webnovel

39

Investasi-investasi telah mulai kulakukan sejak tiga tahun sebelum ini. Sejumlah potensi yang dapat kuingat telah kudaftar. Kutanamkan uang dalam jumlah besar kepada mereka.

Perusahaan-perusahaan yang baru muncul seperti Google, Facebook, YouTube, dan sebagainya telah kujadikan lahanku untuk berinvestasi. Dekade pertama milenium baru akan menjadi waktu-waktu yang menentukan masa depan dunia. Sejumlah perusahaan akan muncul, dan sebagian lagi akan hilang.

Tenggelamnya Nokia pasti akan terjadi, karena itulah Android telah kuantisipasi kebangkitannya melalui penanaman saham di Google. Tidak lama lagi, Apple juga akan mulai menguasai pasaran. Sejak awal telah kuingatkan para penguasa Google agar mengantisipasi produk Apple. Kuberikan detail MacBook sebelum ia terbit. Aku percaya orang-orang Google akan mampu mencegah munculnya Apple.

Booming dari startup-startup masih cukup lama untuk terjadi. Bitcoin, Go-Jek, Uber, AirBnB, dan sejumlah lainnya telah masuk ke dalam radarku. Tinggal menunggu waktu untuk kutanamkan juga uangku pada mereka.

Terkadang saat luang, aku melihat kehidupanku sebelum ini.

Kehidupan yang telah lama kutinggalkan. Semua beban hidup, menjadi salary man, dengan kekhawatiran akan masa depan yang menghantuiku setiap hari, kini hilang sudah. Itu adalah hari-hari yang seharusnya kutinggalkan di belakang. Seharusnya memang demikian, tapi kenyataannya letak mereka adalah di masa depan, dan menjadi waktu-waktu yang bisa saja tidak akan pernah terjadi.

Bahkan diriku pun ternyata kudapati tidak lagi mempedulikannya. Meskipun terkadang aku masih memikirkan Rita, Narendra, dan Maisha. Tapi kini aku kaya raya. Aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan. Semua yang kuimpikan bisa kuraih.

Apa pun itu.

Sekarang aku telah membuat desain pesawat kedua atas namaku sendiri. Sebuah pesawat dengan kapasitas 320 penumpang, setelah pesawat perintis yang memuat 19 penumpang yang telah diproduksi massal.

Tentu saja kemampuanku ini membuatku bisa diterima di ITB.

Sama seperti di siklus kehidupan pertamaku, aku tidak ingin memilih jurusan lain. Tidak ada yang mudah di sini, walaupun semua telah kulalui. Kali ini pun hampir sama persis, seperti yang telah lalu, bagai film yang diputar ulang.

Kampus ITB persis sama dengan saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di sini. Kepulanganku bukan bertujuan utama meraih pendidikan di sini. Aku punya maksud lain. Dan salah satu orang yang menjadi pelancar jalanku akan kutemui sekarang di Masjid Salman ITB.

Masjid ini selalu dipenuhi oleh jamaah yang akan menunaikan salat.

Aku telah berada di lorongnya sejak pukul setengah dua belas. Kuperhatikan mahasiswa-mahasiswa berdatangan, sambil menantikan orang yang ingin kuajak bicara.

Pukul dua belas kurang sepuluh, ia baru nampak dan menitipkan sepatunya kepada petugas masjid. Segera kujejeri langkahnya, kuikuti ia ke tempat berwudhu, hingga kuambil jajaran shalat yang dekat dengannya. Usai shalat, ia beranjak, menuju kembali ke tempat penitipan sepatu.

"Assalamualaikum, Mas?" sapaku saat ia sedang menalikan sepatunya.

"Waalaikumsalam, iya?" jawabnya sambil menatapku dan menyambut uluran tanganku.

"Saya Ferre, mahasiswa baru, angkatan 2004. Maaf, mas tinggal di daerah Kopo? Saya sering lihat Mas di sana,"

"Oh iya, saya Ardi, Teknik Kimia 2001. Ferre tinggal di Kopo juga?"

"Dulu iya, Mas. Sekarang sudah pindah, tapi masih sering ke sana,"

"Oooh,"

"Sekarang mau ke mana, Mas?"

