak bicara sekarang, terbukti dengan banyaknya pertanyaan dan permintaan yang terus saja di ucapkannya sedari tadi.

"Jangan bilang kita akan makan setelah tiba di rumah itu. Hais ... Oh tuhan, kenapa engkau harus memberikan paman yang pelit untukku huhuhu," tuduh Altheda dengan kepala tertunduk hingga menyentuh dasboard depan mobil. Sesekali dirinya akan membenturkan pelan kepalanya hingga menimbulkan suara duk ... Duk ... Untuk mendramatisir keadaan .

"Lea! Stop it, astaga ... Kamu ini." Arya menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Haa ... Sepertinya Arya harus menambahkan kesabaran yang berlipat ganda untuk menghadapi sifat baru Azalea.

"Jadi ...?"

"Kita akan mencari restoran terdekat, sayang. Pa-"

"Uncle! Itu ingin terdengar lebih keren," protes Altheda memotong ucapan Arya. Lagi-lagi Arya hanya terkekeh geli melihat tingkah Altheda. Gadis itu semakin menggemaskan dengan tingkahnya yang sekarang.

"Oke, baiklah ... Uncle."

"Nah, begitu dong. Itu jauh terdengar lebih keren."

Setelah perdebatan unfaedah antara paman dan keponakan itu. Altheda menatap keluar jendela dengan penuh sesak. Dua belas tahun sudah dirinya tidak menginjakkan kaki di kota ini. Kota Jakarta--Kota kelahiran yang meninggalkan banyak kenangan buruk untuk Altheda. Kenangan yang hampir menghancurkan mentalnya. Terlalu banyak caci dan maki yang dia terima di kota ini. Andai dirinya tidak bertemu dengan dia mungkin tidak akan ada bisa bangkit dari keterpurukannya dan menjadi Altheda yang sekarang. Altheda yang kuat, optimis, dan cerdas.

Dulu--dulu sekali, Altheda hanya seorang gadis kecil yang mencuri-curi kesempatan dari balik jendela kelas yang ada di sekolah tempatnya tinggal untuk belajar. Dirinya sering kali dimaki karena mengintip orang-orang belajar. Lalu bibi dan pamannya akan memukuli Altheda sampai babak belur, karena malu dengan sikap Altheda yang suka mengintip. Sampai ketika umurnya menginjak 13 tahun, pamannya berniat menjual Altheda dengan salah satu pejabat kaya raya yang akan menjadikannya pekerja di rumah mereka.

Altheda memutuskan untuk lari dari rumah pamannya, dan secara tidak sengaja bertemu dengan dia-- sang penyelamatnya. Dia membantunya untuk lari dari Jakarta ke Singapura. Memberikan dirinya fasilitas, seperti sekolah, uang, dan tempat tinggal. Namun Altheda tahu diri, tak mungkin dirinya akan terus menerima bantuan dari penyelamatnya.

Ketika umurnya menginjak usia 16 tahun, ia bergabung dengan SCaRY. Lalu saat usianya 18 tahun. Altheda bertemu dengan Alva--sahabatnya. Alva membantunya untuk menemukan pekerjaan sampingan, dan dia membantu gadis itu untuk belajar. Hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Semenjak itu dirinya pergi dari rumah yang disediakan oleh dia, menjalani kehidupan dengan caranya sendiri.

Sekarang dia kembali ke Kota Jakarta dengan tanpa disengaja. Entah bagaimana ceritanya hingga jiwanya bisa berakhir di raga Azalea. Dan sekarang Altheda terpaksa menjalani hidup sebagai Azalea. Sampai nanti dirinya tahu akan keadaan tubuh aslinya. Akankah tubuhnya masih hidup atau telah tiada? Entahlah, hanya tuhan yang tahu akan keadaan raganya.

"Lea, ayo! Kita sudah sampai." Arya menepuk pundak Altheda pelan. membangunkan gadis itu dari lamunannya. Altheda mendengus tak suka, Arya memanggilnya Lea dan bukan Ela. Ia belum terbiasa dipanggil dengan nama orang lain, namun ia harus bersabar dan berbesar hati. Dirinya harus membiasakan diri untuk dipanggil dengan panggilan orang lain.

"Di mana ini?"

