webnovel

49

Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Hari ketika Starla kembali. Kujemput ia di bandara Husein dan kupandangi pesawatnya saat mendarat. Dapat kutangkap sosoknya ketika menuruni pesawat dan berjalan menuju pemeriksaan.

"Welcome back, Star."

"Thanks," Starla memelukku.

"Gimana kabarmu?"

"Good! Kamu?"

"Great! Ayo pulang, kamu pasti capek,"

"Iya, yuk."

Esoknya Starla telah kembali ke kampus. Kami makan siang di kantin GKU. Di tengah makan siangku dengan Starla, Nova menghampiri kami.

"Ferre! Aku menang! Juara pertama!" katanya.

"Wah, selamat!" aku menyalaminya.

"Makasih untuk semuanya."

"Sekarang kamu bisa meraih mimpi kamu."

"Bertahap lah, lulus dulu."

Kami tertawa.

Starla melihat ke arah kami.

"Nova, kenalin ini Starla." Kataku.

Nova tampak tertegun.

Starla bangkit dan menyalami Nova. Mereka berkenalan.

"Dia baru pulang kuliah lapangan." Kataku.

Starla mengangguk tersenyum.

"Oh jadi udah lama nggak di Bandung, ya?" tanya Nova.

"Iya." Starla yang menjawab.

Nova tersenyum.

"Ya sudah kalau begitu. Maaf ganggu. Aku kuliah dulu." Nova pamit dan berlalu.

"Cantik ya?" goda Starla.

"Hush!"

"Cantik nggak?"

"Cantik."

"Lalu?"

"Ya namanya perempuan ya cantik laah. Masak ganteng."

Starla tertawa. Kami melanjutkan makan siang kami.

"Mau pulang?" tanyaku usai kami makan.

"Aku ke toilet dulu." Jawab Starla.

Ketika Starla beranjak, aku membereskan isi tasku. Tatapanku tertumbuk pada sebuah amplop di dalamnya. Ternyata surat misterius yang tempo hari mendarat di tangan Mama ini ada di tasku. Kubuka kembali amplop tersebut dan kubaca isinya.

Sudah lama berlalu, tapi bulu kudukku masih merinding dibuatnya. Terutama setelah kubaca kata demi kata. Terlebih lagi, aku tidak ingat pernah memasukkan amplop ini ke dalam tasku.

"Hei, kamu nggak apa-apa?" sebuah suara menyentakku.

Aku menoleh, wajah seorang gadis telah nampak di samping kiriku. Wajah oriental dengan rambut panjang lurus terurai. Si mahasiswi Teknik Kelautan.

"Kamu...?" kataku.

"Ah ya, maaf. Saya tadi lihat kamu kayak yang pucat. Kayak, habis lihat hantu." Ia tersenyum.

"Kamu anak Kelautan?" tanyaku.

"Oh iya, kita pernah ketemu ya? Saya Kayla, Kelautan 2005." Ia mengulurkan tangannya.

"Ferre, FT 2004." Kusambut uluran tangannya.

"Wah, saya harus panggil 'kak' nih."

"Ferre aja,"

"Oke."

Aku masih mengingat-ngingat tentang gadis ini. Rasanya tidak mungkin aku lupa. Ya, ia memang belum pernah kutemui di kehidupan sebelumnya. Aku yakin, tidak mungkin tidak. Tapi bagaimana aku memastikannya?

"Kamu tahu, Ferre? Aku sebenernya sering lihat kamu."

"Oh, ya?"

"Ya, berkali-kali. Dan aku melihat kamu itu, beda sama yang lain."

Aku tercekat.

"Maksud kamu dengan beda, gimana?"

"Kamu seperti..." Kayla melirik ke arah toilet.

Starla baru saja keluar.

"Sudah tahu apa yang akan terjadi." Lanjutnya sambil tersenyum dan berlalu.

Aku hendak mencegahnya, tapi ia telah pergi, menghilang di antara kerumunan mahasiswa.

"Siapa, Re?" tanya Starla.

"Anak kelautan,"

"Oh..."

"Besok kamu ada kuliah sampai jam berapa?"

"Jam tiga, kenapa?"

"Udah nonton The Prestige?"

"Belum, kamu?"

"Belumlah, yuk nonton besok? Di Ciwalk,"

"Boleh, nanti ke sananya gimana?"

"Besok aja langsung dari kampus,"

"Ahaha, ok ya udah. Aku besok kuliah jam 9 sampai jam 2,"

"Ketemu di GKU jam 2 aja ya?"

"Sip,"

"Eh, Re?"

"Ya?"

"Temenmu yang anak TL kemarin, siapa? Nova?"

"Iya, kenapa?"

"Kamu nggak ngerasa gimana gitu?"

"Kenapa emang?"

"Kayaknya dia ngeliat ke aku kayak gimanaaa gitu?"

"Gimana...gimana maksudmu?"

"Kayaknya dia sempet ngarep ke kamu."

"Oh, terus?"

"Kamu nggak ngerasa harus jelasin sesuatu atau apa gitu ke dia?"

"Kamu cemburu?"

Starla tertawa.