"Mau makan dulu,"

"Bareng, Mas? Saya juga mau makan,"

"Oh iya, ayo,"

Kami menuju kantin Salman, dan makan bersama sambil berbincang.

"Gimana? Senang masuk ITB?" tanya Ardi.

"Ya Mas, pasti senang," jawabku.

"Dulu bimbingan belajar di mana?" tanyanya.

Oh, tak kusangka semudah ini memulainya.

"Nggak Mas, saya nggak suka bimbingan belajar,"

"Lho? Kenapa?" ia tampak heran namun sepertinya mulai tertarik pada ucapanku.

"Bimbingan belajar itu hanya memberikan cara cepat, Mas. Maaf, ini menurut saya ya Mas, bahwa banyak anak ITB terkena DO karena terlalu biasa pakai cara cepat saat di SMA dan diajarkan di bimbel. Ketika TPB, jadinya nggak bisa mengikuti, karena cara cepat nggak akan laku kan Mas di TPB. Mana ada dosen yang mau menerima jawaban ujian dengan cara cepat,"

"Wah-wah, Ferre ini sudah banyak tahu ya?"

"Banyak dengar-dengar, Mas. Maaf, saya nggak bermaksud menyinggung, tapi Mas bukan guru bimbel atau semacamnya kan?"

"Oh bukan, tenang saja,"

Aku tahu memang bukan.

"Tapi, saya memang tertarik membuat usaha bimbel suatu saat nanti,"

Ini dia.

"Oh ya, Mas?"

"Iya, tapi bukan seperti yang Ferre sebutkan. Saya mau buat usaha bimbel yang mengajarkan pemahaman dan mementingkan siswa mengerti. Saya juga nggak suka dengan bimbel-bimbel yang mengutamakan cara cepat. Bagi saya bimbel-bimbel seperti itu hanya mementingkan bisnis dan keuntungan,"

"Merekalah yang bertanggung jawab atas banyaknya mahasiswa ITB yang DO, mas," pancingku.

"Betul! Saya sepakat!"

"Jadi Mas ingin membuat usaha bimbel yang sama sekali berbeda dari mereka?"

"Ya, tapi dalam beberapa tahun ke depan lah,"

Empat tahun dari sekarang dia akan memulai bisnisnya.

"Oh, jadi mau mengumpulkan modal dulu ya, Mas?"

"Ya begitulah. Dan harus cari tempat juga kan. Tempat perlu disewa, saya harus mulai mengumpulkan uang,"

"Oh gitu, Mas. Kalau ada tempat, bisa mulai jalan berarti ya?"

"Ya, itu paling penting, tempat,"

"Hmmm, kok kebetulan ya Mas?"

"Kebetulan apa?"

"Saya punya tempat nganggur di Tubagus Ismail. Nggak ada yang pakai. Kalau Mas mau, bisa Mas gunakan,"

"Tempat? Semacam rumah?"

"Ruko, Mas,"

"Oh, kira-kira berapa sewanya?"

"Nggak perlu sewa, bagi hasil saja dari keuntungan Mas nanti,"

"Serius?"

"Ayo Mas, kalau mau kita lihat ruko saya,"

Kami beranjak dan menuju Jalan Tubagus Ismail. Kutunjukkan dua ruko milikku yang besarnya setara dengan gedung Ganesha Operation.

"Wah, ini besar sekali,"

"Silakan kapan Mas mau gunakan, akan saya beritahu satpamnya,"

"Ini serius kan?"

"Serius Mas,"

"Dan bagi hasil?"

"50-50 saja dari keuntungan bersih,"

"Wah, terima kasih nih. Ini namanya rezeki yang tidak saya duga,"

"Sama-sama lah Mas, kebetulan juga kan kita ketemu,"

Ia tertawa.

"Ehm, Mas, maaf saya mau tanya, boleh?"

"Oh, apa?"

"Saya lihat di susunan kepanitiaan OSKM, Mas jadi yang menentukan pembagian kelompok peserta?"

"Betul, kenapa?"

"Boleh saya minta tolong, Mas?"

"Hmmm, minta tolong apa, ya?"

"Tempatkan saya di kelompok 132."