"Bukankah tadi kamu bilang lapar. Ayo! Kita sudah sampai di restoran pilihan pa- ahh uncle." Ralat Arya cepat ketika dia hampir menyebutkan dirinya paman. Jujur saja dia belum terbiasa dengan panggilan baru dari keponakannya ini.

Arya turun dari mobil diiringi Azalea di belakangnya. Mereka memasuki restoran dengan Arya yang merangkul pinggang Azalea. Ia membimbing tubuh keponakannya dengan pelan. Arya tidak ingin membuat Azalea kelelahan, apa lagi sampai terjatuh. Arya benar-benar menjaga Azalea dengan sangat posesif hingga membuat Azalea jengah.

Lo berlebihan uncle.

"Uncle, Lea baik-baik saja. Gak perlu gini ... Malu," cicit Azalea memprotes. Sungguh dirinya merasa malu karena menjadi pusat perhatian dari seluruh pengunjung restoran. Namun, Arya seakan menulikan telinganya. Ia tidak peduli dengan rengekan Azalea. Dengan senyuman manis, ia tetap saja menuntun Azalea dengan penuh kehati-hatian.

"Kakak ...!" Suara seorang gadis yang memanggilnya membuat Azalea menghentikan langkahnya. Azalea menatap lurus ke depan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seorang gadis yang tidak ingin dilihatnya setengah berlari dengan antusias ke arahnya. Dibelakang gadis itu ada dua orang laki-laki yang mengikutinya.

"Halo Paman," sapa gadis itu sembari sedikit menundukkan kepalanya. Arya tak menjawab, ia hanya diam. Bahkan untuk sekedar mengangguk saja dirinya malas.

"Maaf, lo siapa? Ngapain nyapa Uncle gue," tanya Azalea dengan tatapan tajam. Ia mengeratkan pegangannya dengan Arya. Seakan-akan mengatakan jika pria itu miliknya, jangan coba-coba untuk mengganggunya.

Azalea tahu siapa gadis itu, tetapi ia tidak akan mau untuk menyapa gadis ini. Apalagi mendekatkan diri, tidak akan pernah! Tetapi dirinya juga tidak akan bersikap impulsif dan bodoh seperti Azalea yang asli di masa lalu.

"Kakak, kamu ... Apa kamu lupa ingatan?" tanyanya lagi dengan tatapan netra yang telah berkaca-kaca.

"Alita, sudahlah. Tinggalkan saja dia, ayo!" Vincent mengelus pelan rambut Alita, adik tirinya dan Azalea. Laki-laki itu bahkan tidak mempedulikan adik kandungnya yang sudah satu bulan ini tidak dilihatnya karena berada di rumah sakit.

Azalea menatap bosan pada ketiga orang yang ada dihadapannya. Ia melingkarkan tangannya di pinggang Arya dengan lebih erat. Pemandangan yang ada didepannya ini sungguh membuatnya mual. Perutnya serasa diaduk-aduk karena ingin memuntahkan kekesalan.

Benar-benar kakak yang buruk. Sekarang Azalea tahu jika kehidupan gadis ini jauh lebih menyedihkan dari dirinya yang hidup sebatang kara. Dan yang lebih disayangkan, kebodohan Azalea yang mengemis perhatian dari pria dungu seperti Vincent dan Lucian.

"Enggak tuh! Gue gak lupa ingatan tapi yah amnesia aja dikit, hahaha." Azalea terkekeh geli, sembari menutup pelan mulutnya dengan tangan kanan. Lalu kembali melanjutkan ucapannya yang bernada sindiran, "Tapi sorry nih yah, gue benar-benar gak kenal sama lo. Wajar sih gue enggak kenal, karena maaf saja, biasanya gue hanya mengenal orang-orang yang pintar dan cerdas, bukan orang bodoh dan dungu, serta bermuka dua."

Vincent mengepalkan tangannya kesal. Dibelakang Vincent dan Alita, Lucian tak kalah geramnya. Entah mengapa dirinya merasa tersindir dengan ucapan Azalea. Apalagi tiga hari yang lalu dirinya sempat mengira jika Azalea lupa ingatan karena kepalanya yang terbentur.

"Lo-"

"Arya. Sedang apa kau disini?"

***