"Re, kupikir kamu pasti tahu aku. Aku bisa buka diriku ke kamu, atau orang lain yang layak, tapi aku nggak akan ngerasa terancam sama orang lain. Karena begitu ada orang selain aku, aku akan melupakanmu," Starla menjentikkan jarinya, keras, tepat di depan hidungku, "Nah, kayak gitu."

"Okeee, jadi menurutmu aku harus minta maaf ke dia?"

"Nggak juga. Terserah kamu itu sih. Aku cuma ngingetin aja."

"Ya udah, sekarang pulang dulu."

Aku melepas Starla di rumahnya untuk kesekian ratus kalinya.

Sekali lagi hanya untuk hari ini.

Tak akan kuulangi kesalahanku sebelumnya. Starla tidak akan kubiarkan lepas.

Usai menonton film esoknya, kami makan malam di Es Teler 77. Tempat yang baru saja dibuka, namun bagiku tetap sebuah restoran yang familiar. Dulu hampir sebulan sekali aku dan teman-teman sekelasku berkumpul di sini setelah menonton film bersama.

"Aku udah mau Tugas Akhir di Dirgantara,"

"Liburan ini?"

"Ya,"

"Udah dapet tempat sama pembimbing?"

"Udah, sejak awal tahun udah kuhubungi,"

"Kok bisa cepet?"

"Ya kan pembimbingku alumni Mesin juga, jadi gampang buat anak Mesin di sana,"

"Oh, I see,"

"Kamu sendiri?"

"Aku?"

"Udah dapet topik?"

"Belum, masih nyari," aku tersenyum.

"Kamu masih mau jadi misterius?"

"Nggak ada yang misterius dari aku, Star."

"Kamunya aja yang nggak sadar,"

"Padahal kamu nggak kalah misteriusnya,"

"Aku? Misterius? Dari mananya?"

"Misterius karena nggak ada yang tahu apa yang kamu mau. Padahal aku tahu kamu pasti sangat ambisius. Apa yang kamu lakukan pasti akan kamu selesaikan dengan sempurna. Kalau nggak, kamu nggak akan berhenti,"

"Kamu tahu aku banget ternyata,"

"Apa sih soal kamu yang aku nggak tahu,"

"Aku cuma mengeksekusi apa yang ada di depan mata aja kok,"

"Dan kamu juga rendah hati,"

"Lihat siapa yang ngomong! Kamu pikir aku juga nggak tahu kamu?"

"Sejauh apa kamu tahu soal aku sejauh ini?"

"Re, apa yang kamu lakukan selama ini kalo lagi nggak sama aku, kamu pikir aku nggak tahu?"

"Maksudmu?"

"Kamu sering mengurung diri di perpustakaan, nilai-nilai kuliahmu sangat baik, tapi kamu nggak kehilangan kehangatanmu sebagai laki-laki,"

"Lalu?"

"Dan aku bisa melihat kalau itu semua hanya sebagian kecil dari diri kamu,"

"Maksudmu sebagian kecil?"

"Kamu kayak gunung es. Dari matamu, aku bisa melihat bahwa kamu menyimpan suatu hal yang lebih besar, entah apa itu,"

"Kamu nggak penasaran apa itu?"

"Aku pengen kamu tunjukin itu pada saatnya, Re. Saat kamu benar-benar mau nunjukin semuanya ke aku,"

Aku tersenyum.

Kami melanjutkan makan malam kami. Tak terasa waktu telah menjelang tengah malam. Kembali kuantar Starla pulang setelahnya.

Esok harinya kutunggu Nova di depan kelasnya. Ia nampak tertegun saat mendapatiku duduk menunggunya.

"Maaf, bisa bicara sebentar?" tanyaku.

"Untuk...?"

"Boleh sambil duduk?"

Nova menurut dan duduk di sebelahku.

"Aku mau minta maaf." Kataku.

"Maaf untuk...?"

"Karena nggak bilang ke kamu bahwa aku udah punya pacar."

"Ferre, saya nggak ngerti kenapa kamu harus minta maaf."

"Saya sudah anter kamu sampai Yogya dan balik ke sini, lalu bantu kamu ini dan itu. Saya khawatir kamu...?"

"Ferre, gini," Potong Nova. "Kamu pede amat kayaknya kalo aku tuh suka sama kamu. Masalah kamu mau punya pacar kek, atau apa kek, itu kan urusan kamu."

"Oke, kalau gitu ya semua sudah clear." Kataku. "Nggak ada yang perlu dibahas lagi, aku permisi. Makasih untuk waktu kamu." Lanjutku sambil berlalu.

"Ferre!" panggilnya.

Aku menoleh.

"Yang kamu lakukan itu baik, sangat baik. Dan aku berterimakasih untuk itu. Berkat kamu, aku nggak ragu ngejar mimpiku. Aku juga makasih kamu mau susah-susah dateng ke sini untuk minta maaf. Artinya kamu masih nganggap aku ada. Tapi mulai sekarang aku minta kamu nggak usah muncul di depanku lagi."

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Aku cuma pesen, jangan berhenti ngejar semua mimpi kamu." Jawabku.

Nova tersenyum untuk pertama kalinya sejak tadi, dan ia pun mengangguk.

Aku menghampiri Nova dan kami pun bersalaman, lalu kembali kepada kehidupan masing-masing.